Film Sexy Killers (selanjutnya disebut SK)
dalam beberapa hari terakhir benar-benar menyedot perhatian banyak orang. Saya
sangat terkejut ketika di social media, seperti facebook dan instagram, muncul
orang-orang yang sebelumnya tidak pernah update isu-isu sosial yang spesifik,
seperti tambang ini, turut memberikan apresiasi terhadap film tersebut.
Setidaknya ada 3 tanggapan utama sepanjang pengamatan saya di twitter,
instagram, dan facebook. Pertama adalah orang-orang yang sebenarnya bukan
pendukung kedua pasangan calon pemimpin negara yang kemudian memutuskan untuk
menjadi golput.
Kedua adalah mereka yang muncul sebagai
enviromentalis nanggung cum dadakan, yang menghimbau untuk mengurangi
penggunaan listrik. Ketiga adalah pro-kontra soal kesejahteraan orang-orang
yang tinggal pada pemukiman di kawasan tambang. Reaksi ini membuktikan bahwa SK
berhasil membawa polemik industri energi ini ke audience yang lebih luas
dibandingkan hanya keributan di antara para aktivis, pengusaha, dan negara.
SK bagi saya sendiri memberikan pesan yang
begitu mendalam dan bukan hanya soal pemilu saja. Ia bukanlah semata-mata
sebagai kampanye golput, tetapi dapat dilihat dengan tujuan untuk membangun
wacana kritis, terutama dalam industri energi serta pertambangan.
Ambiguitas Negara
dalam Industri dan Distribusi Batubara
SK secara jelas menyajikan deret waktu dan
juga mata rantai distribusi batubara dalam kerangka industri energi. Dalam
adegan petani transmigran dan pertambangan di Samarinda, SK mengisahkan
bagaimana negara gagal dalam memelihara kesejahteraan masyarakat. Melalui
adegan tersebut, SK menunjukkan bahwa selain kesejahteraan, keselamatan juga
menjadi sesuatu yang dipertaruhkan dalam sektor industri energi ini. Dan kedua
hal ini dioperasikan melalui logika ambiguitas yang diproduksi dan direproduksi
oleh negara.
Penciptaan ambiguitas sangat penting
dilakukan untuk memelihara batas-batas dalam relasi kekuasaan. Ambigutias ini
secara mendasar dapat terlihat dalam hubungan kekuasaan yang cenderung
kontradiktif. [i] Kontradiktif di sini memiliki arti
bahwa negara sebagai badan penerbit regulasi secara inheren inkosisten dalam
menjalani regulasi-regulasinya. Inkonsistensi ini dapat terlihat dari bagaimana
negara menerapkan standar yang “tidak ketat” di dalam berbagai program,
termasuk di sektor industri tambang. Hal ini tentu saja pada ujungnya hanyalah
menguntungkan para pemilik modal, sementara masyarakat kecil mengalami
peminggiran. Ann Stoler pernah mencontohkan bagaimana kekuasaan kolonial
menggunakan ambiguitasnya. Melalui penciptaan konsep identitas kolonial di
dalam aturan-aturan perkebunan di Sumatera, aturan-aturan ini mengubah
sewaktu-waktu subyeknya dan pada gilirannya pengubahan ini dilakukan untuk
menyesuaikan kepentingan kolonial. [ii]
Ketika perlawanan rakyat kecil terhadap
suatu regulasi muncul, negara di sini justru menutup pintu untuk mengubah
regulasi tersebut. Di sini, sifat ambiguitas negara hanya berfungsi bagi
pemilik modal saja. Aturan-aturan yang secara normatif “berpihak pada rakyat
secara umum” dapat diterobos demi kepentingan pemilik modal. Lain halnya ketika
regulasi sudah jelas-jelas menguntungkan pemilik modal dan menyingkirkan rakyat
kecil, negara justru memperkuat regulasinya dengan berbagai cara. Dengan begitu,
maka kekuasaan negara selalu memiliki instrumennya bahkan di saat ia
berbenturan dengan perlawanan, sebagaimana pernah dijelaskan James Scott.[iii] Namun begitu, sifat kontradiksi ini akan selalu
mempertemukan kepentingan pemilik modal, melalui negara, dengan perlawanan
rakyat. Meskipun negara menutup pintunya, ambiguitas yang dipelihara negara
tetap saja membuka peluang bagi munculnya perlawanan-perlawanan dari bawah.
