Kritik terhadap Marxis Jerman
Pembahasan lebih lengkap tentang masyarakat pasca-kapitalis dari Marx, yang mengembangkan komentarnya tentang masyarakat baru di Capital, terletak dalam karyanya Critique of the Gotha Program tahun 1875. Karya ini memuat kritik tajam terhadap “Marxis” Jerman di masa itu yang menyepakati penyatuan organisasional dengan partai sosialis yang didirikan Ferdinand Lassalle. Lasalle sebelumnya dikecam Marx sebagai “diktator masa depan kelas pekerja.” Marx menyadari bahwa pengikutnya sendiri menderita kecacatan konsepsi yang akut mengenai alternatif terhadap kapitalisme.
Marx secara langsung menentang kegagalan Program Gotha “untuk membahas keadaan masa depan dari masyarakat komunis” (MECW 24:95). Dengan melakukan itu, ia membedakan fase komunisme yang lebih tinggi dan fase komunisme lebih rendah. Kata “sosialisme” tidak pernah muncul di dalam Critique, karena bagi Marx sosialisme
dan komunisme merupakan istilah yang sepenuhnya dapat dipertukarkan. Keduanya bukan periode historis yang berbeda. Salah satu rintangan terbesar dalam memahami teks tersebut adalah bahwa para Marxis setelah Marx (terutama Lenin) secara keliru membedakan sosialisme dan komunisme. Kekeliruan ini tetap menjadi lensa pendekatan terhadap Critique hingga saat ini. Lucien Sève (2004:37), seorang filsuf dan mantan anggota Partai Komunis Prancis, terkejut saat ia menemukan bahwa pembedaan antara sosialisme dan komunisme yang dia (seperti orang kebanyakan) yakini ternyata tidak ada dalam Marx.Fase yang lebih tinggi dan fase yang lebih rendah merupakan dua fase dari masyarakat yang sama. Marx mengatakan bahwa di dalam fase yang lebih rendah, para produsen tidak menukar produk mereka; seperti halnya sedikit tenaga kerja yang digunakan pada produk muncul sebagai nilai dari produk-produk ini, sebagai kualitas material yang mereka miliki, karena sekarang, berbeda dengan masyarakat kapitalis, tenaga kerja individual tidak lagi ada secara tidak langsung tetapi langsung sebagai komponen bagian dari total tenaga kerja. (MECW 24:85)
Pertukaran komoditas yang diperluas berakhir pada fase pertama atau awal komunisme, karena di sini para produsen mengontrol sarana-sarana produksi secara bebas. Kerja abstrak—substansi dari nilai yang memungkinkan produk-produk kerja dipertukarkan secara universal—tidak lagi ada. Perdagangan retail, perdagangan skala besar, serta “pasar” berguguran. Berbagi berdasarkan nilai-guna menggantikan penjualan berdasarkan nilai-tukar. Kerja sosial secara langsung menggantikan kerja sosial secara tak langsung. Secara demokratis, kontrol bebas terhadap alat-alat produksi, para produsenlah yang mengatur interaksinya, bukan oleh kekuatan eksternal seperti waktu kerja yang diperlukan secara sosial. Produksi nilai berakhir sejak masyarakat sosialis atau komunis dimulai.
Namun, kerja tidak dihapuskan pada fase yang lebih rendah. Sebagai gantinya, waktu kerja aktual berfungsi sebagai ukuran untuk mendistribusikan produk sosial. Marx menulis, “Produsen perseorangan menerima kembali dari masyarakat–setelah pemotongan dilakukan–persis seperti yang telah ia berikan. Apa yang ia berikan ini merupakan kuantum kerja individualnya (his individual quantum of labour)” (MECW 24:86). Individu-individu ini menerima voucher atau token dari masyarakat sebagai tanda bahwa mereka telah “memberikan sejumlah tertentu waktu kerja” dan sebagai gantinya mereka memperoleh “stok sarana konsumsi sosial sebanyak jumlah waktu kerja yang telah ia curahkan” (MECW 24:86). Marx tidak menyarankan kerja dari pekerja dihitung berdasarkan waktu kerja sosial rata-rata. Waktu kerja di sini cukup didasarkan pada jumlah aktual waktu kerja individu dalam kooperasi tertentu.
