Friday, January 3, 2020

Oligarki dalam Kerangka Subjek Zizekian dan Populisme Kiri sebagai Opsi Dekonstruksi Oligarki di Indonesia



“Lebih mudah membayangkan kejatuhan negara daripada kehancuran kapitalisme”, demikian isi salah satu komentar Zizek dalam wawancara yang dipandu Anja Steinbauer[1]. Alih-alih menjadi akar pelbagai krisis, kapitalisme malah ditematisasi sang filsuf sebagai fenomena ontologis dan solusi bagi seluruh tatanan masyarakat. Beberapa dekade sebelum Zizek mengemukakan tesisnya, seorang penganut konservatif liberal asal Amerika Serikat, Francis Fukuyama, melalui bukunya, The End of History and The Last Man pernah memaklumkan bahwa kapitalisme adalah the only game at the town pasca kekalahan komunisme yang ditandai oleh kejatuhan Uni Soviet dan keruntuhan tembok Berlin.[2]
Ungkapan retoris yang dikemukakan Zizek dan tesis Fukuyama di atas sekilas lalu tampaknya kontrafaktual, tentatif dan bahkan beraroma totaliter. Akan tetapi, pendapat keduanya sangat mungkin benar kalau dijajaki secara empiris. Sejauh ini kapitalisme yang membawa ilham neoliberal dengan maskot ekonomi pasar bebasnya telah menjadi pemain dominan yang berhasil mengepakkan sayapnya secara masif, menembus batas teritori dan melampaui sekat-sekat primordial. Beberapa item di antaranya adalah supremasi mekanisme pasar, privatisasi perusahaan negara, limitasi wewenang pemerintah dalam perlindungan hak-hak individu, penerapan kompetisi secara ketat dalam pelbagai dimensi sosial dan ekonomi kehidupan manusia, serta liberalisasi pelbagai aturan dan kebijakan administratif pemerintah.[3]
Untuk mengerti beberapa atribut ini, kita tak perlu bersusah payah membayangkan bagaimana hantu bernama kapitalisme itu bergentayangan. Hari ini kita akan dengan mudah menemukan bahwa sebagian besar bidang hidup manusia telah, sedang dan kemungkinan akan selalu diasuh dalam logika kapitalisme. Di banyak tempat, semakin banyak orang harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya. Fakta lainnya menunjukan eskalasi angka kemiskinan dan membengkaknya jurang antara kelompok kaya dan miskin. Angka indeks Gini Ratio kita sekarang ini umpamanya berada pada posisi 0,393 dan jauh lebih besar dibanding indeks Gini Ratio pada akhir masa orde baru yang sebesar 0, 35.[4]

Di tengah multitude krisis yang menimpa manusia, salah satu penampakan riil kapitalisme predatoris yang diidentifikasi menjadi biang pelbagai persoalan tersebut adalah oligarki. Oligarki sederhananya adalah sebuah jaringan predatoris yang berusaha mempertahankan dan meningkatkan kekayaannya. Untuk mencapai tujuannya, para oligark ini dapat menyusup ke dalam lingkaran kekuasaan, membajak politik, menentukan arah pembangunan dan memastikan bahwa dirinya akan menjadi semakin kaya.
Bangsa dan negara Indonesia, sebuah entitas politik yang memakai demokrasi sebagai filosofi politiknya pun ikut terpapar permainan dan muslihat arsitek neoliberal ini. Secara empiris, hal ini terkonfirmasi lewat temuan dan survei yang dilakukan Winters, Hadiz, Robison dan Heryanto. Mereka menyimpulkan bahwa oligarki sedang membajak lajur demokratisasi di Indonesia. Alih-alih beragendakan misi pemberdayaan demos, demokratisasi malah merawat misi penyalahgunaan kekuasaan oleh kalangan oligarki ini.[5]
Dalam tulisan ini, penulis berupaya membaca fenomena oligarki di Indonesia dalam kerangka analisis subyek Zizekian. Menurut penulis, diseminasi kajian oligarki dalam kacamata Zizekian bisa menjadi sebuah usaha intelektual alternatif yang memadai untuk menunjukkan bahwa fenomena oligarki dapat ditelisik secara filosofis-epistemik. Analisis ini kemudian berguna dalam diskursus seputar langkah-langkah solutif dalam mendelegitimasi dominasi oligarki.
Dalam kacamata formasi subyek Zizekian, dalam diri setiap subyek berlangsung reproduksi dan identifikasi simbolik oleh sebuah jaringan sumber daya yang dikenal sebagai the big other. Dalam artian, subyek (mencakup ekspektasi, orientasi politik, cita-cita, keinginan) selalu dipengaruhi oleh determinasi simbolik the big other ini. Akan tetapi, identifikasi simbolik oleh the big other tidak bersifat permanen. Subyek menurut Zizek selalu mengalami kekurangan (lack) dalam dirinya. Aspek kekurangan ini memungkinkan subyek untuk meruntuhkan identifikasi simbolik the big other dan merumuskan sebuah tatanan yang baru. Sehingga, subyek dapat mengalami emansipasi.
Oligarki sebenarnya telah memainkan peran sebagai the big other. Dalam artian, oligarki menjadi sumber daya dari desain politik, ekonomi, pemikiran, ekspektasi, cita-cita, arah pembangunan, pergerakan, identitas dan pelbagai konflik kepentingan dalam masyarakat sebagai subyek. Kendatipun demikian, oligarki bukan merupakan fenomena ontologis atau tatanan simbolik yang mustahil dihancurkan. Sebaliknya, kemungkinan untuk menghancurkan oligarki merupakan optimisme yang positif karena subyek-masyarakat Indonesia, selalu dilanda kekurangan dan berupaya untuk kembali memenuhi the lack. Kekurangan ini dapat mengambil rupa dalam bentuk rasa tak puas atas kinerja pemerintah, matinya loyalitas atas para pemangku kekuasaan dan krisis kepercayaan atas meningkatnya resiko dalam negeri dalam wujud korupsi, klientelisme dalam birokrasi, dsb. Kekurangan ini kemudian menjadi pra-kondisi bagi subyek untuk senantiasa berdialektika dan membangkitkan emansipasi.
Penulis berkesimpulan bahwa penghancuran terhadap oligarki sebagai the big other yang mendominasi masyarakat Indonesia hanya mungkin tercapai melalui formasi kekuatan sosial-politik yang mampu mendesakan agenda antagonisme yang efektif. Gagasan antagonisme yang efektif dan punya basis hegemonik tersebut hadir dalam bentuk artikulasi gerakan populisme kiri. Dalam tulisan ini, penulis mengeksplorasi bahwa artikulasi gerakan populisme kiri dapat tercapai lewat konsolidasi pelbagai gerakan masyarakat sipil ke dalam kerja politis. Selain itu, dengan berpijak pada konteks religiusitas masyarakat Indonesia, artikulasi populisme kiri dapat diperankan lewat proyek emansipatif institusi-institusi primordial seperti agama. Usaha merancang populisme kiri juga dapat diperankan lewat pelbagai usaha bersama dan berkelanjutan dengan komitmen keberpihakan mulia pada demos.
