Thursday, April 29, 2021

Friedrich Engels, Anak Pengusaha yang Mengabdi untuk Pembebasan Kelas Pekerja

            Hampir dua ratus tahun yang lalu, 28 November 1820, seorang anak pengusaha kaya itu dilahirkan di Barmen, Wuppertal, Jerman.

Lahir dan dibesarkan dari keluarga borjuasi pada umumnya, tentu ia juga kelak mengurus perusahaan dan didorong meneruskan profesi bapaknya.

Tapi tidak seperti Puteri Tanjung dan Ardi Bakrie, ia malah dikenal bukan sebagai pebisnis. Memang, ia sempat menjadi manajer finansial di perusahaan bapaknya. Tapi, itu dilakukan untuk merekatkan hubungan dengan bapaknya yang sempat renggang karena aktivitas politiknya.

Ia bahkan menjadi pemilik saham begitu sang ayah meninggal, dan mendapatkan dividen tahunan 1.095 pound pada tahun 1859. Bukannya diinvestasikan untuk menambah pundi-pundi kekayaan baru, dividen itu justru ia gunakan untuk menghidupi seorang filsuf-kritikus ekonomi politik agar lancar membongkar kepalsuan sistem ekonomi yang juga mengalirkan kekayaan pada keluarganya.

Sembilan tahun kemudian, saham itu ia jual seluruhnya.

Yang ia lakukan kemudian adalah melanjutkan kerja-kerja riset untuk pembebasan kelas pekerja. Sebuah upaya yang sudah ia lakukan sejak usia 22 tahun di sela-sela kesibukannya di pabrik. Bukan main-main, hasilnya ia tujukan untuk mempersenjatai kelas pekerja untuk meruntuhkan kapitalisme melalui revolusi.

Sosok yang saya maksud ini adalah Friedrich Engels. Orang penting di balik Marx.

Seandainya saja ia mau mengumpulkan kekayaan untuk tujuh turunan, mungkin ia bisa. Nama kakek dan bapaknya cukup dikenal di kalangan pengusaha di Eropa. Tapi dasar sudah menemukan apa yang benar untuk diperjuangkan, ia memilih menekuni bisnis kreatif dan menjadi staf khusus presiden capek-capek belajar filsafat, sejarah, antropologi, bahasa, dsb; memilih riset manajemen marketing dan SDM demi meningkatkan laba perusahaan lingkungan kerja, pemukiman, kesehatan, dan kehidupan mengenaskan para buruh; dan memilih dikejar-kejar polisi dan diintelin demi revolusi proletariat.

Saat usia 20 tahun, ayahnya berencana membayar uang tebusan agar ia tidak mengukti wajib militer—sebagaimana umumnya pengusaha pada waktu itu. Tapi, ia justru mengikutinya. Mungkin untuk mengasah kemampuan fisik dan perang lalu nyalon Presiden jika Bapaknya memanggil, yang berguna jika momen revolusi tiba.

Bagi saya, Engels adalah salah satu bukti untuk membungkam mulut-mulut yang tak pernah ngaji, yang menyatakan bahwa perjuangan melawan penindasan adalah perjuangan orang-orang lapar dan pemalas. Bukti itu juga ada pada Marx, yang bisa saja menjadi filsuf idealis pro kerajaan yang mapan jika mau. Bukti itu juga ada pada Muhammad, yang memilih perjuangan politik berdarah-darah melawan oligark Quraish dan sistem eksploitatif yang mereka bangun, meski mudah baginya sekedar hidup nyaman di rumah istrinya Khadijah, pedagang kaya, sambil lalu khotbah tentang surga di mesjid.

Engels bisa saja hidup tenang dan terhormat di mata lapisan kaum borjuis pada umumnya. Sebagai pemilik saham perusahaan tekstil kaliber Ermen & Engels di Manchester dan Engelskirchen, mudah baginya menghasilkan 1000 dollar per hari tanpa keluar rumah. Jutaan orang bahkan tidak menyadari bahwa seorang komunis dapat membuat tahayul mahluk fiktif Budi Setiawan menjadi kenyataan, seandainya dia mau. Tapi, itu tidak berguna bagi sejarah.

