“Lebih
mudah membayangkan kejatuhan negara daripada kehancuran kapitalisme”, demikian
isi salah satu komentar Zizek dalam wawancara yang dipandu Anja Steinbauer[1]. Alih-alih menjadi akar pelbagai krisis, kapitalisme
malah ditematisasi sang filsuf sebagai fenomena ontologis dan solusi bagi
seluruh tatanan masyarakat. Beberapa dekade sebelum Zizek mengemukakan
tesisnya, seorang penganut konservatif liberal asal Amerika Serikat, Francis
Fukuyama, melalui bukunya, The End of History and The Last Man pernah memaklumkan
bahwa kapitalisme adalah the only game at the town pasca kekalahan komunisme
yang ditandai oleh kejatuhan Uni Soviet dan keruntuhan tembok Berlin.[2]
Ungkapan
retoris yang dikemukakan Zizek dan tesis Fukuyama di atas sekilas lalu
tampaknya kontrafaktual, tentatif dan bahkan beraroma totaliter. Akan tetapi,
pendapat keduanya sangat mungkin benar kalau dijajaki secara empiris. Sejauh
ini kapitalisme yang membawa ilham neoliberal dengan maskot ekonomi pasar
bebasnya telah menjadi pemain dominan yang berhasil mengepakkan sayapnya secara
masif, menembus batas teritori dan melampaui sekat-sekat primordial. Beberapa
item di antaranya adalah supremasi mekanisme pasar, privatisasi perusahaan
negara, limitasi wewenang pemerintah dalam perlindungan hak-hak individu,
penerapan kompetisi secara ketat dalam pelbagai dimensi sosial dan ekonomi
kehidupan manusia, serta liberalisasi pelbagai aturan dan kebijakan
administratif pemerintah.[3]
Untuk
mengerti beberapa atribut ini, kita tak perlu bersusah payah membayangkan
bagaimana hantu bernama kapitalisme itu bergentayangan. Hari ini kita akan
dengan mudah menemukan bahwa sebagian besar bidang hidup manusia telah, sedang
dan kemungkinan akan selalu diasuh dalam logika kapitalisme. Di banyak tempat,
semakin banyak orang harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya.
Fakta lainnya menunjukan eskalasi angka kemiskinan dan membengkaknya jurang
antara kelompok kaya dan miskin. Angka indeks Gini Ratio kita sekarang ini
umpamanya berada pada posisi 0,393 dan jauh lebih besar dibanding indeks Gini
Ratio pada akhir masa orde baru yang sebesar 0, 35.[4]
Di
tengah multitude krisis yang menimpa manusia, salah satu penampakan riil
kapitalisme predatoris yang diidentifikasi menjadi biang pelbagai persoalan
tersebut adalah oligarki. Oligarki sederhananya adalah sebuah jaringan
predatoris yang berusaha mempertahankan dan meningkatkan kekayaannya. Untuk
mencapai tujuannya, para oligark ini dapat menyusup ke dalam lingkaran
kekuasaan, membajak politik, menentukan arah pembangunan dan memastikan bahwa
dirinya akan menjadi semakin kaya.
Bangsa
dan negara Indonesia, sebuah entitas politik yang memakai demokrasi sebagai
filosofi politiknya pun ikut terpapar permainan dan muslihat arsitek neoliberal
ini. Secara empiris, hal ini terkonfirmasi lewat temuan dan survei yang
dilakukan Winters, Hadiz, Robison dan Heryanto. Mereka menyimpulkan bahwa
oligarki sedang membajak lajur demokratisasi di Indonesia. Alih-alih
beragendakan misi pemberdayaan demos, demokratisasi malah merawat misi penyalahgunaan
kekuasaan oleh kalangan oligarki ini.[5]
Dalam
tulisan ini, penulis berupaya membaca fenomena oligarki di Indonesia dalam
kerangka analisis subyek Zizekian. Menurut penulis, diseminasi kajian oligarki
dalam kacamata Zizekian bisa menjadi sebuah usaha intelektual alternatif yang
memadai untuk menunjukkan bahwa fenomena oligarki dapat ditelisik secara
filosofis-epistemik. Analisis ini kemudian berguna dalam diskursus seputar
langkah-langkah solutif dalam mendelegitimasi dominasi oligarki.
Dalam
kacamata formasi subyek Zizekian, dalam diri setiap subyek berlangsung
reproduksi dan identifikasi simbolik oleh sebuah jaringan sumber daya yang
dikenal sebagai the big other. Dalam artian, subyek (mencakup ekspektasi,
orientasi politik, cita-cita, keinginan) selalu dipengaruhi oleh determinasi
simbolik the big other ini. Akan tetapi, identifikasi simbolik oleh the big
other tidak bersifat permanen. Subyek menurut Zizek selalu mengalami kekurangan
(lack) dalam dirinya. Aspek kekurangan ini memungkinkan subyek untuk
meruntuhkan identifikasi simbolik the big other dan merumuskan sebuah tatanan
yang baru. Sehingga, subyek dapat mengalami emansipasi.
Oligarki
sebenarnya telah memainkan peran sebagai the big other. Dalam artian, oligarki
menjadi sumber daya dari desain politik, ekonomi, pemikiran, ekspektasi,
cita-cita, arah pembangunan, pergerakan, identitas dan pelbagai konflik
kepentingan dalam masyarakat sebagai subyek. Kendatipun demikian, oligarki
bukan merupakan fenomena ontologis atau tatanan simbolik yang mustahil
dihancurkan. Sebaliknya, kemungkinan untuk menghancurkan oligarki merupakan
optimisme yang positif karena subyek-masyarakat Indonesia, selalu dilanda
kekurangan dan berupaya untuk kembali memenuhi the lack. Kekurangan ini dapat
mengambil rupa dalam bentuk rasa tak puas atas kinerja pemerintah, matinya
loyalitas atas para pemangku kekuasaan dan krisis kepercayaan atas meningkatnya
resiko dalam negeri dalam wujud korupsi, klientelisme dalam birokrasi, dsb.
Kekurangan ini kemudian menjadi pra-kondisi bagi subyek untuk senantiasa
berdialektika dan membangkitkan emansipasi.
Penulis
berkesimpulan bahwa penghancuran terhadap oligarki sebagai the big other yang
mendominasi masyarakat Indonesia hanya mungkin tercapai melalui formasi
kekuatan sosial-politik yang mampu mendesakan agenda antagonisme yang efektif.
Gagasan antagonisme yang efektif dan punya basis hegemonik tersebut hadir dalam
bentuk artikulasi gerakan populisme kiri. Dalam tulisan ini, penulis
mengeksplorasi bahwa artikulasi gerakan populisme kiri dapat tercapai lewat
konsolidasi pelbagai gerakan masyarakat sipil ke dalam kerja politis. Selain
itu, dengan berpijak pada konteks religiusitas masyarakat Indonesia, artikulasi
populisme kiri dapat diperankan lewat proyek emansipatif institusi-institusi
primordial seperti agama. Usaha merancang populisme kiri juga dapat diperankan
lewat pelbagai usaha bersama dan berkelanjutan dengan komitmen keberpihakan
mulia pada demos.
