hi…
Kali ini mau posting
resensi buku yang sudah jarang sekali ditemuin di toko – toko buku, jangankan
di toko buku mau dicari di loak pun sudah jarang sekali ditemukan ada yang
jual. Kenapa buku ini perlu
untuk ditulis lagi resensinya? karena buku yang ditulis oleh Bung Karno ini
merupakan kaca benggala kita sebagai perempuan Indonesia dalam melihat
bagaimana kondisi permpuan di masa lalu, bagaimana kita semua mengetahui
sejarah patriarki dan matriarki, bagaimana seharusnya perempuan melihat
perjuangan kaumnya sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat, bagaimana
perempuan Indonesia dapat melanjutkan perjuangan-perjuangan itu dengan pisau
analisis yang tajam, bagaimana perempuan Indonesia dapat terbebas dari belenggu
yang diciptakan oleh peradaban.
enjoy it…
Soal Perempuan (Realitas
Kehidupan Perempuan Indonesia)
Pandangan
Sukarno tentang perempuan Indonesia diawali dari paparan realitas kehidupan
perempuan Indonesia yang masih banyak mengalami pengekangan, penindasan dan
pembodohan. Paparan tersebut didasarkan pada pengalaman-pengalaman Sukarno yang
dicontohkannya dalam beberapa fenomena mendasar, terutama tentang pengalamannya
atas pengekangan-pengekangan yang terjadi terhadap perempuan Indonesia akibat
persepsi yang salah terhadap peran isteri dalam kehidupan rumah tangga.
Isteri
bagi kaum laki-laki Indonesia lebih banyak dimaknai sebagai obyek yang tidak
memiliki kuasa atas segala hal. Isteri hanya diposisikan sebagai sub bagian
dari kaum laki-laki yang berposisi sebagai kepala rumah tangga yang bisa
menentukan segala hal yang bersangkut-paut dengan masalah-masalah rumah tangga.
Akibatnya isteri-isteri Indonesia nyaris tidak memiliki kebebasan sama sekali
dalam segala hal termasuk dalam melakukan hubungan-hubungan dan
perbuatan-perbuatan hukum atas dirinya sendiri karena harus berada dalam
pengampuan sang suami. Semua tindakan dan keputusan yang akan
dibuat harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami. Bahkan untuk
menemui seorang tamu pun, sang isteri harus menunggu ijin dari suami terlebih
dahulu.
Seperti
yang dicontohkan Sukarno ketika ia datang bertamu kerumah kenalannya, dimana
kenalannya itu begitu mudahnya berbohong di depan isterinya yang menyatakan
bahwa isterinya tidak ada di rumah sementara isterinya dibiarkan mengintip dari
balik tirai pintu. Dari contoh di atas dapat terlihat jelas bahwa peran
perempuan Indonesia memang masih sangat jauh dari kemerdekaannya akibat
pengekangan-pengekangan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Alasan
mendasar yang dapat ditangkap oleh Sukarno atas pengekangan yang dilakukan
tersebut adalah akibat bentuk pengungkapan rasa sayang yang salah terhadap
isterinya. Persepsi suami Indonesia, isteri adalah mutiara berharga yang harus
dijaga, dihormati dan dimuliakan oleh suaminya. Namun cara menjaga dan
menghormati tersebut diungkapan dengan cara memingit isteri di dalam rumah
sehingga berakibat hilangnya kebebasan perempuan Indonesia. Fenomena ini persis
seperti apa yang pernah dikemukakan Professor Havelock Ellis yang dikutip
Sukarno: “kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran
antara seorang Dewi dan seorang tolol!”
Walaupun
demikian, kebebasan yang harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia juga
tidak dapat serta merta memplagiat seperti kaum feminis dan neo feminis eropa
yang menuntut kesamaan atas segala hal terhadap kaum laki-laki, baik persamaan
dalam tingkah laku, cara hidup, bentuk pakaian dan lain-lain. Padahal kita
mengetahui ada beberapa perbedaan mendasar yang tidak dapat disamakan antara
laki-laki dan perempuan terutama yang menyangkut kodrat perempuan itu sendiri.
Mengutip pernyataan Henriette Roland Holst, Sukarno menyatakan bahwa perempuan
yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa dihindarkan pasti
akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu dari anak-anaknya.
Oleh
karena itu, masalah perjuangan kebebasan dan makna kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan sampai saat ini masih memiliki masalah yang sangat pelik. Bahkan
perjuangan kaum perempuan pun sampai saat ini mengalami banyak
perbedaan-perbedaan, dari ortodoks, moderat dan modern. Dan Sukarno tidak
menginginkan perjuangan kaum-kaum perempuan Indonesia membabi buta memplagiat
seperti feminis di eropa tanpa menyatukannnya dengan kepribadian bangsa. Sebab
jika itu terjadi, yang timbul hanyalah kerusakan dan kekacauan belaka.
Laki-Laki
dan Perempuan (Sukarno sebagai Seorang Patriarchat)
Seperti dikutip Sukarno dari Olive Schreiner (feminis idealis Eropa) laki-laki
dan perempuan adalah dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh sebuah
tali hidupnya kodrat alam (tali sekse). Tali sekse tidak
hanya diartikan sebagai sebuah tali biologis saja tetapi juga merupakan tali
jiwa. Seorang pekerja seks, walaupun ia melacurkan tubuhnya (biologis) setiap
hari namun di satu sisi jiwanya juga merindukan akan cinta.
