Entah
beberapa waktu belakangan ini saya merasa muak dengan banyak hal. Dan inilah
yang membuat saya kembali berceloteh. Rasanya muak melihat dunia sekitar yang
seakan-akan penuh kepalsuan. Melihat tingkah polah manusia yang membuat saya
lelah. Bahkan mungkin termasuk diri saya sendiri. Rasanya hari-hari menjadi
begitu banal. Tak ada kemesraan dalam romantika.
Dimulai
dari pergulatan pikiran saya tentang paham-paham, ideologi, atau yang kita
biasa berakhir dengan imbuhan isme. Rasa-rasanya saya mulai lelah mendengar
semua itu. Manusia satu sama lain bertengkar, merasa isme yang dipahaminya
adalah yang paling benar. Mirisnya lagi ada orang yang menjadi pem-beo. Ia
mem-beo perkataan tokoh-tokoh tertentu lalu seakan-akan menjadikannya postulat
yang dianggap pasti benar. Padahal ia melakukannya tanpa dialektika. Sungguh
saya bingung. Padahal, bukankah dialektika menjadi sebuah metode berpikir yang
paling tepat untuk menghasilkan suatu keputusan terbaik? Kalau mengkritik
anti-taklid ya konsekuensinya juga harus tidak taklid.
Mirisnya,
terkadang satu-dua di antara mereka berbicara seenaknya tentang semua itu.
Merasa telah membaca berpuluh-puluh sampai ratusan judul buku berdiksi berat,
merasa tinggi pula ilmunya melangit. Padahal bicara hakikat selalu ada langit
di atas langit. Tak berbatas di luar alam nalari. Dengan mudah ia mengatakan
segala hal yang ia pahami dalam teori di buku-buku beratnya itu sebagai sebuah
postulat yang harus dijalani. Padahal sepatutnya terlebih dahulu kita
berdialektika, mencari jawaban atas setiap pertanyaan, lalu merenung dan
mengkontemplasikan. Bukan sekedar menjadi peniru barat, meskipun kita bukan
pembenci barat. Boleh kita mengambil saripati budaya barat, asal pada
takarannya. Tetapi yang lebih penting jangan sampai kita lupa kalau kita adalah
orang timur yang dibesarkan dalam budaya timur yang rendah hati.
Saya
hanya berceloteh. Bingung sebab rasanya sedang merasa miskin imajinasi. Rasanya
saya bingung mau berkata-kata apa. Mau buat tulisan berkualitas pun rasanya
tidak percaya diri. Mau bahas yang berat-berat takut saya lupa diri. Ah,
beginilah yang namanya nasib lakon dalam hidup. Terkadang ada kalanya kita
merasa jenuh melakoni peran yang harus kita jalani.
0 comments:
Post a Comment