Sambil menyebrangi sepi, kupanggili namamu
wanita ku.
Apakah kau tak mendengarku
Malam yang berkelut kesah, karena rumah.
Memberontak terhadap adat yang latah.
Dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia ku cari kan pancaran matamu.
Inggin ku lihat lagi bau tubuhmu yang kini
sudah kulupa.
Sia...sia....tak ada yang bisa kucamkan,
sempurnalah kesepianku...
Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi.
Dan
sebelas ekor serigala muncul dari masa silam merobek-robek hatiku
celaka..
Berulang kali aku panggili namamu..
Dimanakah engkau wanitaku..
Apakah engkau enggan menjadi masa silam ku...
Kupanggili namamu....
Ku panggili namamu wanitaku..
Karena kamu rumah terindah...
Dan.....
Tuhan...
Tuhan... adalah seniman yang takterkalahkan..
yang selalu sebagai sedia kala dan hanya
memperdulikan hal-hal yang besar-besar saja...
seribu jari dari masa silam menunjuk
kepadaku..
tidak... tidak bisa aku kembali...
sambil terus memanggil namamu..
amarah pemberontakan yang suci bangkit dengan
perkasa malam ini..
dan menghantarku kamu diri kecakrawala..
yang sebagian gadis telanjang terbenam sesudah
itu..
sebagian telaga besar yang beku...
dan aku pun beku di tepinya... wajahkku
lihatlah wajahku...
terkaca dikeheningan berdarah..dan
terluka-luka dicakar masa silam...
0 comments:
Post a Comment