Showing posts with label Curhatan Siganteng Putra. Show all posts
Showing posts with label Curhatan Siganteng Putra. Show all posts
Thursday, June 6, 2019 0 comments

Mencintaimu Dengan Utuh


Lelah. Itu kata yang tepat, setelah tetiap langkah yang kuciptakan, takpernah benar-benar sampai padamu. Kau hanya bergeming—membuta. Bagaimana bisa kata itu ada, sedang rautmu tak henti buktikan kegigihan. Jika saja kau tahu segala jerih payahmu selalu sampai padaku. Hanya saja hatiku yang belum terbuka untuk itu. Lalu, apa yang bisa menjelma kunci? Padaku kau hanya seperti malam—diam dan dingin. Tidak hanya katakata, segala telah kulakukan. Tetapi, apa yang terjadi? Ketiadaan. Itu yang kauberikan padaku.
Bukan maksudku membuat anganmu terusik dengan pribadiku. Aku tetap seperti ini tanpa ubah. Dirimu sendiri yang menjadikanku tampak berbeda. Tiada yang berbeda—pada sepasang bahagia yang kusematkan di matamu. Pada samudra, yang alir dan tenang. Di sana, aku menanti senja—merah terbakar, serupa harapanku, yang menjadi abu ketika tiada kejelasan yang kudapatkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku bisa memilikimu?
Friday, May 3, 2019 0 comments

Harga Sebuah Pertemuan


Terimakasih, berkat perpisahan kita aku jadi semakin banyak belajar. Aku jadi lebih sadar bahwa pada setiap pertemuan selalu akan ada perpisahan. Entah berpisah untuk kemudian akan bertemu kembali keesokan harinya ataukah berpisah untuk selamaya. Pertemuan selalu datang sepaket dengan perpusahan, ketika aku menyadari itu semua. Aku jadi lebih menghargai setiap pertemuan kepada siapapun, aku menggargai waktu ku saat bertemu seseorang entah itu orang yang ku kenal atau tidak. Orang yang baru ku kenal atau yang sudah lama ku kenal. Ku hargai meraka dengan setara, tidak ada yang ku beda-bedakan. Aku akan memberikan yang terbaik buat menghargai pertemuan-pertemuan itu.
Kuberikan semua perhatian terbaikku kepada mereka, mendengarkan seantusias mungkin kepada meraka, memberikan tanggapan terbaik, dan senyum terbaik yang aku punya seakan itu adalah pertemuan terakhir kami. Aku belajar melakuakan itu sebaik mungkin sebaik yang aku bisa, karena aku tak ingin menyesali melewatkan moment-moment berharga Bersama mereka.
Thursday, February 14, 2019 0 comments

Menunggumu Satu Kali Lagi


Perihal menunggu, aku yang paling tahu. Langit saja sudah jemu menyaksikan kebodohanku yang terus meyakini sebuah kalimat darimu. “Tunggu aku,” katamu beberapa waktu lalu. Kala itu, aku hanya mengangguk setuju. Namun, ternyata menunggumu tak pernah semudah yang kubayangkan. Aku harus menunggumu, yang sedang berbagi rasa dengan sosok lain di sisimu. Sungguh, aku meragu pada apa yang bentang di hadapan kebersamaan kita-pada masa depan yang direncanakan. Menunggu menjadi jalan terbaik-sampai kupikir, kita tidak bisa berada di jalan yang sama lagi. Tidak denganmu.
Siapakah yang paling tahu tentang masa depan? Baik aku maupun kau, tak ada yang bisa menentukan. Hidup ini seperti uang logam. Satu sisi adalah masa depan yang kuyakini–kebersamaan, sedangkan satu sisi lain adalah masa depan yang kauyakini–perpisahan. Kita hanya perlu menunggu tangan semesta melemparkan uang logam itu dan melihat sisi mana yang akan muncul dan menjadi kenyataan.
Friday, February 8, 2019 0 comments

