Tuesday, March 4, 2014

Gerimis Bulan Maret yang Meruncing Merah


Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis bulan maret bakal seruncing ini, va. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada hari kemarin teramat mengiris dan adzan yang berkumandang menjelang magrib itu mengingatkanku pada kebodohanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang terpancang di langit yang memerah.
Tentu saat itu gerimis tak sedang mendera medan perang yang riuh oleh denting pedang atau tombak yang sedang beradu. Tentu kilat juga tak sedang menyambar-nyambar di keriuhan ringkik kuda dan debu-debu yang beterbangan seperti abu. Namun, siapa pun tahu, serupa gerimis, anak panah-anak panah dari busur-busur buta itu kian mendesing, mengabaikan jerit, mengabaikan mayat-mayat yang telah mengonggok di bukit berbatu.
Dan kau, Va, mengapa masih mengasah pedang juga? Mengapa pada saat tak ada burung-burung ababil melintas di atas kuburan kau tetap mengenang pertempuran sengit di bukit itu? Bukankah telah kau hentikan segala dahaga dan sakit yang mengharu-biru?
Sudah kuduga kau mengabaikan teriakan parauku. Bersama kaum munafik-wahai pahlawan-pahlawan kencanaku-kau bergegas menghitung dan mencari orang-orang yang gugur dalam perang besar itu. Aha! Kuhitung 55 tentara sekutu telah tewas, sedang pasukan timur cuma 22 orang. Ini jelas kemenangan tak terperi. Kemenangan terindah setelah jauh sebelumnya, kudengar suaramu membelah lembah ini, ”Ahnan sudah mati! Ahnan sudah pergi!”
Perang memang hampir usai. Namun, sungguh aneh, gelegar kabar kematian itu tak membuat wajahmu melesatkan harum cahaya minyak zaitun. Kau seperti tak percaya betapa panglima Ahnan gampang ditaklukkan, betapa pedangmu bisa melukai pelipis, dan membuat Ahnan tersungkur ke tanah.
Aku memang bodoh. Pada saat-saat semacam itu, seharusnya aku tak perlu mengusik hatimu, hati perempuan cantik yang haus darah itu. Toh kau lebih terpesona pada Alan, pemuda dari lembah Utara, yang telah berhasil menancapkan tombaknya ke tubuh Ahnan. Toh Ahnan mati atau tak matitak mengubah wajahmu menjadi semanis kurma jawa.
Dan, kulihat kau tertawa terbahak-bahak setelah tahu Alan menyobek perut Ahnan dan mengeluarkan hati Sang Singa Gurun itu. Ya, wajahmu pun bercahaya ketika menatap Alan hendak menyerahkan hati berlepotan darah itu kepadamu.
“Kau lihat, Va, aku telah membunuh jagoan yang membunuh ayahmu!”
“Ya, dan kau pasti tahu apa yang akan kuhadiahkan kepadamu. Milikilah seluruh rampasan perangku. Hiduplah bahagia setelah didera kesakitan yang tak kunjung habis.”
Alan tersenyum. Dadanya membusung.
“Apakah harus kuserahkan hati ini kepadamu?” ujar pria perkasa itu.
Tak menjawab pertanyaan bodoh itu, kau langsung merampas hati Ahnan dari genggaman tangan terlena. Dan sungguh di luar dugaan, dengan gigi bertaring runcing kau menggigit, mengunyah, dan rakus menelan sepotong daging kenyal yang masih menyisakan darah segar itu. “Inilah sumpahku, Alan! Aku tak akan puasa lagi. Selesailah perangku! Lihatlah,aku seperti terlahir kembali.”
Dan tak salah jika siapa pun menyangka aku tak mampu menghentikan gelegak tawa kemenangan yang menguar dari bibirmu yang bergincu darah itu. Setelah puas mencabik-cabik jasad Ahnan, kau bahkan meloncat ke sebongkah batu dan melantunkan lagu-lagu perang yang menganyirkan seluruh gurun, seluruh bukit yang menjulang.
Memang Ahnan telah gugur. Namun, kau keliru kalau menganggap Ahnan telah binasa. Dan aku tahu semua peristiwa yang tak kau ketahui. Sebab, setelah kau mengabaikan segala pertanyaanku, aku terbang melesat ke ruang yang lain, ke waktu yang lain. Karena itu, aku tahu betapa setelah orang-orang Gurun itu terlena oleh kemenangan sesaat, kesadaran Ahnan berangsur-angsur pulih. Dan itu berarti kau harus terus-menerus menggelorakan semangat orang-orang Gurun untuk berperang, menancapkan tombak ke dada orang-orang Lembah, menusukkan pedang ke perut pasukan berhati lembut, dan mengasah amarah lagi.
