Tiba-tiba,
kita melihat dunia yang berubah. Jalan-jalan kosong, toko-toko tutup,
langit cerah tak seperti biasanya, dan meledaknya jumlah korban jiwa. Ini semua
belum pernah terjadi di depan mata kita.
Di
mana-mana, berita ekonomi mengkhawatirkan. Pandemi COVID-19 memicu kontraksi
ekonomi paling dalam dan tajam sepanjang sejarah kapitalisme.[1] Mengutip Manifesto
Komunis, semua yang padat telah mencair ke udara: ‘globalisasi’ menjadi
terbalik; rantai pasokan yang panjang, yang sebelumnya merupakan
satu-satunya cara ‘rasional’ untuk mengatur produksi, telah runtuh dan
perbatasan (antar negara) yang sangat ketat telah mencair; perdagangan
telah menurun secara drastis, dan perjalanan internasional menjadi sangat
dibatasi. Dalam hitungan hari, puluhan juta pekerja menjadi pengangguran,
dan jutaan bisnis kehilangan karyawan, pelanggan, pemasok, dan lini kredit (credit
lines) mereka.[2]
Beberapa
negara memperkirakan kontraksi PDB akan diukur dalam dua digit, dan sebuah
antrian panjang dari sektor-sektor terdampak mendorong pemerintah melakukan bailout. Di
Inggris saja, bank, kereta api, maskapai penerbangan, bandara, sektor
pariwisata, badan amal, sektor hiburan, dan universitas berada di ambang
kebangkrutan. Belum lagi para pekerja yang terlantar serta para wirausaha
(secara nominal), yang kehilangan segalanya karena guncangan ekonomi yang
bahkan belum terasa sepenuhnya.[3]