Oligarki Kontemporer dan Kasus Indonesia
Pada bagian ini, saya akan menunjukkan konseptualisasi oligarki oleh beberapa penstudi demokrasi yang coba memetakan peta oligarki di Indonesia dari persepktif critical political economy. Beberapa penstudi tersebut adalah Jeffrey Winters, Vedi Hadiz dan Richard Robison.[6]
Berdasarkan catatan Winters, teorisasi oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material, makin besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam jual beli politiknya. Oligarki menurut Winters berpusat pada politik pertahanan kekayaan dan terus bertahan sampai sekarang dengan aneka bentuk, tergantung pada bagaimana cara menghadapi tantangan politik itu.[7] Dalam konteks ini, oligarki dicirikan oleh kekayaan sebagai sumber daya utama dan kemampuannya berpadu dengan pelbagai bentuk sistem politik yang ada. Menurut Winters, transisi menuju demokrasi pasca-reformasi 1998 tidak menjadi gangguan signifikan yang menyusutkan kekuasaan para oligark tersebut. Aliansi kekuatan oligark itu mampu berubah secara dramatis dari oligarki sultanistik menuju kepada oligarki penguasa elektoral[8]. Akan tetapi, kendatipun memiliki motif politik, oligarki dalam perspektif Winters tidak selalu terintegrasi dengan rezim atau kekuasaan tertentu.
Sementara itu, Hadiz dan Robison mendefinisikan oligarki sebagai sistem kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadapnya. Berbeda dengan Winters, Hadiz dan Robison menempatkan oligarki selalu dalam kontur yang tak terpisahkan dari kekuasaan. Karena berlatar belakang neo-marxis, keduanya melihat perkembangan oligarki di Indonesia dalam kaitannya dengan perkembangan kapitalisme internasional dan kegagalan konsolidasi kekuatan politik sayap kiri.[9] Oligarki tidak dipahami sebagai jenis rezim ekonomi atau politik yang terlepas dari kekuasaan, tetapi selalu berkembang dalam rezim tertentu. Menurut keduanya, sistem politik di Indonesia pasca-Soeharto dicirikan dengan adanya perubahan politik sebagai bagian dari proses demokratisasi, tetapi ia tidak menyingkirkan Oligarki yang telah dibangun sejak tumbuhnya rezim Soeharto.[10]
Berdasarkan teoretisasi tema oligarki di atas, dapat ditarik dua kesimpulan berikut ini. Pertama, oligarki sebagai kekuatan predatoris, yang sebelumnya berlindung di bawah payung politik kekuasaan Soeharto, tetap eksis dan berhasil mendominasi ruang ekonomi-politik melalui adaptasi terhadap kelembagaan politik demokrasi dan institusi ekonomi pasar dengan cara menyerap kekuatan-kekuatan baru ke dalam aliansi politik mereka. Kedua, kedigdayaan kekuasaan oligarkis ini sesungguhnya juga disponsori oleh kegagalan konsolidasi dan formasi antagonisme kekuatan-kekuatan politik civil society seperti kaum reformis liberal, kelompok aktivis sosial-demokrasi maupun kekuatan sosialis lainnya.

Subyek Zizekian: the lack subject
Dalam filsafat subyek Zizekian, entitas subyek merupakan hasil konstruksi ideologi atau hasrat dari the big other yang berperan melalui penanaman hasrat dan terstruktur oleh bahasa. Menurut Zizek, kapasitas the big other ini dapat mengambil bentuk dalam berbagai rupa seperti ideologi, paham, sistem pemikiran dan keyakinan. The big other bahkan dapat mengambil rupa dalam wujud Allah.[11] Determinasi the big other ini teramat besar dan menyebabkan subyek mengingkari fakta kasar dari yang riil, mendukung dunia simbolik dan enggan meninggalkan the big other. Penyebab dari keengganaan subyek untuk beranjak dari ranah simbolik adalah karena momentum ini mendatangkan keuntungan mekanis serentak kenikmatan tertentu pada subyek. Zizek menyebut kondisi ini sebagai “Sinthome” yang adalah asosiasi dari pelbagai gejala seperti fantasi, kepuasan, penderitaan, nafsu, keinginan, dorongan untuk berkuasa, heroisme semu dan cita rasa superioritas.[12] Dengan demikian, subyek dalam pengertian Zizek adalah subyek yang terjebak dalam dunia simbolik dan membiarkan diri dipengaruhi olehnya.
Akan tetapi, Zizek juga menjelaskan bahwa subyek punya kemampuan untuk meninggalkan atau meruntuhkan ranah simbolik dan beranjak menuju ranah simbolik yang lain. Hal ini disebabkan oleh rasa kurang ontologis yang ada dalam diri subyek (lack subject). Menurut Zizek, ranah simbolik dalam dirinya juga merupakan suatu yang terbelah, penuh kontradiksi, traumatis dan tidak mungkin mengeliminasi subyek yang selalu punya rasa kurang ontologis dalam dirinya.[13] Zizek mengemukakan bahwa dalam kapasitasnya untuk mempengaruhi subyek, the big other bersifat insubtansial dan terpecah-belah. Eksistensi the big other hanya mungkin dan riil sejauh subjek mengalami dan menghidupinya sebagai sebuah sebuah momentum yang riil.
Anggapan bahwa yang riil merupakan kemuskilan merupakan hasil manipulasi dan pencitraan yang dihasilkan ideologi untuk menjaga status quo dan dominasi suatu rezim tertentu. The big other bukanlah entitas permanen. Subyek yang kurang dan dialektis selalu mencari wadah baru untuk mencapai pemenuhan dirinya. Zizek menemukan horizon baru dalam psikoanalisis Lacanian (sekaligus melampauinya) yakni kemungkinan emansipasi dalam diri subyek. Subyek yang ditandai oleh rasa kurang (lack) selalu terbuka untuk berdialektia. Dialektika dalam konteks ini dimaksudkan pada usaha untuk membaca, memahami, dan menghancurkan tatanan simbolik yang sedang dihidupinya[14]. Konsekuensinya, subyek selalu dapat terlibat dalam pelbagai ranah simbolik dan mencari kepenuhan identitas. Akan tetapi wilayah Riil yang tak berdosa merupakan momentum yang amat rapuh. Setelah mengalami desubjektifikasi dengan mendudukan the big other pada ranah simbolik, subyek akan menemukan dan merancang the big other yang baru. Momen arus balik ini menjelaskan proses re-subjektifikasi subjek.
Untuk memperoleh pemahaman yang cukup tentang teori subyek dalam kacamata Zizekian, saya menyertakan sebuah contoh yang merupakan tafsiran saya atas teks Zizek yakni peristiwa Arab Spring. Sejak 18 Desember 2010 gelombang revolusi/pemberontakan terjadi pada beberapa negara di dunia Arab.[15] Narasi pemberontakan ini berawal dari kisah martir di Tunisia dimana seorang warga melakukan aksi pembakaran diri sebagai bentuk protes terhadap rezim otoritarianisme yang berkuasa. Aksi tersebut menyulut aksi protes masyarakat kelas menengah (subyek) di Tunisia.
Gelombang revolusi (usaha subyek untuk meningallkan fase simbolik the big other) kemudian juga melanda negara-negara lainnya seperti Mesir, Bahrain, Lybia, Maroko, Arab Saudi. Sebab pemberontakan kurang lebih sama yakni keinginan rakyat menurunkan pemerintahan yang otoriter, koruptif, terlibat dalam kejahatan HAM masa lalu, berwatak kleptokrat dan sering melakukan pembunuhan (identifikasi simbolik the big other: negara). Pemberontakan tersebut pada akhirnya mampu menurunkan rezim otoriter yang berkuasa (penghancuran terhadap the big other). Revolusi masyarakat kemudian beriringan dengan perubahan radikal dari pola autoritarianisme (big other yang lama) menuju demokrasi (pembentukan tatanan simbolik yang baru).

