Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Wednesday, November 11, 2020 0 comments

Kapitalisme ‘Mereproduksi’ Pandemi

 

Namun, janganlah kita terlalu bangga atas penaklukan-penaklukan kita terhadap alam. Karena masing-masing penaklukan itu berbalas-dendam terhadap kita. Setiap kejayaan, memang benar, di tempat pertama hasilnya memenuhi ekspektasi kita, tetapi di tempat kedua dan ketiga efeknya sangat berbeda, tak terduga, dan seringkali hanya membatalkan yang pertama. (Friderich Engels, The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, 1876)

Korban terpapar Coronavirus disease-19 (Covid-19) terus berjatuhan. Hingga 6 April 2020,  1.285.257 manusia terinfeksi dan 70.344 diantaranya meninggal. Para pejabat Indonesia awalnya meremehkan sambil berkelakar.[1] Banyak tokoh nonpejabat juga membuat pernyataan menyesatkan.[2] Saat virus mulai merenggut korban jiwa, semua gelagapan. Petugas medis bekerja kewalahan tanpa perlindungan. Revisi-revisi pernyataan antarpejabat terjadi. Desa-desa dan Daerah-daerah berinisiatif lockdown, Pusat melarangnya demi ekonomi investasi.[3] Hingga kini, 22 dokter meninggal dan lebih dari seratus pekerja medis terinfeksi. Sedikitnya data korban versi Kementerian Kesehatan makin tak masuk akal, sampai-sampai Pemerintah daerah hingga Badan Nasional Penganggulangan Bencana terang-terangan menyangkalnya.

Monday, September 4, 2017 0 comments

AGAMA SASTRA


Sastra-ungkapan hati soal hakikat keadaan yang dituangkan dalam kata-kata ataupun tindakan yang penuh romantisme-memang mampu mengguncang kehidupan. Karena berawal dari sastra lah kita kan menemukan filsafat dan ilmu pengetahuan. Coba perhatikan bagaimana Homer menceritakan kisah Troya yang akhirnya menjadi sejarah tak terbantahkan ketika kota tersebut ditemukan reruntuhannya di pesisir Turki. Lalu seberapa pentingkah sastra kita ini? bagi para sastrawan, sastra adalah suatu agama yang mampu mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Dalam dunia kata-kata yang bermakna dalam, kita bukanlah Islam, Kristen, Yahudi, ataupun Hindu dan Buddha karena agama-agama tersebut mempunyai klaim kebenaran absolut yang tak terinterpretasikan secara vulgar karena ada hukum Tuhan yang melarangnya. Agama-agama itu membatasi kita dalam mengungkapkan segala hal yang perlu diungkapkan karena kita takut akan neraka dan menginginkan surga.
Bukan surga itu yang kita inginkan, surga yang masih berbentuk khayalan para agamawan. Namun, surga kata-kata yang kita ciptakan sehingga membuat orang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Bukan neraka itu yang kita takutkan, tetapi sebuah neraka yang membunuh kata-kata para sastrawan sehingga ia mampu tuk berkata “ketahuilah bahwa di alam kubur suaraku akan lebih lantang”. Agama itu cukuplah disimpan sebagai bentuk hubungan intim kita dengan Tuhan. Bagi kita, kebenaran yang absolut hanyalah milik para pengarang. Namun, kebenaran itu bisa berupa kebenaran parsial ketika ia diinterpretasikan oleh para penikmat karena sastra adalah hal yang paling universal yang pernah kita kenal.
Monday, November 23, 2015 0 comments