Perpisahan Sepi


"Pada akhirnya kita menyerah pada kata pergi."
Pergi. Satu kata yang harus kuselipkan di antara guguran kenangan kita. Sepertinya kita sudah taklagi menapak di jalan yang sama-yang dulu kamu senang berada di sana. Pergi katamu? Bukankah kamu dulu pernah berjanji untuk selalu bersama denganku? Bukankah kamu sendiri yang pernah bilang untuk selalu berpegangan tangan satu sama lain meskipun kita sedang berada di jalan yang berbeda?
Waktu telah mengubah segalanya-kamu taklagi sama seperti seseorang yang kucintai. Maaf, bila janji itu taklangsai, kupikir kamu hanya sekadar menggenggam tanganku saja, tetapi tak menghangatkannya. Bukankah sendiri itu dingin? Ya, aku merasa sendiri denganmu. Bagaimana bisa aku menghangatkan tanganmu jika untuk menggenggam tanganmu saja aku harus berlari mengejarmu? Tidak sadarkah kamu bahwa aku sedang mengejar mimpiku juga? Seharusnya kamu pelankan langkah kakimu agar aku bisa tetap mengimbangimu. Tetapi sekarang? It’s too late.
Thursday, January 31, 2019 0 comments

Aku Selalu Di Sini, Menemanimu Dalam Sepi


Kedai kopi eksotis itu tak pernah kehilangan peminumnya. Kecuali pada hari itu. Di meja persegi panjang itu terletak secangkir kopimu dan segelas melankoliku. Aku telah sangat siap untuk terjatuh pada pusaran pesona matamu. Di mata ini pernah mengalir samudra perasaan di dalamnya-yang mengering setelah langkah kepergian kian nyata. Aku menikmati secangkir kopi untuk menikmati sepi, bukan membuka hati.
Aku melihat awan dari balik matamu, serupa langit yang terus menahan hujan agar tak jatuh ke bumi, begitu pula rasa. Akhirnya, kamu membuatku tahu; kedai kopi ini tak menyediakan apa-apa selain melankoli di tangan kanan dan segenggam hati di tangan kiri. Kau tahu, kepergian seorang wanita yang lalu telah mencabik beberapa lapis perasaanku; meninggalkan luka yang dalam. Yang butuh waktu untuk menemukan obatnya. Dan kesendirian ini, adalah caraku untuk menambalnya.
Friday, January 25, 2019 0 comments

Berpura-Pura


Ternyata berpura-pura tidak pernah memberikan bahagia apa pun. Sudah hampir tiga puluh hari berlalu di sini, sejak aku memutuskan berhenti untuk selalu hadir di hidupmu. Selama itu pula detik terus bergulir menjauh, melupakanku yang tertatih di belakang. Menggapai semua yang telah kutinggalkan selama menantimu.
Aku dengan yakin berkata bahwa meneruskan perjalanan adalah sebuah jawaban. Kamu memilih bisu bila itu bicara tentangku. Kamu memilih buta bila itu bicara menyadari keberadaanku. Satu buku telah lahir dari perpustakaanku yang paling dalam; yang telah kupilah baik-baik agar setiap rasa yang kuselusupkan di dalamnya akan mengalir dengan tepat melalui jemarimu ketika perlahan mulai menggeser halaman demi halaman. Sampai kamu sadar, bila segala yang ada di dalamnya itu tentang kamu.
Tetapi, semua itu hanya ingin yang kini menguap menjadi angan. Aku yang berpura-pura selama ini. Padahal, aku tidak benar-benar meneruskan perjalanan. Hanya bibir yang percaya, sementara hatiku serupa kehilangan cahaya. Tanpamu di dalamnya hanya seperti cangkang kosong dan rindu menggema tanpa tujuan.
Aku lelah membohongi diri sendiri tanpa menemukan bahagia apa pun di dalamnya. 


Saturday, January 19, 2019 0 comments

Di Kenanganmu Yang Terdalam


“Apa kabar?” menjadi pertanyaan paling rahasia saat ini. Sesuatu yang hanya bisa kuucapkan di waktu tertentu dan tidak semua orang tahu. Satu-satunya yang paling menahu hanyalah takdir. Ia yang menempatkanku di suatu jarak penglihatanmu yang buta. Di sanalah aku bisa bebas mencintaimu. Mendekap malamku yang kian dingin dan sesekali gigil tanpa demam.
Aku terus belajar melangkah tanpamu. Menyeruak gugur dedaunan sendirian, seperti di waktu-waktu silam. Ketika aku belum menemukanmu. Ketika aku belum tenggelam di samudra matamu yang paling dalam. Belajar melalui semua itu menjadi tantangan. Menjadi caraku untuk memahami seperti apa takdir bekerja.
Aku dan hujan sudah jarang sekali bertemu. Seusai aku harus meninggalkan tempatnya kerap bersemayam dan membangun kembali kehidupan di kota lama, sesuatu yang tidak ada kamu di dalamnya. Hingga takdir-lah yang menjadi tempat berkisah apa pun atau sesekali merutukinya yang seenaknya saja memutar-balikkan segalanya. Ia tidak pernah menanyaiku—beda dengan hujan.
Friday, January 11, 2019 0 comments

