Monday, August 17, 2015

Surat Untuk Ibu Pertiwi

gambar via wallpaperup.com
Ibu, bisakah kau meramalkan apa yang terjadi 5 atau 10 tahun ke depan? apa yang terjadi dengan nasib kita? pilihan-pilihan apa yang tersisa untuk jalan hidup kita? seberapa kuat kita menahan beban hidup? seberapa tahan kita melawan tekanan-tekanan keadaan? seberapa kuat kita menggenggam keyakinan, ketika nurani di sekitar semakin kikis oleh kerakusan. Ketika batin tak lagi bisa merasakan penderitaan-penderitaan dan kita hanya termangu dan berpikir inikah hidup?

Ibu, hakikat apa yang Tuhan inginkan dari manusia? Seorang pujangga besar pernah berkata,
“Pada hakikatnya bayi yang lahir ke dunia adakah pesan dariNya bahwa Ia belumlah jera pada manusia”.
Aku meragukan itu Ibu, Aku melihat ‘senjakala manusia’ Bertambahnya kecerdasan manusia ternyata tidak juga membuat manusia belajar dari kebodohan-kebodohan purba. Sejarah peradaban manusia tak juga mampu membuka mata hati kemanusiaan, lahirnya agama-agama besar hanya menumbuhkan luka dan majunya pencapaian tehnologi hanya semakin menambah canggihnya pemikiran untuk menguasai dan menaklukan.
Bunda, aku berdiri di titik nadi keyakinanku, aku selalu bertanya, apakah layak hidup untuk dijalani? Aku terlanjur tak percaya dengan niat manusia. Mereka yang katanya ahli ekonomi, ahli politik, ahli agama, ahli segala-galanya teryata tak lebih dari seorang aktor. Kita kehilangan sisi manusia kita. Kita telah menyerahkan hidup pada nafsu, pada benda-benda, pada pangkat, pada status, pada kekuasaan.Kita telah menghamba pada harta dan kemahsyuran dan yang lahir dari itu semua adalah kemunafikan, kebohongan, kerakusan, kelicikan, dan penghancuran dan yang mati dari itu semua adalah mata hati, nurani, kejujuran, keadilan dan kemanusiaan.

0 comments:

Post a Comment

 
;