Namun
dalam perkembangannya, pemaknaan tali sekse di Rusia ternyata distorsif, tali
sekse hanya dimaknai hanya sebagai satu ikatan biologis saja (free sex).
Bahkan Madamme Kollontay juga menganjurkan teori yang distorsif ini. Namun pada
akhirnya teori tersebut dihancurkan oleh Lenin, sehingga pandangan tentang tali sekse kembali
kepada arti semula tentang pertalian antara tubuh dan jiwa atas laki-laki dan
perempuan.
Tali sekse yang
mengikatkan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya merupakan sebuah
kebutuhan primer selain makan dan minum. Bahkan Schopenhouer, seorang
ahli filsafat, pernah menyatakan bahwa “syahwat merupakan penjelmaan keras dari
kehidupan manusia atas kemauan akan hidup. Bahkan Sukarno mencontohkan
kehidupan dalam penjara dimana tali sekse itu sama sekali tidak
berjalan, kehidupan pun menjadi abnormal, laki-laki bercinta dengan laki-laki.
Sukarno juga mencontohkan sebuah data bunuh diri di beberapa negara eropa, dan
hasilnya mayoritas adalah perempuan-perempuan muda yang bunuh diri karena
kehilangan tali seksenya (kasih tak sampai, putus cinta, dan
lain-lain).
Tali sekse sebagai
kodrat alam dapat berjalan apabila laki-laki dan perempuan menjalankan hidup
dan kehidupannya sesuai dengan kodrat dan hakekatnya masing-masing. Sebab
bagaimanapun harus diakui, bahwa antara laki-laki dan perempuan memang memiliki
perbedaan dan karakter sendiri-sendiri. Misalnya, kodrat laki-laki memberikan
zat anak, dan kodrat perempuan menerima zat anak, mengandung, melahirkan,
menyusui dan memelihara anak.
Selain
secara fisik, perempuan juga berbeda secara psikologis dengan laki-laki.
Heymans seorang ahli jiwa mengatakan bahwa perempuan secara psikologis dibidang
emosional, aktivitas dan kedermawanannya cenderung melebihi laki-laki.
Perempuan lebih gampang marah, gampang cinta, gampang kasihan, gampang percaya,
gampang terharu, dan lain-lain.
Walaupun
antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut
hanya terbatas pada kodrat saja. Tidak benar jika ada pendapat bahwa
laki-lakilah yang harus memimpin dan menjadi tokoh, sementara perempuan hanya
bertugas sebagai perempuan dapur saja, karena pembedaan itu bukanlah pembedaan
yang didasarkan pada kodrat.
Dulu,
pada masa matriarchat, perempuan memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar
daripada laki-laki. Di Indonesia, tercatat terdapat nama-nama tokoh perempuan
seperti Ratu Simha di negeri Kalingga, atau Bundo Kandung di negeri Pagar
Ruyung. Namun dalam perkembangannya kehidupan perempuan menjadi semakin
terpuruk.
Sukarno
pada dasarnya bukanlah pecinta matriarchat, Sukarno mengakui dia adalah pecinta
patriarchat, tetapi bukan karena ia seorang laki-laki, akan tetapi karena
kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat
menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapakan dibandingkan
peribuan. Sebab dengan patriarchat maka perempuan hanya diperisteri oleh satu
orang laki-laki, dan tidak lebih. Dengan begitu maka orang dapat mengetahui
secara pasti siapa ibunya dan siapa bapaknya. Tetapi dalam matriarchat, orang
hanya tahu pasti siapa ibunya, tetapi tidak yakin siapa bapaknya. Walaupun
Sukarno pecinta patriarchat, Sukarno tetap menginginkan suatu sistem
patriarchat yang adil, yang tidak menindas kaum perempuan.
Dari Gua ke Kota (Perempuan dalam
Theory Evolutie Tendenz)
Pada
masa purba, manusia hidup berkelompok. Dan pada masa itu menurut August Bebel,
perempuan sudah berposisi sebagai orang taklukan. Penyebab ketaklukan perempuan
terhadap laki-laki tersebut adalah karena kodrat perempuan yang hamil dan
melahirkan, sehingga tidak mungkin bagi perempuan hamil untuk ikut berburu
seperti kaum laki-laki. Akhirnya posisi perempuan hanyalah menjadi budak
laki-laki karena hidupnya telah tergantung dari hasil buruan laki-laki. Dan
inilah sejarah perbudakan manusia pertama kalinya. Dalam masalah kebutuhan
biologis, perempuan hanya menjadi nafsu pelampiasan laki-laki, seperti yang
dikemukakan oleh Bachofen dan disempurnakan oleh Eisler. Memang pada masa itu
manusia belum mengenal perkawinan, atau istilah Marx belum mengenal adanya hak
milik.
Fase
perburuan di atas lambat laun mengalami perubahan menuju fase peternakan.
