INSAN-INSAN yang belum menikah—saya, ehem, salah
satunya—ialah subjek rutin risakan publik. Dan saya sudah bisa membayangkan
bentuk risakan baru yang muncul selepas disahkannya KUHP baru yang moralis,
brutal, dan disusun dengan penuh kemalasan itu.
“Bung,” sambar netizen Bambang, “Bung ini kalau
tidak menikah tidak bisa menikmati hubungan intim lho! Nanti dipenjara
kalau sembarangan berhubungan intim!”
Netizen Bambang, tentu saja, fiktif. Namun, seandainya
benar-benar ada yang merisak saya demikian, saya sudah tahu apa respons saya.
Saya akan kontan ngegas. “Siapa yang butuh hubungan intim? Negara sudah
mengancuk saya habis-habisan!”
Alasan saya yang baik hati dan penyabar ini ngegas? Para
politisi oportunis sudah meremukkan hubungan-hubungan paling berarti dalam
hidup saya. Kini, mereka mau mengkriminalisasinya.
***
Saya mengasihinya dengan mendalam. Itu juga
perasaannya kepada saya.
Hari-hari itu, saya masih pemuda berapi-api
lengkap dengan mimpi muluk-muluknya. Dia? Dia sosok yang selalu hadir dalam
perjuangan naif saya menjangkau mimpi. Kami mengerjakan penerbitan dari modal
dengkul bersama. Kami menjadi tandem tak tertandingi dalam menggelar
ajang-ajang kesenian yang, kala itu, komunitas kami yakin buta, pengaruhnya
menandingi Salihara. Waktu dan kualitas diri terbaiknya selalu sudi
diberikannya untuk saya.
Satu hal: kami bukan suami-istri. Kami bahkan tak
pernah tahu apakah kami akan pernah menjadi pasangan hidup atau tidak. Saya tak
terlahir sebagai penganut agama mayoritas. Dan kendati saya bukan orang yang
taat, identitas religius ini terpancang bagaikan papan pengumuman di dahi saya.
Di hadapan keluarganya, saya adalah noda. Dia disidang berulang kali karena
hubungannya dengan saya.
Acap ketika saya melihatnya, saya merasa melihat
seseorang yang kelak pasti meninggalkan saya, betapapun kami tak bisa
melepaskan satu sama lain. Dan ketika pertanyaan kapan kami akan menikah datang
dari orang-orang yang tak tahu apa-apa, dia akan menimpalinya dengan tawa dan
senda gurau.
Tawa dan senda gurau yang, saya tahu, membendung
getir yang bergulung-gulung di baliknya. Hubungan kami berjalan selama lima
tahun. Saya berkecamuk amarah kala yang tak terhindarkan akhirnya terjadi.
Hubungan ini sederhana dan tidak menyakiti siapa-siapa. Dia bahagia. Saya
bahagia. Seharusnya itu cukup belaka.
Namun, ada imajinasi liar bahwa saya adalah aib
keluarga dan dia berkembang menjadi api yang melalap semuanya. Saya, sang
liyan, harus dibersihkan. Kekasih saya terus-menerus dikecam dan ditakut-takuti
tidak akan memiliki imam dalam keluarganya kelak bila hubungan kami terus
berlanjut.
Saya baru sadar amarah itu masih tersisa hari ini.
Untuknya, pernikahannya, maupun keluarga besarnya, saya hanya berharap
kebahagiaan yang panjang dan tak lekang. Kemarahan saya adalah untuk naskah
RKUHP terbaru dan untuk mereka, para politisi oportunis, yang ingin mencetak
sejarah dengan pengesahannya. Seorang sahabat baik, yang tahu dengan saksama
riwayat hubungan saya, menasihati saya suatu hari.
“Kalau tak diperkenankan menikah, buat apa percaya
pernikahan?” ujarnya. “Tinggal bersama saja.”
Sahabat saya itu percaya, hubungan dua pribadi
tidak seharusnya ditentukan oleh pengakuan administratif negara. Hubungan
terletak di antara kedua insan yang menjalaninya. Di tengah-tengah kekonyolan
politis dan birokratis yang ada, dia percaya, tinggal bersama menjadi sebuah
protes yang masuk akal. Sebelum diingatkan olehnya, saya sendiri punya pikiran
serupa.
Tapi, saya tak ingin meromantisirnya sebagai
perlawanan—saya khawatir tak berlaku adil kepada perjuangan yang pertaruhannya
lebih kolosal. Akan tetapi, secara umum kawan saya itu benar. Mereka yang
melarang dua orang yang berbeda agama diikat pernikahan kini ingin memidanakan
siapapun yang menjalin hubungan di luar institusi ini. Pasal 419 RKUHP kita
yang bedebah itu berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai
suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.”
Saya ingin melontarkan semua kata kasar di dunia
ini kepada bapak-bapak dan ibu-ibu kita di DPR.