Mudah pula baginya mendirikan lembaga-lembaga filantropi sebagai bukti kedermawanannya—sebagaimana Rockefeller, Zuckerberg, Abu Rizal Bakrie, Ciputra, dan sederet kapitalis terkemuka dunia dan Indonesia pada umumnya. Tapi ia tahu, dengan niat tulus sekalipun, kedermawanan macam itu tidak akan banyak menolong kelas pekerja di seluruh dunia dari tindasan sistem kapitalisme.

Itu sebabnya, ia justru memilih bergelut dengan teks-teks ekonomi politik, sejarah, filsafat, antropologi, dsb. Ia telusuri asal muasal kepemilikan pribadi, negara, dan sistem keluarga. Studinya menghasilkan kesimpulan bahwa kemunculan negara, keluarga patrairkal, dan penindasan terjadi bertalian dengan penghakmilikan oleh satu kelas sosial terhadap curahan kerja kelas sosial yang lain.

Karyanya The Origin of Familiy, Property, and State 1884 merekam semua itu. Isinya menjelaskan corak kehidupan sosial manusia sejak jutaan tahun lalu. Dari karya ini, kita akan tahu bahwa 99 persen umat manusia hidup dalam sejarah sistem komunal primitif—sebagaimana kata feminis terkemuka, Evelyn Reed. Sedangkan keluarga patriarkal, negara, militer, dan kepemilikan privat atas alat-alat produksi yang menandai kemunculan eksploitasi manusia atas manusia lain baru muncul dalam periode barbarisme ke jaman peradaban, sekitar delapan ribu tahun lalu, yang masih bertahan hingga kini.

“Inilah salah satu karya fundamental untuk sosialisme modern. Tiap kalimat dapat ditangkap dengan benar dan pasti, sepasti kalimat-kalimat itu dipijakkan pada dasar materi politik dan sejarah yang luas, dan bukan kalimat-kalimat perca yang berserakan.” Kata Lenin ketika memberikan kuliah tentang Negara di Universitas Sverdlov, 11 Juli 1919. [1]

Membaca karya ini, saya yakin anda—yang merasa saja—tak lagi berteriak NKRI harga mati atau sudah final. Bukan hanya karena ia ‘selalu kalah di babak penyisihan grup’, tetapi–selain karena penemuan antropologi mengatakan bahwa negara merupakan institusi sosial masyarakat berkelas dalam periode transisi dalam, dan eksis hanya dalam sepersekian persen usia, sejarah umat manusia–perkembangan tenaga-tenaga produktif pada akhirnya tak kan lagi sesuai dengan bentuk negara pada saat ini.

Bayangkan. Saat semua produksi kebutuhan hidup semakin terotomatisasi dan termonopolisasi pada korporasi dari negara tertentu, pada saat yang sama miliaran umat manusia akan terlempar dari institusi yang katanya Pak Jokowi membuka lapangan pekerjaan. Pada saat yang sama pula miliaran penggangguran tak kan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebab, anak SD pun tahu, bahwa semua barang-barang kebutuhan hidup yang diproduksi korporasi tidak didistribusikan pada semua orang secara cuma-cuma. Sekarang, uang adalah segalanya. Dengan uang pengusaha tambang dapat membeli artis untuk semalam seharga 80 juta. Dengan uang pula seorang pengusaha bisa mencalonkan diri sebagai Presiden setelah memberi mahar 500 milliar.

Saya dan anda yang kere, mana mungkin bisa melakukan itu. Itulah ketimpangan dalam keuangan. Tapi, marxisme menemukan bahwa ketimpangan uang hanyalah turunan kesekian dari ketimpangan penguasaan atas alat-alat produksi yang menjadi akarnya. Sebab itu, tak terlampau sulit menyetujui tawaran Marx dan Engels atas persoalan sejarah kehidupan umat manusia ini: sosialisasi alat-alat produksi di seluruh dunia. Dan itu artinya, sekat-sekat nasionalisme perlu diganti dengan internasionalisme.

Saya yakin setelah membaca The Origin of Family, sebagian besar laki-laki juga akan melepaskan keyakinan konservatifnya bahwa seorang istri harus taat pada suami. Begitu juga dengan ‘feminis pemula’, tak kan lagi berasumsi bahwa semua cowok itu brengsek sejak dari sononya dan patriarki itu sudah ada sejak adanya manusia. Karya ini akan meluruskan asumsi ahistoris itu.