Setiap individu menerima kompensasi berdasar waktu kerja aktual yang mereka curahkan, terlepas profesi masing-masing. Karena tidak ada dua individu yang sama persis dan mereka bebas menentukan banyak atau sedikitnya kerja mereka, maka beberapa menerima kompensasi lebih besar dari yang lain. Kelas dihapuskan, namun ketidaksetaraan tetap ada. Penerapan standar yang sama (waktu kerja aktual) terhadap individu yang tidak sama menyebabkan kompensasi yang tidak sama. Marx tak pernah berpegang pada gagasan vulgar bahwa dalam “sosialisme” setiap orang mendapat jumlah yang sama.
Fase yang lebih rendah dinodai “tanda lahir” dunia lama dari tempat ia muncul, karena (seperti yang Marx tulis) di sini terdapat pararel dengan produksi komoditas dalam pengertian sangat terbatas bahwa ia diatur oleh pertukaran ekuivalen. Marx menyebut ini sebagai kegigihan “hak borjuis.” Tetapi, (ketidaksetaraan kompensisi dalam fase yang lebih rendah–pen) ini tidak mengacu pada borjuasi, sebab kelas-kelas telah dihapus pada fase yang lebih rendah. Ia justru mengacu pada quid pro quo, bahwa apa yang anda peroleh dari masyarakat tergantung kepada apa yang telah anda berikan pada masyarakat. Dalam hal ini, hubungan kontraktual tetap eksis di fase yang lebih rendah.
Namun, quid pro quo ini adalah dunia yang dihilangkan dari pertukaran ekuivalen abstrak. Apa yang dipertukarkan adalah aktivitas-aktivitas manusia, bukan produk-produk yang mengandung bentuk nilai (value-form). Karena hubungan ini terkait secara bebas dan tidak diperantarai relasi kelas atau bentuk abstrak dominasi, ia secara radikal berbeda dengan bentuk kontraktual dalam kapitalisme, di mana pertukaran tenaga kerja dengan upah yang tampaknya “bebas” mengaburkan sistem eksploitasi yang pada dasarnya tidak bebas.
Lebih lanjut, Marx tidak mengatakan bahwa yang mengatur fase yang lebih rendah ialah “untuk setiap orang mendapatkan sesuai kemampuannya, dari masing-masing bekerja sesuai kebutuhannya.” Formulasi semacam itu tidak pernah Marx tulis, dan pada kenyataannya–itu merupakan formula untuk kerja upahan. Kerja upahan didasarkan gagasan bahwa anda dibayar untuk nilai tenaga kerja anda. Tetapi, Marx, seperti yang sudah sangat dikenal, menegaskan sosialisme sebagai penghapusan kerja upahan.
Marx sebetulnya membahas fase yang lebih rendah pada tingkatan yang lebih besar ketimbang fase yang lebih tinggi, yang ditegaskan dengan “dari setiap orang bekerja berdasarkan kemampuannya, untuk setiap orang memperoleh berdasarkan kebutuhannya.” Ini dikarenakan Marx memikirkan relasi sosial seperti apa yang akan menyediakan basis terbaik bagi pengembangan kaidah lebih lanjut untuk mengendalikan fase yang lebih tinggi. Kita pertama perlu belajar menguasai diri dan lingkungan kita supaya terbebas dari formasi abstrak seperti kekayaan dan waktu kerja yang diperlukan secara sosial yang dinyatakan dalam istilah moneter. Setelah ini tercapai, seiring berakhirnya pembagian kerja mental dan kerja manual, “pengembangan individu dalam segala hal,” dan titik di mana “seluruh sumber kekayaan kooperatif mengalir lebih deras,” suatu fase yang lebih tinggi pun dapat dicapai dimana “setiap orang bekerja berdasarkan kemampuannya, setiap orang memperoleh berdasarkan kebutuhannya” dapat diaktualisasikan (MECW 24:87).