Oligarki Kontemporer dan Kasus
Indonesia
Pada
bagian ini, saya akan menunjukkan konseptualisasi oligarki oleh beberapa
penstudi demokrasi yang coba memetakan peta oligarki di Indonesia dari
persepktif critical political economy. Beberapa penstudi tersebut adalah
Jeffrey Winters, Vedi Hadiz dan Richard Robison.[6]
Berdasarkan
catatan Winters, teorisasi oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa
ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang
ekstrem pula. Semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material, makin besar
kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam jual beli politiknya. Oligarki menurut
Winters berpusat pada politik pertahanan kekayaan dan terus bertahan sampai
sekarang dengan aneka bentuk, tergantung pada bagaimana cara menghadapi
tantangan politik itu.[7] Dalam konteks ini, oligarki
dicirikan oleh kekayaan sebagai sumber daya utama dan kemampuannya berpadu
dengan pelbagai bentuk sistem politik yang ada. Menurut Winters, transisi
menuju demokrasi pasca-reformasi 1998 tidak menjadi gangguan signifikan yang
menyusutkan kekuasaan para oligark tersebut. Aliansi kekuatan oligark itu mampu
berubah secara dramatis dari oligarki sultanistik menuju kepada oligarki
penguasa elektoral[8]. Akan tetapi, kendatipun memiliki
motif politik, oligarki dalam perspektif Winters tidak selalu terintegrasi
dengan rezim atau kekuasaan tertentu.
Sementara
itu, Hadiz dan Robison mendefinisikan oligarki sebagai sistem kekuasaan yang
memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan
kolektif terhadapnya. Berbeda dengan Winters, Hadiz dan Robison menempatkan
oligarki selalu dalam kontur yang tak terpisahkan dari kekuasaan. Karena
berlatar belakang neo-marxis, keduanya melihat perkembangan oligarki di
Indonesia dalam kaitannya dengan perkembangan kapitalisme internasional dan
kegagalan konsolidasi kekuatan politik sayap kiri.[9]
Oligarki tidak dipahami sebagai jenis rezim ekonomi atau politik yang terlepas
dari kekuasaan, tetapi selalu berkembang dalam rezim tertentu. Menurut
keduanya, sistem politik di Indonesia pasca-Soeharto dicirikan dengan adanya
perubahan politik sebagai bagian dari proses demokratisasi, tetapi ia tidak
menyingkirkan Oligarki yang telah dibangun sejak tumbuhnya rezim Soeharto.[10]
Berdasarkan
teoretisasi tema oligarki di atas, dapat ditarik dua kesimpulan berikut ini.
Pertama, oligarki sebagai kekuatan predatoris, yang sebelumnya berlindung di
bawah payung politik kekuasaan Soeharto, tetap eksis dan berhasil mendominasi
ruang ekonomi-politik melalui adaptasi terhadap kelembagaan politik demokrasi
dan institusi ekonomi pasar dengan cara menyerap kekuatan-kekuatan baru ke
dalam aliansi politik mereka. Kedua, kedigdayaan kekuasaan oligarkis ini
sesungguhnya juga disponsori oleh kegagalan konsolidasi dan formasi antagonisme
kekuatan-kekuatan politik civil society seperti kaum reformis liberal, kelompok
aktivis sosial-demokrasi maupun kekuatan sosialis lainnya.
Subyek Zizekian: the lack subject
Dalam
filsafat subyek Zizekian, entitas subyek merupakan hasil konstruksi ideologi
atau hasrat dari the big other yang berperan melalui penanaman hasrat dan terstruktur
oleh bahasa. Menurut Zizek, kapasitas the big other ini dapat mengambil bentuk
dalam berbagai rupa seperti ideologi, paham, sistem pemikiran dan keyakinan.
The big other bahkan dapat mengambil rupa dalam wujud Allah.[11]
Determinasi the big other ini teramat besar dan menyebabkan subyek mengingkari
fakta kasar dari yang riil, mendukung dunia simbolik dan enggan meninggalkan
the big other. Penyebab dari keengganaan subyek untuk beranjak dari ranah
simbolik adalah karena momentum ini mendatangkan keuntungan mekanis serentak
kenikmatan tertentu pada subyek. Zizek menyebut kondisi ini sebagai “Sinthome”
yang adalah asosiasi dari pelbagai gejala seperti fantasi, kepuasan,
penderitaan, nafsu, keinginan, dorongan untuk berkuasa, heroisme semu dan cita
rasa superioritas.[12] Dengan demikian, subyek dalam
pengertian Zizek adalah subyek yang terjebak dalam dunia simbolik dan
membiarkan diri dipengaruhi olehnya.
Akan
tetapi, Zizek juga menjelaskan bahwa subyek punya kemampuan untuk meninggalkan
atau meruntuhkan ranah simbolik dan beranjak menuju ranah simbolik yang lain.
Hal ini disebabkan oleh rasa kurang ontologis yang ada dalam diri subyek (lack
subject). Menurut Zizek, ranah simbolik dalam dirinya juga merupakan suatu yang
terbelah, penuh kontradiksi, traumatis dan tidak mungkin mengeliminasi subyek
yang selalu punya rasa kurang ontologis dalam dirinya.[13]
Zizek mengemukakan bahwa dalam kapasitasnya untuk mempengaruhi subyek, the big
other bersifat insubtansial dan terpecah-belah. Eksistensi the big other hanya
mungkin dan riil sejauh subjek mengalami dan menghidupinya sebagai sebuah
sebuah momentum yang riil.
Anggapan
bahwa yang riil merupakan kemuskilan merupakan hasil manipulasi dan pencitraan
yang dihasilkan ideologi untuk menjaga status quo dan dominasi suatu rezim
tertentu. The big other bukanlah entitas permanen. Subyek yang kurang dan
dialektis selalu mencari wadah baru untuk mencapai pemenuhan dirinya. Zizek
menemukan horizon baru dalam psikoanalisis Lacanian (sekaligus melampauinya)
yakni kemungkinan emansipasi dalam diri subyek. Subyek yang ditandai oleh rasa
kurang (lack) selalu terbuka untuk berdialektia. Dialektika dalam konteks ini
dimaksudkan pada usaha untuk membaca, memahami, dan menghancurkan tatanan
simbolik yang sedang dihidupinya[14]. Konsekuensinya,
subyek selalu dapat terlibat dalam pelbagai ranah simbolik dan mencari
kepenuhan identitas. Akan tetapi wilayah Riil yang tak berdosa merupakan
momentum yang amat rapuh. Setelah mengalami desubjektifikasi dengan mendudukan
the big other pada ranah simbolik, subyek akan menemukan dan merancang the big
other yang baru. Momen arus balik ini menjelaskan proses re-subjektifikasi
subjek.
Untuk
memperoleh pemahaman yang cukup tentang teori subyek dalam kacamata Zizekian,
saya menyertakan sebuah contoh yang merupakan tafsiran saya atas teks Zizek
yakni peristiwa Arab Spring. Sejak 18 Desember 2010 gelombang
revolusi/pemberontakan terjadi pada beberapa negara di dunia Arab.[15] Narasi pemberontakan ini berawal dari kisah martir di
Tunisia dimana seorang warga melakukan aksi pembakaran diri sebagai bentuk
protes terhadap rezim otoritarianisme yang berkuasa. Aksi tersebut menyulut
aksi protes masyarakat kelas menengah (subyek) di Tunisia.
Gelombang
revolusi (usaha subyek untuk meningallkan fase simbolik the big other) kemudian
juga melanda negara-negara lainnya seperti Mesir, Bahrain, Lybia, Maroko, Arab
Saudi. Sebab pemberontakan kurang lebih sama yakni keinginan rakyat menurunkan
pemerintahan yang otoriter, koruptif, terlibat dalam kejahatan HAM masa lalu, berwatak
kleptokrat dan sering melakukan pembunuhan (identifikasi simbolik the big
other: negara). Pemberontakan tersebut pada akhirnya mampu menurunkan rezim
otoriter yang berkuasa (penghancuran terhadap the big other). Revolusi
masyarakat kemudian beriringan dengan perubahan radikal dari pola
autoritarianisme (big other yang lama) menuju demokrasi (pembentukan tatanan
simbolik yang baru).