Mungkin Kamu Memang Benar


Andai, aku bisa mengerti semua yang kamu rasakan. Merasakan air mata dari celung matamu yang mulai menghitam. Andai, aku bisa mengerti bahwa alasanmu menjauh hanyalah karena kamu terlalu takut kita akan menemui kegagalan yang sama ketika mulai saling menautkan perasaan lagi.
Kita pernah punya masa lalu. Sekelumit waktu di mana kita saling memendam tanpa pengungkapan. Sekelumit waktu di mana kamu memutuskan untuk mengatakannya saat jarak sudah yakin untuk memisahkan. Kita sudah terlalu jauh untuk bicara. Dan sekarang, aku memberimu kesempatan kedua.
Kamu tahu? Aku percaya, jika seseorang memang ditakdirkan mengarungi samudra bersama, apa pun yang akan terjadi, sampan itu selalu tersedia untuk mereka di bibir dermaga. Tapi nyatanya, kamu lebih percaya pada ketakutanmu sendiri daripada perasaanmu. Kamu menghindar dan bilang ingin pergi. Sekerasnya kuteriakkan bahwa aku sudah memulai perjalanan kembali dan berharap kamu bisa menjadi bagian dari itu. Kamu diam saja.
Andai, aku bisa mengerti ketakutanmu itu. Merasakan penderitaan kala tetiap perasaan yang dipendam berbalik arah dan menyerang diri sendiri dari dalam. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku hanya ingin bisa mengerti semua yang kamu rasakan dalam hidupmu. Sayangnya, kamu tak mengizinkanku untuk menapaki jalan yang sama denganmu.
Aku pernah menunggu sangat lama. Diam-diam. Aku pernah menautkan perasaan. Dalam-dalam. Aku tahu seperti apa rasanya menunggu tahun demi tahun hanya untuk memastikan di akhir bahwa ternyata semua itu sia-sia. Aku pernah berteman dengan Hujan. Tahu seperti apa rasanya ada teman yang menemani saat hati rasanya ingin patah berkeping. Mungkin benar, yang kamu butuhkan adalah teman untuk menepis rasa takut itu.
Mungkin benar ... yang kamu butuhkan itu Dia ....
Friday, January 4, 2019 0 comments

Aku Menemukan Tenang.


Usai.
Itu kata yang kamu ingin aku labuhkan, bukan? Setelah apa yang terjadi di antara kita—segala kisah yang menyisakan lelah—kamu memutuskan untuk melupa. Menuduhku sebagai penyebab air matamu takjua mengering.
Seandainya bisa kaulihat, di dalam hatiku setelah katamu itu, ombak-ombak mulai terbentuk. Ia bagai kekuatan yang bertenaga menghempas-hempas pemecah gelombang di pinggir laut: mulai mengganggu keangkuhanku yang tinggi, yang enggan mengaku salah. Ia sungguh semakin kuat, ketika kusadar, kamu sudah jauh lebih dulu mengalah.
Karena mencintaimu begitu sederhana, tetapi tidak sesederhana itu. Rumit? Ya, seperti itu perjalanan yang kita lalui selama ini. Ketika langkah kita masih jajar dan kata-kata menjadi sesuatu yang selalu kita rangkai—sebelum kamu mematahkannya dengan memilih pergi.
Jadi, sebenarnya siapa yang salah. Kamu atau aku?
Friday, December 28, 2018 0 comments

Padamu, Aku Ingin Menemukan Segalanya.


Kekasih, aku pernah menyimpan sepotong kenangan di balik bingkai matamu yang teduh dan basah - yang lantas gugur satu-satu bersama waktu. Sampai akhirnya aku berhenti melangkah. Sampai akhirnya, aku hanya menitipkan sekumpulan kata di jendela kamarmu. Kata yang kunamakan Aksara Hujan.
Menderu, parau kata-kata itu di sekujur tubuhku, setelah waktu demi waktu yang panjang; kukira kita telah lama hilang, sebab di sepasang lengan seseorang kau akan menempuh perjalanan panjang. Namun di sana, cinta hanya mementaskan tawa yang fana. Meremukkan segala padaku yang tersisa. Dan kini aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan hati untuk memercayai kembali.
Di sanalah aku menjaga asa - cinta yang kau anggap fana dan remukkan perasaan dari sebuah kata pergi. Setiap sesak dan lelah. Kini, melalui kata-kata itu, aku menghidupkan jasad kenangan yang telah mati; yang telah baur di udara menjadi abu. Aku menghidupkan segala yang telah kubunuh ketika di sebuah persimpangan jalan, lelah itu bermuara pada kalah. Jalan di mana, kini aku melihatmu kembali berdiri di salah satu sisinya. Haruskah aku kembali memungut rindu yang telah gugur itu?
Friday, December 21, 2018 0 comments