Ada juga banyak orang yang mengatakan bahwa komunisme tidaklah realistis. Setelah membaca karya ini, saya cukup yakin mereka segera mengoreksi pernyataan itu. Hingga tutup usia, tercatat sekitar 12 buku dan tak terhitung artikel berbobot yang telah ditulis Engels. Ia juga terlibat dalam beberapa upaya revolusi di beberapa negara. Di kalangan Marxis, barangkali tak diragukan lagi begitu besar perannya bagi perjuangan proletariat printisan teori dan praksis sosialisme ilmiah.

Saat Marx belum satupun menulis manuskrip tentang kritik ekonomi politik, Engels telah menulisnya terlebih dahulu. Ringkasan Kritik Ekonomi Politik ia tulis sepanjang Oktober-November tahun 1843, dan ia kirim ke jurnal buruh migran Jerman di Perancis, Deutsch Franzosishe Jahrbucher, dimana Marx adalah salah satu redakturnya. Untuk mengantarkan tulisan itu pada pembaca, Marx menulis: “sebuah ringkasan brillian dari kritik atas kategori-kategori ekonomi.” Tulisan itulah yang konon membuat Marx banting setir dari filsafat ke ekonomi politik dan menjadi segel abadi persahabatan diantara keduanya.

Ia pula yang menyunting Das Kapital jilid 1 karangan Karl Marx. Buku ini awalnya direncanakan terbit 6 jilid.  Di akhir usianya, Engels hanya sempat menambah Das Kapital jilid 2 dan 3 saat Marx meninggal.

1843-1844 Umrisse zu einer Kritik der Nationalokonomie (Ringkasan Kritik atas Ekonomi-Politik

1844-1845 Die Lage der arbeitenden Klasse in England 1944 (Kondisi Kelas Pekerja di Inggris 1844)

1847 Grundstze des Kommunismus (Prinsip-prinsip Komunisme)

1850 Die Deutsch Bauerkrieg (Perang Tani di Jerman)

1852 Revolution und Kotrarevolution in Deutscheland (Revolusi dan Kontrarevolusi di Jerman)

1873 Von der Autoritat (Ihwal Otoritas)

1878 Herrm Eugen Duhring’s Umwalzung der Wissenschaft (Revolusi Ilmu Tuan Eugen Duhring)

1880 Die Entwicklung des Sozialismus von der Utopie zur Wissenschaft (Perkembangan Sosialisme dari Utopia ke Ilmiah)

1884 Der Ursprung der Familie, des Privateigentums und des Staats (Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara)

1886 Dialetik der Natur (Dialektika Alam)

1888 Ludwig Feuerbach und der Ausgang der klassischen deutschen philosophie (Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman)

1894 Die Bauernfrage in Frankrieich und Deutschland (Persoalan Petani di Perancis dan Jerman)

Sumber: Dede Mulyanto, Engels, Hayat dan Karya Seorang Revolusioner[2]

Tahun 1947, beberapa orang utusan Liga Keadilan mendatangi Engels di Paris, Marx di Brussels. Tujuannya untuk mengajak keduanya bergabung. Marx dan Engels memberikan syarat perubahan asas dan statuta organisasi yang mendasarkan pada gerakan ideal Kristen utopis, perubahan nama liga menjadi Liga Komunis, dan perubahan semboyan dari “Semua Orang Bersaudara” menjadi “Proletariat Sedunia, Bersatulah!” Liga setuju dan memandatkan keduanya menuliskan manifesto. Dari sinilah Manifesto Komunis 1948 lahir.

Tak berselang lama, gerakan revolusi pecah di Paris dan menjalar ke Jerman. Namun tak lama kemudian, kalangan korservatif berhasil mengambil alih keadaan. Kelompok sosialis dihabisi, dan membuat Marx dan Engels eksil, berpindah-pindah negara, hingga diawasi intel dari empat negara sekaligus (Jerman, Inggris, Belgia, Perancis). Dari kegagalan inilah keduanya melakukan studi atas kegagalan revolusi. Marx menulis Brumaire ke-18 Napoleon Bonaparte dan Engels fokus menganalisis kegagalan revolusi 1848-1849 di Jerman.[3]

Dalam filsafat, Engels lah yang menamakan sebuah metode berpikir Marx sebagai materialisme historis, yang kini dikembangkan oleh pemikir-pemikir sesudahnya. Tulisannya tentang Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah, tidak hanya mengantarkan kita untuk memahami perbedaan mana visi sosialisme yang reaksioner-moralis dan mana visi sosialisme yang memiliki landasan ilmiah, tetapi juga mengantarkan pada kita untuk memahami apa itu dialektika dan materialisme historis yang menjadi landasan metode berpikir Marxis.

Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi tentang produksi (alat-alat yang menopang kehidupan manusia) dan produksi sesudahnya yakni, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari seluruh struktur sosial: dasar kemunculan seluruh masyarakat dalam sejarah, dasar tentang bagaimana kekayaan didistribusikan dan masyarakat terbagi dalam kelas-elas, dasar yang padanya organisasi tergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana barang-barang itu diproduksi dan kemudian dipertukarkan. Menurut cara pandang ini, penyebab akhir dari seluruh perubahan sosial dan revolusi politik tidak terletak pada otak manusia, bukan juga pada pengamatan yang jernih atas kebenaran dan keadilan yang abadi, tetapi dalam perubahan corak produksi dan pertukaran. Perubahan itu harus dilihat, bukan pada filsafat, tetapi pada ilmu ekonomi dari masing-masing epos tertentu.

(Engels, Anti-Duhring, 1959: 328)

Jadi, jika anda pernah membaca penjelasan Lenin bahwa ada tiga sumber inspirasi pemikiran Marx yakni, filsafat Jerman, sosialisme Perancis, dan ekonomi politik Inggris, Engels menemani Marx untuk mendalami ketiganya, dan merupakan pintu gerbang penting untuk memahami pemikiran-pemikiran Marx.

Di musim gugur 1895 tanggal 5 Agustus, kawan Marx itu meninggal. Diselimuti susana duka, Lenin menulis untuknya. “Setelah temannya Karl Marx (yang meninggal pada tahun 1883), Engels adalah sarjana dan guru proletariat modern terbaik di seluruh dunia yang beradab …. Dan untuk memahami apa yang telah dilakukan Frederick Engels untuk kaum proletar, orang harus memiliki gambaran yang jelas tentang sifnifikansi ajaran dan usaha Marx untuk pembangunan gerakan kelas pekerja kontemporer.”[4]

Kita semua berhutang pada Engels. Kontribusinya tidak kecil untuk membekali manusia mengubah sejarahnya yang penuh dengan manulasi dan ketimpangan. Tidak berlebihan jika dikatakan, tanpa Engels, mungkin tidak akan ada Marx yang sekarang kita kenal.

Saat semua orang masih tenggelam dalam perjuangan despotisme raja, polisi, dan pendeta saja, dan gagal mengamati pertentangan antara kepentingan kaum borjuis dan proletariat; saat kebanyakan penghayal berpikir bahwa hanya perlu meyakinkan para penguasa untuk mengakhiri kapitalisme; Marx dan Engels menyadarkan kita bahwa Tuhan tidak mengubah nasib suatu kaum jika mereka tidak berusaha sendiri mengubahnya (QS. Ar-Ra’d:11) kelas pekerja hanya akan bisa mengubah nasibnya jika mereka berusaha sendiri mengubahnya. Gagasan ini mungkin usang dalam pikiran sebagian orang saat ini. Tapi, itu merupakan sesuatu yang baru pada jamannya dan hingga kini tidak ada bukti empiris yang dapat menyangkalnya.

Karena itu, sebagian besar karyanya masih relevan untuk dibaca. Dan kita tak usah takut dituduh atheis hanya karena membacanya, atau bahkan menjadi komunis. Sebab visi komunisme dalam banyak aspek sesungguhnya kompatibel dengan visi agama.

Saya sendiri meyakini bahwa membaca karya Engels adalah perintah kitab suci. Hai orang-orang yang beriman.., nalarlah apa yang telah diperbuat pada masa lalu untuk kebaikan hari esokmu (QS Al-Hasyr, 18).***

 

 

Daftar Pustaka

[1] Evelyn Reed. Pengantar, Asal Usul Keluarga, Kepemilian Pribadi, dan Negara. Cet II (Jakarta: Yayasan Kalyanamitra, 2011), xii.

[2] Dede Mulyanto (editor), Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), 27

[3] Ibid 18

[4] Vladimir Ilyich Lenin. Frederick Engels, 1895. Sumber:  https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1895/misc/engels-bio.htm

 

 


0 comments:

Post a Comment

 
;