Thursday, February 27, 2020

Ambiguitas Negara dalam Sexy Killers


Film Sexy Killers (selanjutnya disebut SK) dalam beberapa hari terakhir benar-benar menyedot perhatian banyak orang. Saya sangat terkejut ketika di social media, seperti facebook dan instagram, muncul orang-orang yang sebelumnya tidak pernah update isu-isu sosial yang spesifik, seperti tambang ini, turut memberikan apresiasi terhadap film tersebut. Setidaknya ada 3 tanggapan utama sepanjang pengamatan saya di twitter, instagram, dan facebook. Pertama adalah orang-orang yang sebenarnya bukan pendukung kedua pasangan calon pemimpin negara yang kemudian memutuskan untuk menjadi golput.
Kedua adalah mereka yang muncul sebagai enviromentalis nanggung cum dadakan, yang menghimbau untuk mengurangi penggunaan listrik. Ketiga adalah pro-kontra soal kesejahteraan orang-orang yang tinggal pada pemukiman di kawasan tambang. Reaksi ini membuktikan bahwa SK berhasil membawa polemik industri energi ini ke audience yang lebih luas dibandingkan hanya keributan di antara para aktivis, pengusaha, dan negara.
SK bagi saya sendiri memberikan pesan yang begitu mendalam dan bukan hanya soal pemilu saja. Ia bukanlah semata-mata sebagai kampanye golput, tetapi dapat dilihat dengan tujuan untuk membangun wacana kritis, terutama dalam industri energi serta pertambangan.