Namun, mengapa Marx mengajukan kerja waktu aktual sebagai ukuran dalam fase komunisme yang lebih rendah? Alasannya ialah perlu untuk menjelaskan bagaimana mengorganisir produksi dan masyarakat yang belum mencapai tingkat kelimpahan yang cukup untuk memungkinkan distribusi segala jenis barang dan jasa secara gratis. Marx hidup di masa ketika kekuatan produksi belum berkembang seperti sekarang. Namun, hal itu tetap menjadi masalah saat ini, sebab dunia tentu belum mencapai titik di mana “seluruh sumber kekayaan kooperatif banjir secara deras” (MECW 24:87). Kemiskinan yang menghancurkan dan kurangnya kesempatan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang, seharusnya memperjelas bahwa lompatan instan dari kapitalisme ke fase komunisme yang lebih tinggi merupakan hal yang mustahil.
Di sinilah letak pentingnya mengatasi persoalan bagaimana mengorganisir masyarakat setelah keberhasilan revolusi, atas dasar relasi sosial yang dapat menyiapkan jalan bagi masyarakat komunis yang “berdiri di atas fondasinya sendiri.” Jika persoalan ini tidak diatasi, jawaban-jawaban konvensional–seperti mengandalkan bentuk negara sentralistik atau ekonomi pasar (atau keduanya sekaligus)—akan mendapatkan ruang. Padahal, tak satupun jawaban tersebut mengarahkan kita melampaui cakrawala dunia saat ini dimana hubungan antar manusia diubah bentuknya menjadi hubungan antar benda.
Periode Tansisional
Karena alasan ini, sangat penting untuk tidak merancukan “kediktatoran proletariat” dengan tahap awal sosialisme atau komunisme. Critique of Gotha Program jelas-jelas menegaskan bahwa “kediktatoran revolusioner proletariat” adalah periode transisi politik antara kapitalisme dengan masyarakat baru. Marx menulis, “Antara masyarakat kapitalis dan komunis terbentang suatu periode … di mana negara tak lain merupakan kediktatoran revolusioner proletariat” (MECW 24:95). Ini menandakan kontrol demokratis masyarakat oleh mayoritas besar, (yaitu) kaum buruh, yang menggunakan kekuatan politik sebagai alat untuk membersihkan kandang-kandang Augean[1] kapitalisme dengan menggantikan hak properti dan konrol kapitalis. Ini tidak merepresentasikan (setidaknya bagi Marx) kediktatoran minoritas partai atau kelompok. Sebagaimana Marx jelaskan dalam tulisan-tulisannya tentang Komune Paris, kediktatoran proletariat menandai penjinakan kekuatan negara oleh kekuatan masyarakat yang terorganisir.
Namun, ini masih belumlah sosialisme, sebab hukum nilai masih ada (meskipun dalam bentuk yang dijinakkan sekalipun) selama dunia pasar masih ada. Kediktatoran proletariat tidak lantas menuju ke sosialisme selama revolusi masih terbatas pada satu negara. Inilah mengapa Marx bersikeras memaksudkan kediktatoran proletar sebagai periode transisi, bukan masyarakat transisi. Masyarakat transisi dicirikan serangkaian relasi ekonomi yang berbeda. Periode transisional adalah ketika bentuk ekonomi lama mengalami proses pembusukan dan penumbangan. Suatu masyarakat tetap kapitalis, sekalipun di bawah kontrol demokratis pekerja, selama hukum nilai masih berlaku. Kediktatoran revolusioner proletariat dapat menjadi transisi ke sosialisme jika revolusi meluas secara global, ia juga dapat menjadi transisi balik ke formasi sosial lama jika revolusi tak meluas secara global.
Perpaduan kediktatoran proletariat dengan fase komunisme yang lebih rendah telah mengakibatkan kerusakan besar dengan menempatkan negara—yang dalam keterbatasannya eksis di periode transisi politik—sebagai bagian integral dari komunisme. Ini berlawanan dengan pandangan Marx, yang berpendapat bahwa sosialisme atau komunisme tidak kompatibel dengan negara, sebab negara merupakan “bonggol” masyarakat berkelas yang akan dihapuskan dalam masyarakat pasca-kapitalis (Marx 1972:329).
Komentar Marx yang secara khusus disalahartikan ialah perihal, “Perubahan apa yang akan dialami oleh bentuk negara dalam masyarakat komunis?” (MECW 24:95). Dalam bahasa Jerman, Marx sebenarnya tidak berbicara soal “bentuk negara” dalam komunis; tetapi soal fungsi negara (staatwesen—bukan Staat) sebelumnya yang dapat digunakan tanpa negara. Ini diperjelas kalimat selanjutnya: “Dengan kata lain, fungsi-fungsi sosialnya akan tetap ada, yang keberadaannya tetap sejalan dengan fungsi-fungsi yang sekarang dijalankan oleh negara?” (MECW 24:95).
