Showing posts with label kritik. Show all posts
Showing posts with label kritik. Show all posts
Tuesday, March 30, 2021 0 comments

Cina, Negara Imperialis Baru?

SEBAGAI negara yang tengah menjadi kekuatan global baru, Cina sering dianggap sebagai kekuatan baru yang akan menggantikan hegemoni Amerika Serikat yang tengah meredup. Ekspansi ekonomi besar-besaran ke banyak negara yang diiringi dengan meningkatnya pengaruh politik global Cina, membuat pandangan ini tidak sepenuhnya keliru. Tidak heran jika kemudian kebangkitan pengaruh politik tersebut menciptakan banyak pertanyaan terkait status Cina dalam kapitalisme kontemporer.

Dalam konteks ini, salah satu pertanyaan yang kerap diajukan adalah apakah Cina dapat dikatakan sebagai negara imperialis baru? Bagi kalangan Marxis, masifnya perkembangan ekonomi Cina pasca adopsi sistem kapitalisme-pasar (dalam derajat tertentu tentunya) yang diiringi peningkatan pengaruh ekonomi globalnya membuat pertanyaan tersebut menjadi terbukti dengan sendirinya. Tidak heran jika kemudian banyak yang menganggap Cina dapat dimasukkan ke dalam kelompk yang sama dengan kekuatan negara-negara kapitalis imperialis lainya.  Implikasi dari perspektif ini bagi Gerakan sosial Indonesia tentu sangat jelas: bahwa kebangkitan pengaruh Cina di tingkatan global harus disikapi secara sama seperti kekuatan imperialis lainnya, dengan perlawanan. Dengan kata lain, Cina sebagai kekuatan baru harus ditempatkan sebagai musuh selayaknya kekuatan imperialisme negara-negara barat lainnya.

Thursday, March 18, 2021 0 comments

Aksi Massa dan Desakan Pembangunan Politik Alternatif

Fenomena aksi massa akhir-akhir ini menjadi tren untuk melawan narasi kebijakan neoliberal yang hanya menguntungkan segelintir orang, dalam hal ini adalah para elite pemerintah dan investor. Aksi massa digunakan untuk membendung dan mencabut kebijakan yang sama sekali tidak pro rakyat. Sayangnya, ada kecenderungan gerakan aksi massa yang dilakukan masih sektoral dan kurang terkonsolidasi. Mahasiswa berkumpul dengan kelompoknya sendiri, buruh dengan kelompoknya sendiri, begitupun juga dengan ‘petani’. Tulisan ini hendak menjelaskan pentingnya aksi massa lintas sektor dan desakan untuk membentuk sebuah komite alternatif di tengah dominasi oligarki.

Friday, March 12, 2021 0 comments

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (3): Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan

 

Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan

Jika pendidikan dan institusi pendidikan demokrasi egaliter dianggap sesuatu yang radikal dikarenakan tujuannya yang adalah untuk mengadvokasi perubahan politik dan sosial yang menyeluruh, maka mengutip Giroux, “adalah suatu hal yang mustahil menjadi seorang yang radikal tanpa dipenuhi harapan.” Pendidikan dan institusi pendidikan demokratis harus turut memulihkan apa yang disebut oleh filsuf Marxis Ernst Bloch (1995) dalam bukunya The Principle of Hope ketika berbicara mengenai harapan, ‘forward dreaming‘ atau ‘mimpi ke depan’.

Friday, February 26, 2021 0 comments

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (1): Terbuka akan Kelemahan

 

BEBERAPA pemikir pendidikan kritis seperti Michael Apple dan Henry Giroux, yang mengembangkan gagasan John Dewey, Antonio Gramsci, dan Paulo Freire tentang sekolah-sekolah yang berciri emansipatoris, mengusulkan konsep pendidikan yang diberi nama democratic education (pendidikan demokratis), yang kemudian diaktualisasikan ke dalam democratic schooling (sekolah demokratis) dan democratic educators (pendidik demokratis).

Tidak ada definisi yang disetujui secara umum tentang suatu pendidikan, pendidik dan sekolah/institusi pendidikan yang demokratis. Sebab, pengertian dari demokrasi itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang (untuk memahami perdebatan terkini tentang pendidikan demokratis, lihat Sant, 2019). Akan tetapi dalam praktiknya secara umum, termasuk di Indonesia, demokrasi masih sering didefinisikan atau dipahami secara dangkal sebagai proses pemilihan pemimpin politik yang dilakukan secara kompetitif untuk menempati posisi legislatif dan/atau eksekutif.

