Aku masih diruang sepi ini, tak tahu sudah
hari keberapa? bulan keberapa? Aku terjebak diruang-ruang sepi ini gelap,
hening, hampa, aku tak merasakan apa-apa. Terasa seperti terasingkan dari dunia
ini. Entah aku tak tahu apa yang terjadi, rasanya semua ini sudah nggak pas
lagi, ada yang salah pada system kehidupanku, tapi apa?
Aku mencari-cari jawaban atas pertanyaan
yang dibuat oleh hatiku yang gelisah penuh tanya, penuh dengan prasarangka,
penuh kebingungan atas fatamorgana dari bayanganku. Akhir akhir ini aku merasa
teman-teman, sahabat, orang orang disekitarku perlahan-lahan menjauh dari
kehidupanku. Atau... apa aku yang menjauh dari mereka tanpa aku sadari?
Dunia terasa mengasingkanku, yang dulu hari-hariku
penuh dengan petualangan-petualangan antar sahabat penuh canda tawa dalam
melawati banyak hal, tetapi setelah kejadian itu, setelah semuanya jelas
terlihat, setelah rahasia kehidupan ini terbongkar, tanpa skat tanpa pembatas,
saat aku bisa melihat semuanya dengan jelas, semuanya seakan berbeda semuanya
seakan seperti cermin terlihat kebalikan dari diri asli mereka.
Aku muak akan semua ilusi ini, aku bosan
dengan omong kosong keadilan yang diteriak-teriakan
di TV, aku ingin berontak, aku ingin mengamuk mengeluarkan gelora didalam hati
ini. Tapi... berontak tentang apa? Mengamuk kepada siapa? Berontak tentang apa?
Dua bulan yang lalu, saat ada sesuatu yang
salah, ada sistem yang berjalan salah, dan walaupun orang-orang menganggapnya
biasa, aku selalu berisik memperkarakan semua itu(karena aku tipe orang yang nggak bisa membiarkan sesuatu yang salah
tetap berjalan bahkan beranak pinak) berisik tentang perubahan. Aku tak perduli
dianggap teman-teman bahwa aku cari muka, bahwa aku sok tahu, bahwa aku sok kritis,
aku tak perduli.
“Lebih
baik diasingkan, dari pada menyerah kepada kemunafikan” –gie-
Tapi, semangan membrontak itu sekarang
meredup, seiring dengan kegalauan yang melanda pemikiranku saat ini, hanya debu
kamar ini yang selalu kutemu , yang selalu ku lihat berubah tanpa suara,
tanang, hening, partikelnya berjatuhan ke atas meja perlahan-perlahan.
“Semoga setelah tidurku malam ini, setelah aku bermimpi, semuanya akan kembali seperti dulu, kembali seperti putra yang bersemangat dengan semua daya juang pembrontakan. Putra yang selalu belajar memaknai kehidupan ini dengan bijak, seperti para ‘sufi(musafir)’ yang mengembara mencari arti kehidupan, mencari makna dunia, mencari harta karun mereka”
0 comments:
Post a Comment