INGATKAH Anda dengan sepatah kutipan yang membuat
menjadi kiri terasa lebih intelektual, lebih visioner, lebih maju seabad
dibanding orang-orang di semua penjuru lain jalan? Bunyinya: “Lebih mudah
membayangkan dunia berakhir ketimbang membayangkan akhir dari dunia?”
Saya punya ingatan yang cukup baik tentangnya.
Pencetusnya, mungkin Anda masih ingat, ialah Frederic
Jameson. Pemungutnya yang membuatnya terkenal, Slavoj Zizek. Dan saya masih
ingat, dalam seminar-seminar, ia lebih menggaet perhatian ketimbang kudapan
gratis di luar ruangan. Kawan kiri, kawan kiri agak ke tengah, maupun kawan
kiri di pelosok terujung menyampaikannya lagi dan lagi. Kawan yang terobsesi menjiplak
Zizek mengulang-ulangnya dilengkapi gaya tangan memetik mangga si filsuf.
Saya pun masih ingat, ungkapan ini tak hanya puitis
melainkan juga kuda troya yang efektif untuk gagasan Zizek. Hollywood tak
henti-henti memproduksi film yang menarasikan bagaimana dunia akan berakhir.
Skenario tersebut radikal, tentu saja. Pertanyaan kuncinya, mengapa kita tak
bisa membayangkan perubahan yang tak memerlukan kepunahan massal—akhir dari
kapitalisme? Benarkah, artinya, kapitalisme bukan saja sebuah tatanan ekonomi
melainkan juga penandas batas terujung dari kenyataan kita?
Bertahun-tahun kemudian, saya merasa agak janggal
dengan kutipan tersebut. Kini, kita tengah dekat-dekatnya dengan katastrofi
massal berskala global ketimbang sebelum-sebelumnya. Otoritas keilmuan mungkin
sudah berbusa-busa menegaskan, perubahan iklim telah berada di ruang tunggu
sejarah. Namun, saya membaca proyeksi-proyeksi masa depan lembaga serta media
prestisius dan saya cukup yakin, kita tak punya kemampuan membayangkan dunia
sebagaimana yang kita kenal berakhir. Apa yang ada di laporan-laporan tersebut
adalah kembang-kembang, gula-gula, atau konflik-konflik yang tidak terdengar
buruk-buruk amat. Bunyinya kita sudah sama-sama hafal:
“Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor wahid
menyalip Jerman. Ia berada hanya di belakang Cina, India, dan Amerika Serikat.”
“Bonus demografi akan menjadi mesin pertumbuhan masa
mendatang.”
“Dunia akan kembali terbagi menjadi blok-blok
politik.”
Dalam isi kepala pejabat yang di tangannya tergenggam
kemudi ke mana negara akan melaju? Sama saja. Tak lupa, di belakang
estimasi-estimasi paling indahnya diimbuhkan pula, “berkat Jokowi dan
pembangunan infrastrukturnya” (atau di semesta alternatif, “berkat Prabowo dan
revolusi permanennya terhadap ‘rezim curang’”). Dan pertanyaan mudahnya, di
mana variabel bernama perubahan iklim yang seharusnya menggerogoti angka-angka
pertumbuhan ekonomi yang gilang-gemilang?
Bila banjir menghancurkan sawah-sawah, bila kekeringan
mengancam 4, 8-5, 7 miliar manusia, bila kenaikan permukaan air laut
melumpuhkan untuk seterusnya semua aktivitas di kota dan permukiman sisi laut
(Jakarta, saya perlu mengingatkan, ada di sisi laut), saya cukup yakin, kita
akan punya kesibukan lain ketimbang berbisnis seperti biasa. Bencana-bencana
barusan tak terhitung kecuali dalam koar-koar terabaikan mereka yang dituduh
mengancam kedaulatan ekonomi negara oleh mereka yang mencari nafkah dengan
mengelabui konstituen dan, tak jarang, dari uang haram jadah.
Saya mengamini apa yang disuarakan oleh gerakan Extinction Rebellion. Institusi politik
saat ini tak mampu memikirkan pencapaian lebih dari pertumbuhan ekonomi. Para
politisi memamah dari klaim pertumbuhan, klaim tidak menganggurnya orang-orang
berkat pekerjaan yang sama sekali tidak berkualitas. Sebagian lainnya dari
klaim membela ego rapuh mayoritas dari ancaman-ancaman khayali.
Dan saya sudah bisa membayangkan tabiat politisi yang
peduli sekalipun kala terpapar laporan-laporan ancaman kepunahan global.
Reaksinya, saya membayangkan, tak beda dengan seseorang yang menonton “On The
Spot” dan cuplikan-cuplikan video YouTube-nya yang bombastis. “Astagfirullah,
menyeramkan, ya,” komentar politisi bersangkutan. Lantas, ia melanjutkan hidup
seperti biasa.
Atau, kemungkinan respons lainnya?
“Iya, ya. Besok bisa jadi kiamat,” ujar sang politisi.
“Tapi, lusa saya ada janji main golf.”