Friday, February 19, 2021 0 comments

Ruang-Ruang Kontra-Hegemoni dalam Dunia Pendidikan

GAMBARAN tentang bagaimana sistem pendidikan kita bekerja, seperti halnya tentang cara kerja sistem sosial yang ada, terbilang kompleks dan kelam, seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan. Apakah mungkin ada harapan untuk perubahan di dalam sebuah sistem yang hegemonik? Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis dari Malta, sedikit memberi kita harapan ketika ia mengatakan bahwa “hegemoni tidak pernah sempurna”: selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra-hegemoni. Kita bicara di sini tentang bagaimana membangun suatu kontra-hegemoni yang memanusiakan serta menawarkan antitesis dari nilai-nilai dominan yang menindas.

Saturday, February 13, 2021 0 comments

“Merdeka Belajar” Gaya Menteri Nadiem: Apanya yang Merdeka?

           TIADA hari kita lalui tanpa mendengar seruan mengenai pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 menimpa Indonesia di awal 2020, jargon “Revolusi Industri 4.0” digaungkan tanpa henti di media dan para politisi yang ingin terlihat progresif tak kunjung berhenti bicara mengenai pentingnya “revolusi” ini segera diimplementasikan dalam semua lini kebijakan negara, termasuk, dan mungkin terutama, di sektor pendidikan.

“Agar kita tidak kalah bersaing dan demi masa depan bangsa kita,” begitulah kira-kira slogannya.

Setelah terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai kepala negara yang “baik”, salah satu wujud aktualisasi “revolusi” ini adalah terpilihnya Nadiem Makarim untuk mengepalai arah baru pendidikan Indonesia. Layaknya menginisiasi startup yang menawarkan pembaharuan, Nadiem membawa konsepsi baru tentang arah pendidikan bangsa kita, yang ia namakan “Merdeka Belajar”. Namun, jika dilusuri lebih lanjut, definisi “merdeka” Nadiem hanya mendaur-ulang logika lama pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan utama pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja.

Friday, January 15, 2021 0 comments

Kapitalisme Merusak Sains

 

Marketisasi merangkak telah menciptakan insentif yang merugikan bagi para peneliti – korupsi besar-besaran yang terus mengancam sains itu sendiri.

 Universitas sudah eksis sebelum kapitalisme. Dalam kehadirannya, ia terkadang menolak untuk patuh kepada dikte pasar kapitalis, memilih untuk mengejar kebenaran dan pengetahuan ketimbang profit. Akan tetapi, kapitalisme melahap apapun yang bisa ia lahap. Sementara kapitalisme terus melebarkan dominasinya, menjadi sedikit mengejutkan bahwa universitas modern semakin patuh kepada apa yang disebut Ellen Meiksins Wood “dikte pasar kapitalis – imperatif kompetisi, akumulasi, maksimalisasi laba, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.”

Di dunia akademis, imperatif pasar kapitalis memanifestasikan dirinya dalam cara yang terlihat: publish atau binasa, funding atau paceklik.

Tanpa investasi publik, universitas-universitas dipaksa untuk sesuai dengan aturan sektor swasta, yaitu, beroperasi layaknya bisnis. Dalam bisnis, tentu saja, segalanya adalah tentang hasil akhir keuangan (bottom line) –

Friday, January 1, 2021 0 comments

Sekaleng Coca-Cola dan Realita (1)

 

BEBERAPA dari kita yang bekerja di bawah teriknya langit Jakarta pada siang hari, pastinya akan melihat minuman kaleng merah dengan font khas berwarna putih di dalam lemari pendingin warung bagaikan oasis di padang gurun. Iya, betul. Kali ini kita akan membahas Coca-Cola dalam kemasan kaleng. Ada apa dengan sekaleng minuman ini? Tentu ada apa-apanya sehingga saya membahas kaleng ini. Mari kita bedah sedikit perihal seonggok kaleng ini. Suatu benda berbentuk tabung dari kaleng dengan lubang untuk minum yang tersegel aman khas pabrik. Ukuran tinggi sekitar 5 sampai 10 cm, dengan diameter kira-kira 2 cm dan berisi cairan soda sekitar 250ml. Namun, apakah kaleng berisi cairan segar ini muncul secara ujug-ujug di lemari pendingin warung? Jawabnya tidak. Sekaleng Coca-Cola ini hadir melalui serangkaian proses yang panjang. Proses yang bagaimana? Akan kita jawab dalam tulisan ini.