Ambiguitas Negara dalam Industri dan Distribusi Batubara
SK secara jelas menyajikan deret waktu dan juga mata rantai distribusi batubara dalam kerangka industri energi. Dalam adegan petani transmigran dan pertambangan di Samarinda, SK mengisahkan bagaimana negara gagal dalam memelihara kesejahteraan masyarakat. Melalui adegan tersebut, SK menunjukkan bahwa selain kesejahteraan, keselamatan juga menjadi sesuatu yang dipertaruhkan dalam sektor industri energi ini. Dan kedua hal ini dioperasikan melalui logika ambiguitas yang diproduksi dan direproduksi oleh negara.
Penciptaan ambiguitas sangat penting dilakukan untuk memelihara batas-batas dalam relasi kekuasaan. Ambigutias ini secara mendasar dapat terlihat dalam hubungan kekuasaan yang cenderung kontradiktif. [i] Kontradiktif di sini memiliki arti bahwa negara sebagai badan penerbit regulasi secara inheren inkosisten dalam menjalani regulasi-regulasinya. Inkonsistensi ini dapat terlihat dari bagaimana negara menerapkan standar yang “tidak ketat” di dalam berbagai program, termasuk di sektor industri tambang. Hal ini tentu saja pada ujungnya hanyalah menguntungkan para pemilik modal, sementara masyarakat kecil mengalami peminggiran. Ann Stoler pernah mencontohkan bagaimana kekuasaan kolonial menggunakan ambiguitasnya. Melalui penciptaan konsep identitas kolonial di dalam aturan-aturan perkebunan di Sumatera, aturan-aturan ini mengubah sewaktu-waktu subyeknya dan pada gilirannya pengubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan kepentingan kolonial. [ii]
Ketika perlawanan rakyat kecil terhadap suatu regulasi muncul, negara di sini justru menutup pintu untuk mengubah regulasi tersebut. Di sini, sifat ambiguitas negara hanya berfungsi bagi pemilik modal saja. Aturan-aturan yang secara normatif “berpihak pada rakyat secara umum” dapat diterobos demi kepentingan pemilik modal. Lain halnya ketika regulasi sudah jelas-jelas menguntungkan pemilik modal dan menyingkirkan rakyat kecil, negara justru memperkuat regulasinya dengan berbagai cara. Dengan begitu, maka kekuasaan negara selalu memiliki instrumennya bahkan di saat ia berbenturan dengan perlawanan, sebagaimana pernah dijelaskan James Scott.[iii] Namun begitu, sifat kontradiksi ini akan selalu mempertemukan kepentingan pemilik modal, melalui negara, dengan perlawanan rakyat. Meskipun negara menutup pintunya, ambiguitas yang dipelihara negara tetap saja membuka peluang bagi munculnya perlawanan-perlawanan dari bawah.
Pun dalam konteks industri batubara di Indonesia, negara memainkan peran sebagai aktor yang menciptakan ambiguitas. SK memperlihatkan bagaimana masyarakat yang “dituntun” dalam program dan peraturan buatan negara justru sengaja dijadikan serta dipertahankan menjadi “yang lain”[iv]—mereka diposisikan tidak pernah mandiri bahkan stabil sehingga dapat sewaktu-waktu dipindahkan atau diberikan “kepengaturan” lainnya oleh negara itu sendiri. Menariknya, dalam mata rantai konsumsi batubara, hampir di semua singgungan mulai dari produksi pada tambang batubara, distribusi menggunakan kapal tongkang, hingga pengolahannya di PLTU, seolah-olah ada kompromi dalam setiap aturan negara sehingga menjadikan visi kepentingan umum dapat berkuasa untuk melakukan apa saja. Kontrol “koridor” batubara harus steril karena ini untuk memenuhi kepentingan umum, seperti tulisan pada beberapa perusahaan tambang dan energi, yaitu “obyek vital negara”.
Mengapa negara menciptakan ambiguitas? Negara menjadi corong utama bagi para pemilik modal dan pengeruk keuntungan sehingga dengan sendirinya negara justru menyediakan ruang untuk eksploitasi sumberdaya alam dengan dalih kepentingan umum alih-alih menjamin kesejahteraan warganya. Ada suatu watak negara yang dikatakan oleh Scott sebagai “high-modern planning” dengan kuasanya untuk memindahkan orang-orang dan membuat kawasan pemukiman baru.[v] Dalam pemaparan mengenai kepengaturan, Tania Li menunjukkan bagaimana kehendak untuk memperbaiki justru tidak pernah mencapai tujuannya yang mulia itu.[vi] Artinya, setelah munculnya konstitusi pendirian negara, seluruh orang dan “wilayah” yang ditetapkan dalam konstitusi tersebut “tunduk” di bawah negara dan sepakat dengan arahan atau tujuan dari yang telah ditetapkan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya, negara kemudian menguasai sumber daya alam yang ada di wilayahnya beserta dengan “pekerja” yang diperhalus dengan istilah warga negara. Dalam kasus industri batubara, negara benar-benar digunakan untuk mengamankan rantai keuntungan yang diserap oleh beberapa orang dan merugikan orang-orang di sekitar tambang itu.
Cerita petani transmigran di Samarinda dalam SK memuat keanehan proyeksi pembangunan yang dibuat negara. Datang dari Bali ke Samarinda pada dekade 1980-an melalui program transmigrasi, petani tersebut dipenjara selama 3 bulan setelah menolak tambang yang mulai beroperasi di sekitar tempat tinggalnya. Adegan ini memperlihatkan ketidakjelasan visi negara dalam menyejahterakan warga negaranya. Transmigrasi adalah sebuah program buatan negara untuk peningkatan produksi pertanian pada lahan-lahan yang dirasa “kurang produktif” dengan cara “menaruh” warga negaranya sebagai tenaga kerja di lahan itu. Tetapi 20 tahun kemudian, tambang justru datang membawa cara produksi yang berbeda dengan pertanian dan kebutuhan akan tenaga kerja baru yang berarti “penyingkiran” sebagian besar tenaga kerja yang lama