Jatuh Cinta Adalah Gejala Humanistis

Pernahkah anda jatuh cinta?Jika jawabannya “Ya” maka benar jatuh cinta adalah gejala humanistis. Mengapa saya sebut sebagai sebuah gejala humanistis? Sebab saat seseorang jatuh cinta maka kita akan menemukan sisi lain darinya. Ia bisa saja melakukan hal-hal yang sangat tidak biasanya dilakukan, baik yang positif maupun negatif. Di situlah muncul gejala-gejala humanistis dimana seseorang akan semakin mengerti siapa dirinya yang sesungguhnya. Setidaknya hal itulah yang saat ini saya rasakan dan sangat saya sadari. Itulah hakikat yang harus saya tanamkan di dalam diri saya meskipun terkadang orang-orang di luar sana terlalu munafik untuk mengakuinya, sebab mereka terkungkung oleh nilai-nilai yang mereka cipatakan sendiri.
Ada hal-hal yang tidak biasa ketika seseorang jatuh cinta. Hal-hal yang tidak bisa ia jalani dengan semangat bisa ia jalani. Hal-hal yang rasa-rasanya tak mungkin ia lakukan menjadi sangat mungkin dilakukannya. Hal-hal yang tak disukainya bisa menjadi suka hanya dalam waktu singkat saja. Orang bisa saja tiba-tiba menangis, tertawa, ataupun tersenyum-senyum sendiri. Logika bisa tertutup oleh fantasi, alam bawah sadarlah yang kerapkali berfungsi. Semua bisa menjadi berbeda, menjadi tak biasa.
Pernahkah anda berpikir tentang banyaknya lagu, puisi, film, novel, atau karya sastra lainnya yang bergenre cinta? Sampai saat ini bisa kita amati bahwa karya-karya yang saya sebutkan di atas masih didominasi oleh tema cinta. Pernahkah anda sadari jika itu adalah bagian dari gejala humanistis? Tendensi ini saya rasa lahir dari kodrat dan kebutuhan-kebutuhan dasar yang akan selalu menyertai manusia, baik secara sosial, psikis, maupun biologis.
Saya sangat miris ketika menemukan golongan yang membuat cinta menjadi hal yang tabu. Mengapa kita harus malu atau takut untuk mengakui kalau kita sedang jatuh cinta? Padahal itu adalah kebutuhan mendasar yang setiap manusia memerlukannya. Bagi saya pandangan mereka sangatlah tidak manusiawi ketika memaksakan setiap orang untuk selalu memendam rasa cinta, menjauhkan cinta itu dari diri mereka sendiri, mengkerdilkan cinta hingga mati dengan alasan nilai-nilai yang mereka ciptakan sendiri untuk menjaga diri. Padahal saya sangat yakin jikalau nurani tak pernah salah. Ia adalah cahaya yang akan selalu membimbing jalan kita sebab tuhan menitipkan sifat-sifat ketuhanannya di dalam di diri kita. Menjaga diri itu perlu, namun mengkerdilkan cinta dengan alasan menjaga diri bukanlah hal yang tepat.
Thursday, September 25, 2014 0 comments

Mencari Cahaya [part 3 Rawa diAtas Awan]

Bangunan itu terlihat seperti masjid besar dengan kubah terbuat dari berlian sebesar bukit barisan, kubah yang terlihat seperti kaca raksasa yang tembus pandang, awan dan sinar matahari dapat masuk dengan leluiasa ke dalam bangunan indah ini. Bangunan besar berwarna putih dengan pilar-pilar besar menyangga diluar bangunan, deperti kuil zeuz didalam dongeng yunani kuno. Bangunan itu pun berstruktur berundak-undak, mempunyai beberapa lapisan, berbentuk seperti tangga yang mengelilingi bagian bawah bangunan. Aku hanya terkagum-kagum dengan bangunan yang aku lihat ini.Kamu mulai mendekatinya, aku mencoba memasuki bangunan itu. Mungkin ada jawaban dari semua peristiwa ini, atau bahkan akan menemukan jalan keluar untuk kembali ke pulau tanpa penghuni dan bertemu dengan teman-temanku yang sedang bermain dipantai.
Sudah setengah hari aku berjalan bersusah payah menjejakkan kaki ku diatas awan yang lembut, tak kukira akan sejauh ini perjalanan yang akan aku tempuh untukmencapainya. Hay, aku tak menyadarinya dari tadi ternyata awan-awan yang sebagai pijakan ku mulai meninggi, yang tadinya berada dibawah telapak kaki ku, sekarang sudah selulut, seperti melewati rawa yang luas, kakiku seperti diselimuti kabut yang tebal bahkan jari kaki ku pun tak dapat terlihat. Awan ini tidak hanya mulai meninggi, tetapi angin menuju bangunan itu juga terasa semakin kencang, angina yang keluar dari dalam bangunan seakan-akan menghalangi ku untuk mendekatinya.
Wednesday, June 11, 2014 0 comments

Mencari Cahaya [part 2 Sepucuk Surat]


 