Sudah tentu benda-benda yang ada di lemari pendingin itu dibuat. Benda yang dibuat manusia itu digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Karena kemampuan manusia terbatas, manusia membutuhkan sarana-sarana untuk pemenuhan kebutuhannya. Salah satunya pada masa awal-awal kehadiran nenek moyang manusia, mereka mulai membuat alat-alat sederhana dari batu atau kayu.

Thursday, December 24, 2020 0 comments

Santa Claus dan Jack Skellington

 

MARI kita bermain teka-teki di penghujung tahun ini. Untuk Anda yang sedari kecil merayakan Natal pastinya sudah tak lagi asing dengan sosok pria tua gemuk berjanggut putih mengenakan pakaian musim dingin berwarna merah dan putih. Dari cerita kakek nenek atau ayah ibu, Anda pasti mendengar bahwa pria itu datang ke rumah anak-anak baik hati untuk membagikan kado yang dibawanya pada malam Natal. Konon, beliau mengendarai kereta kuda terbangnya dari Kutub Utara, mendarat di atap-atap rumah lalu masuk melalui cerobong asap, menaruh kado-kado di sebelah pohon Natal dan menitipkan pesan singkatnya kepada anak-anak baik yang dihadiahinya.

Orang memanggilnya Santa Claus, Sinterklas atau hanya memanggilnya dengan sebutan Santa. Santa sangat terkenal khususnya pada hari Natal di belahan dunia Eropa dan Amerika Serikat. Siapakah sesungguhnya pria tua berjanggut putih itu? Dari mana kado-kado itu berasal? Siapakah yang membuatnya? Bagaimana membuatnya? Meski anak-anak tak pernah mempertanyakannya, tapi anak kecil yang dulu menerima kisah itu dengan pengharapan, kini kepalanya penuh dengan pertanyaan.

Thursday, December 17, 2020 0 comments

Membayangkan Politik Dunia Setelah Korona

“Di abad ke-21, perasaan bukan lagi algoritma terbaik di dunia.”

—Yuval Noah Harari, Homo Deus

“Prinsip kepemilikan-diri adalah sebuah prinsip yang menempati kedudukan penting dalam ideologi kapitalisme. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak milik pribadi yang utuh atas diri dan tenaganya sendiri.”

—G.A. Cohen, Self-Ownership, Freedom and Equality

SEPERTI halnya dalam ekonomi, COVID-19 adalah sebuah keadaan kahar dalam politik dunia. Keadaan ini membatalkan begitu banyak asumsi politik sehari-hari kita. Hampir seluruh segi kehidupan politik kita bertopang pada mobilisasi rakyat banyak: mobilisasi suara, mobilisasi massa di jalanan, mobilisasi kekuatan bersama yang di Indonesia dikenal sebagai gotong royong. Itulah juga yang menandai demokrasi yang kita kenal selama ini. Kaitan itu begitu eratnya hingga kita bisa menyimpulkan: tidak ada demokrasi tanpa keramaian. Hak untuk berkumpul dan membuat keramaian adalah motor yang menggerakkan demokrasi. Dengan penjarakan fisik yang diakibatkan oleh COVID-19, hal-hal itu ditangguhkan buat sementara waktu. Bersama dengan itu banyak segi kehidupan politik kita yang juga tertangguhkan. Maka tidak kelirulah bila dikatakan bahwa virus korona menghadirkan sebuah situasi darurat (state of emergency) dalam tatanan politik global.

Wednesday, December 2, 2020 0 comments

Pandemi Covid-19 dan Mendesaknya Internasionalisme Proletariat

Hingga tulisan ini disusun, tercatat sudah 2,5 juta lebih kasus infeksi dan 170 ribu korban meninggal di seluruh dunia karena pandemi Coronavirus desease 2019 (Covid-19). Dampak dari pandemi ini juga meluas ke berbagai sektor: ekonomi, politik, dsb.

