Kapitalisme muncul menggantikan corak produksi feodalisme
yang tak lagi bisa membendung lajunya perkembangan produksi manusia.
Sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt, industri-industri rumahan,
industri tekstil, tergantikan dengan pabrik. Permintaan akan mesin uap ,
yang menggunakan bahan bakar batubara untuk memanaskan air sehingga dapat
digunakan uapnya, pun meningkat. Kapitalisme yang mengharuskan
pembukaan pasar terus menerus, menemukan pasar-pasar baru mereka
melalui kolonialisme. Pasar yang semakin luas membuat kebutuhan
untuk memenuhi pasar semakin tinggi. Penggunaan batubara sebagai
penghasil energi pun juga meningkat.
Pasalnya pemanfaatan batu bara mulai dari tahap
pencarian (eksplorasi), pengambilan (eksploitasi), hingga digunakan sebagai energi,
keseluruhan prosesnya merusak lingkungan. Tahap eksplorasi membutuhkan
pengeboran dan limbah pengeboran ini dibuang ke sungai. Pada tahap eksploitasi,
pembukaan hutan adalah jalan termurah, dan meninggalkan lubang-lubang bekas
tambang tanpa diperbaiki adalah jalan yang lebih murah lagi. Reklamasi lubang
tambang adalah kegiatan yang tidak dapat menghasilkan keuntungan bagi
para pemilik modal. Tahap terakhir, saat proses konversi batu bara menjadi
listrik, limbahnya hanya dibuang begitu saja ke udara.
Itu adalah satu contoh dari banyaknya
pola-pola kerusakan lingkungan yang ada. Yang bisa menyatukan berbagai
macam pola-pola tersebut hanya watak dari kapitalisme itu
sendiri. Kapitalisme itu eksploitatif, mengkeksploitasi apa saja yang
bisa dijadikan komoditi dan menekan ongkos produksi. Juga bersifat akumulatif,
modal harus bisa berlipat ganda menjadi keuntungan. Dan ekspansif, ini
mengharuskan membuka pasar termasuk mencari sumber-sumber energi baru.
Kerusakan lingkungan bukanlah hal yang terpisah dari ekonomi-politik.
Energi-energi fosil, meski dengan daya rusak lingkungan yang sangat
besar, dipilih karena dapat menekan ongkos produksi
sekaligus dijadikan komoditi dalam kapitalisme.
Harga yang harus dibayar sangat besar, yaitu
dengan pemanasan global. Sebelum revolusi industri angka emisi gas rumah kaca
hanya 1 gigaton menjadi 46,6 juta gigaton pada 2015; atau sekitar 1,4 juta kg
setiap detik. Efek rumah kaca memerangkap panas yang harusnya kembali ke luar
angkasa. Panas ini kemudian menyebabkan es di kutub mencair sehingga
membuat kenaikan permukaan air laut. Antara tahun 1992 sampai tahun 2011
Antartika telah kehilangan 76 milyar ton es tiap tahunnya, dan sejak tahun
2012, pencairan lapisan es itu telah mencapai 219 milyar ton per tahun. Sedangkan
kenaikan permukaan air laut mengalami tambahan kenakan setinggi 0,08 mm per
tahun, yang terjadi setiap tahun sejak 1993.
Di Indonesia pun kerusakan lingkungan semakin
parah setiap harinya. Sebagai salah satu dari 3 negara yang memiliki hutan
hujan tropis terluas, Indonesia memiliki peran penting dalam kelestarian alam
secara global. Namun kenyataannya, menurut data statistik Kementerian Kehutanan
tahun 2011, laju deforestasi di Indonesia pada periode 2000-2010 melesat hingga
1,2 juta hektar hutan alam setiap tahun. Dari sekitar 74 juta hektar
hutan yang dimiliki Kalimantan, hanya 71% yang tersisa pada 2005. Sementara
jumlahnya pada 2015 menyusut menjadi 55%. Jika laju penebangan hutan tidak
berubah, Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta hektar hutan hingga 2020,
artinya hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa. Konversi
hutan paling besar di Indonesia adalah untuk pertambangan dan
perkebunan sawit.
Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada
korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara
(minerba). Kerusakan yang ditimbulkan akibat operasi pertambangan ini juga
merusak sungai-sungai dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak
108 DAS mengalami kerusakan parah. Tidak berhenti sampai di situ, saat penggunaan
batubara untuk pembangkit listirik, limbah yang dibuang ke atmosfer juga
tidak kalah berbahayanya. Zat-zat berbahaya yang dikeluarkan adalah Merkuri,
CO2, NOx, SO2, dan PM 2,5. Sekitar 6.500 orang setiap tahunnya mengalami
kematian dini akibat terpapar zat-zat berbahaya. Zat-zat ini menyebabkan kanker
paru-paru, serangan asma, infeksi, gangguan fungsi dan perkembangan paru-paru
pada anak-anak.
Kehancuran berikutnya adalah dari perkebunan sawit. Pada
2015, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Borneo sudah mencapai 7 juta
hektare, atau 10 persen dari luas Kalimantan. Kerusakan tanah juga
diperparah dengan penggunaan pestisida dan hebrisida, yang akan mengalir ke
sungai-sungai di sekitarnya. Perkebunan sawit juga memicu kenaikan suhu antara
0.8 hingga 6 derajat Celcius, dan berpengaruh besar terhadap kehidupan
flora dan fauna. Dalam investigasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat
ada 3 perusahaan sawit terlibat dalam kebakaran besar di tahun 2015.
Kapitalisme juga semakin menggila dengan upaya percepatan produksi,
khususnya di sektor pertanian. Selain semakin sempitnya akses kepemilikan
tanah, petani-petani kecil juga mau tidak mau harus menggunakan zat
beracun agar bisa bersaing di pasar. Penggunaan pupuk kimia menjadi tak
terelakkan. Keseimbangan akan unsur hara akan rusak, pupuk kimia mengikat unsur
hara lebih banyak namun mematikan mikro-organisme tanah yang menyediakan
unsur hara tersebut. Bukan hanya di tanah, zat-zat beracun itu akan
mengalir ke sungai-sungai dan juga akan mematikan organisme di air.
Tanaman-tanaman gulma seperti enceng gondok akan tumbuh subur dan menghalangi
cahaya matahari masuk sebagai sumber energi organisme yang ada. Tidak
hanya itu saja, rezim Orde Baru mengenalkan konsep revolusi hijau dalam bidang
pertanian. Salah satunya adalah penggunaan tanaman dengan bibit transgenik atau
GMO (Genetically Modified Organism). Tanaman GMO ini ternyata mengandung
zat-zat berbahaya bagi tubuh manusia, salah satunya adalah penyebab kanker
dan kemandulan.
Selain naiknya permukaan air laut, lautan juga menjadi
tujuan limbah terbuang. Tentu kapitalisme tidak peduli karena limbah adalah
suatu hal yang tidak dapat membuat keuntungan. Hampir 91% PLTU di Indonesia
berada di pesisir. Limbahnya dibuang ke lautan yang menyebabkan suhu air
laut kemudian meningkat. Kelonggaran dalam regulasi memperbolehkan kenaikan
suhu maksimal hingga 40 derajat celsius. Padahal menurut penelitian jika suhu
air laut naik sampai 31,5 derajat celsius akan menyebabkan biota-biota laut
mati dan perubahan pola migrasi. Tingkat keasaman (pH) laut, yang saat ini
rata-rata antara 8,1-8,2, akan meningkat dan diproyeksikan menjadi 7,8 pada
tahun 2100. Hal ini tentu menyebabkan habitat ikan-ikan rusak. Termasuk
pemutihan terumbu karang yang terjadi seperti contoh kasus yang ada di Great
Barier Reef Australia, hampir setengah dari terumbu karang di sana memutih
dan mati. Koversi lahan mangrove juga terjadi. Sejak tahun 1982
hingga tahun 2000 Indonesia telah kehilangan lebih dari setengah hutan mangrove
nya, dari 4,2 juta hektar menjadi hanya 2 juta hektar.