Oligarki dalam Kerangka Subjek Zizekian
Oligarki telah menjadi suatu tatanan the big other yang tidak ikut terdeligitimasi dalam aksi reformasi 1998. Dengan kata lain, dekonstruksi rezim otoritarian Soeharto tidak beriringan dengan delegitimasi aktor-aktor kapitalisme predatoris yang menyokongnya. Oleh karena itu, kekuatan oligarki ini senantiasa memerankan pelbagai determinasi identifikasi simboliknya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Orientasinya jelas, oligarki ingin menguasai, mempertahankan dan meningatkan kekuasaannya dengan cara-cara yang paling subtil sekalipun lewat perangkat, aparatur, kelembagaan, prosedur dan ilham demokrasi, sambil pada sisi yang lain memenjarakan, memanipulasi, mendomestifikasi dan mempertahankan masyarakat untuk senantiasa tinggal dalam lingkaran identifikasi simbolik yang mereka mainkan. Analisis fenomen oligarki dalam kerangka analisis subyek Zizekian akan terbagi dalam dua bagian. Pertama, pola-pola identifikasi simbolik yang dimainkan the big other oligarki. Kedua, penghancuran terhadap the big other oligarki merupakan sebuah kemungkinan yang riil.
Pola-pola identifikasi simbolik yang dimainkan para oligark berlangsung dalam tiga cara.  Pertama, sejak tahun 1998 para oligarki yang membajak demokrasi ini giat menciptakan sinthome, asosiasi dari pelbagai gejala seperti fantasi, kepuasan, penderitaan, nafsu, keinginan, dorongan untuk berkuasa, heroisme semu dan cita rasa superioritas-yang secara ideologis, sistemik dan sistematis diinkorporasi ke dalam pelbagai dimensi kehidupan masyarakat. “Sinthome” mendatangkan keuntungan mekanis serentak kenikmatan tertentu pada subyek dengan orientasi ideologis agar subyek betah dalam permainan simbolik dan menghindari penampakan politik yang riil. Pembentukan sinthome oleh jaringan oligarki ini dapat berlangsung dalam pelbagai bentuk. Dalam artikel ini, penulis menggeneralisasinya dalam beberapa bentuk utama yakni politik pencitraan[16] (jurnalisme oligarkis, estetisasi politik, moralisasi politik) dan populisme elektoral.
Dalam pola yang pertama politik pencitraan hadir dalam bentuk jurnalisme oligarkis.  Jurnalisme oligarkis menarasikan skenario kerja media massa sebagai teknologi disinformasi dan teknologi distraksi agar melestarikan politik pencitraan.[17] Legitimasi pemimpin didasarkan rangkaian pentas narsisme para oligark di media massa dan bukan pada keberpihakannya pada konstituen. Media massa secara jamak menarasikan konflik, koalisi, track record dan kerja para oligark. Sebagai akibatnya, jurnalisme berubah fungsi menjadi spektakel pembentuk opini publik yang keliru berupa kekaguman pada figur dan pemimpin oligark.
Politik pencitraan juga berlangsung dalam bentuk estetisasi politik dengan mendistribusi imej dan tanda di ruang publik. Ruang publik tak pelak dipakai sebagai media untuk mementaskan dramaturgi politik para oligark. Akhir-akhir ini ramai dibicarakan rencana seputar pembangunan patung Jokowi di kabupaten Belu, NTT. Di banyak tempat lainnya, stan-stan patung “Jokowi naik sepeda” juga banyak terlihat di beberapa Airport dalam negeri. Kendatipun menyasar pada konteks seputar pengembangan destinasi pariwisata, kenyataan seperti itu sesungguhnya mewakili dominasi kekuasaan yang berhasil membentuk hasrat dan mindset konstituen atas figur tertentu. Konstruksi imej pemimpin lewat pendirian patung akhirnya tak lebih dari usaha untuk kian mencitrakan para pemimpin. Masyarakat pun abai terhadap kontrol kekuasaan oligarki di belakang figur-figur pemimpin tersebut.
Sementara itu, moralisasi politik digambarkan sebagai politik yang sedang dimainkan dengan menggunakan term-term moral. Pentas politik elektoral seperti pemilu dan pilkada seringkali menjadi ajang bagi para paslon untuk memasarkan moralisasi politik. Setiap kandidat mengidentifikasi dirinya sebagai yang baik, kudus, suci-sambil menuduh sang lawan politik sebagai wujud manusia yang jahat dan penuh dosa. Alhasil, antagonisme lahir dalam term-term moral dan terhindar dari debat ideologis dan diskursus rasional seputar visi-misi politik paslon. Masyarakat yang rentan akan mudah tenggelam dalam wadah antagonisme moralistik ini. Antagonisme moralistik (identifikasi simbolik) sesungguhnya meninggalkan pertarungan politik yang bersifat zero-sum game. Ia mengondisikan subyek agar terhindar dari penampakan politik yang riil.
Bentuk kedua sinthome hadir dalam format populisme elektoral. Populisme elektoral mengetengahkan kerja strategis para oligark dengan topeng keberpihakan pada demos. Para kandidat pemimpin mengklaim punya hubungan yang langsung dengan rakyat, memproposalkan visi politik yang pro-rakyat, menggalang solidaritas sosial pada kalangan akarrumput dan kampanye isu-isu pembangunan rakyat strategis. Rakyat sejenak dimanjakkan oleh penetrasi simbolik para pemimpin pilihan kaum oligark tersebut. Setelah memenangkan pemilu, sang pemimpin kembali terjebak dalam epistemologi dan permainan penuh muslihat koalisi oligarki yang menyokongnya.. Jokowi bisa jadi salah satu contoh yang pas untuk menggambarkan permainan oligarki yang berhasil membajak populisme elektoral demi kekuasaan. Prestasi elektoral Kemenangan Jokowi yang didasarkan pada konsultasi dan komunikasi langsung dengan konstituen pada kenyataannya tak cukup merestorasi status quo kekuasaan yang in se masih dipelintir para oligark predatoris ini. Alhasil politik hari ini masih tersandera dalam epistemologi politik orde baru dan rezim-rezim pasca reformasi.
Kedua, identifikasi simbolik the big other oligarki juga mengkooptasi subyek-masyarakat Indonesia dalam bentuk inkorporasi secara sistemik ilham-ilham neoliberal melalui wacana pembangunan, reformasi kelembagaan demokrasi dan keamanan. Pasca reformasi 1998, pemerintah, yang dikendalikan para oligark mengarsiteki reformasi negara dan kelembagaan. Dalam kontur neoliberal, pembangunan dan ketertinggalan dinilai berakar pada seberapa jauh negara atau masyarakat terintegrasi dalam pasar regional dan global.[18] Ketidakmampuan mengikuti dan berpartisipasi dalam logika pasar (hasrat the big other) disimpulkan sebagai kegagalan pembangunan. Untuk konteks Indonesia, determinasi kuasa pasar umpamanya dapat terbaca dalam rupa kekuasaan korporatokrasi, sebuah aliansi predatoris antara pemerintah dan pengusaha. Sebagaimana ditulis Jebadu, pelbagai undang-undang yang diterbitkan selama lima puluh tahun terakhir telah mendorong dan melegitimasi kekuasaan korporasi di Indonesia.[19]
Selain itu, kualitas kelembagaan demokrasi pun diadopsi dalam bingkai teknokratisasi dan judisalisasi negara. Politik menjadi arena penetrasi bagi peran para pakar, ahli tafsir dan dan elit-elit teknokrat berpengetahuan.[20] Lewat teknokratisasi, pemerintah merumuskan aturan dan kebijakan dengan memanfaatkan keahlian dan profesionalisme para teknokrat. Dalam judisialisasi, formulasi kebijakan dan pembuatan aturan dijauhkan dari partisipasi masyarakat dan menghindarkan masyarakat dari debat ideologis dan pertentangan politik yang berbeda.