Yuval Noah Harari menyatakan ini adalah krisis global terbesar dalam generasi kita yang datang secara mendadak. Tahun kemarin, mayoritas penduduk dunia belum mengenalnya. Kini, Covid-19 memperparah krisis sistemik  dalam kapitalisme yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Datangnya Covid-19 meluluhlantakkan perhitungan-perhitungan ekonom dalam menghadapi krisis sebelum datangnya Covid-19.

Bisa kita lihat melalui berbagai media, sendi-sendi penopang kehidupan manusia mulai mengalami kekacauan. Industri-industri kalang-kabut, kerugian dalam jumlah besar meluas, dan potensi sebagian besar bangkrut. Sementara itu, saat tulisan ini direview, jutaan buruh telah di-PHK [1] dan jutaan lainnya mengantri. Kita, mayoritas dari bagian penduduk dunia, berada dalam kondisi paling terancam (tertular virus, terkena PHK, tidak bisa memenuhi kebutuhan, dst.).

Thursday, November 26, 2020 0 comments

Virus dan Kapitalisme

 

TAHUN 2020 ini akan tercatat sebagai sebuah babak penting dalam sejarah. Bukan karena pamitnya Ronald McDonald dan kawan-kawan dari Sarinah atau karena tiga musisi legenda Indonesia baru saja meninggalkan kita untuk selamanya, tapi karena diberhentikannya sejumlah besar pekerja dari satu-satunya sumber penyambung hidupnya. Tahun ini juga penting karena tersadarnya banyak pemilik modal bahwa dirinya juga merupakan manusia hidup yang sesungguhnya tak selalu butuh keuntungan, namun selalu perlu makan. Tamparan ini datang dari kekuatan berukuran mikroskopik yang ternyata lebih berbahaya ketimbang jentikan jari Thanos. Dunia sains mengenalnya dengan sebutan virus, suatu mikro-organisme yang beberapa kali dalam sejarah hampir saja meluluhlantahkan peradaban manusia.

Kisah serupa pernah dialami umat manusia sekitar tujuh abad silam ketika dunia diporak-porandakan oleh wabah Bubonik yang oleh banyak orang disebut Black Death. Merenggut kurang lebih 200 juta jiwa, wabah ini bahkan menjadi salah satu kekuatan yang ikut berkontribusi menyudahi sistem feodalisme di Eropa pada abad pertengahan. Selain pada zaman pertengahan, wabah juga menyerang dunia modern.

Thursday, November 5, 2020 0 comments

Coronavirus, Krisis dan Akhir Neoliberalisme

Tiba-tiba, kita melihat dunia yang berubah. Jalan-jalan kosong, toko-toko tutup, langit cerah tak seperti biasanya, dan meledaknya jumlah korban jiwa. Ini semua belum pernah terjadi di depan mata kita.

Di mana-mana, berita ekonomi mengkhawatirkan. Pandemi COVID-19 memicu kontraksi ekonomi paling dalam dan tajam sepanjang sejarah kapitalisme.[1] Mengutip Manifesto Komunis, semua yang padat telah mencair ke udara: ‘globalisasi’ menjadi terbalik; rantai pasokan yang panjang, yang sebelumnya merupakan satu-satunya cara ‘rasional’ untuk mengatur produksi, telah runtuh dan perbatasan (antar negara) yang sangat ketat telah mencair; perdagangan telah menurun secara drastis, dan perjalanan internasional menjadi sangat dibatasi. Dalam hitungan hari, puluhan juta pekerja menjadi pengangguran, dan jutaan bisnis kehilangan karyawan, pelanggan, pemasok, dan lini kredit (credit lines) mereka.[2]

Beberapa negara memperkirakan kontraksi PDB akan diukur dalam dua digit, dan sebuah antrian panjang dari sektor-sektor terdampak mendorong pemerintah melakukan bailout. Di Inggris saja, bank, kereta api, maskapai penerbangan, bandara, sektor pariwisata, badan amal, sektor hiburan, dan universitas berada di ambang kebangkrutan. Belum lagi para pekerja yang terlantar serta para wirausaha (secara nominal), yang kehilangan segalanya karena guncangan ekonomi yang bahkan belum terasa sepenuhnya.[3]

Thursday, October 29, 2020 0 comments

Judicial Review: Cara Penguasa Menjinakkan Gerakan Anti-Omnibus Law

 

PENGESAHAN Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja pada 5 Oktober silam telah memicu lahirnya gelombang demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia. Undang-undang yang hingga kini naskah akhirnya tidak kunjung dapat ditunjukkan baik oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memuat banyak ketentuan bermasalah.

