Thursday, July 2, 2020

Marxisme dan Meditasi

 

APAKAH ada di antara Anda yang mengatahui soal meditasi atau bahkan pernah bermeditasi? Ya, betul. Duduk bersila, memangku tangan di pangkuan, memejamkan mata sambil mengatur nafas pelan-pelan. Jika belum pernah mencoba, barangkali Anda minimal pernah mengetahuinya. Jika kurang jeli, mungkin terlihat sedikit tak berbeda dengan berdoa, bertapa atau mungkin tertidur. Padahal sebenarnya sungguh berbeda. Meditasi dalam KBBI didefiniskan menjadi pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Secara umum, meditasi merupakan praktik seorang individu atau kelompok dengan menggunakan berbagai Teknik. Misalnya dengan penuh perhatian, memfokuskan pikiran, atau mengamati suatu objek sepenuhnya dalam melatih kesadaran hingga mampu mencapai ketenangan fisik dan batin. Praktik ini telah lazim digunakan dalam budaya timur sejak sebelum masehi, khususnya di India lewat tradisi Hindu dan Buddha. Para Sadhu-Sadhvi dan Bhiksu-Bhiksuni masih mempraktikannya sampai hari ini. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan ketenangan batin dan mencapai suatu pencerahan.

Di dalam tradisi agama samawi juga terdapat praktik yang menyerupai meditasi, meski dengan istilah lain. Contohnya Hitbonenut dalam tradisi Yahudi, Hesychasme dalam tradisi Gereja Katolik Orthodox, dan Muraqaba dalam tradisi Muslim Sufi. Sedangkan tujuan dari meditasi dalam tradisi agama samawi secara garis besar yaitu keinginan untuk merasakan kedekatan kepada Yang Maha Kuasa. Tentu bila dekat dengan-Nya hati pun pasti menjadi tenang. Kurang lebih meditasi bisa diartikan seperti itu. Sudah banyak penelitian yang membuktikan meditasi baik bagi kesehatan batin dan jasmani. Anda dapat mencarinya di Google hanya dengan mengetik meditation benefit dan sebagainya. Dalam kesempatan ini saya akan menceritakan sedikit tentang meditasi melalui sudut pandang tradisi Buddha. Khususnya yang sering diajarkan serta dipraktikan oleh seorang bhiksu terkenal kelahiran Inggris bernama Ajahn Brahmvamso (Ajahn Brahm) dan juga bhiksu berdarah Nepal yang tak kalah terkenal bernama Yongey Mingyur Rinpoche (Mingyur Rinpoche).

Ajahn Brahm lewat salah satu tulisannya, Metode Dasar Meditasi, dan melalui kelas-kelas meditasinya menjelaskan bahwa tujuan meditasi yaitu ketenangan yang indah, keheningan dan kejernihan pikiran. Untuk mencapainya, kita harus melalui berbagai tahap seperti perhatian pada masa kini, kesadaran akan ketenangan pada masa kini, kesadaran ketenangan pada masa kini terhadap nafas, perhatian terhadap nafas dan lain-lain. Meski terlihat sederhana, secara penjelasan dan praktik tidaklah semudah kata-kata. Sehingga dalam tulisan ini mungkin penjelasan saya agak terbatas. Namun ringkasnya, untuk mencapai tahap meditasi yang bahagia, kita mesti melalui meditasi yang tidak bahagia. Meditasi yang tidak bahagia itu pastinya terdapat pada tahap pertama dan tentu saja kita mesti melaluinya. Layaknya Anda yang pernah merangkak sebelum berjalan dan terjatuh pada saat belajar bersepeda, seperti itulah kiranya bila kita ingin belajar bermeditasi.

Saya akan meringkas tahap pertama dari bermeditasi menurut Ajahn Brahm. Untuk melalui tahap pertama ini, hal esensial yang mesti dilakukan yaitu melepaskan. Apa yang dilepaskan? Tentu saja apapun yang menjadi beban kita dalam menjalani hidup sehari-hari. Beliau mencontohkannya dengan ransel berat penuh dengan barang-barang yang terdiri dari hidup kita lengkap dengan permasalahan kita. Salah satu barang berat yang ada dalam ransel kita adalah masa lalu, masa kini dan masa depan kita. Inilah yang sadar atau tidak sadar menumpuk dalam ransel pikiran setiap insan. Masa lalu yang buruk atau yang bahagia dan masa depan yang penuh harapan atau bahkan yang tidak terlihat jelas sama sekali. Dalam meditasi, beban ini mesti kita keluarkan dari ransel dan kita buang terlebih dahulu. Oleh karena itu tahap pertama dari meditasi menurut Ajahn Brahm yaitu latihan, latihan untuk hidup pada saat ini dan bukan hidup pada masa lalu atau hidup pada masa depan. Merelakan masa lalu dan masa depan untuk hidup pada momen ini.