Dalam bidang keamanan, penguasa melalui pelbagai aparatusnya mentematisasi setiap konflik sosial melulu sebagai persoalan identitas. Akibatnya kalangan akar rumput selalu melihat persoalan konfliktual seperti intoleransi agama, kekerasan dalam ruang publik serta dikriminasi atas kelompok minoritas hanya dalam kontur identitas tanpa pernah membayangkan pertautannya dengan geliat kapitalisme dan oligarki predatoris yang melatarinya.[21] Kasus Ahok adalah contoh yang memadai ketika esensialisasi isu identitas berhasil menutupi pertarungan kapitalisme predatoris penuh nafsu yang melatarinya. Ketidaktahuan tentang akar masalah menjadi kian dalam karena pelbagai institusi di dalam masyarakat-partai politik, pendidikan, media massa dan jurnalisme- dengan satu dan lain cara mereproduksi kesadaran naif.
Para politisi borjuis mengeksploitasi identitas sebagai ideologi politik dalam perebutan kekuasaan. Lembaga pendidikan mereproduksi pengetahuan dengan mengensensialkan identitas agama dan suku. Media massa melalui jurnalisme oligarkis mencitrakan para oligark sebagai pemimpin. Tontonan-tontonan melankolis dan bombastis di televisi dikemas sedemikian rupa dengan maksud meninabobokan masyarakat. Rakyat kemudian tak mampu membangun imajinasi politik yang riil  dan otentik karena visi politik, urusan pembangunan, partisipasi rakyat dan pelbagai konflik sosial-selalu didikte identifikasi simbolik the big other oligarki dalam bentuk absolutisasi hukum-hukum pasar, produksi hukum dan kebijakan oleh para teknokrat serta reproduksi kesadaran naif masyarakat lewat totalisasi isu identitas.
Ketiga, identifikasi simbolik oligarki dengan orientasi pasifikasi subyek dan pembungkaman antagonisme melalui paket pembangunan berwatak developmentalisme dan negaraisasi para aktor oposisi. Kedua kendala ini mengetengahkan kerja struktural pemerintah dalam membungkam disposisi bersebrangan serta profetisme kritis subyek untuk mencapai yang riil. Developmentalisme merupakan sebuah model pembangunan dimana masyarakat disubsistensi sebagai subjek pasif yang menerima paket-paket pembangunan sebagai pemberian pemerintah. Tak heran kalau kita menyaksikan bahwa banyak masyarakat kita (terutama di desa-desa) mengakarakterisasi pembangunan semata-mata pada proyek-proyek infrastruktur fisik.[22] Ketika proyek itu selesai, maka pembangunan pun selesai sambil mereka menunggu kebaikan pemerintah untuk kembali mengalokasikan proyek infrastruktur tersebut di tempat mereka. Kenyataan seperti ini akan sangat terasa kalau kita blusukan ke desa-desa terpencil di belahan Timur Indonesia.
Sementara itu praktik negaraisasi tampak dalam alokasi jabatan publik dan paket-paket profesi bagi para aktivis, intelektual, tokoh populis dan figur publik sebagai imbalan prestasi karena telah mendukung penguasa. Negaraisasi juga berarti setiap upaya pemerintah untuk menarik semua figur dan kanal oposisi untuk beraliansi dengan penguasa. Setelah terserap ke dalam lingkaran kekuasaan, kelompok dan figure-figur tersebut tenggelam dalam logika kerja yang kompromistis dan tak mampu berdistansiasi dengan kekuasaan. Mereka terserap ke dalam identifikasi simbolik total oligarki.
Fakta empiris reproduksi simbolik pemerintahan Jokowi dalam upaya melemahkan oposisi umpamanya dapat diselidiki dalam konferensi Indonesia Update 2018 ANU (Australian National University) yang diselenggarakan pada tanggal 14-15 September 2018 di University of Canberra, Australia. Salah satu keynote speaker dalam konferensi tahunan tersebut, Thomas Power, mentematisasi model pemerintahan Jokowi sebagai peralihan menuju otoritarianisme.[23] Tesis Power tersebut dikanalisasi berdasarkan beberapa agenda berwatak otoritarian yang diperankan pemerintahan Jokowi seperti politisasi hukum untuk mematikan kelas oposisi, inkonsistensi upaya perlawanan terhadap korupsi serta mobilisasi dan integrasi kekuatan militer dalam pemerintahan Jokowi.

Populisme Kiri: Opsi Emansipasi dan Penghancuran the Big Other Oligarki
Untuk konteks Indonesia, kemungkinan ini sebenarnya dapat dibaca lewat pergerakan blok-blok politik demokratis dan intelektual sayap kiri yang coba memerankan antagonisme atas kekuasaan. Akan tetapi, blok-blok politik demokratis ini seringkali gagal dalam memerankan antagonisme yang efektif. Sebagaimana dianalisis Vedi Hadiz, Indonesia belum memiliki tradisi populisme kiri yang mampu menjadi kelas oposisi hegemonik atas kekuasaan oligarki.[24] Hal ini juga terkonfirmasi lewat temuan dan survei Power, Welfare and Democracy (PWD), sebuah penelitian kolaborasi Universitas Gajah Mada dan Universitas Oslo pada tahun 2013.
Sebagaimana dirangkum Samadhi dan Prasetyo[25], stagnansi demokrasi di Indonesia juga disebabkan oleh penurunan proposisi aktor kelas menengah yang mampu mengartikulasi kepentingan rakyat serta mengambil disposisi bersebrangan dengan kekuasaan. Para aktivis pro-demokrasi tersebut justru menempuh strategi-strategi yang cenderung liberal, individual, fragmentaris dan tidak terorganisasi secara matang dalam trajektori politik. Berpedoman pada fakta-fakta di atas, penulis berkesimpulan bahwa upaya startegis yang dapat ditempuh subyek untuk mendeligitimasi dominasi kekuatan oligark adalah dengan merancang populisme kiri.
Term populisme sendiri merupakan fenomena dengan sejarah panjang. Secara konseptual, populisme adalah paham yang menghadapkan politik “rakyat banyak” dengan politik “elite” yang digambarkan sebagai tamak dan jahat. Laclau, filsuf post-marxis, umpamanya mendefinisikan politik populis sebagai pendekatan politik berbasis massa yang muncul akibat kegagalan fungsional lembaga-lembaga sosial dan politik.[26] Demikian, ide dasar populisme tidak selalu destruktif bahkan terbilang mulia. Kebangkitan populisme di beberapa negara Amerika Latin, atau yang paling baru kemudian dalam kasus Podemos, salah satu partai sayap kiri di Spanyol, terbukti mampu memerankan antagonisme, memainkan keberpihakan yang mulia pada kelompok marginal serta memproposalkan keadilan sosial.