SK juga menunjukkan ketidakjelasan visi negara dalam mengurus teritorinya melalui lalu lintas kapal tongkang batubara yang mencemari kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Dalih kepentingan umum yang mungkin dipakai untuk melegitimasi pencemaran Taman Nasional bahkan dibantah oleh film ini. Sumber mata pencaharian yang dilewati oleh mata rantai batubara ini juga mengalami penurunan hasil, seperti seorang petani kelapa dan nelayan yang hasilnya berkurang ketika ada PLTU.
Sexy Killers memberikan sebuah gambaran soal bagaimana para pengusaha mengambil keuntungan dalam proses produksi listrik melalui penggunaan negara sebagai alat produksi. Banyak orang yang hidup di kawasan itu dipaksa menyesuaikan dengan proses produksi ini dan juga proses pengambilan keuntungan tersebut. Penyesuaian ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan militer sehingga cenderung represif. Terkadang, senjata yang digunakan adalah retorika hitam putih, seperti legal-ilegal dan sebagainya.[vii] Kebijakan dan program program yang seharusnya menjadi alat negara untuk memenuhi kebutuhan setiap warga negaranya justru menciptakan kerentanan, bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten.
Pilihan Alternatif, Mungkinkah?
Ada berbagai perspektif yang menawarkan kerangka berpikir untuk mengurai “masalah-masalah” pembangunan. Saya mengacu pada pemikiran Arturo Escobar yang cukup konsisten menawarkan social movements sebagai cara untuk “melewati” era pembangunan dalam dunia ketiga.[viii]
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, negara memainkan peran sebagai pencipta ambiguitas untuk memelihara kekuasaan atas tenaga kerja dan wilayah. Hal ini tentunya melihat bahwa negara adalah perpanjangan tangan dari pemilik modal. Ambiguitas, yang diciptakan untuk tujuan memelihara keuntungan bagi pemilik modal, tentunya dapat dikompromikan sebagaimana Ann Stoler menguraikan identitas “kolonial” yang sebenarnya hanyalah istilah abstrak yang dengan mudah dapat diubah.
Escobar menilai bahwa modernitas gagal menyelesaikan masalah umat manusia hari-hari ini.[ix] Persis seperti orang-orang yang kepanasan justru memilih untuk membeli Air Conditioner untuk rumahnya dibandingkan dengan menanam pohon. Ambiguitas negara dengan sendirinya menciptakan peluang bagi gerakan sosial dari kelompok masyarakat, seperti NGO atau kelompok-kelompok “non-formal” lainnya untuk mengubah posisinya dengan melihat bahwa keuntungan bukan lagi melalui cara eksploitasi dan membiarkan degradasi lingkungan untuk keuntungan bisnis para pengusaha, tetapi dengan memelihara kesejahteraan masyarakat, seperti menyediakan jaminan kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan subsisten bagi kaum miskin dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Peluang ini terlihat dari sifat kontradiksi negara antara tujuan dan praktik sehingga sifat ambiguitas cenderung memudahkan eksploitasi sumberdaya alam.
Tantangan utamanya, seperti terlihat dalam film ini, adalah kekuatan militeristik dan profit besar dalam waktu singkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa langgengnya industri ekstraktif di Indonesia adalah praktik-praktik “curang” yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk memuluskan bisnisnya itu. Gerakan sosial menjadi salah satu alternatif di mana masalah akuntabilitas dan keterbukaan menjadi semangat dalam membawa isu-isu yang lebih dapat menyelesaikan persoalan sehari-hari. Tidak lupa seperti yang ditekankan oleh Escobar, place-based social movements akan menjadi basis praktik dari pengelolaan khusus pada tempat yang khusus.[x] Ini tentunya tidak lupa dengan memelihara jejaring gerakan sosial di wilayah lain dengan tujuan berbagi informasi dan pengetahuan atas penggunaan peralatan atau kebutuhan teknikal lainnya.
Benang kusut dalam industri energi berbahan dasar batubara yang disajikan oleh Sexy Killers agaknya cukup membingungkan untuk diurai. Persis seperti tanggapan-tangaapan di media sosial yang cukup beragam setelah menonton film tersebut. Masalah yang menyelimuti batubara akan dominan terlihat pada kerusakan ekosistem baru kemudian strategi mata pencaharian masyarakat di luar pekerjaan “formal”. Lalu, apakah menggantungkan ataupun menuntut negara untuk setiap kerusakan ini adalah satu-satunya pilihan yang dapat kita tempuh?
Klaim pembangunan infratsruktur[xi] atau bentuk “tanggung jawab lain” tidak ditujukan untuk membagi keuntungan hasil industri ini dengan masyarakat sekitar. Ini lebih digerakkan untuk membungkam masyarakat yang cerewet dan memiliki banyak permintaan. Hampir tidak ada pembagian keuntungan secara nyata dari industri ini ke masyarakat sekitarnya. Argumen ini tentu saja tidak menyertakan bahwa jual-beli lahan ataupun kesempatan kerja adalah sebuah keuntungan, tetapi itu adalah sesuatu kewajiban yang harus dijalankan oleh perusahaan.
Metode yang digunakan oleh Watchdoc saat film ini diluncurkan pada awalnya mungkin menjadi salah satu pintu gerbang menuju pilihan alternatif dalam mengatasi masalah utopia pembangunan. Menonton film secara bersama-sama lalu membuat diskusi dari film itu diharapkan akan menghasilkan suatu pandangan-pandangan alternatif untuk mengatasi kontradiksi dari wacana “kepentingan umum” yang disajikan dalam film itu. Gerakan sosial sangat penting melihat bahwa pembangunan dengan negara sebagai corongnya dan digerakkan oleh sektor privat, telah abai dalam memenuhi janjinya.[xii]
Akhirnya, film ini sebaiknya bukan lagi diperdebatkan dalam kerangka partisipasi politik elektoral. Tetapi lebih luas, film ini seharusnya menumbuhkan kesadaran politik kolektif untuk menghantam oligarki yang terbukti merusak dan melakukan intesifikasi serta proliferasi keuntungan untuk dirinya sendiri.