Kira-kira apa alasannya? Mengapa kita mesti melepaskan dan hidup pada masa kini? Menurut Ajahn Brahm, kemampuan pikiran kita terbatas. Apa yang telah terjadi di masa lalu belum tentu terjadi persis seperti yang kita bayangkan pada saat ini. Karena yang terjadi di masa lalu sudah berlalu dan tidak mampu kita ubah lagi, begitu juga dengan ingatan kita tidak dapat dipercaya dan terbatas ini. Sehinga berputar-putar di masa lalu merupakan suatu hal yang sia-sia dalam meditasi. Selain masa lalu, masa depan pun juga harus dilepaskan. Ia berpegang kepada ajaran Buddha Siddharta Gautama yang mengatakan bahwa apapun yang kita bayangkan akan terjadi, pada saatnya terjadi akan menjadi sesuatu yang berbeda dari yang kita bayangkan. Karena kita tidak pernah tahu apa yang sekiranya terjadi bahkan satu atau dua menit setelah ini. Dengan demikian yang paling penting yaitu saat ini atau momen ini, bukan yang sudah lewat dan bukan pula yang akan datang. Masa lalu sudah berlalu dan masa depan itu akan kita tentukan dari saat ini.

Jika seperti itu, lantas apa yang harus kita lakukan dengan pikiran kita pada saat bermeditasi? Apakah lantas kita harus menahan setiap pikiran yang mengembara dari masa lalu ke masa depan dan lalu sebaliknya? Di sini Mingyur Rinpoche punya jawabannya. Lewat bukunya “Kebijaksanaan yang Membahagiakan” dan ceramah-ceramahnya, beliau menerangkan bahwa pikiran kita selalu banyak polahnya dan sering sulit dikendalikan. Pada satu saat kita bisa bahagia sekali akan sesuatu dan di satu saat yang lain kita bisa sangat sedih sekali akan sesuatu. Sehingga ia menamakan pikiran tersebut dengan Monkey Mind, yang melompat-lompat dari satu dahan pikiran ke dahan pikiran lainnya atau berlarian ke sana sini mencari sesuatu untuk dimakannya.

Kira-kira apa yang dapat kita lakukan dengan Monkey Mind ini? Ketimbang kita dikuasai olehnya atau kita menolaknya mentah-mentah, menurut Mingyur Rinpoche, alangkah lebih bijaksana bila kita berteman dengannya. Berteman di sini artinya membiarkan mereka hadir dalam pikiran kita, saling memahami dan mencoba berteman, lantas akhirnya memberikannya pekerjaan untuk melakukan sesuatu. Salah satu pekerjaan yang dapat kita berikan, misalnya, seperti memperhatikan nafas atau mengamati semua pikiran yang berlalu-lalang di kepala kita.

Karena menurut Mingyur Rinpoche, setiap manusia memiliki kesadaran. Kesadaran ini bagaikan angkasa, ia bersifat tetap selama tubuh masih bermetabolisme. Sedangkan pikiran kita yang muncul itu seperti cuaca, terkadang panas terik, terkadang mendung dan terkadang hujan badai. Namun angkasa tak bergeming meski panas terik hujan badai melanda. Seperti itulah kiranya kesadaran kita, ia selalu hadir walau banyak pikiran yang datang.

Sehingga Mingyur Rinpoche mengajak kita untuk kembali kepada kesadaran, membiarkan pikiran-pikiran apapun dan sensasi fisik apapun muncul untuk lalu kita amati. Mengamati pikiran-pikiran kita yang tak terbendung itu dengan kesadaran secara seksama melalui bantuan si Monkey Mind. Berusaha melihat serta merasakan yang terjadi tanpa perlu menilainya, membiarkannya hadir dan berlalu. Pikiran-pikiran yang ada beserta Monkey Mind itu sendiri, menurutnya suatu saat pasti kan berlalu juga. Sebab hai ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha, bahwa segala sesuatu pasti berlalu.

