1.
AMERIKA Latin kini menjadi etalase dunia
yang membuktikan bahwa gerakan Kiri belum mati, bahwa Sosialisme dalam berbagai
bentuk baru belum mati, bahkan sedang mengalami kebangkitan. Arus pasang ini
bermula dari hutan belantara Lacandon di Mexico sampai ke hutan beton Santiago,
ibukota Chile, di mana 15 Januari ini diperkirakan akan terpilih presiden
Sosialis perempuan pertama di Amerika Latin. Sementara itu, sejumlah pemimpin
gerakan Kiri di Uruguay, Argentina, Brazil, Venezuela, dan Bolivia telah
merebut kursi kepresidenan lewat jalan parlementer, yang disambut dengan penuh
sukacita oleh laki-laki tua dari Sierra Madre, Fidel Castro (Jawa Pos, 1 Jan.
2005).
2.
Mula-mula, dunia menyaksikan munculnya
gerakan Zapatista di pojok barat daya Mexico. Tepat pada tanggal 1 Januari 1994,
ketika negara itu resmi bergabung dengan AS dan Kanada dalam Kesepakatan
Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Association, NAFTA),
sejumlah petani suku Maya di negara bagian Chiapas melakukan pemberontakan
bersenjata melalui gerakan Zapatista, yang dapat menguasai sejumlah kota di
Chiapas selama berbulan-bulan, sebelum dipukul mundur oleh tentara Mexico ke
hutan belantara Lacandon. Gerakan itu meminjam nama gerakan kemerdekaan Mexico
dari Spanyol seabad sebelumnya, yang dipimpin oleh Emiliano Zapata. Sampai
sekarang, gerakan itu serta komunike-komunike pemimpinnya, Sub-commandante
Marcos, tetap punya gaung secara internasional. Seperti juga gerakan-gerakan
perlawanan bersenjata yang lain, Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN),
atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista punya ornop-ornop afiliasinya yang
diakui oleh pemerintah (Gilbert dan Otero 2005; Fauzie 2005: 50-1).
3.
Setelah gaung Zapatista agak mereda,
Brazil mengejutkan dunia – khususnya maskapai-maskapai mancanegara yang sudah
lebih dari separuh abad menguasai ekonomi negara-negara Amerika Latin – dengan
terpilihnya calon dari Partai Buruh (Partido Trabalhadores ) sebagai Presiden.
Brazil, kini dipimpin oleh Luiz Inacio da Silva alias “Lula” (= Gurita),
pemimpin Partai Buruh Brazil, yang menggunakan gerakan buruh tani, buruh
industri di kota, cendekiawan dan rohaniwan sebagai kendaraan politiknya. Dia
sendiri seorang buruh industri besi, dan sempat menjadi ketua serikat buruhnya.
4.
Gerakan buruh tani pendukung Partido
Trabalhadores dirintis oleh gerakan buruh penyadap karet di kawasan Amazon,
yang kemudian berevolusi menjadi Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra
atau MST (Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah), organisasi kiri yang paling
keras memperjuangkan reformasi agraria di Brazil (Rotella 1997; Wolford 2005).
Gerakan ini menjadi tulang punggung Partido Trabalhadores yang mengorbitkan
Lula ke kursi kepresidenan Brazil. Kemenangan Lula sedikit banyak mengobati
kesedihan akibat kematian Chico Mendes, pemimpin gerakan buruh penyadap karet
yang dibunuh tentara bayaran para rancheros, pemilik peternakan besar di
kawasan Amazon. Namun Lula kini dikecam oleh MST karena kurang serius
memperjuangkan reformasi agraria dan mulai berkompromi dengan para investor asing
(lihat Landim 1993: 225; Fauzi 2005: 35).
5.