Pun dalam konteks industri batubara di
Indonesia, negara memainkan peran sebagai aktor yang menciptakan ambiguitas. SK
memperlihatkan bagaimana masyarakat yang “dituntun” dalam program dan peraturan
buatan negara justru sengaja dijadikan serta dipertahankan menjadi “yang lain”[iv]—mereka diposisikan tidak pernah mandiri bahkan stabil
sehingga dapat sewaktu-waktu dipindahkan atau diberikan “kepengaturan” lainnya
oleh negara itu sendiri. Menariknya, dalam mata rantai konsumsi batubara,
hampir di semua singgungan mulai dari produksi pada tambang batubara,
distribusi menggunakan kapal tongkang, hingga pengolahannya di PLTU,
seolah-olah ada kompromi dalam setiap aturan negara sehingga menjadikan visi
kepentingan umum dapat berkuasa untuk melakukan apa saja. Kontrol “koridor”
batubara harus steril karena ini untuk memenuhi kepentingan umum, seperti tulisan
pada beberapa perusahaan tambang dan energi, yaitu “obyek vital negara”.
Mengapa negara menciptakan ambiguitas?
Negara menjadi corong utama bagi para pemilik modal dan pengeruk keuntungan
sehingga dengan sendirinya negara justru menyediakan ruang untuk eksploitasi
sumberdaya alam dengan dalih kepentingan umum alih-alih menjamin kesejahteraan
warganya. Ada suatu watak negara yang dikatakan oleh Scott sebagai “high-modern
planning” dengan kuasanya untuk memindahkan orang-orang dan membuat kawasan pemukiman
baru.[v] Dalam pemaparan mengenai kepengaturan, Tania Li
menunjukkan bagaimana kehendak untuk memperbaiki justru tidak pernah mencapai
tujuannya yang mulia itu.[vi] Artinya, setelah munculnya
konstitusi pendirian negara, seluruh orang dan “wilayah” yang ditetapkan dalam
konstitusi tersebut “tunduk” di bawah negara dan sepakat dengan arahan atau
tujuan dari yang telah ditetapkan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya, negara
kemudian menguasai sumber daya alam yang ada di wilayahnya beserta dengan “pekerja”
yang diperhalus dengan istilah warga negara. Dalam kasus industri batubara,
negara benar-benar digunakan untuk mengamankan rantai keuntungan yang diserap
oleh beberapa orang dan merugikan orang-orang di sekitar tambang itu.
Cerita petani transmigran di Samarinda
dalam SK memuat keanehan proyeksi pembangunan yang dibuat negara. Datang dari
Bali ke Samarinda pada dekade 1980-an melalui program transmigrasi, petani
tersebut dipenjara selama 3 bulan setelah menolak tambang yang mulai beroperasi
di sekitar tempat tinggalnya. Adegan ini memperlihatkan ketidakjelasan visi
negara dalam menyejahterakan warga negaranya. Transmigrasi adalah sebuah
program buatan negara untuk peningkatan produksi pertanian pada lahan-lahan
yang dirasa “kurang produktif” dengan cara “menaruh” warga negaranya sebagai
tenaga kerja di lahan itu. Tetapi 20 tahun kemudian, tambang justru datang
membawa cara produksi yang berbeda dengan pertanian dan kebutuhan akan tenaga
kerja baru yang berarti “penyingkiran” sebagian besar tenaga kerja yang lama
SK juga menunjukkan ketidakjelasan visi
negara dalam mengurus teritorinya melalui lalu lintas kapal tongkang batubara
yang mencemari kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Dalih kepentingan umum yang
mungkin dipakai untuk melegitimasi pencemaran Taman Nasional bahkan dibantah
oleh film ini. Sumber mata pencaharian yang dilewati oleh mata rantai batubara
ini juga mengalami penurunan hasil, seperti seorang petani kelapa dan nelayan
yang hasilnya berkurang ketika ada PLTU.