Perubahan fase tersebut adalah atas jasa perempuan. Binatang-binatang buruan
yang berhasil ditangkap dan tidak mati, oleh para perempuan dipelihara dan
diternakkan. Menurut Fleure, fase peternakan tersebut juga bersamaan dengan
munculnya fase pertanian, sebab manusia adalah omnivora. Kemudian diteruskan
dengan proses dimana manusia berpindah (nomaden) menyebabkan terancamnya
kelangsungan hidup keturunannya. Selain itu juga kebahagiaan dan proses
pendidikan ataupun pemberian kasih sayang kepada anak sulit apabila masih
tergantung kepada alam. Dari hal tersebut maka para perempuan mulai
mencoba-coba membuat tempat tinggal (rumah). Pada saat itulah perempuan kembali
berjasa bagi peradaban manusia karena telah menemukan cara untuk membuat tempat
tinggal bagi manusia.
Karena
jasa-jasa perempuan tersebut, pada akhirnya perempuan menjadi orang yang lebih
tinggi dari laki-laki sehingga bisa mengatur dan membuat hukum-hukum atas
kehidupan manusia. Dan saat itulah matriarchat mulai berkembang dimana garis
keturunan dihitung dari garis ibu. Dari sini dapat ditegaskan kembali, bahwa
kembali perempuan menjadi orang yang membuat aturan hukum pertama kali.
Namun
matriarchat tersebut lambat laun digeser oleh sistem patriarchat. Sejarah
tersebut timbul karena pada akhirnya kaum laki-laki mengikuti jejak kaum
perempuan untuk ikut beternak dan bercocok tanam. Lambat laun tanaman dan
ternak tersebut terus mengembang sehingga harta kekayaan pun semakin melimpah.
Akhirnya kaum laki-laki terbuka hatinya untuk memikirkan tentang warisan harta
kekayaannya, sehingga kaum laki-laki pun mulai ikut memikirkan keturunannya.
Saat itulah, patriarchat mulai berkembang dan peran perempuan mulai tergeser. Perkawinan
sudah tidak berarti lagi laki-laki menghamba pada perempuan tetapi perempuan
menghamba kepada laki-laki.
Implikasi
dari pergeseran matriarchat menuju patriarchat ini berakibat seluruh
hukum-hukum masyarakat termasuk hukum-hukum perkawinan, keturunan, warisan dan
lain-lain, semuanya diubah atas kepentingan kekuasaan kaum laki-laki. Bahkan
tidak itu saja, moral, ideologi, adat-istiada, kepercayaan, seni, ideologi
bahkan agama pun diubah berdasarkan kepentingan kaum laki-laki. Revolusi
patriarchat tersebut menurut Sukarno bukanlah revolusi yang memerdekakan
laki-laki dan memelihara kemerdekaan perempuan, tetapi kemerdekaan laki-laki
yang menindas kaum perempuan.
Akibat
penjajahan kaum laki-laki selama beribu-rbu tahun itu, maka kaum perempuan pada
akhirnya menjadi kaum yang lemah, bodoh dan terbelakang. Hanya satu yang
tersisa yang dapat mengangkat derajat kaum perempuan saat itu, yaitu parasnya
yang cantik dan elok. Dengan paras cantik itulah maka perempuan dapat
menggunakannya sebagai senjata ekonomis untuk mencari jodoh laki-laki kaya yang
dapat mengangkat derajat kehidupannya. Oleh karena itu, menjadi tidak heran
jika dalam perkembangannya kemudian, para perempuan hanya dilatih sebagai
perempuan yang harus berbakti kepada suami agar suami tetap senang kepadanya.
Nasib
perempuan yang terpuruk tersebut pada akhirnya mulai terangkat kembali pada
masa revolusi industri di Eropa. Perempuan-perempuan mulai kembali menjadi
perempuan pekerja yang mandiri. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama,
karena lambat laun pekerjaan yang mereka tekuni digantikan oleh mesin-mesin
industri sebagai implikasi dari perkembangan teknologi.
Matriarchat dan Patriarchat (Matriarchat
dan Patriarchat terhadap Kemajuan Jaman)
Sistem matriarchat pada dasarnya timbul dari hukum masyarakat yang sangat tua
(kuno). Bahkan Romein dalam bukunya menerangkan bahwa ribuan tahun sebelum
jaman Nabi Isa sudah timbul aturan-aturan matriarchat. Namun harus diakui bahwa
sistem matriarchat tersebut dalam perkembangannya terus surut dan lapuk ditelan
jaman. Bahkan di Minangkabau pun sistem matriarchat tersebut saat ini hanyalah
menjadi tradisi-tradisi yang terus surut.
Pada
dasarnya, tidak semua sistem matriarchat bersifat baik, bahkan sebagian besar
mengarah pada penghambaan kaum laki-laki kepada kaum perempuan, sama dengan
sistem patriarchat yang sebagian besar juga menjurus pada penghambaan kaum
perempuan kepada kaum laki-laki.
Sejarah
terbangunnya sistem poliandri menurut Sukarno bisa disebabkan karna sistem
matriarchat, namun bisa juga tidak sebab Eisler mengatakan bahwa poliandri
bukanlah satu perkembangan yang umum (bukan satu tingkat perubahan yang umum).