Kondisi ini tidak main-main. Ambang batas kenaikan suhu 1,5
derajat celsius akan terlewati jika pola perusakan lingkungan tetap seperti
ini. Dalam laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) lembaga di bawah naungan PBB, setidaknya hingga tahun 2030 Bumi
akan memanas dengan kenaikan lebih dari 2 derajat celsius. Dampaknya luar
biasa, termasuk akan menyerang negara-negara miskin dengan persoalan
kelangkaan pangan. Serangga-serangga sebagai penyerbuk tanaman tidak sanggup
hidup dalam suhu ini dan akan perlahan punah. 99% terumbu karang akan
mati. 10 juta orang pada 2100 akan kehilangan tempat tinggal mereka karena
kenaikan permukaan air laut.
Ini sungguh di luar nalar. Kita menciptakan kiamat kita
sendiri. Namun ini bukanlah takdir, ini adalah ulah orang-orang yang
diuntungkan dari kerusakan alam. Berbagai perusahaan masih melenggang mulus
untuk mengeruk bumi dan membuang limbah seenaknya. Kita semua tahu
bahwa jika bencana datang seperti banjir bandang dan tanah longsor yang
menderita adalah dari rakyat-pekerja. Sedangkan para kapitalis mempunyai rumah
besar di daerah yang bebas dari banjir, tanah longsor dan abrasi. Atau jika
terkena bencana mereka masih mempunyai jaminan-jaminan asuransi. Jika mereka
terkena kanker akibat paparan polusi dan benih makanan tidak sehat, kelas
borjuis akan pergi berobat ke luar negeri. Sedangkan rakyat-pekerja hanya
menunggu ajal menjemput.
amun bukanlah perkembangan ekonomi dan teknologi yang
membuat kerusakan lingkungan. Kita tidak perlu terjebak dalam
logika kelestarian alam akan selalu berkontra-diksi dengan pertumbuhan
ekonomi. Penyebabnya hanyalah kapitalisme. Mereka akan melakukan
komodifikasi terhadap apapun termasuk benteng-benteng terakhir kelestarian alam
bumi. Mereka akan melakukan penekanan-penekanan ongkos produksi, termasuk
membuang limbah ke laut, sungai hingga meninggalkan lubang bekas
tambang begitu saja. Poin pentingnya adalah, kelestarian alam tidak
akan pernah terwujud dalam sistem ekonomi politik kapitalisme.
Kondisi rusaknya lingkungan itu tentu tidak dibiarkan saja.
Muncul berbagai konsep perlawanan yang juga menentukan cara dan metode
perlawanan yang berbeda. Teori popular pertama adalah teori Malthus.
Ia mengatakan bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat dari beban
populasi manusia yang berlebihan. Namun teori ini justru berkontradiksi
dengan kenyataan yang ada. Kapitalisme justru membutuhkan overpopulasi.
Kapitalis membiarkan populasi terus tumbuh sebagai pasar sekaligus tenaga
kerja baru. Kontradiksi yang lain adalah, menurut laporan FAO,
ada 1,3 miliar ton makanan terbuang percuma setiap tahunnya. Padahal
makanan sebanyak itu bisa mencukupi kebutuhan pangan 8,4 juta orang yang
kelaparan.
Teori kedua, yaitu dengan memberikan penghargaan kepada
komunitas-komunitas yang berhasil menjaga karbon agar tidak terlepas ke
atmosfer, layaknya ritual penebusan dosa di Abad Pertengahan. Jika
kapitalis-kapitalis ini membuang limbah ke udara melebihi batas regulasi,
mereka hanya tinggal membayar kepada komunitas-komunitas tersebut. Ada
juga model penghargaan dengan memberikan seritifikasi kepada produk yang
dianggap paling sedikit melakukan kerusakan lingkungan,
seperti RSPO. Tentu saja hal-hal ini tidak menghentikan proses
pengerusakan lingkungan yang ada. Naasnya, konsep-konsep ini justru digunakan
oleh NGO-NGO lingkungan.
