BELUM lama ganti tahun, Indonesia sudah ribut lagi. Pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pion penting dari arus populisme Islam di Indonesia dan aktor kunci mobilisasi gerakan Islam setelah Reformasi 1998. Mereka tidak pernah—dan tidak berkeinginan—untuk jadi partai politik. Namun, kekuatan mereka diperlukan oleh siapapun rezim politik yang ingin bermain dalam pentas politik Indonesia. Mereka menjadi kekuatan pemukul yang efektif terhadap siapapun yang dianggap mengancam rezim, mulai dari kelompok yang dilabeli “liberal”, “komunis”, hingga kelompok-kelompok minoritas keagamaan.
Laporan Wikileaks menunjukkan bahwa FPI banyak menerima dana dari Polri, dan jejaring intelijen nasional, yang tentu tidak pernah diafirmasi secara resmi baik oleh penyandang dana maupun yang diberi dana.
Sejarah dan rekam jejak FPI bisa dibaca di berbagai laporan riset hingga Wikipedia, tapi ada satu hal menarik: mengapa mereka menggunakan istilah ‘front’, yang sebenarnya awal mulanya berakar dari gagasan gerakan komunisme dan kelompok kiri dalam melawan fasisme di awal abad ke-20?
Di tahun 1922, Tan Malaka berkesempatan pidato di hadapan sidang Komunis Internasional keempat di Moskow. Masa itu adalah masa-masa kejayaan pergerakan nasional—“zaman bergerak” menurut Takashi Shiraishi—dan tentu saja masa kejayaan tiga kekuatan penentang kolonialisme terbesar: Pan-Islamisme, Komunisme, dan Nasionalisme.
Tan hadir sebagai wakil Partai Komunis Hindia Belanda. Ia mengaku tiba di Moskow setelah menempuh perjalanan yang melelahkan selama 40 hari. Tidak mudah menempuh perjalanan masa itu. Mata-mata kolonial bertebaran di mana-mana, dan komunisme dianggap sebagai ancaman utama di mata imperialis Eropa, terutama setelah Revolusi 1917. Tan hadir dengan agenda yang berbeda dengan resolusi Komunisme Internasional yang kedua yang diajukan oleh Zinoviev dan Lenin. Dengan membawa konteks Hindia-Belanda, ia menyerukan sebuah ide tentang ‘front persatuan’ antara kekuatan komunis dengan kekuatan kelompok Pan-Islamis.
Pidato ini kemudian dikenal luas sebagai satu pikiran Tan yang khas. sebagaimana diulas dengan cukup baik oleh Oliver Crawford dalam disertasi Doktoralnya (2019). Tapi ada satu hal penting yang perlu dicatat dari pidato ini—Tan memulainya dengan diskusi yang penting terkait dengan “front”. Tentu front yang disini bukan front yang sama dengan FPI—kendati FPI mencomot istilah komunis itu untuk mengidentifikasi dirinya. Tapi penting untuk melihat bagaimana istilah ‘front’ ini bermula dalam debat-debat politik masa lampau.
Tan memulai pidatonya dengan mengkritik rekomendasi Komunisme Internasional kedua tentang ‘front persatuan’. Komunisme Internasional Kedua menggariskan pentingnya membentuk sebuah ‘front persatuan’ dengan kekuatan progresif lain untuk memperjuangkan hak-hak kelas pekerja dan terutama membendung kaum-kaum reaksioner yang kerap menjadi poin kekuatan imperialis. Gerakan Pan-Islamis, menurut kecenderungan elit Komunis dan Sosialis Eropa masa itu, adalah perwujudan wajah kaum reaksioner tersebut. Tapi menurut Tan,
“Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner…. Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme.
Front yang dimaksud dengan Tan adalah persatuan perjuangan antara gerakan Komunis dengan kekuatan lain dalam payung melawan imperialisme dan kolonialisme Barat. Di sini front perjuangan mesti dibikin secara strategis. Kekuatan imperialisme Barat begitu kokohnya menajamkan kuku dan cakarnya di negara jajahan mereka, dan mereka berhadapan dengan banyak ragam kekuatan antikolonial, seperti Komunis, Nasionalis, dan Pan-Islamis. Tentu mereka punya aspirasi dan ranah gerak yang berbeda.
Tapi, Tan melihat bahwa dalam banyak hal Pan-Islamisme di Hindia Belanda dulu punya sisi progresif yang bisa bersinggungan dengan sisi progresif Komunisme. Menurut Tan kemudian,
“Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.”
Gerakan Pan-Islamisme ini tentu saja perlu dipahami sebagai bentuk Islamisme anti-kolonial di awal abad ke-20. Dalam banyak hal, gerakan-gerakan Islamis menjadi sangat berubah terutama setelah kemerdekaan dan Perang Dingin (ketika kelompok Islamis berhadap-hadapan dengan gerakan-gerakan kiri). Tapi ide tentang ‘front perjuangan’ di Indonesia sebetulnya adalah sebuah ide tentang persatuan perjuangan gerakan Islam dan kiri untuk melawan kolonialisme Belanda.
Persatuan ini dimungkinkan ketika umat Islam menjadi korban dari penjajahan Belanda. Ketika kyai-kyai progresif dimata-matai dan mereka yang kembali dari ibadah haji disangka sebagai orang-orang berbahaya di mata administrasi kolonial Belanda.
Di titik inilah sebetulnya kita bisa memahami makna ‘front’: persatuan perjuangan dari kelompok-kelompok yang punya visi utama sama. Zaman dulu, front dibentuk untuk memfasilitasi kelompok-kelompok progresif yang saling bekerjasama untuk mengusir penjajah.