Bahaya atau tantangan populisme tampak dalam kasus gerakan politik partai-partai ekstrim kanan yang berwatak anti pluralisme, mengenakan logika xenofobik, anti-intelektualisme, konservatisme dan bahkan fasisme. Untuk mengerti watak-watak ini, kita dapat merujuk pada kasus-kasus penampakan populisme kanan selama ini. Populisme kanan yang anti-pluralisme umpamanya terlihat pada partai-partai ekstrim kanan di Eropa Barat dan partai-partai berorientasi etnis dan ultranasionalis di negara-negara Eropa Timur.[27] Sementara itu, sikap anti intelektualisme berwujud pemutusan aspek diskursus rasional dan keengganan untuk mencari alternatif politik yang lain. Referendum Brexit yang dinilai merugikan rakyat Inggris serta masifikasi gerakan Islam yang dipicu tafsiran yang sempit dan literalistik atas teks Al Maidah 51 dalam kasus Ahok merupakan dua contoh kasus watak politik populis yang anti-intelektualisme.
Perangai konservatisme misalnya dapat dirujuk dalam jargon-jargon ultranasionalis sayap kanan seperti “Deutchland Uber Alles”, “NKRI harga mati”, atau “Make America Great Again” dalam kampanye politik Trump. Selain menafikan sejarah, jargon-jargon seperti ini juga turut memalsukan kenyataan dan merasuki imajinasi publik. Dengan demikian, dapat dipetakan bahwa populisme kanan merupakan ancaman bagi ideologi demokrasi yang mengunggulkan keutamaan kebebasan, ekuivalensi, persaudaraan, inkusivisme, diskursus publik dan konflik ide berbasis argumentasi rasional, dll.
Tema dan konteks seputar populisme kiri yang dibahas dalam artikel ini secara epistemologis dirujuk dalam wacana politik kiri yang secara jamak dibahas para filsuf demokrasi radikal dalam tradisi postmarxisme. Beberapa di antaranya adalah Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Antonio Negri, Alain Baudiou, Giorgio Agamben, Frederick Jameson, Wendy Brown dan Slavoj Zizek. Sebagai pembaharuan atas Marxisme, tradisi post-marxisme mengusulkan demokrasi radikal yang bertumpu pada ekuivalensi antar warganya, antagonisme yang efektif, konsolidasi identitas-identitas sosial, komunikasi diskursif serta kerja politik yang demokratis.[28] Laclau dan Mouffe umpamanya merumuskan tugas politik sebagai wadah formasi warga negara demokratis dengan penekanan bahwa kesejahteraan warga atau stratum keadilan sosial harus diperjuangkan dalam kerja politis. Dalam terang demokrasi radikal, tugas dari politik adalah membangun populisme kiri yang bisa mendayagunakan kekuatan demos dan mengartikulasikan antagonisme identitas-identitas kolektif.[29]

Hemat saya, dalam upaya untuk menghancurkan dominasi oligarki di Indonesia, genderang populisme kiri di Indonesia dapat diartikulasi secara efektif dengan beberapa cara berikut.
Pertama, membangun kerja politis yang terorganisasi dan effektif. Salah satu penampakan paling riil prestasi populisme kiri masa kini ada pada kasus Podemos, partai sayap kiri di Spanyol yang berfokus pada advokasi masalah kesenjangan, korupsi, pengangguran, dan resesi ekonomi setelah krisis utang Eropa. Dibentuk pada tahun 2014, partai ini telah menyerap basis massa dalam jumlah banyak. Dalam kurun waktu 20 hari pertama dibukanya pendaftaran, 100.000 orang telah bergabung sebagai anggota. Di Spanyol, podemos merupakan partai terbesar kedua berdasarkan jumlah anggota setelah Partai Rakyat. Pada pemilihan parlemen Eropa, podemos juga berhasil menempatkan kader-kadernya sebagai anggota palemen. Partai yang dipimpin Pablo Iglesias ini telah menunjukkan model kerja politis yang terorganisasi dan representatif. Hal ini umpamanya terlihat dalam asal-muasal pembentukan partai ini yang terangkum dalam manifesto Mover ficha: covertir la indignacion en combio politico.
Manifesto tersebut melibatkan dan ditandatangani perwakilan pelbagai kelompok identitas seperti intelektual, aktor, dosen, pastor, filsuf dan para aktivis sosial. Kampanye Podemos di media sosial yang menyasar pada kelompok pemuda pengangguran di Spanyol berhasil membangkitkan sentimen positif dan menggayung popularitas.[30] Di Indonesia, kehadiran politik sayap kiri sempat diidentikkan dengan PSI yang giat menggalang kampanye di media digital. Akan tetapi, harapan ini tampaknya tentatif ketika beberapa tuduhan skeptis menyebutkan bahwa PSI juga tak bebas dari jejaring oligarki.
Belajar dari kasus Podemos, pembentukan partai sayap kiri yang populis di Indonesia bukanlah idealisme yang muskil. Secara teoretis, ide pembentukan kendaraan politik sayap kiri sudah banyak diproblematisasi selama ini oleh intelektual dan pemikir sayap kiri. Akan tetapi, kerja teoretis ini belum bermetamorfosa ke dalam kerja praksis yang riil. Padahal, kerinduan dan suara minor masyarakat akan sebuah kiblat politik yang demokratis semakin kuat mengalir dari pelbagai pelosok negeri. Kondisi ini seharusnya menjadi pra-kondisi, stimulus dan legitimasi paling mulia bagi para aktivis, intelektual, pegiat sosial, dan aktor-aktor populis untuk merancang dan membangun blok politik kiri yang kuat. Tugas ini tentu tak mudah karena harus dibayar biaya pengorbanan dan kerja luar biasa. Untuk mewujudkannya dibutuhkan komitmen politik yang utuh melalui opsi keberpihakan pada demos, pelibatan dan konsolidasi pelbagai kelompok kepentingan identitas masyarakat sipil, kesiapan logistik politik, kampanye populistik yang strategis hingga pembentukan blok politik demokratis melalui partai politik.
Blok politik dalam wujud partai ini kemudian bertugas untuk memperjuangkan delegitimasi kekuasaan oligarki dalam tawar menawar politik kebijakan dan hukum. Beberapa agenda tersebut antara lain dengan memperjuangkan kebijakan pajak progresif, limitasi wewenang pengusaha dan pebisnis dalam politik elektoral, pendanaan kampanye politik hanya oleh APBN dan mengembalikan model ekonomi yang sesuai dengan semangat kerakyatan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, genderang populisme kiri juga dapat dialamatkan pada agama. Di Indonesia, sindrom kebangkitan agama akhir-akhir ini menyingkapkan ambivalensi yang rumit. Ketahanan agama atas tuduhan modernitas malahan kontrafaktual dengan menjamurnya radikalisme, konservatisme dan puritanisme yang kerap kali menjadi bola api bagi logika demokrasi. Oleh karena itu, agama-agama perlu memerankan mythopoetic pembebasannya melalui agensi sosial, karya profetik emansipatif yang punya signifikansi politis dan turut serta dalam usaha mengawal demokratisasi. Salah seorang teolog pembebasan Katolik, Gustavo Gutierres, menekankan bahwa perjuangan masyarakat miskin untuk pembebasan membutuhkan keikutsertaan secara efektif dalam jalur kekuasaan politis dan itu hanya mungkin tercapai lewat formasi kehidupan masyarakat yang demokratis.[31] Dalam kacamata teolog tersebut jelas bahwa peranan agama perlu mendapat bentuk yang politis.