Kemenangan Lula di Brazil dibarengi
naiknya Hugo Chavez, mantan anggota pasukan tentara payung Venezuela ke tampuk
kekuasaan di Caracas. Ia mula-mula merebut kursi kepresidenan lewat kudeta di
tahun 1998, namun kemudian terpilih secara demokratis lewat pemilu di tahun itu
juga saking besarnya dukungan dari kaum miskin kota di ranchitos,
kampung-kampung miskin di kota Caracas. Begitu berhasil mengkonsolidasikan
kekuasaannya, Chavez memperkuat posisi tawar PDVSA menghadapi maskapai-maskapai
migas asing, khususnya dari AS, yang beroperasi di Venezuela, setelah
menempatkan orang kepercayaannya, Rafael Ramirez (42), menjadi Menteri Enerji
merangkap Presiden Direktur PDVSA. Royalty untuk setiap barel minyak yang diekspor
dari Venezuela dinaikkan dari 1% menjadi hampir 17%, pajak atas laba yang
sebelumnya hanya 34% dinaikkan menjadi 50%, dan juga mengajukan tagihan pajak
yang belum dibayar (back-tax claims ) kepada maskapai-maskapai migas asing
raksasa. Shell, misalnya, disodori tagihan pajak yang belum dibayar sebesar 132
juta dollar AS. Dengan keuntungan yang berlipat ganda dari sektor migas itu,
Cavez mengalokasikan empat milyar dollar AS untuk program-program kesejahteraan
sosial bagi kaum miskin yang meliputi 80% penduduk Venezuela, serta untuk
pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan rel kereta api (Schwartz
2005).
6.
Karuan saja pemerintah AS, yang di bawah
Bush Jr dan Dick Cheney diketahui sangat dekat dengan maskapai-maskapai migas
AS, kebakaran jenggot. Wakil-wakil Partai Republik dalam Kongres AS mengecam
Chavez habis-habisan, sampai ada yang mencapnya sebagai “Mussolini Venezuela”.
Seorang pendeta beraliran ultra-konservatif, Pat Robertson malah mendorong
pasukan khusus AS untuk menculik Chavez dari negerinya, seperti yang telah
dijalankan oleh AS terhadap Presiden Panama, Manuel Noriega. Namun secara
realistis, apalagi setelah taufan Katrina menghancurkan sejumlah kilang migas
AS, ketergantungan AS pada minyak bumi Venezuela semakin besar. Dengan memasok
lebih dari 1,6 juta barel minyak per hari ke AS, Venezuela telah menjadi
pemasok minyak terbesar bagi AS, mengalahkan Kanada dan Arab Saudi. Makanya
maskapai-maskapai AS dengan patuh mengikuti tuntutan setoran bagian keuntungan
yang lebih besar kepada pemerintah Venezuela, melalui PDVSA (Schwartz 2005).
7.
Minyak bumi merupakan senjata ekonomi dan
politik Venezuela yang paling ampuh dalam menghadapi AS, sebab PDVSA berjaya di
dua front: Dalam front ekspor, PDVSA memasok lebih dari 1,6 juta barel minyak
mentah ke AS setiap hari. Sedangkan di front domestik AS, perusahaan retail
milik PDVSA bernama Citgo, memasok BBM melalui 14 ribu SPBU yang tersebar di
seluruh daratan AS. Citgo juga memiliki delapan kilang di daratan AS yang
menyuling minyak bumi dari PDVSA menjadi BBM. Keberadaan dan operasi bisnis
Citgo itu kini sedang menjadi sorotan Caracas. Menurut Chavez, Citgo telah
menjual minyak mentah ke AS dengan harga yang kelewat murah, yakni hanya 2
dollar AS per barel, berdasarkan kontrak sejak sebelum Hugo Chavez merebut
kursi kepresidenan Venezuela. Berarti, PDVSA telah mengsubsidi anggaran belanja
AS. Lalu, berdasarkan laporan keuangan Citgo bulan Desember 2004, dividen yang
dibayar perusahaan itu kepada pemerintah Venezuela, yakni 400 juta dollar AS, hampir
sama dengan jumlah pajak yang dibayar Citgo kepada pemerintah AS. Itu sebabnya,
Menteri Energi Venezuela merangkap Presdir PDVSA, Rafael Ramirez, bermaksud
membekukan rencana pengembangan Citgo (Schwartz 2005: 56; Intelijen, 9-22 Sept.
2005: 21).
8.