Kusangka setelah abad demi abad lewat, setelah kulupakan angin Maret yang perih, tak akan kutemui lagi perempuan perkasa sekeras dan sebodoh kamu, Va. Nyatanya, di kota ini-tempat malaikat gampang diledek dan dianggap sebagai pria kencana yang gampang dicumbu pria lain-kau muncul lagi.
Mungkin kau bukan Eva yang dulu. Mungkin kau hanya bayang-bayang kabur yang cepat memudar. Namun, lihatlah, sebagaimana Eva, setiap hari kau mengasah dendam, mengasah amarah untuk sesuatu yang hampa, untuk sesuatu yang tiada guna.
“Sia-sia? Tak ada yang sia-sia. Pembalasan atas kematian anakku kau anggap sebagai sesuatu yang sia-sia?” katamu, sambil mengenang kota yang terbakar dan pria-pria serigala yang tak henti-henti merobek-robek gaun malam setiap Gadis yang melintas di jalanan.
“Tapi masa-masa kesedihan telah lewat, Va. Lagi pula buat apa kau puasa sepanjang waktu jika menjelang akhir tahun ini, kau justru…,” kataku, setelah sebelumnya aku mengubah diri menjadi Rosa, teman sekantormu.
“Justru apa? Enak benar pemerkosa anakku kalau dibiarkan hidup. Sudahlah, jangan berlagak seperti malaikat. Khotbah macam apa pun tak menghentikan dendamku, Rosa. Bahkan, jika kau malaikat pun, aku tak akan peduli pada segala nasihat bodohmu. Yang jelas, pria itu harus mati.”
Oo, hampir saja aku mengaku siapa sesungguhnya diriku, Va. Namun, kupikir kau belum perlu tahu siapa aku dan mengapa aku sangat berhasrat menghalangi perbuatan bodohmu. Karena itu, kubiarkan kamu mencerocos lagi, kubiarkan saat takbir mendera malam, kau terus-menerus mengasah samurai dan kebencian.
“Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku tahu siapa yang memerkosa dan membunuh anakku, Rosa. Bukan orang jauh. Bukan pria-pria serigala yang membakar hampir seluruh kota ini.”
“Lantas siapa?” aku pura-pura bertanya, sekalipun sesungguhnya aku sangat tahu siapa serigala busuk-pria sangat indah-yang dia maksud itu.
“Kau pasti terkejut, Rosa. Kau pasti tak menyangka….”
“Siapa?” aku berpura-pura lagi sambil melihat perubahan wajah Va yang kian menegang.
“Dia anakku sendiri, Rosa. Dia… Ahnan!” teriakmu sambil bergegas meninggalkan aku, mengambil samurai, dan melesat ke kuburan.
Ya, ke kuburan-tempat jasad putri terkasih disemayamkan. Tentu tak kubiarkan kau melesat sendirian. Tentu tak kubiarkan kau bersembunyi di semak-semak menanti Ahnan menunduk pasrah di atas pusara adik semata wayang.
Va! Va! Sungguh, mengapa kau ingin mengulang pembantaian tanpa guna itu? Mengapa tak kaubiarkan gerimis Maret meruncing tanpa melukai siapa pun?
Tidak! Tidak! Ini tak bisa kubiarkan. Ahnan harus diselamatkan. Aku akan terbang dengan sepasang sayap indahku dan menghalang-halangi pria pujaanku itu menyerahkan nyawanya untuk kematian yang tiada guna.
Dan kau, Va, kau mungkin ingin bertanya: mengapa Ahnan harus diselamatkan? Kau pasti ingin berkata: mengapa kau kularang untuk memenggal kepala Ahnan? Ahnan adalah kekasih pujaanku. Sejak kecil dia memang kudidik untuk menjadi pria yang abai pada nasihat seorang ibu. Kau memang melahirkan pria perkasa itu. Namun, perutmu hanya kupinjam untuk membiakkan manusia busuk.
Maka, sejak kecil telah kusematkan di otak Ahnan segala keinginan-keinginan buruk. Mula-mula kukatakan kepada Ahnan betapa Nur, putri terkasihmu yang telah terbunuh itu, bukanlah adik kandungnya. Kukatakan kepada Ahnan, Nur adalah putri pelacur yang kautemukan di tong sampah saat dia lahir. Dan Ahnan percaya justru ketika dia kian menyelam ke keindahan tubuh dan paras adiknya.
Maka, ketika kota ini diamuk oleh kerusuhan dan hampir semua perempuan berkulit kuning gading diperkosa beramai- ramai oleh para zombi bayaran, kubisikkan kata-kata busuk ke telinga Ahnan.
“Ayo, Ahnan! Kapan lagi, kalau tak sekarang!” sambil mengenang arwah Ahnan lain yang kupastikan berusaha menghalang-halangiku, kalau Sang Singa Gurun itu masih hidup.
Mula-mula dia agak ragu. Namun, karena tak menutup telinga untuk kata-kata busukku, segalanya pun akhirnya terjadi. Dia menyeret Nur ke ujung lorong. Nur menolak. Nur mencoba melepaskan diri dari dekapan dan amuk alkohol di mulut Ahnan.