Oligarki dalam Kerangka Subjek
Zizekian
Oligarki
telah menjadi suatu tatanan the big other yang tidak ikut terdeligitimasi dalam
aksi reformasi 1998. Dengan kata lain, dekonstruksi rezim otoritarian Soeharto
tidak beriringan dengan delegitimasi aktor-aktor kapitalisme predatoris yang
menyokongnya. Oleh karena itu, kekuatan oligarki ini senantiasa memerankan
pelbagai determinasi identifikasi simboliknya dalam tatanan kehidupan
masyarakat. Orientasinya jelas, oligarki ingin menguasai, mempertahankan dan
meningatkan kekuasaannya dengan cara-cara yang paling subtil sekalipun lewat
perangkat, aparatur, kelembagaan, prosedur dan ilham demokrasi, sambil pada
sisi yang lain memenjarakan, memanipulasi, mendomestifikasi dan mempertahankan
masyarakat untuk senantiasa tinggal dalam lingkaran identifikasi simbolik yang
mereka mainkan. Analisis fenomen oligarki dalam kerangka analisis subyek
Zizekian akan terbagi dalam dua bagian. Pertama, pola-pola identifikasi
simbolik yang dimainkan the big other oligarki. Kedua, penghancuran terhadap
the big other oligarki merupakan sebuah kemungkinan yang riil.
Pola-pola
identifikasi simbolik yang dimainkan para oligark berlangsung dalam tiga cara.
Pertama, sejak tahun 1998 para oligarki yang membajak demokrasi ini giat
menciptakan sinthome, asosiasi dari pelbagai gejala seperti fantasi, kepuasan,
penderitaan, nafsu, keinginan, dorongan untuk berkuasa, heroisme semu dan cita
rasa superioritas-yang secara ideologis, sistemik dan sistematis diinkorporasi
ke dalam pelbagai dimensi kehidupan masyarakat. “Sinthome” mendatangkan
keuntungan mekanis serentak kenikmatan tertentu pada subyek dengan orientasi
ideologis agar subyek betah dalam permainan simbolik dan menghindari penampakan
politik yang riil. Pembentukan sinthome oleh jaringan oligarki ini dapat
berlangsung dalam pelbagai bentuk. Dalam artikel ini, penulis menggeneralisasinya
dalam beberapa bentuk utama yakni politik pencitraan[16]
(jurnalisme oligarkis, estetisasi politik, moralisasi politik) dan populisme
elektoral.
Dalam
pola yang pertama politik pencitraan hadir dalam bentuk jurnalisme
oligarkis. Jurnalisme oligarkis menarasikan skenario kerja media massa
sebagai teknologi disinformasi dan teknologi distraksi agar melestarikan
politik pencitraan.[17] Legitimasi pemimpin didasarkan
rangkaian pentas narsisme para oligark di media massa dan bukan pada keberpihakannya
pada konstituen. Media massa secara jamak menarasikan konflik, koalisi, track
record dan kerja para oligark. Sebagai akibatnya, jurnalisme berubah fungsi
menjadi spektakel pembentuk opini publik yang keliru berupa kekaguman pada
figur dan pemimpin oligark.
Politik
pencitraan juga berlangsung dalam bentuk estetisasi politik dengan
mendistribusi imej dan tanda di ruang publik. Ruang publik tak pelak dipakai
sebagai media untuk mementaskan dramaturgi politik para oligark. Akhir-akhir
ini ramai dibicarakan rencana seputar pembangunan patung Jokowi di kabupaten
Belu, NTT. Di banyak tempat lainnya, stan-stan patung “Jokowi naik sepeda” juga
banyak terlihat di beberapa Airport dalam negeri. Kendatipun menyasar pada
konteks seputar pengembangan destinasi pariwisata, kenyataan seperti itu
sesungguhnya mewakili dominasi kekuasaan yang berhasil membentuk hasrat dan
mindset konstituen atas figur tertentu. Konstruksi imej pemimpin lewat
pendirian patung akhirnya tak lebih dari usaha untuk kian mencitrakan para pemimpin.
Masyarakat pun abai terhadap kontrol kekuasaan oligarki di belakang figur-figur
pemimpin tersebut.
Sementara
itu, moralisasi politik digambarkan sebagai politik yang sedang dimainkan
dengan menggunakan term-term moral. Pentas politik elektoral seperti pemilu dan
pilkada seringkali menjadi ajang bagi para paslon untuk memasarkan moralisasi
politik. Setiap kandidat mengidentifikasi dirinya sebagai yang baik, kudus,
suci-sambil menuduh sang lawan politik sebagai wujud manusia yang jahat dan
penuh dosa. Alhasil, antagonisme lahir dalam term-term moral dan terhindar dari
debat ideologis dan diskursus rasional seputar visi-misi politik paslon.
Masyarakat yang rentan akan mudah tenggelam dalam wadah antagonisme moralistik
ini. Antagonisme moralistik (identifikasi simbolik) sesungguhnya meninggalkan
pertarungan politik yang bersifat zero-sum game. Ia mengondisikan subyek agar
terhindar dari penampakan politik yang riil.
Bentuk
kedua sinthome hadir dalam format populisme elektoral. Populisme elektoral
mengetengahkan kerja strategis para oligark dengan topeng keberpihakan pada
demos. Para kandidat pemimpin mengklaim punya hubungan yang langsung dengan
rakyat, memproposalkan visi politik yang pro-rakyat, menggalang solidaritas
sosial pada kalangan akarrumput dan kampanye isu-isu pembangunan rakyat
strategis. Rakyat sejenak dimanjakkan oleh penetrasi simbolik para pemimpin
pilihan kaum oligark tersebut. Setelah memenangkan pemilu, sang pemimpin
kembali terjebak dalam epistemologi dan permainan penuh muslihat koalisi oligarki
yang menyokongnya.. Jokowi bisa jadi salah satu contoh yang pas untuk
menggambarkan permainan oligarki yang berhasil membajak populisme elektoral
demi kekuasaan. Prestasi elektoral Kemenangan Jokowi yang didasarkan pada
konsultasi dan komunikasi langsung dengan konstituen pada kenyataannya tak
cukup merestorasi status quo kekuasaan yang in se masih dipelintir para oligark
predatoris ini. Alhasil politik hari ini masih tersandera dalam epistemologi
politik orde baru dan rezim-rezim pasca reformasi.
Kedua,
identifikasi simbolik the big other oligarki juga mengkooptasi
subyek-masyarakat Indonesia dalam bentuk inkorporasi secara sistemik
ilham-ilham neoliberal melalui wacana pembangunan, reformasi kelembagaan
demokrasi dan keamanan. Pasca reformasi 1998, pemerintah, yang dikendalikan
para oligark mengarsiteki reformasi negara dan kelembagaan. Dalam kontur
neoliberal, pembangunan dan ketertinggalan dinilai berakar pada seberapa jauh
negara atau masyarakat terintegrasi dalam pasar regional dan global.[18] Ketidakmampuan mengikuti dan berpartisipasi dalam
logika pasar (hasrat the big other) disimpulkan sebagai kegagalan pembangunan.
Untuk konteks Indonesia, determinasi kuasa pasar umpamanya dapat terbaca dalam
rupa kekuasaan korporatokrasi, sebuah aliansi predatoris antara pemerintah dan
pengusaha. Sebagaimana ditulis Jebadu, pelbagai undang-undang yang diterbitkan
selama lima puluh tahun terakhir telah mendorong dan melegitimasi kekuasaan
korporasi di Indonesia.[19]
Selain
itu, kualitas kelembagaan demokrasi pun diadopsi dalam bingkai teknokratisasi
dan judisalisasi negara. Politik menjadi arena penetrasi bagi peran para pakar,
ahli tafsir dan dan elit-elit teknokrat berpengetahuan.[20]
Lewat teknokratisasi, pemerintah merumuskan aturan dan kebijakan dengan memanfaatkan
keahlian dan profesionalisme para teknokrat. Dalam judisialisasi, formulasi
kebijakan dan pembuatan aturan dijauhkan dari partisipasi masyarakat dan
menghindarkan masyarakat dari debat ideologis dan pertentangan politik yang
berbeda.