Namun konsep perlawanan terhadap kerusakan lingkungan yang
paling mendominasi hari ini adalah “kembali kepada diri masing-masing”. Kita
sudah tidak asing lagi dengan gerakan memungut sampah, tidak menggunakan plastik,
hingga pelatihan-pelatihan pemanfaatan limbah. Memang secara sepintas gerakan
ini masuk akal. Namun pertanyaannya, seberapa efektif gerakan ini? Gerakan
ini justru menjauhkan kita dari akar masalahnya, yaitu sistem
ekonomi politik kapitalisme. Sistem hari ini memaksa kita untuk terus
mengkonsumsi plastik. Hampir semua produk hari ini tidak ada yang tidak
berplastik. Kondisinya, bahkan tingkat kesadaran akan bahaya lingkungan
bukanlah prioritas utama. Sampah domestik tidak terurus dengan baik. Karena
bagi pemerintah, mengurus sampah domestik bukanlah hal yang menguntungkan.
Bahkan menyediakan tempat sampah dan mensosialisasikannya saja tidak berjalan
karena tidak menguntungkan.
Lantas bagaimana cara menyelamatkan bumi dari kerusakan
lingkungan yang semakin parah? Cara menyelamatkannya tentu saja hanya dengan
mencabut kerusakan lingkungan dari akar masalahnya. Pertama-tama, kapitalisme
harus ditumbangkan. Kepentingan rakyat-pekerja karena bukan saja dihisap lewat
upah murah, namun ancaman akan kerusakan lingkungan juga tidak bisa dihindari.
Penumbangan kapitalisme ini tentu saja membutuhkan Partai Revolusioner yang
dapat menghimpun kekuataan rakyat-pekerja dan juga dapat menjadi ingatan
sejarah sekaligus penghubung politik upah murah dan kerusakan lingkungan dalam
pelanggengan kapitalisme. Selanjutnya, negara kapitalis harus digantikan
dengan negara buruh-rakyat pekerja. Sistem yang mana semua alat-alat produksi
dimiliki secara kolektif oleh kelas buruh-rakyat pekerja, dikelola dengan
demokratis, dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan kelas
buruh.
Sosialisme bertujuan untuk membagi-bagi kekayaan, bukan
membagi-bagi kemiskinan. Sosialisme ingin memenuhi kebutuhan hidup seluruh
kelas buruh dan rakyat. Untuk itu dibutuhkan perkembangan tenaga produktif,
perkembangan dari seluruh sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Industrialisasi adalah salah satu bagian darinya. Industrialisasi tak ramah
lingkungan memang harus dihentikan, namun menolak industrialisasi juga bukan
solusi.
Dalam proses industrialisasi kita membutuhkan waktu untuk
beralih ke energi ramah lingkungan seperti tenaga matahari, angin dan ombak.
Limbah-limbah yang ada akan disaring dan dijaga ketat hingga
dilakukan re-produksi. Limbah juga menjadi landasan kita untuk harus
bertransisi ke energi ramah lingkungan. Pertambangan (selagi membangun
pembangkit-pembangkit listrik ramah lingkungan) hanya dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan rakyat-pekerja. Listrik tidak dikomodifikasi. Pertanian
kita harus sesuai dengan prinsip ekologi yang berkelanjutan.
Konsep kolektifikasi pertanian yang mana petani penggarap
bekerja secara kolektif dengan kerja-kerja yang efisien dan didukung
pemanfaatan teknologi pertanian yang maju, akan menghasilkan produksi pangan
yang berkali-kali lipat lebih banyak bila dilakukan sendiri-sendiri.
Rehabilitasi lahan dan laut yang telah tercemar dijalankan. Revegetasi dan
penghutanan kembali juga tidak bisa memakai konsep seremonial belaka yang
mangabaikan jenis pohon dari spesies invasif yang justru akan merusak
ekosistem. Perlindungan terhadap flora dan fauna langka hingga
sosialisasi serta pendidikan ekologis melalui media, sekolah, kampus dan tempat
kerja dilakukan.
Kesemuanya ini tidak akan pernah bisa dilakukan selama masih
ada kapitalisme. Kelestarian alam dan kesejahteraan manusia tidak akan pernah
terwujud dalam sistem ekonomi politik kapitalisme. Hanya dengan sosialisme
lah kita bisa menyelamatkan masa depan bumi dan umat manusia.
0 comments:
Post a Comment