Ini memberi kesan bahwa berbagai jenis fungsi negara dalam kapitalisme—seperti majelis legislatif, badan-badan koordinasi antara koperasi, badan perencanaan, dan sebagainya—di masa depan bisa dikelola tanpa negara. Sayangnya, dimensi pembahasan Marx ini mendapat sangat sedikit komentar; hampir semua diskusi tentang “kediktatoran proletariat” menjadikan negara dengan fungsi-fungsi negara terdahulu yang dapat dengan mudah digunakan tanpa itu. Fetish terhadap negara merasuk dalam yang membuat maksud Marx nyaris tak layak diperhatikan.
Pada saat bersamaan, mengklaim bahwa Marx meyakini struktur politik semacam itu akan lenyap di dalam komunisme bukanlah sesuatu yang kurang akurat. Tidak semua struktur politik bergantung pada kehadiran negara. Lagi pula, bentuk politik mediasi tetap diperlukan di setiap masyarakat yang kompleks—terutama masyarakat yang didasarkan pada bentuk kerja sama perkumpulan manusia. Proses kerja sama membutuhkan diskusi, perdebatan, dan negosiasi—semuanya memiliki karakter politik masing-masing dalam arti lebih luas. Fungsi-fungsi sosial yang dimaksud di dalam Critique of the Gotha Program juga dapat diterjemahkan sebagai “badan politik” (body politic).
Bahkan beberapa bentuk perkumpulan manusia awal, seperti pada masyarakat pemburu dan pengumpul (hunter and gatherer), memiliki beberapa bentuk badan politik; lantas, mengapa menganggap masa depan tidak akan seperti itu? Meskipun Marx memiliki tujuan akhir yang sama dengan kelompok anarkis, yaitu penghapusan negara, dia bukanlah seorang anarkis. Marx tidak menganggap bahwa struktur-struktur politik secara inheren mengalienasi. Pelampauan atas kapitalisme memungkinkan suatu keadaan politik yang membebaskan dan tanpa paksaan. Mungkin cukup sulit untuk dibayangkan sekarang, tapi tentu saja ini layak untuk diraih.
Radikal dan Membebaskan
Penelitian singkat ini–yang hanya menyentuh beberapa dari banyaknya referensi tentang masyarakat pasca-kapitalis dalam karya-karya Marx–mengindikasikan bahwa konsepsi Marx soal pasca-kapitalisme jauh lebih radikal dan liberatif ketimbang yang diasumsikan secara luas. Hal ini khususnya tercermin dalam sikap Marx terhadap pasar. Dia menentang ekonomi-ekonomi pasar, tetapi bukan karena dia terjerembab di bawah ilusi ekonomi komando-statist yang melampaui hukum nilai. Ekonomi pasar yang diperluas merupakan ekspresi penting dari dominasi waktu kerja yang diperlukan secara sosial atas kerja konkret, dan ini—tidak seperti hukum tarik-menarik gravitasi—tidak dapat diganggu gugat lagi menurut perintah para pejabat pemerintahan.
Itulah sebabnya mengapa rezim Stalinis gagal menyingkirkan pasar, bahkan dengan upaya paling keras sekalipun untuk memberangusnya; pasar tetap bertahan, meskipun dalam bentuk yang terdistorsi (pasar gelap atau black market hanyalah salah satu contohnya). Upaya para sosialis pasar dalam membayangkan pelampauan atas kapitalisme menemui masalah yang sama dari arah berlainan, sebab mereka juga memiliki anggapan bahwa keberlanjutan produksi diatur oleh waktu kerja yang diperlukan secara sosial. Perhatian khusus untuk menghapuskan atau mempertahankan pasar erat kaitannya dengan kurangnya perhatian terhadap relasi sosial yang memungkinkannya.