Banyak kajian akademik dan hasil penelitian berbagai lembaga independen telah mengupas pokok-pokok persoalan dari setiap kluster topik undang-undang tersebut. Namun, pemerintah dengan gigih membantah berbagai kritik terhadap UU Cipta Kerja sebagai hoaks dan disinformasi. Kritik terhadap kecacatan proses penyusunan undang-undang terkait partisipasi juga telah dibantah dengan mengklaim bahwa pemerintah dan DPR telah mengakomodasi representasi kelompok kepentingan yang berbeda.

Penting dicatat, pemerintah memiliki instrumen yang lebih memadai dan canggih dalam memanipulasi kesadaran publik: membantah berbagai bentuk kritik serta mendomestifikasi dan mengerdilkan perlawanan dengan mengarahkan tuntutan ke jalur-jalur yang telah direkayasa untuk memperlemah gerakan.

Wednesday, October 21, 2020 0 comments

Ilusi Nawacita dan Kegagapan Kaum Intelektual Kiri

BERBAGAI analisis telah menunjukkan mengenai kecil dan insignifikannya gerakan kiri di Indonesia sejak 1965 dan karena itu pula agenda politik yang progresif menjadi marginal. Dalam debat mengenai posisi politik untuk pemilu 2019, para penulis IndoPROGRESS juga bersepakat pada kesimpulan serupa. Pokok perdebatan terletak pada bagaimana membangun kekuatan politik alternatif serta mengonsolidasikannya sebagai gerakan yang mampu secara signifikan mendesakkan agenda politik yang progresif.

Ada dua posisi yang bisa dikata saling bertentangan dalam debat itu. Posisi pertama, mendorong perubahan dari dalam dengan mendukung atau beraliansi dengan salah satu kekuatan politik yang bertarung dalam pemilu. Posisi kedua, mengampanyekan agar konsolidasi gerakan alternatif dilakukan tanpa beraliansi dengan kekuatan politik mana pun yang tidak mengutamakan agenda kerakyatan. Saya termasuk yang bersepakat dengan posisi kedua sebagaimana telah saya kemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya.

Friday, October 16, 2020 0 comments

Prakerja, Cilaka, Minerba: Memanjakan Kapitalis, Menindas Pekerja

 

Virus Covid-19 tak hanya cepat menular dan membunuh manusia. Ia juga dengan gesit menggerogoti jantung perekonomian kapitalisme. Imbasnya, kapitalis tidak mempunyai jalan lain selain memecat sepihak buruhnya demi mengantisipasi kebangkrutan. Mayoritas buruh dipecat tanpa diberi pesangon. Mereka kemudian berduyun-duyun ke jalan, menggalang aksi menuntut pesangon serta nasib mereka kelak.

Dalam situasi kalut itu, pemerintah lalu meluncurkan kartu prakerja, yang sebenarnya merupakan program Jokowi dalam kampanyenya setahun silam. Kartu ini diharapkan menjadi solusi mengentaskan masalah para buruh sekarang.

Pada saat bersamaan, pemerintah juga mengesahkan RUU Minerba yang telah dibahas oleh panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI dari Februari-Mei. Selain itu, pemerintah juga membahas RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) atau Cika. Kedua RUU tersebut ditargetkan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan guna mengatasi pengangguran.

Wednesday, October 7, 2020 0 comments

Siksa Kapitalisme dalam Omnibus Law RUU Cilaka

Ancaman resesi ekonomi akibat dari pelbagai macam faktor ketidakpastian rupanya bukan sekadar asumsi para ekonom belaka. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global selama satu dekade terakhir, turut membuat resah dan khawatir para pemangku kepentingan. Baru-baru ini, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) kembali merevisi ramalan pertumbuhan ekonomi global 2020, dari sebelumnya ditaksir 3,0 persen menjadi 2,9 persen. Bagi Indonesia, kondisi ini bukan sesuatu yang mudah.