Ketegangan antara Venezuela dan AS punya
dampak regional, bahkan internasional. Kalau sikap bermusuhan Washington
terhadap Caracas terus dilanjutkan, harga minyak dunia diperkirakan bisa
menembus level 100 dollar AS per barel. Hal itu karena Chavez menentang keras
pendudukan Irak oleh AS, dan juga secara terbuka mendukung Fidel Castro, musuh
bebuyutan AS. Chavez menopang ekonomi Kuba dengan memasok 100 ribu barel minyak
ke Kuba setiap hari, dengan berbagai keringanan. Sebagai imbalannya, Kuba telah
menempatkan 17 ribu orang dokter dan dokter giginya di Venezuela. Sebelumnya,
Kuba telah menopang program pendidikan di Venezuela, dengan mengirimkan
sejumlah penasehat pendidikan dengan membawa maeri baca tulis untuk ditularkan
kepada pengajar lokal. Paket pencerdasan Kuba sendiri dirilis pertama-tama
setelah revolusi 1959, dengan mengirimkan guru-guru muda ke pelosok negeri.
Dengan Iran, yang dituduh oleh Washington DC mendukung gerilyawan anti-AS di
Irak, Venezuela juga telah membuka kerjasama. Pelatihan karyawan PDVSA telah
dibuka di Iran, yang sudah berpengalaman puluhan tahun di bidang permigasan
(Schwartz 2005; Jawa Pos, 1 Jan. 2005).
9.
Kerjasama dengan Kuba punya dampak negatif
ke dalam negeri. Perlakuan khusus buat Kuba itu menimbulkan protes mogok dari
karyawan PDVSA di bulan Desember 2002 sampai awal 2003. Reaksi terhadap para
penentangnya itu, los escualidos, istilahnya di sana, sangat keras. Lebih dari
18 ribu orang pekerja perusahaan migas itu dipecat, yang melumpuhkan perusahaan
itu untuk sementara. Kemudian, untuk mengontrol para pekerja secara lebih
ketat, Chavez menempatkan Ali Rodriquez, seorang mantan gerilyawan Venezuela
yang pro-Kuba, di PDVSA. Sebagai ‘penghargaan’ atas tindakan keras Chavez
terhadap para penentangnya itu, Kuba kontan mencicil hutangnya senilai 87,2
juta dollar AS, dari total hutangnya kepada Venezuela sebesar 752 juta dollar
AS (Intelijen, 9-22 Sept. 2005: 21; Schwartz 2005: 57).
10. Walaupun
menimbulkan polarisasi di dalam negeri, sepak terjang Hugo Chavez menimbulkan
efek domino di kawasan Amerika Latin. Paling tidak, berdampak ke Bolivia,
negeri di Pegunungan Andes yang diapit oleh Brazil, Chile, dan Argentina. Di
negara yang penduduknya 70% pribumi yang terbagi dalam 36 suku – yang terbesar,
Quechua dan Aymara --, tanggal 22 Januari mendatang akan dilantik seorang
Presiden pribumi, setelah pribumi negeri itu ditaklukkan dan diperintah selama
180 tahun oleh minoritas kulit putih dari Spanyol. Evo Morales, atau lengkapnya
Juan Evo Morales Aima, memperoleh lebih dari separuh suara dalam pemilu hari
Minggu, 18 Desember lalu, dengan menggunakan Movimiento al Socialismo (MAS),
Gerakan Menuju Sosialisme sebagai kendaraan politiknya. Gerakan ini merupakan
aliansi yang lebar antara serikat-serikat buruh kiri, serikat petani koka (cocaleros)
yang merupakan basis politik awal Evo Morales, dan gerakan-gerakan sosial lain,
temasuk gerakan masyarakat pribumi. Platform politik MAS cukup luas:
penghapusan sistim ekonomi neo-liberal; partisipasi bangsa-bangsa pribumi yang
lebih besar dalam sistem politik nasional; nasionalisasi industri; legalisasi
daun koka; pembagian lebih adil sumber daya nasional (Langman 2005: 46;
Economist, 17 Des. 2005: 35-7; Kompas, 22 Des. 2005 & 4 Jan. 2006; Seputar
Indonesia, 21 Des. 2005).
0 comments:
Post a Comment