“Siapa kau? Mangapa kau mengejarku di labirin gelap ini, apa mau mu?” tanyaku yang masih keringat dingin karena kaget setengah mati melihat sosok yang tak kenal menyerupai diriku.
“albusatera barhawa setra maha ruchi kanji nebusta” jawabnya.
“apa? Aku tak mengerti apa yang kau ucapkan, siapa kau sebenarnya?” sambil tanganku menggenggam sekuat yang ku bisa, untuk berjaga-jaga kalau dia menyerangku.
Sosok hitam itu hanya menjawab ku dengan mengeluarkan suara-suara dengan bahasa yang tak bisa ku mengerti sepatah kata pun. Dan dengan suara yang tak jelas, lebih mirip berbisik. Wajah itu menatapku dengan tatapan seakan bertanya-tanya dalam kebingungan melihatku. Apakah dia juga heran dan sama takutnya dengan ku saat mengalami kejadian ini. Itu menjadi misteri hingga saat ini.
Daarrrkkk terdengar suara pintu dibelakangku yang tergedor sangat keras dari dalam, sial!! aku seperti terkurung dengan keadaan ini, didepanku terlihat sosok hitam yang tak kukenal sama sekali, dan ditambah pintu misterius dibelakangku bergerak seakan ada seseorang yang mencoba mendobraknya.
Monday, June 2, 2014 0 comments

Mencari Cahaya [part 1 Labirin]


Sudah lama aku mencari cahaya didalam labirin gelap ini, labirin yang tak berujung, labirin yang tak memberi ku alasan untuk pulang kepadaMu. Aku berjalan terlalu lama, sebenarnya hanya itu-itu saja jalan yang ku lalui, aku kehilangan arah, kehilangan petunjuk yang Kau berikan kepadaku. Aku meraba-raba yang ada didepanku kosong, tak ada apa-apa selain dinding-dinding yang membatasi ruang gerak ku menuntun keruang yang tak kukenal.
Mencoba mendengar sekitarku yang sunyi, mencoba penglihatanku yang gelap, aku takut, gusar, dan ragu-ragu dalam setiap langkah. Tiba-tiba aku merasakan hawa sesosok makhluk berada dibelakangku, bulu kuduk ku berdiri, aliran darahku bergerak cepat. Aku tak banyak piker dan langsung berlari kalang kabut, sosok itu mengejarku, aku tak tahu pasti karena kegelapan ini pandanganku terbatas. Tapi dengan auranya yang kelam, tersa betu bahwa dia mengejarku.
Aku tak tahu sosok apa yang mengejarku itu, apa maunya, dan yang penting dimana aku sekarang? Aku tak bisa berfikir dengan jernih, ditambah dengan ketakutan setengah mati karena dikejar sosok hiatam yang menakutkan itu. Astaga dia cepat sekali, tak kuasa lagi kakiku untuk melangkah, dan sudah sejauh mana aku berlari, atau aku hanya berputar disitu-situ saja? Entahlah.
Friday, May 2, 2014 0 comments

Bukan Maksudku [Chapter 1 : Ku Gores Tinta Di Atas Kertas Putihmu]


Malam semakin lama semakin gelap, aku ditemani segelas kopi cappuccino dan aku duduk didekat jendela kamarku. Aku melihat keluar jendela kamarku Seperti biasa malam ini hujan turun lagi, sambil mendengarkan lagu lembut dari Kenny G, dan sesekali playlist di pemutar musik berganti dengan petikan gitar Depapepe yang santai. Membuat suasana diluar damai menentramkan.
Hujannya Tidak deras, hanya gerimis. Itupun jarang-jarang, tetapi sudah cukup untuk membuat indah kerlip lampu. Aku menghela napas panjang. Tanganku perlahan menyentuh kaca jendela yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jariku, mengalir melewati telapak tanganku, menuju siku, pundakku, dan berakhir dihatiku.
Membekukan semua perasaan ini.
Mengkristalkan semua ingatan ini.
Aku pun tak tahu apa yang terjadi denganku malam ini, entah karena apa atau apa aku salah makan atau apa, entah apa, kepalaku penuh dengan pertanyaan. Dan hatiku gelisah, hanya melamun dan menunggu. Tapi entah apa yang aku lamunkan dan entah apa yang aku tunggu. Berulang kali aku melihat layar dihp yang tergeletak tak jauh dari jangkauan tanganku.
Tuesday, March 4, 2014 0 comments