Untuk menjalankan tugas ini, agama tak boleh puas dengan urusan dogmatis dan bernaung di atas menara gading hierarkisnya. Indifferentisme teologis hendaknya menjadi musuh-musuh yang perlu dilenyapkan. Ia perlu melampaui doktrin komprehensifnya. Di beberapa negara Amerika Latin atau gerakan people power di Filipina, agama (Gereja Katolik) memainkan peran politis kritis dan radikal melawan diktatorisme kekuasaan. Aksi-aksi tersebut disokong oleh pengembangan isi teologi yang sadar konteks. Ada peralihan dari model teologi lama yang individualistik dan menekankan moralitas privat menuju ethico sosial. Selain itu setiap agama juga dituntut untuk membangun komitmen dan kerja sama lintas agama. Hal ini tentunya tak mudah. Ia harus didukung oleh pengembangan wacana teologi dan misi pembebasan secara serius. Upaya-upaya seperti ini harus digaungkan. Pertama-tama pada level dialog teologis internal dan kemudian maju pada level yang lebih kompleks dengan melibatkan kelompok kolektif lainnya seperti agama minoritas, kalangan intelektual, aktivis sosial, pegiat politik dan juga masyarakat sipil.
Ketiga, sebagai proyek dan kerja jangka panjang, usaha untuk merancang populisme kiri secara sederhana dapat diperjuangkan secara bersama-sama melalui gerakan penyadaran kolektif. Setiap insan yang punya komitmen politik demokratis perlu senantiasa mendukung dan mengampanyekan keberpihakan pada konstituen, merawat sensibilitas sosial, membangun jaringan kerja sama dan senantiasa mengawal gerak jalan demokrasi. Hal ini bisa berwujud umpamanya via sikap politik keberpihakan, memilih pemimpin yang berintegritas dalam pemilu dan pilkada, menulis dan mengampanyekan kebenaran di media massa, terlibat dalam diskusi publik dan upaya merawat nilai-nilai bersama yang etis (common goods).

Epilog
Karl Marx, salah seorang filsuf terbesar dalam sejarah pernah berujar demikian, “Apa yang merupakan cahaya batin menjadi api ganas yang berpaling keluar.”[32] Menurut Marx, setiap jenis pengetahuan harus keluar dari alam teori dan menubuh menjadi kekuatan praktis-revolusioner atau dengan kata lain otentisitas pengetahuan ditentukan oleh sumbangannya bagi upaya memanusiakan manusia. Teoretisasi oligarki tidak dimaksudkan semata sebagai pergumulan intelektual yang tak bermuara atau tak berarah. Sebaliknya, ia menyiapkan landasan dan bentuk, sekurang-kurangnya secara epistemologi, bagi upaya-upaya untuk mendekonstruksi dominasi kapitalisme neoliberal dalam wujud oligarki. Dalam kacamata subyek Zizekian, kita menemukan bahwa perlawanan terhadap oligarki bukanlah optimisme yang naif. Gagasan populisme kiri adalah salah satu instrumen yang memadai dan efektif untuk menghancurkan permainan simbolik penuh muslihat para oligark. Akhirnya, kita perlu bergerak bersama sambil mendekap kuat komitmen yang suci atas nama kemanusiaan untuk senantiasa menegakkan keadilan dan bonum commune.

Referensi
Adian, Donny Gahral. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer. Depok: Penerbit Koekoesan.
Alfian, M. Alfan, Mengapa Politik Menarik. Bekasi: Penerbit Ilmu Sejati, 2016.
Banawiratma, J. B. “Pembebasan, Agama dan Demokrasi: Sumbangan Teologi Pembebasan”, dalam Aziz, M. Iman dkk (eds.). Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Budimanta, Arif.  “Oligarki di Indonesia”. Harian Kompas, 3 Maret 2018.
Djalong, Frans. “Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai”. Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Djalong, Frans. “Populisme Elektoral dan Jurnalisme Elektoral di Indonesia (PDF)”. Dalam developmentdemocracysecurity.org, diakses pada 11 Oktober 2018.
Hadiz dan Robison, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”. Majalah Prisma, 33:1. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014.
Hadiz, Vedi R. “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Majalah Prisma, 36:1. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014.
Haryanto, “Konfigurasi Elit dan Demokrasi; Aktor, Sumber Daya, dan Strategi Kontestasi”. Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017).
Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Penerbit KPG, 2018.
Herry, Priyono, B. “Agama dan Otoritarianisme: Gereja Katolik Filipina dalam People Power”, dalam Aziz, M. Iman dkk (eds.).  Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Jebadu, Alexander. Bahtera Terancam Karam: Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik Yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Kapoor, Ilan. The Postcolonial Politics of Development. London and New York: Routledge, 2008.
Koli, Doni. “Hoaks, Subyek Zizekian dan Budaya Membaca”. Majalah Biduk. Edisi I. LXXII, Juli-Desember 2017.
Koli, Doni. “Mengatasi Ekstremisme Kanan, Merancang Populisme Kiri”. Majalah Daring Youth Proactive.com, 4 Oktober 2018.
Koten, Yosef Keladu. Etika Keduniawian: Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Koten, Yosef Keladu. Partisipasi Politik; Sebuah Analisis Atas Etika Politik Aristoteles. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.
Koten, Yosef Keladu. “Sejarah Filsafat Barat Kuno (Ms)”. Ledalero: STFK Ledalero, 2016.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
Madung, Otto Gusti. “Populisme, Krisis Demokrasi dan Antagonisme”. Jurnal Ledalero, 17:1. Ledalero, Juni 2018.
Mukminto, Eko. “Ideologi dan Realitas Dalam Pemikiran Slavoj Zizek”. THINKER.Com, 16 Mei 2012.
Power, Thomas. “Jokowi’s Authoritarian Turn”. Dalam htttp://www.newsmandala.org/jokowi’s-authoritarian-turn/, diakses pada 16 Oktober 2018.
Pepinsky, Thomas B. dan Michelle Ford. “Melampaui Oligarki?: Bahasan Kritis Kekuasaan Politik dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia”. Majalah Prisma, 33:1, 2014. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014.
Plehwe, Dieter dan Bernhard Walpen. “Between Network and Complex Organization: The Making of Neoliberal Knowledge and Hegemony”, dalam Dieter Plehwe, et al (eds.), Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2006.
Robet, Robertus. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitslisme Menurut Slavoj Zizek. Tangerang: Penerbit Marjin Kiri, 2010.
Samadhi, Willy P. dan Wegik Prasetyo. “Gerakan Pro-Demokrasi: Mengambang Tanpa Strategi Yang Benar”. Majalah Prisma, 36:1. Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017.
Sandel, Michael. “Populism Trump and Future of Democracy”. Open Democracy, 9 May 2018 dalam https://www.opendemocracy.net/michael-j-sandel/populism-trump-and-future-of-democracy, diakses pada 3 Agustus 2018.
Sangadji, Anton. “Kontradiksi Kapitalisme dan Rasisme”, dalam Dede Mulyanto dan Coen Husain Pontoh, Bela Islam atau Bela Oligarki? Pertalian agama, Politik dan Kapitalisme di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pustaka Indoprogress dan Islam Bergerak, 2017.
Sindhunata. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1982.
Springer, Simon. The Discourse of Neoliberalism: An Anatomy of Powerful Idea. London and Newyork: Rowman and Littlefield Ltd., 2016.