Mengikhlaskanmu Pergi


Pertemuan menjadi alasan aku ingin mengubah setiap jejak di masa silam—setelah hati yang remuk oleh kepergian seseorang yang pernah kucintai begitu lama. Dan di suatu perputaran waktu yang baru, waktu mempertemukanku denganmu. Penantian ini cukup lama untukku, menyimpan segenap rasa dan kujaga cinta agar kelak aku mampu dipertemukan dengan seseorang yang tepat. Seseorang yang kelak akan menjadi bagian terbesar dalam hidupku.
Dulu, aku yakin bahwa cinta ditakdirkan bersemi tanpa nelangsa—akhir yang tiba oleh perbedaan yang semakin bentang. Dan, di jalan yang baru ini, aku mencoba melupakan segalanya dan menyesap secangkir teh—berharap seseorang akan duduk di depanku, bercengkerama hangat. Pada setiap malam yang bergeming, pada takdir yang terukir dan pada harapan yang melambung tinggi. Kulatunkan setiap doadoa yang kuperuntukkan padanya. Dia yang hadir mendatangi tempatku yang sulit untuk diketahui—hati.
Itulah kamu—seseorang yang lantas duduk di hadapanku dan bicara banyak tentang masa depan. Seseorang yang hadirnya tetiba, namun hangatnya lama terasa. Seseorang yang namanya tersemat di antara doaku di sepertiga malam. Di dalam perpisahan aku mati, pertemuan denganmu—menghidupkanku kembali. Biarkan perasaan ini tumbuh layaknya bunga bermekaran atas izin-Nya, yang kusimpan tanpa seorang pun tahu dalam setiap istikharah. Istikharah yang kulalui setelah kaudatang dan meminta ‘tuk menjadi imam dalam hidupku.
Friday, December 14, 2018 0 comments

AKU BISA MENUNGGU


Aku terlalu terbelenggu oleh kata-kata yang untai menuju masa lalu. Kata-kata yang lahir dan menemui kematiannya sendiri. Karena di masa lalu hanya ada kenangan-kenangan yang kelak tersapu dan terlupakan. Kenangan yang kunamakan “cinta” dan “kasih”.
Kenangan itu membuatku lupa, bahwa perjalananku bukanlah untuk alasan yang dipaksakan indah dan untai. Ada masa depan yang dicitakan. 
Dan itu kamu. 
Menemukanmu dalam keindahan kata-kata bukanlah tujuanku. Perjalanan ini mengubahku terlalu jauh dan aku harus berusaha keras untuk kembali pada kehidupan lama itu.
Aku sungguh lupa bahwa yang kubutuhkan tak lebih dari kesederhanaan. Kumpulan kata-kata yang membentuk kesederhanaan untuk apa pun: perihal bahagia, sedih, dan juga menemukanmu. Karena untukmu, aku ingin berdiri dalam jarak di mana kelak kau akan menemukanku juga dengan sekotak rindu yang sudah kusiapkan berlapiskan beludru.
Untuk membersamaimu, aku bisa menunggu.

Friday, December 7, 2018 0 comments

Sampai Kapan Aku Harus Menunggu?


Sampai kapan aku harus menunggu?
Semua kata-kata di kepalaku sudah menjadi debu di dinding yang membatasi perasaan kita. Kamu masih tidak memberikanku jawaban apa-apa. Perjalananku berhenti di kamu. Aku tidak tahu apakah ini sementara atau selamanya. Seharusnya yang kedua. Tapi kamu menjadikannya pilihan yang pertama. Kamu diam tanpa suara.
Sampai kapan aku harus menepis detik dan tanggal?
Dari jarak yang membuatmu tak menemukan aku, satu persatu rindu kuselipkan di saku jaketmu setiap hari. Berharap kamu mau merogohkan tangan ke dalamnya. Tapi nyatanya kamu tak menyentuh saku jaket itu sama sekali. Entah kamu mengetahuinya dan memilih untuk takpeduli atau kamu memang takpeduli dengan apa pun.
Friday, November 30, 2018 0 comments