Namun, berada di antara orang-orang yang tengah
tercekik cicilan motor tempel dan perahu, yang nyaris tak mendapatkan ikan
sepanjang beberapa bulan, saya pun paham perkaranya lebih rumit ketimbang cuma
minimnya itikad politik. Kita tidak kuat membayangkan kehidupan yang wajar kita
jalani sekonyong-konyong direnggut dari kita. Acap, tanpa disadari, kita
memperlakukannya seakan ia satu-satunya yang kita punya. Kita tak dapat
melepaskannya—bahkan sekadar dalam penerawangan skenario terburuk sekalipun.
Dalam empat bulan terakhir, Kampung Parigi ksulitan
menangkap ikan sirip kuning yang selama ini menggerakkan ekonomi pendudku
setempat. Setiap tahunnya, ada bulan-bulan tertentu kala mereka kesulitan
menangkap tuna. Namun, sejauh ingatan mereka, musim paceklik kali ini lebih
lama ketimbang di tahun-tahun sebelumnya. Orang-orang duduk-duduk di rumah
sambil bermain gawai hingga baterainya habis. Mereka menunggu listrik menyala
menjelang magrib agar bisa menonton televisi dan acap mengeluh, mereka tak bisa
melakukan apa-apa.
Suatu siang, saya tengah mengetik dan di dekat saya
mama angkat saya tengah melipat-lipat pakaian yang baru kering.
“Mas,” sapanya, “jadi kalau sudah diterima kuliah itu
masih ada uang masuknya ya?”
“Betul. Biasanya begitu.”
Ia nampak terpukul mendengar saya. Anak ketiganya baru
saja lulus ujian masuk sebuah perguruan tinggi kebidanan di Pakarena, Kairatu,
Seram Bagian Barat. Lantaran anaknya diundang secara khusus untuk mengikuti
ujian masuk, Mama Angkat sempat berpikir, kampus tidak akan mengenakan uang
masuk bila ia lulus. Tiba-tiba saja, anaknya menelepon dan meminta uang kuliah
sebesar Rp5.000.000.
“Mau bagaimana katong bayar uang masuk?
Ikan tara ada yang masuk ini,” keluhnya kepada saya.
Jumlah uang yang diminta biasanya tidak terlalu besar
bagi keluarga mama angkat saya. Kini, jumlah tersebut menjadi angka yang jauh
dan besar.
Namun, apa yang paling mengenyuhkan saya adalah ketika
bapak angkat saya, di tengah-tengah paceklik ini, memutuskan membuat perangkap
ikan baru bersama para nelayan. Pembuatan perangkap ikan membutuhkan uang dan
kerja yang tak sedikit. Banyak dari antara teman-teman dekat bapak angkat saya
bahkan tidak bisa urun dana karena mereka tak menangkap apa pun dalam beberapa
waktu terakhir.
Sewaktu bapak angkat saya berangkat mencari bambu
untuk perangkap ikan, mama angkat, yang melihatnya pergi, berujar kepada saya
yang berdiri di sebelahnya.
“Semoga sehabis rompong baru ini jadi, ikan datang
makan lagi.”
apak dan mama angkat, nelayan-nelayan di kampung dan
keluarganya nampaknya berpikir, semua akan kembali seperti sediakala. Kehidupan
akan baik-baik saja. Mereka hanya perlu berusaha atau bersabar sedikit lagi.
Sementara saya punya pikiran lain yang menakutkan.
Bagaimana kalau kelangkaan tuna ini untuk seterusnya? Dampak dari perubahan
iklim adalah suhu bagian atas laut yang berubah. Komposisi
plankton akan terdampak dan, dengan sendirinya, peredaran ikan. Saya
tak punya perkakas keilmuan untuk lebih jauh memastikan sejauh apa fenomena ini
terjadi di Laut Parigi. Namun, secara teoretis saya tahu perubahan sedang atau
akan terjadi.
Saya tak ingin itu terjadi—setidaknya tidak dalam
skala yang akan merampas kehidupan yang sudah dimiliki orang-orang Parigi.
Bukan hanya orang-orang Parigi yang punya pikiran
bahwa kehidupan pada akhirnya akan kembali ke jalurnya dengan sendirinya. Bahwa
ketika kita terbangun esok hari, kita mendapati orang-orang terdekat sedang
melakoni apa yang biasa mereka lakukan. Bahwa kita akan berangkat untuk mencari
nafkah lagi, merawat dan bermain dengan anak lagi, makan dan menonton televisi
bersama semuanya lagi. Dan tatanan ekonomi-politik mendulang legitimasi untuk
tidak melakukan apa-apa di tengah kegentingan ekologis dari kekuatan mistis
keseharian ini menyekap kita.
Mungkin dari semua hal di atas pernyataan cerdas yang
bisa dicetuskan adalah kita pun tak sanggup memikirkan akhir dari dunia
ini—dunia di mana kapitalisme dan keseharian yang bermakna, kebebalan politik,
dan keinginan untuk hari esok yang baik-baik saja sudah mengayun dalam satu
langkah kaki yang sama. Tetapi, saya lebih ingin mengakhiri tulisan ini dengan
pertanyaan ketimbang pernyataan cerdas.
Dapatkah kepedulian kita tak mengorbankan kemampuan
untuk menerawang kerawanan-kerawanan yang sudah menanti di keesokan hari?
Dapatkah ia justru menjadi kekuatan untuk melindungi apa yang ingin kita
lindungi?
Semoga dapat.
***
0 comments:
Post a Comment