Dalam
bidang keamanan, penguasa melalui pelbagai aparatusnya mentematisasi setiap
konflik sosial melulu sebagai persoalan identitas. Akibatnya kalangan akar
rumput selalu melihat persoalan konfliktual seperti intoleransi agama,
kekerasan dalam ruang publik serta dikriminasi atas kelompok minoritas hanya
dalam kontur identitas tanpa pernah membayangkan pertautannya dengan geliat
kapitalisme dan oligarki predatoris yang melatarinya.[21]
Kasus Ahok adalah contoh yang memadai ketika esensialisasi isu identitas
berhasil menutupi pertarungan kapitalisme predatoris penuh nafsu yang
melatarinya. Ketidaktahuan tentang akar masalah menjadi kian dalam karena
pelbagai institusi di dalam masyarakat-partai politik, pendidikan, media massa
dan jurnalisme- dengan satu dan lain cara mereproduksi kesadaran naif.
Para
politisi borjuis mengeksploitasi identitas sebagai ideologi politik dalam
perebutan kekuasaan. Lembaga pendidikan mereproduksi pengetahuan dengan
mengensensialkan identitas agama dan suku. Media massa melalui jurnalisme oligarkis
mencitrakan para oligark sebagai pemimpin. Tontonan-tontonan melankolis dan
bombastis di televisi dikemas sedemikian rupa dengan maksud meninabobokan
masyarakat. Rakyat kemudian tak mampu membangun imajinasi politik yang
riil dan otentik karena visi politik, urusan pembangunan, partisipasi
rakyat dan pelbagai konflik sosial-selalu didikte identifikasi simbolik the big
other oligarki dalam bentuk absolutisasi hukum-hukum pasar, produksi hukum dan
kebijakan oleh para teknokrat serta reproduksi kesadaran naif masyarakat lewat
totalisasi isu identitas.
Ketiga,
identifikasi simbolik oligarki dengan orientasi pasifikasi subyek dan
pembungkaman antagonisme melalui paket pembangunan berwatak developmentalisme
dan negaraisasi para aktor oposisi. Kedua kendala ini mengetengahkan kerja
struktural pemerintah dalam membungkam disposisi bersebrangan serta profetisme
kritis subyek untuk mencapai yang riil. Developmentalisme merupakan sebuah
model pembangunan dimana masyarakat disubsistensi sebagai subjek pasif yang
menerima paket-paket pembangunan sebagai pemberian pemerintah. Tak heran kalau
kita menyaksikan bahwa banyak masyarakat kita (terutama di desa-desa)
mengakarakterisasi pembangunan semata-mata pada proyek-proyek infrastruktur
fisik.[22] Ketika proyek itu selesai, maka pembangunan
pun selesai sambil mereka menunggu kebaikan pemerintah untuk kembali
mengalokasikan proyek infrastruktur tersebut di tempat mereka. Kenyataan
seperti ini akan sangat terasa kalau kita blusukan ke desa-desa terpencil di
belahan Timur Indonesia.
Sementara
itu praktik negaraisasi tampak dalam alokasi jabatan publik dan paket-paket
profesi bagi para aktivis, intelektual, tokoh populis dan figur publik sebagai
imbalan prestasi karena telah mendukung penguasa. Negaraisasi juga berarti
setiap upaya pemerintah untuk menarik semua figur dan kanal oposisi untuk
beraliansi dengan penguasa. Setelah terserap ke dalam lingkaran kekuasaan,
kelompok dan figure-figur tersebut tenggelam dalam logika kerja yang
kompromistis dan tak mampu berdistansiasi dengan kekuasaan. Mereka terserap ke
dalam identifikasi simbolik total oligarki.
Fakta
empiris reproduksi simbolik pemerintahan Jokowi dalam upaya melemahkan oposisi
umpamanya dapat diselidiki dalam konferensi Indonesia Update 2018 ANU
(Australian National University) yang diselenggarakan pada tanggal 14-15
September 2018 di University of Canberra, Australia. Salah satu keynote speaker
dalam konferensi tahunan tersebut, Thomas Power, mentematisasi model
pemerintahan Jokowi sebagai peralihan menuju otoritarianisme.[23]
Tesis Power tersebut dikanalisasi berdasarkan beberapa agenda berwatak
otoritarian yang diperankan pemerintahan Jokowi seperti politisasi hukum untuk
mematikan kelas oposisi, inkonsistensi upaya perlawanan terhadap korupsi serta
mobilisasi dan integrasi kekuatan militer dalam pemerintahan Jokowi.
Populisme Kiri: Opsi Emansipasi dan
Penghancuran the Big Other Oligarki
Untuk
konteks Indonesia, kemungkinan ini sebenarnya dapat dibaca lewat pergerakan
blok-blok politik demokratis dan intelektual sayap kiri yang coba memerankan
antagonisme atas kekuasaan. Akan tetapi, blok-blok politik demokratis ini
seringkali gagal dalam memerankan antagonisme yang efektif. Sebagaimana
dianalisis Vedi Hadiz, Indonesia belum memiliki tradisi populisme kiri yang
mampu menjadi kelas oposisi hegemonik atas kekuasaan oligarki.[24] Hal ini juga terkonfirmasi lewat temuan dan survei
Power, Welfare and Democracy (PWD), sebuah penelitian kolaborasi Universitas
Gajah Mada dan Universitas Oslo pada tahun 2013.
Sebagaimana
dirangkum Samadhi dan Prasetyo[25], stagnansi demokrasi
di Indonesia juga disebabkan oleh penurunan proposisi aktor kelas menengah yang
mampu mengartikulasi kepentingan rakyat serta mengambil disposisi bersebrangan
dengan kekuasaan. Para aktivis pro-demokrasi tersebut justru menempuh
strategi-strategi yang cenderung liberal, individual, fragmentaris dan tidak
terorganisasi secara matang dalam trajektori politik. Berpedoman pada
fakta-fakta di atas, penulis berkesimpulan bahwa upaya startegis yang dapat
ditempuh subyek untuk mendeligitimasi dominasi kekuatan oligark adalah dengan
merancang populisme kiri.
Term
populisme sendiri merupakan fenomena dengan sejarah panjang. Secara konseptual,
populisme adalah paham yang menghadapkan politik “rakyat banyak” dengan politik
“elite” yang digambarkan sebagai tamak dan jahat. Laclau, filsuf post-marxis,
umpamanya mendefinisikan politik populis sebagai pendekatan politik berbasis
massa yang muncul akibat kegagalan fungsional lembaga-lembaga sosial dan politik.[26] Demikian, ide dasar populisme tidak selalu destruktif
bahkan terbilang mulia. Kebangkitan populisme di beberapa negara Amerika Latin,
atau yang paling baru kemudian dalam kasus Podemos, salah satu partai sayap
kiri di Spanyol, terbukti mampu memerankan antagonisme, memainkan keberpihakan
yang mulia pada kelompok marginal serta memproposalkan keadilan sosial.