Lebih lanjut, meskipun Marx dikenal karena teorinya tentang nilai lebih, perhatian utamanya bukan pada ekonomi redistributif. Tanpa mengeliminasi nilai produksi, nilai lebih tidak akan bisa dieliminasi. Namun, eliminasi atas nilai produksi tidak mudah dicapai, sebab hal itu memerlukan suatu transformasi terhadap watak relasi manusia. Ketimbang memperlakukan orang-orang sebagai sumber nilai moneter belaka, masyarakat harus terorganisir untuk memenuhi kebutuhan—tidak hanya kebutuhan material seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, tetapi juga kebutuhan spiritual seperti budaya, seni, dan pengembangan personal. Sebaliknya, relatif mudah mencapai redistribusi jangka pendek atas nilai lebih, dengan menggunakan kekuatan politik untuk mengekpropriasi kekayaan dari si kaya ke si miskin melalui cara parlementer atau paksaan. Namun, hambatan nilai produksi sangat membatasi efektivitas langkah-langkah redistributif semacam itu.
Adanya ketimpangan sosial dan ekonomi ekstrem dalam masyarakat kontemporer, menjadikan sangat masuk akal menuntut redistribusi nilai lebih yang lebih adil. Tetapi, mustahil meredistribusi sesuatu yang tidak ada. Sebuah proyek politik redistribusi nilai lebih menerima begitu saja keberadaan nilai produksi. Kebutuhan menghapus nilai produksi diabaikan. Dan ketika itu terjadi, kebutuhan menghapus kerja abstrak atau kerja yang mengalienasi, yang merupakan substansi nilai, juga ikut diabaikan. Kritik terhadap kapitalisme menjadi terbatas pada permukaannya saja atau fitur-fitur fenomenalnya, sedangkan watak esensialnya dibiarkan tidak tersentuh. Ini menegaskan kegagalan pendekatan dari seluruh Demokrat Sosial, Stalinis, dan varian ekonomi distributif para sosialis pasar: karena mereka mengasumsikan bahwa nilai produksi tetap eksis bahkan di bawah “sosialisme” sekalipun. Mereka gagal menantang alienasi terhadap relasi-relasi manusia yang merupakan substansinya. Humanisme, setidaknya dalam pengertian Marx, lenyap dari pandangan.
Oleh karena itu, tepat kira menutup esai ini dengan dua pernyataan Marx muda, yang mendasari banyaknya konsep-konsep yang saya elaborasikan di atas:
Komunisme adalah bentuk yang diperlukan dan prinsip dinamis dari masa yang segera datang, namun komunisme semacam itu bukanlah tujuan perkembangan manusia, bentuk masyarakat manusia (MECW 3:306). Di saat bentuk borjuis sempit telah dilucuti, maka apa itu kekayaan jika bukan universalitas kebutuhan, kapasitas, kesenangan, kekuatan produktif, dll., individu-individu, yang diproduksi dalam pertukaran universal … Situasi apa ini, jika bukan situasi di mana orang tidak mereproduksi dirinya di dalam bentuk yang ditentukan, namun memproduksi totalitasnya? Di mana dia tidak berusaha untuk tetap menjadi sesuatu yang dibentuk oleh masa lalu, tetapi di dalam gerak absolut permulaan? (Marx 1973:488)
Daftar Pustaka
Hegel, G W F (1929): Science of Logic Vol 1, Trans W H Johnston and L G Struthers, New York: The MacMillan Company.
Hudis, Peter (2016): Marx’s Concept of the Alternative to Capitalism, Delhi: Aakar Books.
Marcuse, Herbert (2000): Preface to Raya Dunayevskaya, Marxism and Freedom, from 1779 until Today, Atlantic Highlands: Humanities Books.
Marx, Karl (1972): The Ethnological Notebooks, Lawrence Krader (ed), Assen: Van Gorcum.
— (1973): Grundrisse, Trans Martin Nicholaus, New York: Penguin Books.
— (1977): Capital Vol 1, Trans Ben Fowkes, New York: Penguin Books.
—
(1978): Capital Vol 2, Trans David Fernbach, New York: Penguin Books.
— (1981): Capital Vol 3, Trans David Fernbach, New York: Penguin
Books.
[MECW] Marx, Karl and Frederick Engels (1975–2004): Collected Works, Fifty Volumes, New York: International Publishers.
Sève, Lucien (2004): Penser avec Marx aujourd’hui: I Marx et nous, Paris: La Dispute.
0 comments:
Post a Comment