Engels menamakan diaa perkecualian, serta hasil-hasil yang mewah daripada sejarah.
Dan Bebel berkatan bahwa belum ada seorangpun yang benar-benar mengetahui
tentang sebab-sebab terjadinya poliandri. Namun Sukarno dapat mengemukakan
teori bahwa poliandri biasanya terjadi di negeri-negeri pegunungan yang
kekuarangan supply makanan. Oleh karena itu maka poliandri dijadikan sebuah
cara untuk mencegah bertambahnya keturunan. Alasan lain juga dikemukakan
Tarnowsky yang menyatakan bahwa terjadinya poliandri di daerah pegunungan
karena daerah tersebut termasuk daerah dingin, sebab suhu yang dingin menurut
ilmu kedokteran mengurangi nafsu birahi manusia.
Patriarchat
Menurut
Sukarno, hukum patriarchat merupakan sebuah kemajuan bagi jaman, sebab
patriarchat dalam sejarahnya telah mendorong berkembangnya keluarga(somah) dan
individualisme. Marx menamakan perpindahan dari matriarchat ke patariarchat
adalah sebuah perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam, dan Engels
menamakannya sebagai kemajuan dalam sejarah yang besar. Hanya sayang, kemajuan
ini diikuti dengan perbudakan.
Pokok
hukum patriarchat itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang sangat
tepat: “Ia berazaskan pertuanan seorang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk
melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapaknya, dan
perbapakan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini
nanti harus mewarisi harta milik si bapakan itu. Patriarchat seperti itu telah
dapat diketahui bahwa bagaimanapun patriarchat memang lebih baik dan lebih maju
dibandingkan dengan matriarchat.
Namun
memang harus diakui pula bahwa patriarchat juga memiliki ekses negatif.
Patriarchat merupakan faktor utama yang mendorong munculnya nafsu kekuasaan
akan hak milik, bahkan perempuan pun ikut dijadikan sebagai hak milik.
Carpenter juga berkata bahwa nafsu kepada hak milik itu telah membuat laki-laki
menutup dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai. Bahkan perempuan telah
dijadikan sebagai barang dagangan seperti di masa Yunani. Pada masa itu
perempuan Yunani dapat ditukar dengan sapi, sehingga perempuan-perempuan itu kemudian
diberi nama alphesiboiai (artinya: menghasilkan sapi). Jika
perempuan yang diinginkan tidak mampu ditukar dengan sapi atau dibeli oleh
laki-laki, maka laki-laki tersebut dapat mencuri atau merampasnya. Bahkan
budaya “kawin beli” dan “kawin rampas” tersebut sampai saat ini masih hidup dan
berkembang di tanah Batak yang disebut dengan “marlojong”.
Salah
satu implikasi negatif lainnya dari patriarchat adalah munculnya persundalan.
Kaum perempuan terpaksa menjual dirinya kepada laki-laki hanya untuk mendapatkan
uang. Pada masa matriarchat, persundalan merupakan satu “amal keagamaan” (religieuze
daad) yang diwajibkan oleh ibadat, tetapi kini justru menjadi
perdagangan ekonomis.
Secara
garis besar, ekses negatif dari patriarchat adalah perendahan derajat kaum
perempuan. Di Jepang budaya yang berkembang dalam kalangan perempuan sana,
bahwa kehinaan terbesar dalam hidup apabila ia dicerai oleh suaminya. Oleh
karena itulah perempuan Jepang merupakan perempuan yang sangat penurut kepada
suaminya. Seperti diceritakan oleh O’Conroy yang pernah datang bertamu kepada
seorang perempuan Jepang, dimana ia sama sekali tidak peduli kepada suaminya
yang tidur dengan pelacur di kamar tidurnya, bahkan ia sendirilah (sang isteri)
yang menyiapkan tempat tidur untuk suami dan pelacur yang dibawanya suaminya.
Bagi perempuan Jepang cara mencintai suami adalah dengan cara mengabdi
sepenuhnya kepada suaminya, tidak peduli apakah suaminya menghianatinya ataukah
tidak.
Tetapi
yang menarik, ternyata laki-laki Jepang tidak sama dengan perempuan Jepang.
Laki-laki Jepang tidak mengenal apa itu cinta karena memang bahasa Jepang tidak
memiliki akasara “cinta kasih”. Cinta dalam arti bahasa Jepang tidak lebih
daripada sebuah bentuk persetubuhan dengan seorang perempuan. Wajar jika
kemudian perzinahan dan penghianatan terhadap isteri yang dilakukan oleh para
suami di Jepang dianggap sebagai sebuah perbuatan yang biasa dan tidak termasuk
amoral.
Van
Kol menulis tentang perempuan Jepang itu: “Perempuan hanya boleh memikirkan
kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasibsendiri dan
perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya. Perempuan dididik
dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik
daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal di dalam ingatannya bahwa semua
urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan
malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka
tidak mempunyai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki”.
Semua
fenomena yang terjadi di Jepang tersebut pada dasarnya merupakan fenomena dari
ekses munculnya patriarchat. Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi
kesan kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan
tertindas telah memberi kesan pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas.
