Kau tak akan pernah membayangkan betapa gerimis bulan maret bakal seruncing ini, va. Kau tak akan pernah tahu suara beduk magrib pada hari
kemarin teramat mengiris dan adzan yang
berkumandang menjelang magrib itu
mengingatkanku pada kebodohanmu memaknai bendera-bendera kemenangan yang
terpancang di langit yang memerah.
Tentu saat itu gerimis tak sedang mendera medan perang
yang riuh oleh denting pedang atau tombak yang sedang beradu. Tentu kilat juga
tak sedang menyambar-nyambar di keriuhan ringkik kuda dan debu-debu yang
beterbangan seperti abu. Namun, siapa pun tahu, serupa gerimis, anak panah-anak
panah dari busur-busur buta itu kian mendesing, mengabaikan jerit, mengabaikan
mayat-mayat yang telah mengonggok di bukit berbatu.
Dan kau, Va, mengapa masih mengasah pedang juga? Mengapa
pada saat tak ada burung-burung ababil melintas di atas kuburan kau tetap
mengenang pertempuran sengit di bukit itu? Bukankah telah kau hentikan
segala dahaga dan sakit yang mengharu-biru?
Sudah kuduga kau mengabaikan teriakan parauku. Bersama
kaum munafik-wahai pahlawan-pahlawan kencanaku-kau bergegas menghitung dan mencari
orang-orang yang gugur dalam perang besar itu. Aha! Kuhitung 55 tentara sekutu
telah tewas, sedang pasukan timur cuma 22 orang. Ini jelas kemenangan tak
terperi. Kemenangan terindah setelah jauh sebelumnya, kudengar suaramu membelah lembah ini, ”Ahnan sudah mati! Ahnan sudah pergi!”
Perang memang hampir usai. Namun, sungguh aneh, gelegar
kabar kematian itu tak membuat wajahmu melesatkan harum cahaya minyak zaitun.
Kau seperti tak percaya betapa panglima Ahnan gampang ditaklukkan, betapa
pedangmu bisa melukai pelipis, dan membuat Ahnan tersungkur ke tanah.
Aku memang bodoh. Pada saat-saat semacam itu, seharusnya
aku tak perlu mengusik hatimu, hati perempuan cantik yang haus darah itu. Toh
kau lebih terpesona pada Alan, pemuda dari lembah
Utara, yang telah berhasil menancapkan
tombaknya ke tubuh Ahnan. Toh Ahnan mati atau tak matitak mengubah wajahmu menjadi semanis kurma jawa.
Dan, kulihat kau tertawa terbahak-bahak setelah tahu Alan menyobek
perut Ahnan dan mengeluarkan hati Sang Singa Gurun itu. Ya,
wajahmu pun bercahaya ketika menatap Alan hendak menyerahkan hati berlepotan
darah itu kepadamu.
“Kau lihat, Va, aku telah membunuh jagoan yang membunuh
ayahmu!”
“Ya, dan kau pasti tahu apa yang akan kuhadiahkan
kepadamu. Milikilah seluruh rampasan perangku. Hiduplah bahagia setelah didera
kesakitan yang tak kunjung habis.”
Alan tersenyum. Dadanya membusung.
“Apakah harus kuserahkan hati ini kepadamu?” ujar pria
perkasa itu.
Tak menjawab pertanyaan bodoh itu, kau langsung merampas
hati Ahnan dari genggaman tangan terlena. Dan sungguh di luar dugaan, dengan
gigi bertaring runcing kau menggigit, mengunyah, dan rakus menelan sepotong
daging kenyal yang masih menyisakan darah segar itu. “Inilah sumpahku, Alan!
Aku tak akan puasa lagi. Selesailah perangku!
Lihatlah,aku seperti terlahir kembali.”
Dan tak salah jika siapa pun menyangka aku tak mampu
menghentikan gelegak tawa kemenangan yang menguar dari bibirmu yang bergincu
darah itu. Setelah puas mencabik-cabik jasad Ahnan, kau bahkan meloncat ke sebongkah
batu dan melantunkan lagu-lagu perang yang menganyirkan seluruh gurun, seluruh
bukit yang menjulang.
Memang Ahnan telah gugur. Namun, kau keliru kalau
menganggap Ahnan telah binasa. Dan aku tahu semua peristiwa yang tak kau ketahui. Sebab, setelah kau mengabaikan segala pertanyaanku, aku
terbang melesat ke ruang yang lain, ke waktu yang lain. Karena itu, aku tahu
betapa setelah orang-orang Gurun itu terlena oleh kemenangan sesaat, kesadaran Ahnan
berangsur-angsur pulih. Dan itu berarti kau harus terus-menerus menggelorakan
semangat orang-orang Gurun untuk berperang, menancapkan tombak ke dada
orang-orang Lembah, menusukkan pedang ke perut pasukan berhati lembut, dan
mengasah amarah lagi.
