gambar via wallpaperup.com |
Ibu,
bisakah kau meramalkan apa yang terjadi 5 atau 10 tahun ke depan? apa yang
terjadi dengan nasib kita? pilihan-pilihan apa yang tersisa untuk jalan hidup
kita? seberapa kuat kita menahan beban hidup? seberapa tahan kita melawan
tekanan-tekanan keadaan? seberapa kuat kita menggenggam keyakinan, ketika
nurani di sekitar semakin kikis oleh kerakusan. Ketika batin tak lagi bisa
merasakan penderitaan-penderitaan dan kita hanya termangu dan berpikir inikah
hidup?
Ibu,
hakikat apa yang Tuhan inginkan dari manusia? Seorang pujangga besar pernah
berkata,
“Pada hakikatnya bayi yang lahir ke dunia adakah pesan dariNya bahwa Ia belumlah jera pada manusia”.
Aku meragukan itu Ibu, Aku melihat ‘senjakala
manusia’ Bertambahnya kecerdasan manusia ternyata tidak juga membuat manusia
belajar dari kebodohan-kebodohan purba. Sejarah peradaban manusia tak juga
mampu membuka mata hati kemanusiaan, lahirnya agama-agama besar hanya
menumbuhkan luka dan majunya pencapaian tehnologi hanya semakin menambah
canggihnya pemikiran untuk menguasai dan menaklukan.
Bunda,
aku berdiri di titik nadi keyakinanku, aku selalu bertanya, apakah layak hidup
untuk dijalani? Aku terlanjur tak percaya dengan niat manusia. Mereka yang
katanya ahli ekonomi, ahli politik, ahli agama, ahli segala-galanya teryata tak
lebih dari seorang aktor. Kita kehilangan sisi manusia kita. Kita telah
menyerahkan hidup pada nafsu, pada benda-benda, pada pangkat, pada status, pada
kekuasaan.Kita telah menghamba pada harta dan kemahsyuran dan yang lahir dari
itu semua adalah kemunafikan, kebohongan, kerakusan, kelicikan, dan
penghancuran dan yang mati dari itu semua adalah mata hati, nurani, kejujuran, keadilan
dan kemanusiaan.
0 comments:
Post a Comment