Bahaya
atau tantangan populisme tampak dalam kasus gerakan politik partai-partai
ekstrim kanan yang berwatak anti pluralisme, mengenakan logika xenofobik,
anti-intelektualisme, konservatisme dan bahkan fasisme. Untuk mengerti
watak-watak ini, kita dapat merujuk pada kasus-kasus penampakan populisme kanan
selama ini. Populisme kanan yang anti-pluralisme umpamanya terlihat pada
partai-partai ekstrim kanan di Eropa Barat dan partai-partai berorientasi etnis
dan ultranasionalis di negara-negara Eropa Timur.[27]
Sementara itu, sikap anti intelektualisme berwujud pemutusan aspek diskursus
rasional dan keengganan untuk mencari alternatif politik yang lain. Referendum
Brexit yang dinilai merugikan rakyat Inggris serta masifikasi gerakan Islam
yang dipicu tafsiran yang sempit dan literalistik atas teks Al Maidah 51 dalam
kasus Ahok merupakan dua contoh kasus watak politik populis yang
anti-intelektualisme.
Perangai
konservatisme misalnya dapat dirujuk dalam jargon-jargon ultranasionalis sayap
kanan seperti “Deutchland Uber Alles”, “NKRI harga mati”, atau “Make America
Great Again” dalam kampanye politik Trump. Selain menafikan sejarah,
jargon-jargon seperti ini juga turut memalsukan kenyataan dan merasuki
imajinasi publik. Dengan demikian, dapat dipetakan bahwa populisme kanan
merupakan ancaman bagi ideologi demokrasi yang mengunggulkan keutamaan
kebebasan, ekuivalensi, persaudaraan, inkusivisme, diskursus publik dan konflik
ide berbasis argumentasi rasional, dll.
Tema
dan konteks seputar populisme kiri yang dibahas dalam artikel ini secara
epistemologis dirujuk dalam wacana politik kiri yang secara jamak dibahas para
filsuf demokrasi radikal dalam tradisi postmarxisme. Beberapa di antaranya
adalah Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Antonio Negri, Alain Baudiou, Giorgio
Agamben, Frederick Jameson, Wendy Brown dan Slavoj Zizek. Sebagai pembaharuan
atas Marxisme, tradisi post-marxisme mengusulkan demokrasi radikal yang
bertumpu pada ekuivalensi antar warganya, antagonisme yang efektif, konsolidasi
identitas-identitas sosial, komunikasi diskursif serta kerja politik yang
demokratis.[28] Laclau dan Mouffe umpamanya merumuskan
tugas politik sebagai wadah formasi warga negara demokratis dengan penekanan
bahwa kesejahteraan warga atau stratum keadilan sosial harus diperjuangkan
dalam kerja politis. Dalam terang demokrasi radikal, tugas dari politik adalah
membangun populisme kiri yang bisa mendayagunakan kekuatan demos dan
mengartikulasikan antagonisme identitas-identitas kolektif.[29]
Hemat saya, dalam upaya untuk
menghancurkan dominasi oligarki di Indonesia, genderang populisme kiri di
Indonesia dapat diartikulasi secara efektif dengan beberapa cara berikut.
Pertama,
membangun kerja politis yang terorganisasi dan effektif. Salah satu penampakan
paling riil prestasi populisme kiri masa kini ada pada kasus Podemos, partai
sayap kiri di Spanyol yang berfokus pada advokasi masalah kesenjangan, korupsi,
pengangguran, dan resesi ekonomi setelah krisis utang Eropa. Dibentuk pada
tahun 2014, partai ini telah menyerap basis massa dalam jumlah banyak. Dalam
kurun waktu 20 hari pertama dibukanya pendaftaran, 100.000 orang telah
bergabung sebagai anggota. Di Spanyol, podemos merupakan partai terbesar kedua
berdasarkan jumlah anggota setelah Partai Rakyat. Pada pemilihan parlemen
Eropa, podemos juga berhasil menempatkan kader-kadernya sebagai anggota
palemen. Partai yang dipimpin Pablo Iglesias ini telah menunjukkan model kerja
politis yang terorganisasi dan representatif. Hal ini umpamanya terlihat dalam
asal-muasal pembentukan partai ini yang terangkum dalam manifesto Mover ficha:
covertir la indignacion en combio politico.
Manifesto
tersebut melibatkan dan ditandatangani perwakilan pelbagai kelompok identitas
seperti intelektual, aktor, dosen, pastor, filsuf dan para aktivis sosial.
Kampanye Podemos di media sosial yang menyasar pada kelompok pemuda
pengangguran di Spanyol berhasil membangkitkan sentimen positif dan menggayung
popularitas.[30] Di Indonesia, kehadiran politik sayap
kiri sempat diidentikkan dengan PSI yang giat menggalang kampanye di media
digital. Akan tetapi, harapan ini tampaknya tentatif ketika beberapa tuduhan
skeptis menyebutkan bahwa PSI juga tak bebas dari jejaring oligarki.
Belajar
dari kasus Podemos, pembentukan partai sayap kiri yang populis di Indonesia
bukanlah idealisme yang muskil. Secara teoretis, ide pembentukan kendaraan
politik sayap kiri sudah banyak diproblematisasi selama ini oleh intelektual
dan pemikir sayap kiri. Akan tetapi, kerja teoretis ini belum bermetamorfosa ke
dalam kerja praksis yang riil. Padahal, kerinduan dan suara minor masyarakat
akan sebuah kiblat politik yang demokratis semakin kuat mengalir dari pelbagai
pelosok negeri. Kondisi ini seharusnya menjadi pra-kondisi, stimulus dan
legitimasi paling mulia bagi para aktivis, intelektual, pegiat sosial, dan
aktor-aktor populis untuk merancang dan membangun blok politik kiri yang kuat.
Tugas ini tentu tak mudah karena harus dibayar biaya pengorbanan dan kerja luar
biasa. Untuk mewujudkannya dibutuhkan komitmen politik yang utuh melalui opsi
keberpihakan pada demos, pelibatan dan konsolidasi pelbagai kelompok
kepentingan identitas masyarakat sipil, kesiapan logistik politik, kampanye
populistik yang strategis hingga pembentukan blok politik demokratis melalui
partai politik.
Blok
politik dalam wujud partai ini kemudian bertugas untuk memperjuangkan
delegitimasi kekuasaan oligarki dalam tawar menawar politik kebijakan dan
hukum. Beberapa agenda tersebut antara lain dengan memperjuangkan kebijakan
pajak progresif, limitasi wewenang pengusaha dan pebisnis dalam politik
elektoral, pendanaan kampanye politik hanya oleh APBN dan mengembalikan model
ekonomi yang sesuai dengan semangat kerakyatan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua,
genderang populisme kiri juga dapat dialamatkan pada agama. Di Indonesia,
sindrom kebangkitan agama akhir-akhir ini menyingkapkan ambivalensi yang rumit.
Ketahanan agama atas tuduhan modernitas malahan kontrafaktual dengan
menjamurnya radikalisme, konservatisme dan puritanisme yang kerap kali menjadi
bola api bagi logika demokrasi. Oleh karena itu, agama-agama perlu memerankan
mythopoetic pembebasannya melalui agensi sosial, karya profetik emansipatif
yang punya signifikansi politis dan turut serta dalam usaha mengawal
demokratisasi. Salah seorang teolog pembebasan Katolik, Gustavo Gutierres,
menekankan bahwa perjuangan masyarakat miskin untuk pembebasan membutuhkan
keikutsertaan secara efektif dalam jalur kekuasaan politis dan itu hanya
mungkin tercapai lewat formasi kehidupan masyarakat yang demokratis.[31] Dalam kacamata teolog tersebut jelas bahwa peranan
agama perlu mendapat bentuk yang politis.
Untuk
menjalankan tugas ini, agama tak boleh puas dengan urusan dogmatis dan bernaung
di atas menara gading hierarkisnya. Indifferentisme teologis hendaknya menjadi
musuh-musuh yang perlu dilenyapkan. Ia perlu melampaui doktrin komprehensifnya.