Perbedaan itu secara tidak sadar telah membiaskan antara perbedaan mana yang
bersifat kodrati dan perbedaan mana yang tidak bersifat kodrati antara
laki-laki dan perempuan.
Siapa
yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan berbadan lemah,
berjalan tunduk, berpikir dungu, berperasan sempit, dan berkemauan tak menentu.
Siapa yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan untuk
berada di lapisan bawah sebagai orang yang bodoh dan dangkal pengetahuannya.
Namun
jika meruntut sejarah Jepang, sebelum jaman feodal, perempuan Jepang adalah
perempuan yang tangkas, berbadan tegap, cerdas, yang menjadi ratu-ratu,
perempuan yang memegang obor kesenian Jepang, perempuan yang mampu mengalahkan
semua laki-laki Jepang. Jika saat ini perempuan Jepang menjadi perempuan yang
lemah, mengalah dan nrimo, jelas tentulah bukan karena kodratnya
sebagai perempuan melainkan karena sistem patriarchatlah yang memaksa mereka
untuk menjadi perempuan lemah seperti itu.
Wanita
Bergerak (Fase-Fase
Sejarah Pergerakan Wanita)
Kebangkitan
pergerakan wanita diawal di eropa paska revolusi Perancis dan revolusi Inggris.
Namun jika dianalisa dari runtutan sejarah, sejarah pergerakan perempuan pada
dasarnya dibagi dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase dimana perempuan
telah berani mengadakan perkumpulan-perkumpulan antara sesama perempuan, namun
tujuan dari perkumpulan tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah rumah
tangga saja. Kegiatan-kegiatan wanita lebih banyak didasarkan pada
pertemuan-pertemuan yang bersifat perkumpulan biasa yang rata-rata dilakukan
oleh wanita kelas atas.
Dalam
pertemuan-pertemuan tersebut masalah-masalah yang dibahas hanyalah berkisar
pada masalah kerumah-tanggaan, yaitu ilmu menjahit, ilmu memasak, ilmu
memelihara anak, ilmu kecantikan, estetika dan lain-lain.Tujuan dari kelompok
wanita tersebut adalah membuat agar anggota-anggotanya dapat cakap dalam
memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, pandai menggairahkan suami, cakap
menjadi ibu, dan kecapakan-kecakapan rumah tangga lainnya.
Kelompok
tersebut sama sekali tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
patriarchat, bahkan mereka sama sekali tidak menentangnya. Suami tetap diaui
sebagai yang dipertuan dan yang maha kuasa. Mereka justru menyempurnakan diri
mereka untuk menjadi budak dari suami yang dipertuankannya. Mereka juga
mendirikan sekolah-sekolah untuk gadis-gadis, namun sifat pengajarannya pun
tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah rumah tangga. Mereka mendidik
gadis-gadis itu setingkat lebih tinggi dari gadis-gadis biasa dalam kecakapan
rumah tangga, dengan harapan akan laku dengan pemuda-pemuda bangsawan dan kaya.
Pada
fase berikutnya adalah fase feminisme yang diwujudkan dengan cara
memperjuangkan persamaan hak antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Programnya yang terpenting adalah hak untuk menuntut pekerjaan dan hak untuk
ikut dalam pemilihan. Pada fase itu, para wanita mulai sadar bahwa kelebihan
laki-laki hanyalah rekayasa dari bangunan patriarchat yang sengaja dipupuk
ratusan tahun oleh kaum laki-laki. Akhirnya mereka mulai menuntut persamaan hak
dan persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Mereka sadar telah diperlakukan
secara tidak adil selama ini. Hal-hal yang paling mendasar yang menyadarkan
kaum perempuan akan ketertindasannya selama ini menurut Sukarno adalah sebagai
implikasi dari proses produksi dalam industrialisasi.
Proses
produksi itu secara radikal telah merubah persepsi-persepsi dalam masyarakat,
merubah moral, adat dan juga isme-isme dan pandangan-pandangan tentang hidup.
Persepsi perempuan yang dulunya memandang bahwa untuk memperbaiki nasibnya
ditempuh dengan cara menambah kecakapannya dalam urusan rumah tangga, kemudian
berubah seketika dengan sebuah kesadaran baru bahwa satu-satunya cara terbaik
untuk memperbaiki nasib mereka adalah dengan bergerak menuntut persamaan hak
dan derajat terhadap kaum laki-laki.
Pada
masa revolusi Perancis tercatat beberapa nama besar pejuang perempuan, sebutlah
Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe dan Theroigne de Mercourt. Para
pejuang perempuan tersebut bergerak mengorganisir para perempuan dalam satu
gerakan menuntut persamaan hak dan derajat terhadap kaum laki-laki. Bahkan di
tahun 1792 Wollstonecraft, pejuang perempuan Inggris, berhasil
menerbitkan buku berjudul Vindication of the Rights of Woman(Pembelaan
hak-hak kaum wanita).