Ide tentang ‘front persatuan’ menjadi lebih populer ketika di tahun 1930an. Sukarno, tokoh nasionalis kenamaan Indonesia, menggagas perlunya persatuan tiga ideologi besar: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga ideologi ini, bagi Bung Karno, adalah Spirit of Asia, kekuatan pendorong kemerdekaan Indonesia. Ketiganya tidak terpisahkan dalam imajinasi antikolonial Indonesia masa itu.
Ide tentang front tiga ideologi ini berakar dari satu hal yang penting dalam perjuangan melawan kolonialisme, yaitu soal rezeki. Orang-orang Eropa datang ke nusantara sebagai ikhtiar untuk mencari penghidupan dan dagang. Dari sana, muncullah eksploitasi dan kehendak berkuasa yang lebih luas. Sebagaimana diungkap oleh Bung Karno,
“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal-hidup dalam tanah-airnya sendiri, begitulah Dietrich Schaefer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain…. Begitulah tragisnya riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan atas tragedy inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu…yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: Nasionalistik, Islamistik, dan Marxistis-lah adanya.”
Di sini, Bung Karno melihat bahwa ketiga ideologi tersebut—Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, dipersatukan oleh kenyataan bahwa rakyat Indonesia terjajah. Keterjajahan ini bukan semata karena pendudukan politik, melainkan juga karena pendudukan ekonomi, yang disebut oleh Bung Karno sebagai masalah ‘kekurangan rezeki’. Dari pendudukan ekonomi, hasrat untuk berkuasa dan menguasai menjadi semakin kuat. Inilah dasar dari pentingnya ‘front persatuan’ –antara kekuatan nasionalis, Islamis, dan komunis, untuk melawan hasrat menjajah dari negara-negara Eropa.
Di sini, bagi Bung Karno, persatuan dari nasionalisme, Islamisme, dan komunisme hanya dimungkinkan oleh perasaan marah atas ketertindasan dan eksploitasi ekonomi dari semua kelompok tertindas, tak peduli basis ideologinya. Di sini Bung Karno menggariskan apa yang ia sebut sebagai nasionalisme sejati, yaitu,
“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia yang riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombngan bangsa belaka …”
Dan tentu saja nasionalisme ini bukan nasionalisme yang bicara “anti-asing” dan “anti-aseng”, tetapi memuluskan investasi asing yang memeras kaum pekerja dengan dalih ‘Cipta Kerja’.
Dari konsepsi tentang nasionalisme inilah Bung Karno kemudian bicara tentang Islam. Sejak akhir abad ke-19, Pan-Islamisme muncul sebagai kekuatan besar yang “membangunkan rasa-perlawanan di hati rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat”. Di sini Bung Karno menyebut dua tokoh Pan-Islamis terkemuka masa itu: Syekh Muhammad ‘Abduh beserta gurunya, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Keduanya memang punya semangat memodernisasi umat Islam untuk menentang penjajahan Barat masa itu. Dan banyak pemimpin umat Islam yang terinspirasi dari Abduh dan Al-Afghani: salah satunya, KH Ahmad Dahlan, pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah.
Semangat inilah yang, menurut Bung Karno, sejalan dengan cita-cita kaum nasionalis dan Marxisme di masa itu. Lantas, dari sini, kita mungkin perlu bertanya, kalau menggunakan pengertian yang demikian, apakah yang disebut sebagai ‘front pembela Islam’?
Jika kita memahami ‘front’ sebagai persatuan perjuangan antara elemen-elemen progresif, dimana umat Islam adalah salah satu bagian penting di dalamnya, maka front pembela Islam sesungguhnya adalah mereka yang membela kepentingan umat yang paling penting, yaitu hak-hak untuk hidup dan memperoleh rezeki secara adil. Hak-hak ini secara tidak sadar terampas dari umat Islam hari ini.
Banyak kelompok yang kemudian mengklaim diri sebagai ‘pembela’ kepentingan umat ini. Tapi berapa banyak mereka yang tidak ‘salah fokus’ atau malah offside menyalahkan etnis atau agama lain, dan bukannya menentang orang-orang kaya yang gemar memupuk modal dengan cara mengeksploitasi orang lain? Seberapa banyak yang tidak ‘sektarian’ dalam membela Islam serta terbuka pada arus progresif lain yang juga berpikir sehaluan?
Di sinilah ‘front pembela Islam’ jadi penting untuk dimaknai secara berbeda. Front pembela Islam adalah gabungan dari kekuatan progresif yang hari ini berjuang untuk mempertahankan kehidupan masing-masing, dari penghisapan dan eksploitasi. Front pembela Islam adalah mereka yang berjuang menolak liberalisasi pendidikan dan uang kuliah mahal, apapun latar belakang gerakannya. Front pembela Islam adalah kelompok rakyat-bantu-rakyat yang terhimpit dampak pandemi COVID-19. Front pembela Islam adalah front perlawanan terhadap kapitalisme pertambangan yang semakin ekspansif dan mengancam masyarakat adat.
Dan karena itu, mereka yang hobi mempermainkan ayat sebagai dalih politik identitas, atau sekadar tampil dengan simbol agama hanya ketika ada elit politik yang membayar, sesungguhnya tidak pantas mendaku sebagai pembela Islam. Kita perlu front pembela Islam yang sesungguhnya: membela umat yang harus membayar mahal untuk pengobatan COVID-19, mereka yang tidak bisa mengakses dan membeli vaksin, atau mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Membela mereka adalah membela Islam, dan kita perlu front yang lebih kuat untuk melakukan pembelaan itu di masa depan.***
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.
0 comments:
Post a Comment