Suryajaya, Martin. “Slavoj Zizek dan Pembentukan Identitas Subyektif Melalui Bahasa”. Harian Indoprogress, 13 Juni 2015
Suseno, Frans M. Dari Mao Ke Marcuse: Percikan Filsafat Pasca-Lenin. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Thommasen, Lasse. “Hegemony, Populism and Democracy: Laclau and Mouffe Today (Review article)”. Revista Espanola de Ciencia Politica 40. March, 2016.
Wahyu, Bambang “Subyek Kuasa Menurut Slavoj Zizek”. Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2014.
Watimenna, Reza A. A. Filsafat Anti Korupsi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wattimena, Reza A. A. “Slavoj Zizek dan Fenomena Kesurupan Otak”, dalam http://(www.dapunta.com/slavoj-Zizek-dan-fenomena-“kesurupan-otak”.html, diunduh pada 3 Oktober 2017.
Wibowo, I. “Demokrasi dan Kapitalisme; Dua Obat Mujarab Untuk Sekali Tenggak”, dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (eds.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans Magnis Suseno (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006).
Winters. Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press, 2011.
Winters. “Oligarchy and Democracy In Indonesia” (PDF). Http:www.researchgate.net/publication/25974939_oligarchy_and_democracy_in_indonesia, diakses pada April 2018.
Winters, Jeffrey dan Benjamin I. Page, “Oligarchy In United States?, dalam Perspective On Politics, 7:4 (Desember, 2009).
Zizek, Slavoj. First As Tragedy, Then As Farce. London and New York: Verso, 2009.
Zizek, Slavoj. “Hegel Itu Jauh Lebih Materialis Daripada Marx”. Majalah Cogito-Lingkar Studi Filsafat, 15 Oktober 2015.
Zizek, Slavoj. How to Read Lacan (New York: W. W. Norton and Company, Inc., 2006).
Zizek, Slavoj. The Most Sublime Historic; Hegel with Lacan. Cambridge: Polity Press Inc., 2014.

Catatan:
[1] Hasil wawancaranya Anja Steinbauer dengan Slavoj Zizek dalam versi bahasa Inggris diterbitkan dalam majalah Philosophy Now edisi 122 bulan Oktober-November tahun 2017. Artikel ini kemudian diterjemahkan Taufiqurrahman dan diterbitkan dalam majalah daring Cogito-Lingkar Studi Filsafat pada tanggal 15 Oktober 2015. Bdk. http://lsfcogito.org/slavoj-zizek-hegel-itu-jauh-lebih-materialis-daripada-marx/, diakses pada tanggal 28 Desember 2018. Tesis komparatif Zizek tentang kapitalisme sebagai fenomen ontologis dan kekalahan komunisme juga telah mewarnai tulisan dan karya-karya Zizek sebelumnya. Dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul First As Tragedy, Then As Farce (London and New York: Verso, 2009), Zizek menulis demikian, “Do we need any further that Capital is the Real of our lives, a Real whose imperatives are much more absolute than even the most pressing demands of our social and natural society. Most people today are Fukuyamaean, accepting liberal-democratic capitalism as the final found formula of the best possible society” (hlm. 80). Kendatipun demikian, disposisi tersebut tak boleh dibaca sebagai posisi metodologis dan dukungan Zizek terhadap kapitalisme. Walau menolak beberapa tesis Marxisme ortodoks,  Zizek tetap menaruh atensi dan setia pada komitmen perjuangan Marxis untuk melawan kapitalisme global.
[2] I. Wibowo, “Demokrasi dan Kapitalisme: Dua Obat Mujarab Untuk Sekali Tenggak”, dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (eds.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Frans Magnis Suseno (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 136-137.
[3] Bdk. Dieter Plehwe dan Bernhard Walpen, “Between Network and Complex Organization: The Making of Neoliberal Knowledge and Hegemony”, dalam Dieter Plehwe, et al (eds.), Neoliberal Hegemony: A Global Critique (London and New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2006), hlm. 27-28.
 [4] Arif Budimanta, “Oligarki di Indonesia”, Harian Kompas, 3 Maret 2018, hlm. 6.
[5] Haryanto, “Konfigurasi Elit dan Demokrasi: Aktor, Sumber Daya, dan Strategi Kontestasi”, Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017), hlm. 21-25.
[6] Kendatipun menjadi salah satu pendekatan yang cukup dominan, tematisasi oligarki tidak menjadi satu-satunya perspektif untuk memotret problem demokrasi di Indonesia. Beberapa penstudi demokrasi bahkan mengeritik pendekatan oligarki karena dianggap mengapologetisasi kekuasaan oligarkis di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Thomas B. Pepinsky dan Michelle Ford yang memakai pendekatan pluralisme kritis dan Edward Aspinall yang memberi perspektif aktivisme dan populisme elektoral. Bdk. Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky, “Melampaui Oligarki: Bahasan Kritis Kekuasaan Politik dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia”, Majalah Prisma, 33:1, 2014 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014), hlm. 3-11.
[7] Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 39. Teoretisasi oligarki oleh Winters dapat ditangkap dengan berpedoman pada datum konsentrasi kekayaan dan penguasaan pelbagai bidang strategis oleh para oligark. Dalam laporannya, Winters menulis bahwa pada tahun 2010, rata-rata kekayaan empat puluh oligark terkaya di Indonesia ekuivalen dengan lebih dari 630.000 kali lipat PDB per kapita. Padahal jumlah kaum oligark tersebut kurang dari 2 per 1.000.000 jumlah penduduk Indonesia. Jumlah aset mereka setara dengan 10 persen PDB. Bdk. Jeffrey A. Winters dan Benjamin I. Page, “Oligarchy In United States?, dalam Perspective On Politics, 7:4 (Desember, 2009), hlm. 731-753.
[8] Winters, “Oligarchy and Democracy In Indonesia” (PDF), dalam http:www.researchgate.net/publication/25974939_oligarchy_and_democracy_in_indonesia, diakses pada April 2018.
[9] Hadiz dan Robison, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”, Majalah Prisma, 33:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014), hlm. 37. Teoretisasi oligarki menurut Hadiz dan Robison dapat ditangkap dengan melihat fakta bahwa para elit politisi menguasai sekaligus partai politik, media massa, perusahaan dan bidang-bidang strategis tertentu. Beberapa di antaranya adalah Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, Dahlan Iskan, Setya Novanto, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dll.
[10] Ibid., hlm. 44-45.
[11] Bdk. Zizek, How to Read Lacan, New York and London: W. W. Norton and Company, Inc., 2006) hlm. 9.
[12] Donny Gahral Adian, Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer (Depok: Penerbit Koekoesan), hlm. 84-85.
[13] Reza A. A. Watimenna, Filsafat Anti Korupsi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), hlm. 185-186.
[14] Robertus Robet, op. cit., hlm. 78-82.
[15] Diolah penulis dari pelbagai sumber.
[16] Jaringan oligarki ini biasanya memiliki dan mengakumulasi banyak akses strategis bagi pencitraan (identifikasi simbolik total): partai politik, pendidikan, media massa dan jurnalisme, industri perfilman, perusahaan industry, dsb. Bdk. Winters, op. Cit., “Oligarchy and Democracy”, hlm. 26-28.
[17] Frans Djalong, “Populisme Elektoral dan Jurnalisme Elektoral di Indonesia (PDF)”, dalam developmentdemocracysecurity.org, diakses pada 11 Oktober 2018.