Sejak
saat itu pergerakan perempuan terus menguat dan mengkristal. Hampir di sebagian
negara-negara industri eropa, setiap perempuan bergerak menuntut persamaan hak,
khususnya hak untuk bekerja dalam segala lapangan. Namun dari sebagian besar
gerakan perempuan yang menuntut hak mereka untuk bekerja adalah perempuan kelas
menengah dan kelas atas. Sebab pokok kaum perempuan kelas menengah dan atas
menuntut pekerjaan tersebut, menurut Sukarno adalah akibat ekses secara
langsung dari industrialisasi yang terjadi. Barang-barang rumah tangga yang
dulunya dapat diproduksi sendiri oleh perempuan tersebut untuk mengisi waktu,
dalam perkembangannya akhirnya harus diambil alih oleh pabrik-pabrik industri.
Akibatnya semakin banyak para isteri yang menganggur. Untuk mengisi waktunya
yang luang tersebut akhirnya mereka menuntut untuk dapat bekerja di
perusahaan-perusahaan yang ada, namun tidak sebagai buruh, namun sebagai
pekerja-pekerja elit dengan bayaran tinggi.
Sementara
itu, nasib perempuan kelas bawah terpaksa harus menjadi budak sebagai kuli
(proletar) yang tenaga kerjanya dieksploitasi habis-habisan namun hanya
mendapatkan upah yang rendah. Hak bekerja memang telah mereka dapatkan, tetapi
pekerjaan tersebut ternyata sama sekali tidak berperikemanusiaan, karena dengan
pekerjaan itu mereka justru terkekang dalam satu pekerjaan yang menindas akibat
kebutuhan untuk mendapatkan upah.
Pada
fase ketiga, gerakan perempuan telah berubah menjadi satu gerakan sosialisme.
Paradigma dan cita-cita yang dibangun adalah terciptanya sebuah dunia yang baru
sama sekali, yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat
kebahagiaan, tanpa ada pemerasan antara kelas yang satu terhadap kelas lainnya.
Satu dunia baru, yang disana tidak hanya perempuan yang sama haknya dengan
laki-laki, tetapi juga sebuah kesetaraan dan keseimbangan dalam kehidupan
perempuan sebagai pekerja dan ibu rumah tangga. Dalam fase ini, antara
laki-laki dan perempuan bersatu padu menuju dunia baru yang dicita-citakan
tersebut.
Kesadaran
baru dalam fase ketiga tersebut menjadi catatan sejarah yang hebat di abad
kesembilan belas, karena berhasil membawa perjuangan wanita pada persoalan
kemasyarakatan yang lebih luas, yang tidak hanya memikirkan dan memperjuangkan
kedudukan wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang berbahagia
seluruhnya. Kesadaran ini membuat wanita berjuang tidak sebagai sub, tetapi
sebagai satu bagian daripada satu kelas.
Dalam
satu kongresnya di Gotha 1896, pergerakan sosialis menerima baik resolusi
mengenai nasib wanita seperti yang dijabarkan sebagai berikut:
“Karena pekerjaannya di dalam perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. Tetapi persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-laki, –hanya saja lebih hebat dari dia,– dihisap oleh si kapitalis. Maka oleh karena itu, perjuangan kaum wanita proletar itu bukan satu perjuangan menentang kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, tetapi satu perjuangan bersama-sama kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal. Tujuan yang dekat daripada perjuangan ini ialah menghambat dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan penjelmaannya satu pergaulan hidup sosialistis.”
Pada
tahun 1907 di Stuttgart dan Kopenhagen 1910, Clara Zetkin mendirikan “Kongres
Wanita Internasional”. Utusan-utusan wanita dari Jerman, Inggris, Austria,
Perancis, Belgia, Swiss, Italia, Zwedia, Norwegia, Finlandia, Bohemia,
Estlandia dan Belanda menghadiri Kongres tersebut. Clara Zetkin dan Adelheid
Popp mengucapkan pidatonya yang keras dan teoritis prinsipil yang menjadi
sendinya resolusi dalam menuntut pemilihan terbuka untuk ikut berjuang dalam
setiap partai-partai sosialis. Paska kongres tersebut, ternyata
kampanye-kampanye yang dilakukan partai-partai sosialis meraih kemenangan yang
cukup besar. Tercatat pada tahun 1912 di Reichstag partai sosialis dapat meraih
110 kursi, dimana keberhasilan itu tidak terlepas dari bantuan gerakan
perempuan.
Perjuangan
perempuan tersebut terus terkristalisasi dalam perjuangan partai politik dan
parlementer. Pemenangan hak pilih bagi para perempuan saat itu hanyalah
kemenangan perantara untuk menuju kepada kemenangan yang sebenarnya, yaitu
kemenangan sosialisme dalam satu tatanan konstruksi masyarakat baru dimana kaum
perempuan dan laki-laki hidup setara dan sinergi dalam mencapai tatanah hidup
yang bahagia, adil dan makmur.
Pahlawan
perempuan yang namanya harum sampai saat ini adalah Rosa Luxemburg, seorang
pejuang perempuan yang aktif dalam Partai Sosialis Demokrat Jerman.
Pemikiran-pemikiran Rosa tersebut mampu merubah ideologi sosialisme menjadi
satu ideologi baru yang lebih moderat dan signifikan bagi perjuangan kaum buruh.