Sexy Killers memberikan sebuah gambaran
soal bagaimana para pengusaha mengambil keuntungan dalam proses produksi
listrik melalui penggunaan negara sebagai alat produksi. Banyak orang yang
hidup di kawasan itu dipaksa menyesuaikan dengan proses produksi ini dan juga
proses pengambilan keuntungan tersebut. Penyesuaian ini dilakukan dengan
memanfaatkan kekuatan militer sehingga cenderung represif. Terkadang, senjata
yang digunakan adalah retorika hitam putih, seperti legal-ilegal dan
sebagainya.[vii] Kebijakan dan program program yang
seharusnya menjadi alat negara untuk memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya
justru menciptakan kerentanan, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten.
Pilihan
Alternatif, Mungkinkah?
Ada berbagai perspektif yang menawarkan
kerangka berpikir untuk mengurai “masalah-masalah” pembangunan. Saya mengacu
pada pemikiran Arturo Escobar yang cukup konsisten menawarkan social movements
sebagai cara untuk “melewati” era pembangunan dalam dunia ketiga.[viii]
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, negara memainkan peran sebagai pencipta ambiguitas untuk memelihara
kekuasaan atas tenaga kerja dan wilayah. Hal ini tentunya melihat bahwa negara
adalah perpanjangan tangan dari pemilik modal. Ambiguitas, yang diciptakan
untuk tujuan memelihara keuntungan bagi pemilik modal, tentunya dapat
dikompromikan sebagaimana Ann Stoler menguraikan identitas “kolonial” yang
sebenarnya hanyalah istilah abstrak yang dengan mudah dapat diubah.
Escobar menilai bahwa modernitas gagal
menyelesaikan masalah umat manusia hari-hari ini.[ix]
Persis seperti orang-orang yang kepanasan justru memilih untuk membeli Air
Conditioner untuk rumahnya dibandingkan dengan menanam pohon. Ambiguitas negara
dengan sendirinya menciptakan peluang bagi gerakan sosial dari kelompok
masyarakat, seperti NGO atau kelompok-kelompok “non-formal” lainnya untuk
mengubah posisinya dengan melihat bahwa keuntungan bukan lagi melalui cara
eksploitasi dan membiarkan degradasi lingkungan untuk keuntungan bisnis para
pengusaha, tetapi dengan memelihara kesejahteraan masyarakat, seperti
menyediakan jaminan kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan subsisten bagi kaum
miskin dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Peluang ini terlihat dari
sifat kontradiksi negara antara tujuan dan praktik sehingga sifat ambiguitas
cenderung memudahkan eksploitasi sumberdaya alam.
Tantangan utamanya, seperti terlihat dalam
film ini, adalah kekuatan militeristik dan profit besar dalam waktu singkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa langgengnya industri ekstraktif di Indonesia
adalah praktik-praktik “curang” yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk
memuluskan bisnisnya itu. Gerakan sosial menjadi salah satu alternatif di mana
masalah akuntabilitas dan keterbukaan menjadi semangat dalam membawa isu-isu
yang lebih dapat menyelesaikan persoalan sehari-hari. Tidak lupa seperti yang
ditekankan oleh Escobar, place-based social movements akan menjadi basis
praktik dari pengelolaan khusus pada tempat yang khusus.[x]
Ini tentunya tidak lupa dengan memelihara jejaring gerakan sosial di wilayah lain
dengan tujuan berbagi informasi dan pengetahuan atas penggunaan peralatan atau
kebutuhan teknikal lainnya.
Benang kusut dalam industri energi
berbahan dasar batubara yang disajikan oleh Sexy Killers agaknya cukup
membingungkan untuk diurai. Persis seperti tanggapan-tangaapan di media sosial
yang cukup beragam setelah menonton film tersebut. Masalah yang menyelimuti
batubara akan dominan terlihat pada kerusakan ekosistem baru kemudian strategi
mata pencaharian masyarakat di luar pekerjaan “formal”. Lalu, apakah
menggantungkan ataupun menuntut negara untuk setiap kerusakan ini adalah
satu-satunya pilihan yang dapat kita tempuh?