Gerimis Bulan Maret yang Meruncing Merah


Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis bulan maret bakal seruncing ini, va. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada hari kemarin teramat mengiris dan adzan yang berkumandang menjelang magrib itu mengingatkanku pada kebodohanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang terpancang di langit yang memerah.
Tentu saat itu gerimis tak sedang mendera medan perang yang riuh oleh denting pedang atau tombak yang sedang beradu. Tentu kilat juga tak sedang menyambar-nyambar di keriuhan ringkik kuda dan debu-debu yang beterbangan seperti abu. Namun, siapa pun tahu, serupa gerimis, anak panah-anak panah dari busur-busur buta itu kian mendesing, mengabaikan jerit, mengabaikan mayat-mayat yang telah mengonggok di bukit berbatu.
Dan kau, Va, mengapa masih mengasah pedang juga? Mengapa pada saat tak ada burung-burung ababil melintas di atas kuburan kau tetap mengenang pertempuran sengit di bukit itu? Bukankah telah kau hentikan segala dahaga dan sakit yang mengharu-biru?
Tuesday, February 25, 2014 0 comments

Mimpi-Mimpiku


Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.
Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu.
“Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Romo…. Romo, saya bermimpi.”
“Mimpi bukan dosa.”
“Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.”
Sunday, May 26, 2013 0 comments

;;; Malam Sepasang Lampion ;;;


Hujan-yang kau sangka bisa menghijaukan seluruh lampu lampion-baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan Goulburn. Matamu tentu tak waras kalau menganggap billboard Sussex Centre atau Nine Dragons telah menghijau. Dalam kepungan kristal-kristal air yang jernih pun, papan nama-papan nama restoran itu menguarkan cahaya merah-kuning yang tajam. Dan lampu-lampu lampion bergenta mungil itu tetap saja membiaskan kesejukan daun-daun hijau kekuningan di antara para migran Thailand, Vietnam, atau Korea yang berlarian menghindar ke trotoar.
Dan kau, Xi Shi, diimpit gedung-gedung pink, gapura-gapura berornamen naga atau patung-patung harimau, tak mau menghindar dari kutuk hujan. Maka, sungguh aneh jika orang-orang yang berpapasan denganmu tak menganggap kau sebagai perempuan edan. “Mereka toh tak memahami makna kenikmatan,” dengusku sambil menatapmu yang terus-menerus membentangkan sepasang tangan dan menari-nari dalam dera hujan.
Kau tahu apa yang kau harapkan Xi Shi. Di akuarium raksasa bernama Chinatown, tak seorang berani mengguratkan segores luka jarum pun di tubuhmu yang dipenuhi tato naga. Luka paling luka, perih paling perih, dan pedih paling pedih pun tak mengubahmu menjadi perempuan sehening teratai, selembut bunga lili, atau sesejuk kolam-kolam jernih di The Chinese Garden of Friendship.
Sunday, April 28, 2013 0 comments

Rembulan dalam Cappuccino

Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.

Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.
Wednesday, April 24, 2013 0 comments

Setyawati



Setyawati adalah nama ibuku. Dia wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan pengujian yang paling kritis sekalipun.
Hal pertama yang kuingat dari diri Ibu adalah kalau malam dia suka memakai gaun sutra berwarna putih. Aku pernah menanyakan kenapa dia suka memakainya dan kata Ibu itu agar aku lebih mudah menemukannya di dalam kegelapan. Kalau siang, warna gaunnya lebih beraneka ragam, tapi biasanya bermotif bunga. Di dekatnya selalu tercium wangi melati, kadang memang sedikit tercampur bau kue atau masakan di dapur, tapi wangi melatinya masih tercium.
Saturday, April 20, 2013 0 comments

Hari Baik



Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun.
Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki, dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga.
Tuesday, April 9, 2013 0 comments

Rumah yang Dikuburkan

Kalau pada suatu hari ia jumpai ayahnya sudah dalam keadaan gantung diri, maka ia akan langsung bersyukur. Kalau pada suatu hari ia pergoki ibunya sedang bermesraan dengan entah siapa di gudang belakang rumah, tentu ia juga akan bersyukur. Sudah sewajarnya jika ayahnya harus mengambil keputusan gantung diri. Rasanya, hanya jalan itulah yang paling memungkinkan, mengingat istrinya sendiri semakin nekat mengumbar keinginan. Dulu, ia sempat menduga, kejadian di gudang belakang rumah tak akan terulang, dan sebagai laki-laki, ayahnya akan dengan mudah melupakan. Rupa-rupanya kejadian di gudang belakang rumah itu terus terulang, bahkan seperti meminta dengan sengaja bahwa ayahnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri.
Bagaimana, ayah?” ia pernah bertanya.
Tuesday, April 2, 2013 0 comments

Tiga...Nol...Tiga...Tiga...



