Pada Suatu hari
Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa
pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau
berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama
kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk
ruangan < itu.
“Romo, telah lama
saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini.
Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari
balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama
orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang
lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil
berlutut di bangku pengakuan.
“Apa yang akan kamu
lakukan?”
“Romo…. Romo, saya
bermimpi.”
“Mimpi bukan dosa.”
“Mimpi ini
terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka
saya datang kemari.”
“Ceritakan.”
“Mula-mula saya
bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”
“Kamu sudah
menikah?”
“Sudah Romo.”
“Lanjutkan.”
“Saya guru SMA.
Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar
sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir
saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya
sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”
“Sudah, sudah, saya
mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah
mimpi semacam itu.”
“Betul Romo. Tetapi
yang dulu sampai keluar.”
“Jadi sekarang ini
kamu juga menginginkan yang begitu?”
“Ah, Romo. Kecewa
saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita
mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan
kelalaian?”
Romo Wijoyo diam
saja.
“Saya merasa telah
berdosa dengan pikiran.”
“Baiklah, kalau kamu
merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”
“Romo. Ada
mimpi-mimpi lain lagi.”
“Hah?”
“Saya mimpi membunuh
berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid
saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak
membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran
saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja
selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya
tusuk berkali-kali tepat di dadanya.
Kemudian saya bunuh
ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya
dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai
manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak
berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di
mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya.
Namun, sepertinya
saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin
bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.
Romo Wijoyo diam
saja, terus mendengarkan.
“Yang terakhir saya
bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh.
Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya
yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini
sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah,
sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya.
Selalu bermobil ke
rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu
mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk
kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”
“Ya, itu kan hanya
mimpi. Mereka kan masih hidup?”
“Masih Romo. Tetapi
saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”
“Apa kamu malu juga
dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”
“Malu sekali Romo.
Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan
dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya
Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”
“Apa kamu memang
pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”
“Tidak pernah Romo.
Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan
membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung
juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras
uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu
mertua saya.”
“Tetapi uangnya kan
masih ada?”
“Tidak ada Romo.
Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di
lacinya.”
“Hah? Kan itu hanya
mimpi.”
“Benar saya yang
mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu Romo.
Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak
ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak
menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya
benar-benar dicuri.”
Romo Wijoyo
memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak
menggigil.
“Baiklah. Mari kita
berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa
dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”
Keluar dari kamar
pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau
mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang
di paroki itu.
Romo Wijoyo, sebagai
pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya.
Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana
uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.
Kira-kira satu bulan
kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada
seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang
perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.
“Maaf mengganggu
Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini
persoalannya Romo.”
Romo Wijoyo ingat
kembali pengakuan dosa yang aneh itu.
“Tadi siang saya
membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan
tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas
itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang
ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah.
Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang
itu Romo.”
Romo Wijoyo amat
kaget.
“Sekitar satu
setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar
jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut
Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan
saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak
mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”
Romo Wijoyo masih
tertegun. Belum sempat menata pikirannya.
“Saya tidak mau
suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum
berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu
bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”
Romo Wijoyo menerima
bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.
“Ibu jatuh atau
bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu
Lukas.
Ibu Lukas tersipu malu.
“Bukan jatuh Romo.”
“O, ya?”
Ibu Lukas diam
menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.
“Begini Romo. Sudah
satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya
sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi
dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi
saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya.
Ia jauh lebih tua
dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami
saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya
untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”
Dua hari kemudian
Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster
Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.
“Tidak mungkin dia
Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini
orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo.
Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak,
dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa
pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”
“Sebaiknya suster
agak punya perhatian khusus padanya.”
Sesampainya di
pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah
di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.
Dari seberang sana
ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu
lagi paperback.
0 comments:
Post a Comment