Bahkan Rosa tidak segan-segan berbenturan dengan Lenin dan Edward Bernstein,
kawan separtainya dalam komunis internasional. Namun sayang, akibat kegigihan
dan kekerasan perjuangan Rosa tersebut, pada akhirnya ia terpaksa harus menemui
ajalnya bersama kawannya Liebnecht pada tanggal 15 Januari 1919. Rosa dibunuh
oleh musuhnya dalam usianya yang ke 49 tahun. Ia mati sebagai srikandi kaum
wanita yang juga merupakan tokoh pergerakan sosialis.
Sarinah Dalam
Perjuangan Republik Indonesia (Seruan Sukarno terhadap
Perempuan Indonesia)
Bagi
Sukarno, nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri.
Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum
wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan.
Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita
bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder exploitation de lhomme
par lhomme
Sebab
syarat mutlak bagi kemenangan revolusi nasional adalah terwujudnya persatuan
nasional, yang barang tentu juga menyangkut hubungan antara wanita dan
laki-laki Indonesia. Namun Sukarno juga mengingatkan, janganlah dalam revolusi
nasional yang berlangsung, wanita misalnya terlalu menitik beratkan pada
pengemukaan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutan
perjuangan membela kemerdekaan negara dan kemerdekaan bangsa. Sebaliknya,
wanita Indonesia harus melakukan penggabungan tenaga antara perempuan dan
laki-laki yang sehebat-hebatnya dan sebulat-bulatnya. Laki-laki dan perempuan Indonesia
bersama menuju satu tujuan, tiada satu tenaga pun yang boleh tercecer.
Feminis
atau sosialis, jika golongan-golongan itu masih ada dan tetap dipertahankan,
jangan sampai bertentangan antara satu sama lain, sebaliknya golongan-golongan
itu harus terus bahu membahu serapat-rapatnya kesatu arah, kesatu tujuan
revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan negara nasional yang meliputi
seluruh Indonesia dan yang merdeka sepenuh-penuhnya.
Sukarno
sadar, bahwa masalah-masalah yang menyangkut persoalan perempuan harus
secepatnya dipecahkan. Sukarno pun telah berkali-kali bermusyawarah dengan
pemimpin-pemimpin wanita Indonesia yang membahas tentang masalah-masalah
keperempuanan yang belum tuntas di Indonesia. Sukarno juga tidak segan-segan
menerima setiap keluhan-keluhan dari kalangan wanita yang mengeluhkan
bermacam-macam ragam persoalan perempuan. Misalnya bagaimana menyembuhkan
wanita dari penyakit kopleks inferieur yang telah turun temurun bersarang dalam
jiwa wanita Indonesia, soal bagaimana mendinamiskan wanita Indonesia, soal
memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan
gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengefesienkan
rumah tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit saat ini, soal
mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui sebagai hukum
positif di Indonesia, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan
wanita di lua daerah, dan lain-lain.
Soal-soal
di atas sepintas ada yang mirip dengan soal-soal yang pernah terjadi pada fase
pergerakan wanita tingkat pertama, ada mirip fase kedua yang membahas tentang
keseimbangan antara wanita karier yang merangkap sebagai ibu rumah tangga. Ada
juga yang mirip dengan fase ketiga saat ini yang bersangkut paut pada upaya
pensinergian perjuangan antara perempuan dan laki-laki menuju terwujudnya
sosialisme Indonesia.
Memang
masyarakat Indonesia terdiri dari kalangan-kalangan yang obyektif masih hidup
di atas salah satu daripada tiga fase itu. Ada golongan kelas atas, ada
golongan buruh dan tani, dan ada golongan yang terkungkung oleh paham-paham
agama yang masih kolot. Tetapi di dalam musyawarah-musyawarah yang dilakukan,
Sukarno selalu memberi petunjuk garis-garis besarnya saja. Sukarno selalu
mengingatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita itu
sendiri. Sukarno sepaham dengan Vivekananda yang selalu menjawab jika ditanya
oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak
prinsipil) lantas menjawab:
Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku….? Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Hands off! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!
Ya,
Kemudian Sukarno berpendapat: wanita harus bertindak sendiri, wanita harus
berjuang sendiri! Tetapi ini tidak berarti bahwa wanita harus berpisah dengan
laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda yang
hebat dalam revolusi nasional; wanita di dalam revolusi Indonesia harus bersatu
aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus bersatu aksi dengan wanita pula.
Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan. Jangan ada yang memeluk tangan!
Di dalam revolusi nasional, semua gogongan harus didinamisir, dan semua
golongan itu harus diarahkan kesatu tujuan pula, jangan ada dua gogongan, walau
yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah,
maka seja dari tahun 1928 saya mengajurkan kepada kepada wanita Indonesia untuk
memborong ketiga-tiga tingkatan itu di dalam satu gelombang mahasakti, dalam
satu sintesa program perjuangan wanita, yang bersama-sama dengan laki-laki
(tidak anti laki-laki) betul-betul menggegap gempitakan tenaga nasional. Dan
sekarang di dalam revolusi nasional, lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada
wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintesa program yang
demikian itu, dan dengannya menyadarkan, membangkitkan, menggelorakan seluruh
wanita Indonesia dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat dari
revolusi nasional, revolusi nasional totaliter.