Kiranya seperti itulah tahap-tahap dasar meditasi ala Buddhist menurut para master meditasi, Ajahn Brahm dan Mingyur Rinpoche. Meski keduanya berasal dari latar belakang kultural, perguruan dan aliran yang berbeda, namun terdapat kesamaan di antara mereka berdua. Keduanya sepakat bahwa untuk bermeditasi, yang pertama kali harus kita lakukan yaitu melepaskan. Jika Ajahn Brahm mengajak melepaskan kelekatan diri kita akan pikiran tentang masa lalu dan masa depan, Mingyur Rinpoche lebih cenderung mengajak kita melepaskan penilaian-penilaian kita terhadap pengalaman kita sendiri atau pikiran-pikiran yang ada di benak kita. Dengan kata lain keduanya mengajarkan kita untuk merelakan sesuatu, seperti lagu karangan The Beatles, Let It Be. Dengan demikian melalui ketenangan batin kita mampu berdamai dengan pikiran kita sendiri dan setelah itu bisa menyebarkan welas asih kepada setiap mahluk di bumi.

Hampir sama seperti meditasi yang dengan penuh kesabaran berlatih untuk membiarkan kenyataan dalam kekinian berlangsung, begitu juga kita yang sedang mempelajari serta menggunakan metode Marxisme. Apa yang kira-kira pertama kali kita lepaskan dalam latihan ini? Tentu saja melepaskan dogma-dogma di kepala kita dan ke-sotoy-an kita dalam memandang hal ihwal tertentu. Hanya karena kita sudah mengetahui tesis basis mengondisikan suprastruktur, bukan lantas kita menyimpulkan bahwa segalanya yang terjadi dalam hidup ini ditentukan oleh aspek ekonomi-politik. Begitu juga hanya dengan kita telah membaca soal pengondisian relatif suprastruktur terhadap basis, bukan berarti seni dan hukum mampu mengondisikan secara relatif aspek ekonomi-politik. Hanya karena Lenin bilang Marxisme benar, bukan otomatis di abad ke-21 ini Marxisme betul-betul masih benar. Kebenaran dari Marxisme tersebut hanya dapat dijawab dengan pengamatan akan kenyataan yang ada hari ini dan pembuktian ilmiah lewat metode materialisme dialektis historis yang mahsyur itu.

Apabila Marxisme masih teruji kebenarannya dalam setiap lini kehidupan zaman ini, dengan demikian ia harus tetap diperjuangkan. Namun jika kini Marxisme sudah terbukti tidak relevan, lantas apa boleh buat kita harus melepaskannya, sebab segala sesuatu pasti berlalu. Segala sesuatu pasti berlalu ini tidak selalu kerugian bagi Marxisme yang bisa berlalu, namun juga tatanan kapitalisme ini pun yang pasti bisa berlalu. Tapi bagaimana berlalunya? Kita yang berdiri di persimpangan kiri jalan tentu bukan seperti para bhiksu master meditasi yang menerima saja kenyataan dan berdamai dengannya. Jika dan hanya jika Marxisme benar adanya dan terbukti masih relevan hari ini, maka dengan berani dan percaya diri kita akan meniupkan terompet sangkakala Malaikat Israfil untuk tatanan dunia kapitalisme.

Soal meditasi yang telah saya jelaskan di atas sungguh jauh dari lengkap, jadi untuk Anda yang tertarik bermeditasi silahkan langsung membeli buku karangan Ajahn Brahm dan Mingyur Rinpoche di toko buku terdekat atau online shop. Kalau malas baca, langsung saja nonton ceramah-ceramahnya di YouTube. Meditasi memang tidak akan mengubah dunia, namun minimal bisa sedikit mengubah diri Anda sendiri. Khususnya untuk menerima kenyataan pahit bahwa hidup tak seindah surga. Dalam menjalani hidup di dunia yang makin hari makin berat ini, nampaknya meditasi masih relevan untuk dilakukan, minimal menenangkan batin kita sejenak dari hiruk pikuk dunia kapitalisme. Setidaknya supaya kita tidak berkubang di masa lalu dan menguatirkan apa yang terjadi nanti di masa depan. Nikmatilah momen ini dan bersyukurlah. Layaknya kata-kata bijak terkenal dari Imam Ali bahwa “Betapa bodohnya manusia. Ia menghancurkan momen saat ini ketika menguatirkan akan masa depan, namun menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya.”***

 

0 comments:

Post a Comment

 
;