***
Anda bisa mempunyai dua syak wasangka. Pertama,
bapak-bapak dan ibu-ibu kita di DPR sama sekali awam dengan prioritas dalam
kehidupan bersama. Ada seribu ancaman nyata dalam kehidupan bersama. Mereka
memilih segelintir yang tidak nyata dan, bahkan lebih tepatnya, tak usah diusik
negara—kampanye kontrasepsi, hubungan di luar pernikahan, kritik politik.
Kedua, mereka adalah orang-orang yang justru paham
betul dengan apa yang mereka lakukan. Mereka sudah mempelajari cara-cara paling
efektif dalam mengeruk dukungan populer. Dan mereka tahu, alih-alih isu-isu
genting yang rumit, ‘penyimpangan-penyimpangan’ superfisial adalah hal yang
lebih mudah dibesar-besarkan. Nama-nama seperti Tengku Zulkarnain, Haikal
Hassan Baras adalah bukti bahwa kebodohan spektakuler bisa dipakai sebagai
strategi mengepulkan massa spektakuler selama dikampanyekan untuk menjaga
kemurnian agama.
Kedua kemungkinan ini bisa jadi berbarengan benar.
Yang saya tahu pasti, hidup saya diancuk oleh
kebebalan cum manuver politik ini. Hidup jutaan warga lain, saya
yakin, juga diancuk olehnya. Dan sayangnya sedikit sekali yang menyalahkan
kebijakan-kebijakan populis totaliter yang menyodok terlalu dalam ke ranah
kehidupan pribadi semacam. Setiap kali ada seseorang yang baru dalam kehidupan
saya, saya selalu dikatai, saya mencari penyakit. Mengapa saya tak mencari atau
menerima saja seseorang yang identitas religiusnya, setidaknya di atas kertas,
sama dengan saya?
Sederhana. Saya tak bisa melakukannya. Saya tak
pernah percaya perbedaan isian pada kolom agama menentukan siapa yang
seharusnya saya tempatkan sebagai kamrad atau keparat, sahabat atau penjahat,
dan tentu saja, cinta atau mereka yang sekadar lewat. Dan ada seorang insan di
hadapan saya. Dia datang kepada saya dengan keyakinan saya adalah yang terbaik
untuk kehidupannya kendati tahu identitas saya berbeda. Dia datang, memberikan
apa yang terbaik dari dirinya kepada saya, dan menyadarkan saya. Dia juga yang
saya butuhkan dalam kehidupan saya.
Saya akan merasa sangat berengsek bila di
tengah-tengah itu saya kehilangan semua perasaan saya untuknya semata karena
mengetahui dia berbeda.
Akhirnya, saya berada pada tahapan di mana saya
enggan memikirkan pernikahan. Layaknya spiritualis yang dinyinyiri Slavoj
Zizek, idola kalian yang galak dan murung itu, berkali-kali saya berpikir
kebahagiaan adalah apa yang kami rasakan saat ini, bukan apa yang kami bidik
3-5 tahun lagi, bukan apa yang akan dihelat mahal dengan upacara, prasmanan,
serta mendatangkan ratusan tamu. Pernikahan hanyalah satu cara untuk
mengeratkan ikatan dan bukan satu-satunya.
Delusional? Setidaknya, saya tahu ke mana amarah
saya mesti terarah.
***
Saya mengasihinya. Dia juga mengasihi saya. Dia
datang ke kehidupan saya mengetahui konsekuensi hubungan kami dan tetap terjun
ke dalamnya.
Suatu hari, dia bilang kepada saya, dia pernah
membantu pengajuan gugatan terhadap UU Perkawinan 1974 yang sampai hari ini
menjadi pijakan legal bahwa pernikahan hanya diperkenankan di antara dua insan
seagama. Gugatannya tak dapat diterima karena tidak memiliki kedudukan hukum.
Alasannya: penggugat tidak dirugikan secara aktual oleh UU bersangkutan. Namun,
kini dia punya kedudukan legal tersebut, ujarnya sambil menyadari ironi
keadaannya. Dia mengajak saya menguji UU bersangkutan selepas saya
menyelesaikan studi.
“Tapi mesti siap jadi public enemy,” dia
mengingatkan.
Saya hanya punya satu jawaban. Saya siap. Saya
akhirnya diberikan kesempatan melawan legislasi-legislasi mencekik hasil
perkawinan kekonyolan birokratis dan konservatisme yang dimanjakan politisi
ini. Dan bersama saya, seseorang yang juga mau melawannya. Ada yang bilang,
saya kurang beruntung karena tak mendapatkan pasangan yang bisa langsung saya nikahi.
Namun yang terjadi, saya tahu, ialah sebaliknya. Saya beruntung. Saya
mengiyakan kekasih saya. Saya membatin, “kami bisa melakukannya.”
Dengan harapan itu, kami berdua melangkah.
Menapakkan kaki kami bersama-sama ke masa depan yang tak menentu.
***
0 comments:
Post a Comment