Pada saat semacam itu, Ahnan sebenarnya ingin menyarungkan kembali nafsu busuknya. Namun, aku bergegas menyusup ke dalam jiwanya. Kupompa berahinya. Kupompa amarahnya. Kukuatkan cengkeraman tangan Ahnan ke leher Nur yang kian tak mampu mengembuskan napasnya.
Dan setelah segalanya terjadi, aku terbang dan menyatu dengan asap yang mengepung kota ini. Aku lihat Ahnan termangu-mangu. Aku lihat dia menyesali perbuatan busuknya.
“Jangan pernah menyesal, Ahnan. Jangan pernah menyesal! Larilah! larilah sejauh yang bisa kautempuh!” kudesiskan kata-kata itu dan dia menurut.
Ya, dia menuruti semua perintahku, paling tidak sampai beberapa tahun lamanya. Sayang, pada akhirnya dia tak mampu memenuhi seluruh permintaanku. Dan menjelang akhir tahun ini dia menelepon kamu bukan? Menjelang bulan maret ini, dia katakan seluruh perbuatan busuknya kepadamu, bukan?
Maka, sebenarnya aku pun tahu, Va. Malam ini, saat takbir mengumandang, dia akan pulang. Dia akan mengunjungi pusara Nur sebelum bersimpuh di kakimu, di kaki seorang ibu yang sejak dulu diabaikan.
Maka jika bisa melesat mengikuti kecepatan gerakanku, kau bisa melihat bagaimana aku menghalang-halangi Ahnan agar mengurungkan niatnya mengunjungi pusara Nur dan menemuimu. Dan di stasiun itu, tentu aku sudah mengubah diriku menjadi dirimu. Menjadi Va yang lembut hati. Menjadi Va yang tak mengasah samurai untuk membunuh putranya sendiri.
“Jangan pulang, Ahnan. Aku sudah menceritakan perbuatanmu kepada Rosa. Dia tentu bercerita kepada orang sekampung dan mereka akan membantaimu,” kataku setelah dia turun dari kereta, setelah dari masjid terdekat takbir mengumandang dan melukaiku.
Ahnan hanya tertunduk. Dia tak berani memandangku.
“Pergilah lagi ke mana pun, ke tempat yang tak memungkinkan orang-orang kota ini menjangkau tubuhmu.”
Ahnan masih tetap menunduk. Meski demikian, dia mulai berani mendesiskan kata-kata yang tak kuduga bisa melesat dari bibirnya yang kian rapuh.
“Hari ini hari penuh ampunan, Ibu. Tak seorang pun akan mengotori dirinya dengan perbuatan busuk. Izinkan aku mengunjungi pusara adikku. Izinkan aku tersungkur dan menangis di keheningan makam itu.”
“Jangan, Ahnan!” teriakku, “Kau tak boleh selemah itu.”
Ahnan kian tafakur. Dia mulai menangis.
“Sudahlah, Ibu, bukankah semua orang telah melupakan peristiwa itu. Kalau pun pada akhirnya akan ada yang membunuhku, aku sudah siap, Ibu. Mungkin kematianku akan….”
“Akan apa? Kau tak boleh mati. Aku tak ingin kehilangan kedua anakku. Aku tak ingin kehilangan kamu,” aku berpura-pura meledakkan tangis.
Rupa-rupanya tangis itu tak ada gunanya. Ahnan berpaling dan dia meninggalkanku.
Apakah di kuburan kau juga menangis, Va? Apakah sambil mengasah kebencian kau juga merasa bakal kehilangan anakmu?
Kini mengertilah, Va, aku memang setan. Namun, aku pun bisa punya rasa kehilangan yang mendalam. Dan, Ahnan adalah putra pujaanku. Aku tak mau kehilangan dia. Aku tak ingin kau membunuh dirinya. Aku tak ingin sebagaimana Va yang lain kau menyerupai, bahkan melebihi kekejamanku.
Tapi rupa-rupanya lengking takbir kian melukaiku dan gerimis abai pada segala teriakanku. Mungkinkah gerimis itu telah bercampur dengan darah Ahnan? Mungkinkah kau telah menebas leher putramu, membedah perut, mengambil hati, dan menggigit daging kenyal itu sambil meneriakkan kemenangan? Mungkinkah Ahnan rebah dan kepalanya membentur nisan Nur yang meruncing menunggu kematian laki-laki yang paling kaulaknat? Apakah sebagaimana Va, perempuan perkasa itu, kau akan akan bilang, “Telah kubunuh musuh sejati. Telah kuakhiri puasa panjangku dan aku tak akan menangis lagi.”

Tak mungkin lagi kujawab pertanyaan itu. Takbir itu kian merontokkan sayapku. Aku tak bisa terbang. Aku tak bisa melesat ke kuburan dan membunuh amarah agungmu. Tapi, Va, mengapa harus Ahnan lagi? Mengapa harus dia lagi? Mengapa tak kau rasakan gerimis pada bulan Maret ini kian meruncing merah dan menyakiti?

0 comments:

Post a Comment

 
;