We Were Happy


Berhenti. Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di taman pinus ini dan kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku percaya bahwa kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya. Kita pernah tertawa bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan bahagia. Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya tawa dan senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan dengan cahayanya yang hangat.
Tapi, untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu menjadi air mata yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras. Kala Tuhan memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini dengan api yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata. Aku dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras berteriak. Aku pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa hujan akan turun selamanya.
Tentu saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling terakhir dan menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di mataku lebih deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk menikmati rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi. Satu hal yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong, berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan berlari lagi.
Friday, November 23, 2018 0 comments

Bukan Kamu Jawaban Tuhan


Hujan semakin deras. Derap langkahku terhenti oleh badai yang berkecamuk di dalam dada. Tubuhku kuyup oleh kenangan yang menghunjam sepagian ini. Mengapa aku merasa sepatah ini karena kamu yang taklagi kumiliki? Dan jawaban itu masih sebuah misteri yang takterpecahkan.
Aku selalu percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk kita. Meski detik sudah bergerak menjauh, spasi menjadi pemisah antara dua perasaan yang (dulu) pernah saling memiliki namun jeda pun hadir untuk memporaporandakannya. Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang menahu perihal takdir.
Dan itu pula yang menghantam dadaku saat angin berbisik perihal pilihanmu dan itu bukan aku. Menjadi pihak yang memendam tidak pernah bergerak dengan baik untukku. Pun dengan lidahku yang begitu kelu kala menyapa namamu, dan tidak lebih dari sekadar sujud di sepertiga malamku.
Ya, abor. Dadaku remuk. Harapanku patah berkeping-keping. Jatuh berserakan di atas kenangan yang bahkan masih hangat. Sampai suatu titik, ternyata aku harus benar-benar menyerah. Padahal aku begitu yakin di perjalanan pencarian baru ini, mungkin kamulah jawabannya.
Tuhan telah menjawab, dan bukan kamu ternyata perempuan yang dijanjikanNya.
Friday, November 16, 2018 0 comments

Kali Kedua


Aku kehabisan kata-kata. Takdir berkonspirasi dengan Waktu untuk mencipta pertemuan kembali hadir di antara kita. Kenangan tentangmu di masa silam seketika menyeruak cepat, menghentak dadaku; senyuman terakhirmu yang berdiam di pikiranku, mendadak menyala terang di mataku. Semestaku luruh dalam sekejap.
Aku sedang tidak bermimpi, kan?
Kita menyulam segala yang pernah terlepas oleh detik dan tanggal. Saat dari kejauhan langkah kakimu tertangkap oleh kedua mataku saat suaramu mulai menyelusup ke dalam ruang-ruang pikiranku, aku sadar betul bahwa aku telah kehilangan kata-kata.
Rindu itu begitu tajam. Menikam harapan menjadi serpihan, meninggalkan luka mendalam di relung perasaan, dan kemudian Ia menyatukannya lagi menjadi utuh. Ini benar kamu, kan?
Friday, November 9, 2018 0 comments

KEMBALI


Aku baru menyadari sekarang kamu telah menapaki jalan yang berbeda daripada sebelumnya. Mungkin aku harus menarik semua rasa menyerahku di masa silam dan mulai mengunjungi jalanmu lagi. Kedatanganmu yang tiba-tiba, bersamaan dengan remukan kertas berisi harapa yang entah mengapa kini terbuka lagi di atas mejaku.
Sungguh, lucu bukan?
Untuk pertama kalinya aku kembali membasahi segara rasaku yang (pernah) kering oleh seorang yang pernah kuikhlaskan. Seseorang yang pernah kutunggui untuk sekian lama sebelumnya akhirnya aku benar-benar membunuh langkah menuju orang itu.
Kamu.
Berita tentangmu sungguh membuat diriku limbung; di tengah langkahku yang kini mulai menuju pada seseorang yang lain; seseorang yang serupa denganmu. Dan kini, kenanganmu begitu saja datang mengetuk ruang pikiranku dan ingin singgah untuk waktu yang takterdefinisi.
Haruskah aku membukanya? Atau menepisnya?
Hal itu menjadi pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya.
Friday, November 2, 2018 0 comments