Klaim pembangunan infratsruktur[xi] atau bentuk “tanggung jawab lain” tidak ditujukan
untuk membagi keuntungan hasil industri ini dengan masyarakat sekitar. Ini
lebih digerakkan untuk membungkam masyarakat yang cerewet dan memiliki banyak
permintaan. Hampir tidak ada pembagian keuntungan secara nyata dari industri
ini ke masyarakat sekitarnya. Argumen ini tentu saja tidak menyertakan bahwa
jual-beli lahan ataupun kesempatan kerja adalah sebuah keuntungan, tetapi itu
adalah sesuatu kewajiban yang harus dijalankan oleh perusahaan.
Metode yang digunakan oleh Watchdoc saat
film ini diluncurkan pada awalnya mungkin menjadi salah satu pintu gerbang
menuju pilihan alternatif dalam mengatasi masalah utopia pembangunan. Menonton
film secara bersama-sama lalu membuat diskusi dari film itu diharapkan akan
menghasilkan suatu pandangan-pandangan alternatif untuk mengatasi kontradiksi
dari wacana “kepentingan umum” yang disajikan dalam film itu. Gerakan sosial
sangat penting melihat bahwa pembangunan dengan negara sebagai corongnya dan
digerakkan oleh sektor privat, telah abai dalam memenuhi janjinya.[xii]
Akhirnya, film ini sebaiknya bukan lagi
diperdebatkan dalam kerangka partisipasi politik elektoral. Tetapi lebih luas,
film ini seharusnya menumbuhkan kesadaran politik kolektif untuk menghantam
oligarki yang terbukti merusak dan melakukan intesifikasi serta proliferasi
keuntungan untuk dirinya sendiri.
[i]
Riker, William H. 1964. Some Ambiguities in the Notion of Power. The American
Political Science Review, Vol. 58, No. 2 (Jun., 1964), pp. 341-349
[ii]
Stoler, Ann Laura. 1989. Rethinking Colonial Categories: European Communities
and the Boundaries of Rule. Comparative Studies in Society and History , Vol.
31, No. 1 (Jan., 1989), pp. 134-161
[iii]
Li, Tania Murray.2005. Beyond “the State” and Failed Schemes. American
Anthropologist. Vol. 107, No. 3 September 2005. pp. 383–394
[iv]
Stoler, Ann and Frederick Cooper. 1989. Introduction Tension of Empire:
Colonial Control and Vision of Rule. American Ethnologist: 609 – 621
[vi]
Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan
Pembangunan di Indonesia. Marjin Kiri. Tangerang Selatan
[vii]
Tsing, Anna Lowenhaupt. Natural Resource and Capitalist Frontiers. Economic and
Political Weekly, Vol. 38, No. 48 (Nov. 29 – Dec. 5, 2003), pp. 5100-5106
[viii]
Escobar, Arturo. 1992. Imagining a Post-Development Era? Critical Thought,
Development and Social Movements. Social Text, No. 31/32, Third World and
Post-Colonial Issues, pp. 20-56
[ix]
Escobar, Arturo. 2004. Beyond the Third Wolrd: Imperial Globality, Global
Coloniality and Anti-globalisation Social Movements, Third World Quaterly,
25:1, 207-230
[x]
Escobar, 2004:221.
[xi]
Mengacu kritik Li untuk perkebunan skala besar meskipun ada perbedaan dengan
pembahasan industri tambang pada film Sexy Killers dan tulisan ini, tetapi
sebenarnya memiliki pola yang sama untuk melihat kesempatan pekerjaan “formal”
dalam industri. Lihat: Li, Tania Murray. 2011. Centering labor in the land grab
debate. Journal of Peasant Studies, 38(2): 281-298.
[xii]
Escobar, Arturo. 1995. Encountering Development: The Making and Unmaking of The
Third World. Princeton University Press. Princeton and New Jersey
0 comments:
Post a Comment