Di beberapa negara Amerika Latin atau gerakan people power di Filipina, agama
(Gereja Katolik) memainkan peran politis kritis dan radikal melawan
diktatorisme kekuasaan. Aksi-aksi tersebut disokong oleh pengembangan isi
teologi yang sadar konteks. Ada peralihan dari model teologi lama yang
individualistik dan menekankan moralitas privat menuju ethico sosial. Selain itu
setiap agama juga dituntut untuk membangun komitmen dan kerja sama lintas
agama. Hal ini tentunya tak mudah. Ia harus didukung oleh pengembangan wacana
teologi dan misi pembebasan secara serius. Upaya-upaya seperti ini harus
digaungkan. Pertama-tama pada level dialog teologis internal dan kemudian maju
pada level yang lebih kompleks dengan melibatkan kelompok kolektif lainnya
seperti agama minoritas, kalangan intelektual, aktivis sosial, pegiat politik
dan juga masyarakat sipil.
Ketiga,
sebagai proyek dan kerja jangka panjang, usaha untuk merancang populisme kiri
secara sederhana dapat diperjuangkan secara bersama-sama melalui gerakan
penyadaran kolektif. Setiap insan yang punya komitmen politik demokratis perlu
senantiasa mendukung dan mengampanyekan keberpihakan pada konstituen, merawat
sensibilitas sosial, membangun jaringan kerja sama dan senantiasa mengawal
gerak jalan demokrasi. Hal ini bisa berwujud umpamanya via sikap politik
keberpihakan, memilih pemimpin yang berintegritas dalam pemilu dan pilkada,
menulis dan mengampanyekan kebenaran di media massa, terlibat dalam diskusi
publik dan upaya merawat nilai-nilai bersama yang etis (common goods).
Epilog
Karl
Marx, salah seorang filsuf terbesar dalam sejarah pernah berujar demikian, “Apa
yang merupakan cahaya batin menjadi api ganas yang berpaling keluar.”[32] Menurut Marx, setiap jenis pengetahuan harus keluar
dari alam teori dan menubuh menjadi kekuatan praktis-revolusioner atau dengan
kata lain otentisitas pengetahuan ditentukan oleh sumbangannya bagi upaya
memanusiakan manusia. Teoretisasi oligarki tidak dimaksudkan semata sebagai
pergumulan intelektual yang tak bermuara atau tak berarah. Sebaliknya, ia
menyiapkan landasan dan bentuk, sekurang-kurangnya secara epistemologi, bagi
upaya-upaya untuk mendekonstruksi dominasi kapitalisme neoliberal dalam wujud
oligarki. Dalam kacamata subyek Zizekian, kita menemukan bahwa perlawanan
terhadap oligarki bukanlah optimisme yang naif. Gagasan populisme kiri adalah
salah satu instrumen yang memadai dan efektif untuk menghancurkan permainan
simbolik penuh muslihat para oligark. Akhirnya, kita perlu bergerak bersama
sambil mendekap kuat komitmen yang suci atas nama kemanusiaan untuk senantiasa
menegakkan keadilan dan bonum commune.
Referensi
Adian,
Donny Gahral. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer. Depok:
Penerbit Koekoesan.
Alfian,
M. Alfan, Mengapa Politik Menarik. Bekasi: Penerbit Ilmu Sejati, 2016.
Banawiratma,
J. B. “Pembebasan, Agama dan Demokrasi: Sumbangan Teologi Pembebasan”, dalam
Aziz, M. Iman dkk (eds.). Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Budimanta,
Arif. “Oligarki di Indonesia”. Harian Kompas, 3 Maret 2018.
Djalong,
Frans. “Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai”.
Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Djalong,
Frans. “Populisme Elektoral dan Jurnalisme Elektoral di Indonesia (PDF)”. Dalam
developmentdemocracysecurity.org, diakses pada 11 Oktober 2018.
Hadiz
dan Robison, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan
di Indonesia”. Majalah Prisma, 33:1. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014.
Hadiz,
Vedi R. “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Majalah Prisma,
36:1. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014.
Haryanto,
“Konfigurasi Elit dan Demokrasi; Aktor, Sumber Daya, dan Strategi Kontestasi”.
Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017).
Heryanto,
Ariel. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta:
Penerbit KPG, 2018.
Herry,
Priyono, B. “Agama dan Otoritarianisme: Gereja Katolik Filipina dalam People
Power”, dalam Aziz, M. Iman dkk (eds.). Agama, Demokrasi dan Keadilan.
Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1993.
https://darahsejarah.blogspot.co.id/2017/05/apa-itu-oligarki.html?m=1,
diakses pada Jumat, 28 September 2018.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Podemos(partai_politik_Spanyol),
diakses pada 14 September 2018.
Jebadu,
Alexander. Bahtera Terancam Karam: Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik Yang
Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2018.
Kapoor,
Ilan. The Postcolonial Politics of Development. London and New York: Routledge,
2008.
Koli,
Doni. “Hoaks, Subyek Zizekian dan Budaya Membaca”. Majalah Biduk. Edisi I.
LXXII, Juli-Desember 2017.
Koli,
Doni. “Mengatasi Ekstremisme Kanan, Merancang Populisme Kiri”. Majalah Daring
Youth Proactive.com, 4 Oktober 2018.
Koten,
Yosef Keladu. Etika Keduniawian: Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Koten,
Yosef Keladu. Partisipasi Politik; Sebuah Analisis Atas Etika Politik
Aristoteles. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.
Koten,
Yosef Keladu. “Sejarah Filsafat Barat Kuno (Ms)”. Ledalero: STFK Ledalero,
2016.
Lechte,
John. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
Madung,
Otto Gusti. “Populisme, Krisis Demokrasi dan Antagonisme”. Jurnal Ledalero,
17:1. Ledalero, Juni 2018.
Mukminto,
Eko. “Ideologi dan Realitas Dalam Pemikiran Slavoj Zizek”. THINKER.Com, 16 Mei
2012.
Power,
Thomas. “Jokowi’s Authoritarian Turn”. Dalam
htttp://www.newsmandala.org/jokowi’s-authoritarian-turn/, diakses pada 16
Oktober 2018.
Pepinsky,
Thomas B. dan Michelle Ford. “Melampaui Oligarki?: Bahasan Kritis Kekuasaan
Politik dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia”. Majalah Prisma, 33:1, 2014.
Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014.
Plehwe,
Dieter dan Bernhard Walpen. “Between Network and Complex Organization: The
Making of Neoliberal Knowledge and Hegemony”, dalam Dieter Plehwe, et al
(eds.), Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London and New York: Routledge
Taylor and Francis Group, 2006.
Robet,
Robertus. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era
Kapitslisme Menurut Slavoj Zizek. Tangerang: Penerbit Marjin Kiri, 2010.
Samadhi,
Willy P. dan Wegik Prasetyo. “Gerakan Pro-Demokrasi: Mengambang Tanpa Strategi
Yang Benar”. Majalah Prisma, 36:1. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017.
Sandel,
Michael. “Populism Trump and Future of Democracy”. Open Democracy, 9 May 2018
dalam https://www.opendemocracy.net/michael-j-sandel/populism-trump-and-future-of-democracy,
diakses pada 3 Agustus 2018.
Sangadji,
Anton. “Kontradiksi Kapitalisme dan Rasisme”, dalam Dede Mulyanto dan Coen
Husain Pontoh, Bela Islam atau Bela Oligarki? Pertalian agama, Politik dan
Kapitalisme di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pustaka Indoprogress dan Islam
Bergerak, 2017.
Sindhunata.
Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1982.
Springer,
Simon. The Discourse of Neoliberalism: An Anatomy of Powerful Idea. London and
Newyork: Rowman and Littlefield Ltd., 2016.