PAGI INI


Pagi ini, kamu melabuhkan lagi senyummu bersama langit merah yang perlahan menampar wajahku dengan dingin dan lembut. Aku tahu, jarak di antara kita begitu dekat tapi juga jauh; jarak di mana kamu takkan menemukan aku. Serupa jejalanan lengang di tengah malam yang dibasahi oleh hujan deras, seperti itulah kamu di dalam dadaku. 
Kamu membasahinya begitu deras dengan kehangatan, tapi tetap saja perasaanku kosong. Pagi ini, aku yang sengaja melupakan tidur demi menikmati tiap kata-kata yang ingin kukirimkan padamu melalui surat kertas yang kulipat menjadi pesawat kecil. Pesawat itu hendak kuterbangkan dan mendarat di atas sampan tempatmu mendayung di atas lautan.
Melihat langit pagi ini, aku teringat warna pipimu saat memalu kala dulu pernah tidak sengaja kukatakan bahwa malaikat itu bukan makhluk tak kasatmata yang takbisa dilihat siapa pun. Kamu berlalu dan meninggalkan pertanyaan di benakku. Apakah saat itu kamu tersenyum dengan ketidasengajaanku atau kamu justru membencinya?
Karena mulai detik itu, aku membentang jarak padamu seperti yang kukatakan tadi. Aku mulai belajar bagaimana caranya untuk menunggu, sekalipun itu selamanya. Karena mencintaimu, aku tidak mengenal detik dan tanggal. Perasaan itu gugur dan mewujud kata-kata yang kutuliskan padamu hari ini. Perihal batas yang menjadi dinding di antara kita.
Bagiku, pagi ialah permulaan; seperti kamu yang takpernah tahu kapan permulaan dari kata ‘kita’ itu datang, karena aku memang takjua mencipta langkah menujumu. Detik ini, aku masih ingin menikmati senyummu dari kejauhan. Berdoa semoga ingin tak berubah menjadi angan.
Dan kamu; embun pagi.
Lalu aku hanya perlu bertanya, apa kabar hari ini? Semoga pagimu begitu menyegarkan. Jikalau nanti pesawatku sampai, semoga kamu mau membalasnya.
Thursday, October 25, 2018 0 comments

Aku Yang Gagal Mempertahankan Mu


Cinta membuat kita 
Mengerti, ada bahagia
Sebelum patah hati.

Aku tengah mengaduk sesak sembari mengiris senja di pelantaran logika. Mencari jejak terakhirmu di serpihan tawa, memungut sisa senyummu yang dulu biasa kini tiada. Menggantung hebat penasaran yang terbias tenggelamnya kehadiran, kini adamy hanya bisa tergambar oleh mimpi dan lamunan. Rona jingga pun menyingkap langit, waktu memukulku seraya membisikkan kenyataan pahit,  bahwa . . . 

     Kau mencintainya.
     Kau bahagia dengannya.

Padamu kepergian, inikah sepenggal rasa dibebunyian sangkakala. Langit mementahkan gemuruh, ketiadaanmu membuatku semakin rapuh. Langkahpun melupakan pijakan, harapku tertatih di makan penyesalan. Merayap tanpa ampun mengunci segala embun. Pagi tak akan pernah cerah tanpa ucapan pemulai harimu, dan malam tak pernah anggun tanpa bisikan lembut dari bibir mungilmu.

Aku merindukanmu bagai hujan yang merindukan pelangi, iya menyebar indah menyelimuti bumi dengan aku satu-satunya cahaya yang berpendar menjadikannya warna. Sebelum akhirnya aku terhentak, secuil kangen yang terbalas pun tidak, itu karna. . .

    Kau mencintainya.
    Kau bahagia dengannya.

Thursday, October 18, 2018 0 comments

Ketidak Sengajaan


Dadaku begitu riuh. Di antara keramaian meja di food court sebuah pusat perbelanjaan, mataku tiba-tiba sampai di wajahmu. Gadis berkacamata dengan ponsel abu-abu di tangan. Caramu bertopang dagu dan memakai jilbab, sungguh menarik perhatianku yang tak menemukan fokusnya sedari tadi. Kamu duduk sendirian entah menunggui siapa. 
Tatapan matamu yang teduh, putih kulitmu, dengan sweter birumu mengingatkanku pada seseorang di kota hujan yang (pernah) ditunggui selama dua tahun. Kedatangnmu kala kota ini—bukan kota hujan—disergap oleh rinai-rinai yang berjatuhan dari atas langit membuatku sadar bahwa dalam tetiap perjalanan ada saja efek kejut yang bisa muncul kapan saja.
 
;