Kata-kata tak berdaya untuk melukiskan betapa buruknya nasib penjudi togel yang satu ini. Dan siapakah yang bisa menuturkan dengan saksama perasaan petaruh yang selalu menelengkan kupiahnya ini, yang selama lebih empat puluh tahun terus-menerus menggantungkan sebagian dari nasibnya pada keberuntungan yang dijanjikan oleh angka-angka liar. Dan siapa yang bisa bertahan terhadap kekecewaan seteguh Huripto, yang selama hidupnya mengotak-atik angka, tapi tak sekali pun tebakannya yang mengena.
Dia mulai berangan- angan jadi kaya dengan menebak toto sepak bola awal 1960-an. Ketika padang rumput di bagian barat Stasiun Gambir masih jadi lapangan sepak bola, karena imajinasi yang melambung belum menggoda Presiden Soekarno untuk membangun monumen di situ. Sehingga hampir saban hari di lapangan itu ada pertandingan bola, yang dijadikan penduduk kota sebagai ajang mengadu nasib di meja toto. Sejak zaman itu judi benar-benar menggoda hidup Huripto.
Friday, March 15, 2013 0 comments

Khairan (Senja Diujung Mata)


Setengah berkacak, dengan lembut, Arsad menendangi bongkahan blok mesin sepeda motornya. “Nggak akan tembus kan, Sir?” katanya. Nasir menggeleng. Khairan menepuk bahunya. “Kita juga main, Sad. Kita tutup nomor jagonya, dan karenanya kita hanya narikin duit orang kampung. Ini hanya pemancing saja,” katanya. Arsad menaiki sepeda motornya, mendorongnya sehingga rodanya mencecah di tanah. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Terbayang lagi, olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus, yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai sepeda motor itu. Ini bukan punyamu, kata ayah, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu-apa masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut.
Tuesday, March 12, 2013 0 comments

Surat-Surat Kertas



“Aku bosan menerima suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.”
Saturday, February 16, 2013 0 comments

Sahabatku Dan Post 13



Pagi hari dengan embun tebal menyelimuti kawasan sragen dan sekitarnya. “adit...adit...bangun, sarapan dulu cepetan ntar kamu terlambat masuk kuliahnya lho...!!” teriak ibu dari dapur dilantai bawah. “sebentar bu.. ini baru ganti baju..bentar lagi...!!”. sedangkan ibu mengambil koran dikotak surat didepan rumah.
            “dit...adit...nie ada surat untuk kamu..!!” kata ibu sambil memulai menyiapkan sarapan. “dari siapa bu..?” tanya adit sambil menuruni tangga. “dari candra...ow iya dit candra kok dah lama nggak maen kerumah, dia kuliah dimana..?” tanya ibu. “taru situ adja bu, candra..? tumben dia ngirim surat..!!! biasanya adja dia sms..” sindir adit yang sedang duduk dimeja makan bersama keluarga yang lain.
Monday, December 10, 2012 1 comments

SISA BADAI DISEPASANG MATA



Setiap kali aku menatap matanya, aku merasa melihat tanah-tanah kuburan tua, seperti melihat ladang-ladang yang terbakar dalam senja, mengingatkanku pada pantai murung dengan onggokan kapal rusak dan lelah. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya. Puing-puing dan segala yang berserpih adalah matanya yang sekarang, mata seusai badai menerpa. Dan ternyata tidak sederhana bagiku, setiap kali aku sendiri di malam hari, aku merasa sepasang matanya menyergap dan menikamku dari balik gelap sana. Aku seperti dihisap dan digulung ke dalam badai yang telah selesai bertiup di matanya.
Aku tidak ingin tahu namanya. Aku tidak
 
;