Suryajaya,
Martin. “Slavoj Zizek dan Pembentukan Identitas Subyektif Melalui Bahasa”.
Harian Indoprogress, 13 Juni 2015
Suseno,
Frans M. Dari Mao Ke Marcuse: Percikan Filsafat Pasca-Lenin. Jakarta: Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Thommasen,
Lasse. “Hegemony, Populism and Democracy: Laclau and Mouffe Today (Review
article)”. Revista Espanola de Ciencia Politica 40. March, 2016.
Wahyu,
Bambang “Subyek Kuasa Menurut Slavoj Zizek”. Disertasi, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2014.
Watimenna,
Reza A. A. Filsafat Anti Korupsi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wattimena,
Reza A. A. “Slavoj Zizek dan Fenomena Kesurupan Otak”, dalam http://(www.dapunta.com/slavoj-Zizek-dan-fenomena-“kesurupan-otak”.html,
diunduh pada 3 Oktober 2017.
Wibowo,
I. “Demokrasi dan Kapitalisme; Dua Obat Mujarab Untuk Sekali Tenggak”, dalam I.
Wibowo dan B. Herry Priyono (eds.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans
Magnis Suseno (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006).
Winters.
Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press, 2011.
Winters.
“Oligarchy and Democracy In Indonesia” (PDF).
Http:www.researchgate.net/publication/25974939_oligarchy_and_democracy_in_indonesia,
diakses pada April 2018.
Winters,
Jeffrey dan Benjamin I. Page, “Oligarchy In United States?, dalam Perspective
On Politics, 7:4 (Desember, 2009).
Zizek,
Slavoj. First As Tragedy, Then As Farce. London and New York: Verso, 2009.
Zizek,
Slavoj. “Hegel Itu Jauh Lebih Materialis Daripada Marx”. Majalah Cogito-Lingkar
Studi Filsafat, 15 Oktober 2015.
Zizek,
Slavoj. How to Read Lacan (New York: W. W. Norton and Company, Inc., 2006).
Zizek,
Slavoj. The Most Sublime Historic; Hegel with Lacan. Cambridge: Polity Press
Inc., 2014.
Catatan:
[1]
Hasil wawancaranya Anja Steinbauer dengan Slavoj Zizek dalam versi bahasa
Inggris diterbitkan dalam majalah Philosophy Now edisi 122 bulan
Oktober-November tahun 2017. Artikel ini kemudian diterjemahkan Taufiqurrahman
dan diterbitkan dalam majalah daring Cogito-Lingkar Studi Filsafat pada tanggal
15 Oktober 2015. Bdk. http://lsfcogito.org/slavoj-zizek-hegel-itu-jauh-lebih-materialis-daripada-marx/,
diakses pada tanggal 28 Desember 2018. Tesis komparatif Zizek tentang
kapitalisme sebagai fenomen ontologis dan kekalahan komunisme juga telah
mewarnai tulisan dan karya-karya Zizek sebelumnya. Dalam salah satu bagian
bukunya yang berjudul First As Tragedy, Then As Farce (London and New York:
Verso, 2009), Zizek menulis demikian, “Do we need any further that Capital is
the Real of our lives, a Real whose imperatives are much more absolute than
even the most pressing demands of our social and natural society. Most people
today are Fukuyamaean, accepting liberal-democratic capitalism as the final
found formula of the best possible society” (hlm. 80). Kendatipun demikian,
disposisi tersebut tak boleh dibaca sebagai posisi metodologis dan dukungan
Zizek terhadap kapitalisme. Walau menolak beberapa tesis Marxisme
ortodoks, Zizek tetap menaruh atensi dan setia pada komitmen perjuangan
Marxis untuk melawan kapitalisme global.
[2]
I. Wibowo, “Demokrasi dan Kapitalisme: Dua Obat Mujarab Untuk Sekali Tenggak”,
dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (eds.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk
Frans Magnis Suseno (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 136-137.
[3]
Bdk. Dieter Plehwe dan Bernhard Walpen, “Between Network and Complex
Organization: The Making of Neoliberal Knowledge and Hegemony”, dalam Dieter
Plehwe, et al (eds.), Neoliberal Hegemony: A Global Critique (London and New
York: Routledge Taylor and Francis Group, 2006), hlm. 27-28.
[4] Arif Budimanta, “Oligarki di Indonesia”, Harian Kompas, 3
Maret 2018, hlm. 6.
[5]
Haryanto, “Konfigurasi Elit dan Demokrasi: Aktor, Sumber Daya, dan Strategi
Kontestasi”, Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017), hlm. 21-25.
[6]
Kendatipun menjadi salah satu pendekatan yang cukup dominan, tematisasi
oligarki tidak menjadi satu-satunya perspektif untuk memotret problem demokrasi
di Indonesia. Beberapa penstudi demokrasi bahkan mengeritik pendekatan oligarki
karena dianggap mengapologetisasi kekuasaan oligarkis di Indonesia. Beberapa di
antaranya adalah Thomas B. Pepinsky dan Michelle Ford yang memakai pendekatan
pluralisme kritis dan Edward Aspinall yang memberi perspektif aktivisme dan
populisme elektoral. Bdk. Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky, “Melampaui
Oligarki: Bahasan Kritis Kekuasaan Politik dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia”,
Majalah Prisma, 33:1, 2014 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014), hlm. 3-11.
[7]
Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 39.
Teoretisasi oligarki oleh Winters dapat ditangkap dengan berpedoman pada datum
konsentrasi kekayaan dan penguasaan pelbagai bidang strategis oleh para
oligark. Dalam laporannya, Winters menulis bahwa pada tahun 2010, rata-rata
kekayaan empat puluh oligark terkaya di Indonesia ekuivalen dengan lebih dari
630.000 kali lipat PDB per kapita. Padahal jumlah kaum oligark tersebut kurang
dari 2 per 1.000.000 jumlah penduduk Indonesia. Jumlah aset mereka setara
dengan 10 persen PDB. Bdk. Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy
In United States?, dalam Perspective On Politics, 7:4 (Desember, 2009), hlm.
731-753.
[8]
Winters, “Oligarchy and Democracy In Indonesia” (PDF), dalam
http:www.researchgate.net/publication/25974939_oligarchy_and_democracy_in_indonesia,
diakses pada April 2018.
[9]
Hadiz dan Robison, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali
Kekuasaan di Indonesia”, Majalah Prisma, 33:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014),
hlm. 37. Teoretisasi oligarki menurut Hadiz dan Robison dapat ditangkap dengan
melihat fakta bahwa para elit politisi menguasai sekaligus partai politik,
media massa, perusahaan dan bidang-bidang strategis tertentu. Beberapa di
antaranya adalah Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, Dahlan Iskan, Setya Novanto,
Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dll.
[10]
Ibid., hlm. 44-45.
[11]
Bdk. Zizek, How to Read Lacan, New York and London: W. W. Norton and Company,
Inc., 2006) hlm. 9.
[12]
Donny Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer
(Depok: Penerbit Koekoesan), hlm. 84-85.
[13]
Reza A. A. Watimenna, Filsafat Anti Korupsi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius),
hlm. 185-186.
[14]
Robertus Robet, op. cit., hlm. 78-82.
[15]
Diolah penulis dari pelbagai sumber.
[16]
Jaringan oligarki ini biasanya memiliki dan mengakumulasi banyak akses
strategis bagi pencitraan (identifikasi simbolik total): partai politik,
pendidikan, media massa dan jurnalisme, industri perfilman, perusahaan
industry, dsb. Bdk. Winters, op. Cit., “Oligarchy and Democracy”, hlm. 26-28.
[17]
Frans Djalong, “Populisme Elektoral dan Jurnalisme Elektoral di Indonesia
(PDF)”, dalam developmentdemocracysecurity.org, diakses pada 11 Oktober 2018.