Jikalau
umpamanya di Indonesia terdapat bermacam-macam perserikatan wanita, apakah neo
feminiskah, sosialiskah, jadikanlah perserikatan atau partai-partai wanita itu
sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha
besar dibawah panji-panjinya sintesa program itu menggelombang ke arah benteng
penjajahan, yang harus diremukredamkan bersama, dihantam hancur lebur
bersama-sama. Buatlah revolusi Indonesia yang betul-betul revolusi nasional
yang totaliter.
Anjuran
Sukarno di atas bukanlah anjuran kepada wanita Indonesia untuk masuk dan
bergabung dengan partai sosialis. Sukarno hanya mengharapkan agar wanita bisa
bergerak. Apalagi Sukarno bukanlah seorang propaganda partai. Paham sosialis
yang dikemukakan Sukarno adalah suatu pandangan dalam arti yang bersifat umum,
dan sama sekali tidak berhubungan dengan salah satu partai sosialis tertentu.
Cita-cita sosialisme memang bukan monopoli salah satu partai dan juga bukan
milik golongan manapun. Bahkan jauh sebelum revolusi Indonesia meledak,
cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia
yang sadar, sosialisme sudah mewahyui nasionalisme Indonesia menjadi sosio
nasionalisme, dan demokrasi kita menjadi sosio demokrasi.
Jika
banyak kaum pergerakan perempuan tidak menyepakati istilah sosialisme tersebut,
Sukarno menyerahkan kepada semua perempuan untuk mengistilahkannya sendiri,
asalkan maknya tetap sama, yaitu: satu masyarakat yang berkesejahteraan
sosial dan berkeadilan sosial, yang didalmnya tiada eksploitasi manusia oleh
manusia, tiada eksploitasi manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada
kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara karena
memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada
wanita yang senewen karena siksaan penyakit dilematikan antara perempuan
pekerja dan perempuan ibu rumah tangga.
Agust Bebel, pejuang
wanita dalam bukunya Die Frau und der Sozialismusmengatakan:
Juga diatas pundak
wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjuangan ini,
dalam mana diperjuankan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka
sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka
dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, bahwa
merka telah bertetap hati ikut serta dalam perjuangan itu. Pihak laki-laki
berkewajiban membantu mereka utu dalam membuang semua persangkaan yang salah,
dan membantu mereka itu dalam ikut serta mreka dalam perjuangan.
Jangan satu orang pun
menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau
satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada
tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilpun, yang dapat dianggap tiada
berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu
yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilan sungai
kecil, sungai-sungai kecil menjadi sungai besar, sungai besar berhimpun dalam
sungai benua. Tiada satu halangan pun akhirnya cukup kuat untuk menahan
alirannya yang maha hebatitu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup
kebudayaannya kemanusiaan, selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau
kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhri pasti nanti
datang.
Kemenangan itu akan
makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan
perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati,
apakah kita masih akan melihat permualannya periode kebudayaan yang lebih indah
itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permualaannya periode itu,
pertimbangan-pertimbangan semacam itu tidak boleh menghambat kita, dan
sekali-kali tidak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita
injak.
Kita mampu meneruskan
berapa malasnya atau bagaimana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu
satu-persatu, sebagaimana kita pun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin
tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami
kemenangan itu tak perlu kita lepask n di dalam zaman seperti zaman yang kita
alami sekarang. Kita berjuang terus dan berusaha terus dan tak mempedulikan
soal dimana atau kapan batu-batu tandanya zaman bahabia bagi kemanusiaan itu
akan dipasang.
Dan jikalau kita
jatuh dipandang perjuangan ini maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita
itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi
keawjiban kita sebagai manusia, dan dengan keakinan baha tujuan kita pasti
nanti tercapai, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang
tercapainya tujuan itu!”
Demikianlah
kutipan dari Bebel, kemudian Sukarno menambahi pesan Bebel tersebut kepada
perempuan Indonesia: bandingkanlah zaman Bebel itu denga nzaman kita
sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada undang-undang sosialis
pun, masih bernama aman jika dibandingkan denga nzaman kita sekarang ini. Kita
sekarang ini, berada dalam zaman perjuangan yang jauh lebih gegap gempita dari
zamannya Bebel. Kita sekarang ini dalam bahaya, negara kita dalam bahaya,
meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur diangakasa, ribuan rakyat
dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing-puing,
desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa,
segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan
Republik. Sungguh jauh lebih genting dibandingkan dengan keadaan perjuangan
sosialis di Jerman. Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorang pun boleh
ketinggalan, betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, buka saja manusia
yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun
harus kita gugahkan, bangkitkan, mobilisasikan untuk membela negara yang hendak
dihancurkan musuk itu, Di Jerman dulu perjuangan di bawah ancaman undang-undang
sosialis, tetapi disini perjangan membela hidup terhadap serangan kontra
revolusi yang sedang memuntahkan peluru da memuntahkan api sedang mengamuk,
membinasa, membunuh dan membakar! Tidak seorang pun boleh ketinggalan dalam
perjuangan yang semacam itu!
Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.Jangan ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!
0 comments:
Post a Comment