Jokowi di pelbagai kesempatan turut menegaskan akan tantangan berat yang sedang dan akan dihadapi ekonomi nasional – kendati ia tak lupa menekankan agar selalu optimis. Tentu saja tidak enteng menghadapinya. Apalagi kenyataan di periode pertama kekuasannya, (2014-2019) pertumbuhan ekonomi nasional stagnan di angka 5 persen. Ini membuktikan kalau paket kebijakan deregulasi yang diorbitkan semasa 2015-2019 nyaris tak memenuhi ekspektasi pertumbuhan 7 persen (seperti dijanjikan dalam kampanye pemilu 2014).

Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 2014-2018, misal, realisasi investasi—baik itu penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA)—secara umum, mengalami peningkatan. Kendati ada peningkatan, tapi realisasinya cenderung

Thursday, October 1, 2020 0 comments

Perjuangan Kelas dan Omnibus Law

 

Keputusan rejim Jokowi-Ma’ruf membuat payung hukum sapu jagat atau Omnibus Law cilaka (Cipta Lapangan Kerja) hendaknya dipahami sebagai sikap kepatuhan terhadap kepentingan pasar bebas atau neoliberalisme. Eksplisit, sikap itu terefleksi dalam pernyataan presiden di pelbagai kesempatan, bahwa perkembangan pasar yang begitu dinamis, mengharuskan para pemangku kebijakan mengambil keputusan-keputusan kepentingan yang cepat. Hal itu hanya dimungkinkan manakala problem obesitas regulasi yang tumpang tindih, segera diatasi lewat kebijakan omnibus law.

RUU Omnibus Law dibuat dalam rangka merampingkan, menyederhanakan dan menghapus regulasi setingkat UU guna menarik investasi sebesar-besarnya demi terbukanya lapangan pekerjaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional dapat meningkat. Betapapun agenda ini sangat problematik. Bila berkaca pada kebijakan Jokowi sebelumnya, tak jarang kebijakan yang dibuat berujung pada pengebirian hak-hak warga negara.

Tuesday, September 29, 2020 0 comments

Sekali Lagi Tentang Peristiwa 65: Apa Yang Harus Diperjuangkan?

 

Setiap melewati bulan September-Oktober, kita sekali lagi diingatkan pada petaka berdarah 1965 yang mengubah keadaan rakyat sedemikian rupa seperti belum merdeka. Tahun lalu, ketika peristiwa itu tepat melewati masa 50 tahun, sebagian elemen masyarakat telah bahu-membahu mengangkat peristiwa ini ke panggung nasional hingga internasional dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah inisiatif yang dilakukan oleh Pengadilan Rakyat Internasional (International Peoples Tribunal – IPT 65) serta pemutaran film dokumenter dan diskusi sejarah di ratusan tempat di Indonesia.

Pengadilan Rakyat Internasional (International Peoples Tribunal – IPT 65) yang digelar pada 10-13 November 2015 lalu misalnya, telah mengeluarkan keputusan bahwa Indonesia dianggap telah melakukan 9 kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa tersebut. Kejahatan itu berupa: pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi, propaganda kebencian, dan pelibatan negara lain. Selain itu pengadilan juga memberikan rekomendasi permintaan maaf dari negara kepada korban, penyidikan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, rehabilitasi dan kompensasi kepada korban, dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa 1965.

Sunday, August 23, 2020 0 comments

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara


   

 KEBERADAAN kelompok-kelompok sipil yang dapat menggunakan kekerasan secara ‘sahih’ di luar aparatus represif negara serta maraknya aksi-aksi intimidasi dan kekerasan oleh kelompok tersebut (vigilantisme), kerap menjadi catatan khusus dalam memahami proses demokratisasi di Indonesia. Pasalnya, meskipun demokratisasi di Indonesia telah berjalan lebih dari satu setengah dasawarsa, kekerasan sipil serta kelompok-kelompok vigilante tetap ada. 

Beberapa kasus kekerasan sipil yang mencuat pasca Reformasi antara lain pembubaraan diskusi, penganiayaan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas serta penyerangan terhadap rumah ibadah. Namun, fenomena semacam itu bukan hal yang baru di Indonesia. Sepanjang Orde Baru, kekerasan sipil juga telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berpuncak pada pengorganisasian kelompok preman dalam wadah Pemuda Pancasila.

 
;