[18] Ilan Kapoor, The Postcolonial Politics of Development (London and New York: Routledge, 2008), hlm. 19-39.
[19] Untuk ulasan dan bacaan referensial yang lebih lengkap, baca Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam: Lima Masalah Sosial Ekonomi dan Politik Yang Meruntuhkan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm 221-228. Hemat penulis, buku setebal 326 halaman yang ditulis Dr. Alex Jebadu ini adalah salah satu literatur referensial yang mendalam, komprehensif dan up to date untuk memahami peta dan metodologi kerja kapitalisme predatoris yang telah dan sedang mengkooptasi bangsa dan negara Indonesia. Secara ringkas, buku ini hendak mengartikulasikan sebuah keniscayaan sahih bahwa pelbagai persoalan sosial-ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari manuver, kerja dan persekongkolan jahat (black conspiracy) para antek-antek neoliberal di tingkat global. Buku ini menjadi salah satu bahan wajib dalam kuliah Filsafat Lingkungan Hidup yang dibawakan Dr. Alex Jebadu bagi para mahasiswa/I Semester V STFK Ledalero.
[20] Bdk. Simon Springer, The Discourse of Neoliberalism: An Anatomy of Powerful Idea (London and New York: Rowman and Littlefield Ltd., 2016), hlm.  25.
[21] Anton Sangadji, “Kontradiksi Kapitalisme dan Rasisme”, dalam Dede Mulyanto dan Coen Husain Pontoh, Bela Islam atau Bela Oligarki?: Pertalian agama, Politik dan Kapitalisme di Indonesia (Pustaka Indoprogress dan Islam Bergerak, 2017), hlm. 20-23.
[22] Frans Djalong, “Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai”. (Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta), hlm. 9-10.
[23] Dalam artikel yang dipresentasikannya, Thomas Power juga mengangkat beberapa contoh konkrit penetrasi watak otoritarianisme pemerintahan Jokowi. Upaya mematikan kelas oposisi umpamanya dapat dirujuk dalam kasus Hary Tanoesoedibjo, salah seorang pengusaha yang mendonor sumber daya finansial kelas oposisi dan ketua umum Perindo. Setelah diterpa kasus hukum berupa ancaman terhadap hakim melalui pesan seluler, Hary kemudian mendeklarasikan dukungannya atas pemerintahan Jokowi. Komitmen Jokowi untuk melawan korupsi juga terlihat kontraproduktif ketika beberapa elit politik dari partai oposisi yang terindikasi kasus korupsi mendapatkan “suaka politiknya” setelah meleburkan dirinya ke lingkaran kekuasaan Jokowi. Beberapa di antaranya adalah Lukas Enembe (gubernur Papua), Abdul Ghani Kasuba (gubernur Maluku Utara) dan Zainul Majdi/tuan Guru Bajang (gubernur NTB). Dalam pilkada serentak 2018, banyak kandidat yang kemudian meninggalkan partai lamanya dan bergabung dengan partai-partai dalam koalisi Jokowi. Sementara itu, mobilisasi kekuatan militer oleh pemerintahan Jokowi umpamanya terdapat dalam konsolidasi komando struktur teritorial militer dan inisiasi tokoh dan institusi ketentaraan dalam program-program sosial dan ekonomi. Bdk. Thomas Power, “Jokowi’s Authoritarian Turn”, dalam htttp://www.newsmandala.org/jokowi’s-authoritarian-turn/, diakses pada 16 Oktober 2018, hlm 1-7.
[24] Vedi R. Hadiz, “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2014), hlm. 38-40.
[25] Samadhi, Willy P. dan Wegik Prasetyo. “Gerakan Pro-Demokrasi: Mengambang Tanpa Strategi Yang Benar”, Majalah Prisma, 36:1 (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2017), hlm. 67-83.
[26] M. Alfan Alfian, Mengapa Politik Menarik (Bekasi: Penerbit Ilmu Sejati, 2016), hlm. 56.
[27] Otto Gusti Madung, “Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme”, Jurnal Ledalero, 17:1 (Ledalero, Juni 2018, hlm. 61.
[28] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 269.
[29] Lasse Thommasen, “Hegemony, Populism and Democracy: Laclau and Mouffe Today (Review article)”, dalam Revista Espanola de Ciencia Politica 40 (March, 2016), hlm. 1-26. Kendatipun demikian, mengangkat gagasan populisme kiri tidak dengan sendirinya menutup diskusi bahwa  pathos kekuasaan yang memunggungi demos atau dapat diselesaikan. Berkaca dari fenomena Arab Spring di Middle East yang mengemuka beberapa tahun lalu, populisme kiri yang tidak terorganisasi secara politik nyatanya masih dapat dikooptasi dan digagalkan. Segera sesudah musuh (diktatorisme) bersama lenyap, mereka harus menghadapi tantangan lebih berat dalam memelihara persatuan di antara mereka (Heryanto, 2018). Michael Sandel (2018), profesor di Harvard University dalam analisis politiknya menyebutkan bahwa kebangkitan populisme kanan merupakan reaksi atas simtom kegagalan para elit partai sayap kiri (misalnya Democratic Party di Amerika, Labour Party di Inggris dan Social Democratic Party  di Jerman) dalam mengembangkan politik yang progresif. Kegagalan tersebut termaktub dalam kasus-kasus semisal kesenjangan ekonomi, kekacauan meritokrasi, problem martabat kerja, patriotisme dan nasionalisme. Sejarah juga membuktikkan konfigurasi kekuatan politik sayap kanan dan kiri dalam peta kekuasaan. Di Prancis misalnya, partai sayap kiri dan kanan memiliki bargaining position yang sama kuat. Akan tetapi, walaupun sama-sama mengartikulasi kepentingan konstituen, Front Nasional (yang dipimpin Le Pen) mengampanyekan pendekatan Xenophobic, rasial dan populisme ekslusif sambil front de gauche (Jean Luc Melenchon) memproposalkan populisme inklusif yang mengartikulasikan semua kelompok underdog (Thomassen, 2016).  Akan tetapi, yang mau diketengahkan adalah bahwa dominasi politik populis sayap kanan dan minusnya artikulasi populisme kiri sesungguhnya berkontribusi besar bagi stagnansi demokrasi dan artikulasi kemanusiaan. Untuk sepakat dengan tesis ini, kita hanya perlu berkaca pada sejarah yang pernah menyingkap negativitas dan sadisme gelombang politik sayap kanan yang xenophobic dan eksklusif-reaksioner. Fasisme di Italia, Holocaust yang menusuk batin, pembantaian ribuan ras Yugoslavia, hingga pembantaian ribuan anggota PKI adalah beberapa di antaranya. Ibaratnya, adalah lebih mulia membangun dunia bersama sambil membiarkan advocatus diaboli senantiasa mengusik kita dengan maksud menyelamatkan kita, daripada mencari kenyamanan eksklusif pada sebuah istana emas sambil merawat ketakutan akan bahaya pencuri yang sigap mengintai di ujung malam.
[31] Banawiratma, J. B. “Pembebasan, Agama dan Demokrasi: Sumbangan Teologi Pembebasan”, dalam Aziz, M. Iman dkk (eds.). Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 79-97.
[32] Frans M. Suseno, Dari Mao Ke Marcuse: Percikan Filsafat Pasca-Lenin (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 6

0 comments:

Post a Comment

 
;