[i] Riker, William H. 1964. Some Ambiguities in the Notion of Power. The American Political Science Review, Vol. 58, No. 2 (Jun., 1964), pp. 341-349
[ii] Stoler, Ann Laura. 1989. Rethinking Colonial Categories: European Communities and the Boundaries of Rule. Comparative Studies in Society and History , Vol. 31, No. 1 (Jan., 1989), pp. 134-161
[iii] Li, Tania Murray.2005. Beyond “the State” and Failed Schemes. American Anthropologist. Vol. 107, No. 3 September 2005. pp. 383–394
[iv] Stoler, Ann and Frederick Cooper. 1989. Introduction Tension of Empire: Colonial Control and Vision of Rule. American Ethnologist: 609 – 621
[v] Scott dalam Li, 2005: 385
[vi] Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Marjin Kiri. Tangerang Selatan
[vii] Tsing, Anna Lowenhaupt. Natural Resource and Capitalist Frontiers. Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 48 (Nov. 29 – Dec. 5, 2003), pp. 5100-5106
[viii] Escobar, Arturo. 1992. Imagining a Post-Development Era? Critical Thought, Development and Social Movements. Social Text, No. 31/32, Third World and Post-Colonial Issues, pp. 20-56
[ix] Escobar, Arturo. 2004. Beyond the Third Wolrd: Imperial Globality, Global Coloniality and Anti-globalisation Social Movements, Third World Quaterly, 25:1, 207-230
[x] Escobar, 2004:221.
[xi] Mengacu kritik Li untuk perkebunan skala besar meskipun ada perbedaan dengan pembahasan industri tambang pada film Sexy Killers dan tulisan ini, tetapi sebenarnya memiliki pola yang sama untuk melihat kesempatan pekerjaan “formal” dalam industri. Lihat: Li, Tania Murray. 2011. Centering labor in the land grab debate. Journal of Peasant Studies, 38(2): 281-298.
[xii] Escobar, Arturo. 1995. Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third World. Princeton University Press. Princeton and New Jersey

0 comments:

Post a Comment

 
;