[18]
Ilan Kapoor, The Postcolonial Politics of Development (London and New York:
Routledge, 2008), hlm. 19-39.
[19]
Untuk ulasan dan bacaan referensial yang lebih lengkap, baca Alexander Jebadu,
Bahtera Terancam Karam: Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik Yang
Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2018), hlm 221-228. Hemat penulis, buku setebal 326 halaman yang
ditulis Dr. Alex Jebadu ini adalah salah satu literatur referensial yang
mendalam, komprehensif dan up to date untuk memahami peta dan metodologi kerja
kapitalisme predatoris yang telah dan sedang mengkooptasi bangsa dan negara
Indonesia. Secara ringkas, buku ini hendak mengartikulasikan sebuah keniscayaan
sahih bahwa pelbagai persoalan sosial-ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari
manuver, kerja dan persekongkolan jahat (black conspiracy) para antek-antek
neoliberal di tingkat global. Buku ini menjadi salah satu bahan wajib dalam
kuliah Filsafat Lingkungan Hidup yang dibawakan Dr. Alex Jebadu bagi para
mahasiswa/I Semester V STFK Ledalero.
[20]
Bdk. Simon Springer, The Discourse of Neoliberalism: An Anatomy of Powerful
Idea (London and New York: Rowman and Littlefield Ltd., 2016), hlm. 25.
[21]
Anton Sangadji, “Kontradiksi Kapitalisme dan Rasisme”, dalam Dede Mulyanto dan
Coen Husain Pontoh, Bela Islam atau Bela Oligarki?: Pertalian agama, Politik
dan Kapitalisme di Indonesia (Pustaka Indoprogress dan Islam Bergerak, 2017),
hlm. 20-23.
[22]
Frans Djalong, “Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di
Manggarai”. (Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta), hlm. 9-10.
[23]
Dalam artikel yang dipresentasikannya, Thomas Power juga mengangkat beberapa
contoh konkrit penetrasi watak otoritarianisme pemerintahan Jokowi. Upaya
mematikan kelas oposisi umpamanya dapat dirujuk dalam kasus Hary Tanoesoedibjo,
salah seorang pengusaha yang mendonor sumber daya finansial kelas oposisi dan
ketua umum Perindo. Setelah diterpa kasus hukum berupa ancaman terhadap hakim
melalui pesan seluler, Hary kemudian mendeklarasikan dukungannya atas
pemerintahan Jokowi. Komitmen Jokowi untuk melawan korupsi juga terlihat
kontraproduktif ketika beberapa elit politik dari partai oposisi yang
terindikasi kasus korupsi mendapatkan “suaka politiknya” setelah meleburkan
dirinya ke lingkaran kekuasaan Jokowi. Beberapa di antaranya adalah Lukas
Enembe (gubernur Papua), Abdul Ghani Kasuba (gubernur Maluku Utara) dan Zainul
Majdi/tuan Guru Bajang (gubernur NTB). Dalam pilkada serentak 2018, banyak
kandidat yang kemudian meninggalkan partai lamanya dan bergabung dengan
partai-partai dalam koalisi Jokowi. Sementara itu, mobilisasi kekuatan militer
oleh pemerintahan Jokowi umpamanya terdapat dalam konsolidasi komando struktur
teritorial militer dan inisiasi tokoh dan institusi ketentaraan dalam
program-program sosial dan ekonomi. Bdk. Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian
Turn”, dalam htttp://www.newsmandala.org/jokowi’s-authoritarian-turn/, diakses
pada 16 Oktober 2018, hlm 1-7.
[24]
Vedi R. Hadiz, “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Majalah
Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014), hlm. 38-40.
[25]
Samadhi, Willy P. dan Wegik Prasetyo. “Gerakan Pro-Demokrasi: Mengambang Tanpa
Strategi Yang Benar”, Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017),
hlm. 67-83.
[26]
M. Alfan Alfian, Mengapa Politik Menarik (Bekasi: Penerbit Ilmu Sejati, 2016),
hlm. 56.
[27]
Otto Gusti Madung, “Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme”, Jurnal
Ledalero, 17:1 (Ledalero, Juni 2018, hlm. 61.
[28]
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm.
269.
[29]
Lasse Thommasen, “Hegemony, Populism and Democracy: Laclau and Mouffe Today
(Review article)”, dalam Revista Espanola de Ciencia Politica 40 (March, 2016),
hlm. 1-26. Kendatipun demikian, mengangkat gagasan populisme kiri tidak dengan
sendirinya menutup diskusi bahwa pathos kekuasaan yang memunggungi demos
atau dapat diselesaikan. Berkaca dari fenomena Arab Spring di Middle East yang
mengemuka beberapa tahun lalu, populisme kiri yang tidak terorganisasi secara
politik nyatanya masih dapat dikooptasi dan digagalkan. Segera sesudah musuh
(diktatorisme) bersama lenyap, mereka harus menghadapi tantangan lebih berat
dalam memelihara persatuan di antara mereka (Heryanto, 2018). Michael Sandel
(2018), profesor di Harvard University dalam analisis politiknya menyebutkan
bahwa kebangkitan populisme kanan merupakan reaksi atas simtom kegagalan para
elit partai sayap kiri (misalnya Democratic Party di Amerika, Labour Party di
Inggris dan Social Democratic Party di Jerman) dalam mengembangkan
politik yang progresif. Kegagalan tersebut termaktub dalam kasus-kasus semisal
kesenjangan ekonomi, kekacauan meritokrasi, problem martabat kerja, patriotisme
dan nasionalisme. Sejarah juga membuktikkan konfigurasi kekuatan politik sayap
kanan dan kiri dalam peta kekuasaan. Di Prancis misalnya, partai sayap kiri dan
kanan memiliki bargaining position yang sama kuat. Akan tetapi, walaupun
sama-sama mengartikulasi kepentingan konstituen, Front Nasional (yang dipimpin
Le Pen) mengampanyekan pendekatan Xenophobic, rasial dan populisme ekslusif
sambil front de gauche (Jean Luc Melenchon) memproposalkan populisme inklusif
yang mengartikulasikan semua kelompok underdog (Thomassen, 2016). Akan tetapi,
yang mau diketengahkan adalah bahwa dominasi politik populis sayap kanan dan
minusnya artikulasi populisme kiri sesungguhnya berkontribusi besar bagi
stagnansi demokrasi dan artikulasi kemanusiaan. Untuk sepakat dengan tesis ini,
kita hanya perlu berkaca pada sejarah yang pernah menyingkap negativitas dan
sadisme gelombang politik sayap kanan yang xenophobic dan eksklusif-reaksioner.
Fasisme di Italia, Holocaust yang menusuk batin, pembantaian ribuan ras
Yugoslavia, hingga pembantaian ribuan anggota PKI adalah beberapa di antaranya.
Ibaratnya, adalah lebih mulia membangun dunia bersama sambil membiarkan
advocatus diaboli senantiasa mengusik kita dengan maksud menyelamatkan kita,
daripada mencari kenyamanan eksklusif pada sebuah istana emas sambil merawat ketakutan
akan bahaya pencuri yang sigap mengintai di ujung malam.
[30] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Podemos(partai_politik_Spanyol),
diakses pada 14 September 2018.
[31]
Banawiratma, J. B. “Pembebasan, Agama dan Demokrasi: Sumbangan Teologi
Pembebasan”, dalam Aziz, M. Iman dkk (eds.). Agama, Demokrasi dan Keadilan
(Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 79-97.
[32]
Frans M. Suseno, Dari Mao Ke Marcuse: Percikan Filsafat Pasca-Lenin (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 6
0 comments:
Post a Comment