Kusangka setelah abad demi abad lewat, setelah kulupakan
angin Maret yang perih, tak akan kutemui lagi perempuan perkasa sekeras dan
sebodoh kamu, Va. Nyatanya, di kota ini-tempat malaikat gampang diledek dan
dianggap sebagai pria kencana yang gampang dicumbu pria lain-kau muncul lagi.
Mungkin kau bukan Eva yang dulu. Mungkin kau hanya
bayang-bayang kabur yang cepat memudar. Namun, lihatlah, sebagaimana Eva,
setiap hari kau mengasah dendam, mengasah amarah untuk sesuatu yang hampa,
untuk sesuatu yang tiada guna.
“Sia-sia? Tak ada yang sia-sia. Pembalasan atas kematian
anakku kau anggap sebagai sesuatu yang sia-sia?” katamu, sambil mengenang kota
yang terbakar dan pria-pria serigala yang tak henti-henti merobek-robek gaun
malam setiap Gadis yang melintas di jalanan.
“Tapi masa-masa kesedihan telah lewat, Va. Lagi pula buat
apa kau puasa sepanjang waktu jika menjelang akhir tahun ini, kau
justru…,” kataku, setelah sebelumnya aku mengubah diri menjadi Rosa, teman
sekantormu.
“Justru apa? Enak benar pemerkosa anakku kalau dibiarkan
hidup. Sudahlah, jangan berlagak seperti malaikat. Khotbah macam apa pun tak
menghentikan dendamku, Rosa. Bahkan, jika kau malaikat pun, aku tak akan peduli
pada segala nasihat bodohmu. Yang jelas, pria itu harus mati.”
Oo, hampir saja aku mengaku siapa sesungguhnya diriku, Va.
Namun, kupikir kau belum perlu tahu siapa aku dan mengapa aku sangat berhasrat
menghalangi perbuatan bodohmu. Karena itu, kubiarkan kamu mencerocos lagi,
kubiarkan saat takbir mendera malam, kau terus-menerus mengasah samurai dan
kebencian.
“Setelah melewati hari-hari yang melelahkan, akhirnya aku
tahu siapa yang memerkosa dan membunuh anakku, Rosa. Bukan orang jauh. Bukan
pria-pria serigala yang membakar hampir seluruh kota ini.”
“Lantas siapa?” aku pura-pura bertanya, sekalipun
sesungguhnya aku sangat tahu siapa serigala busuk-pria sangat indah-yang dia
maksud itu.
“Kau pasti terkejut, Rosa. Kau pasti tak menyangka….”
“Siapa?” aku berpura-pura lagi sambil melihat perubahan
wajah Va yang kian menegang.
“Dia anakku sendiri, Rosa. Dia… Ahnan!” teriakmu sambil
bergegas meninggalkan aku, mengambil samurai, dan melesat ke kuburan.
Ya, ke kuburan-tempat jasad putri terkasih disemayamkan.
Tentu tak kubiarkan kau melesat sendirian. Tentu tak kubiarkan kau bersembunyi
di semak-semak menanti Ahnan menunduk pasrah di atas pusara adik semata wayang.
Va! Va! Sungguh, mengapa kau ingin mengulang pembantaian
tanpa guna itu? Mengapa tak kaubiarkan gerimis Maret meruncing tanpa melukai
siapa pun?
Tidak! Tidak! Ini tak bisa kubiarkan. Ahnan harus diselamatkan.
Aku akan terbang dengan sepasang sayap indahku dan menghalang-halangi pria
pujaanku itu menyerahkan nyawanya untuk kematian yang tiada guna.
Dan kau, Va, kau mungkin ingin bertanya: mengapa Ahnan
harus diselamatkan? Kau pasti ingin berkata: mengapa kau kularang untuk
memenggal kepala Ahnan? Ahnan adalah kekasih pujaanku. Sejak kecil dia memang
kudidik untuk menjadi pria yang abai pada nasihat seorang ibu. Kau memang
melahirkan pria perkasa itu. Namun, perutmu hanya kupinjam untuk membiakkan manusia
busuk.
Maka, sejak kecil telah kusematkan di otak Ahnan segala
keinginan-keinginan buruk. Mula-mula kukatakan kepada Ahnan betapa Nur, putri
terkasihmu yang telah terbunuh itu, bukanlah adik kandungnya. Kukatakan kepada Ahnan,
Nur adalah putri pelacur yang kautemukan di tong sampah saat dia lahir. Dan Ahnan
percaya justru ketika dia kian menyelam ke keindahan tubuh dan paras adiknya.
Maka, ketika kota ini diamuk oleh kerusuhan dan hampir
semua perempuan berkulit kuning gading diperkosa beramai- ramai oleh para zombi
bayaran, kubisikkan kata-kata busuk ke telinga Ahnan.
“Ayo, Ahnan! Kapan lagi, kalau tak sekarang!” sambil
mengenang arwah Ahnan lain yang kupastikan berusaha menghalang-halangiku, kalau
Sang Singa Gurun itu masih hidup.
Mula-mula dia agak ragu. Namun, karena tak menutup telinga
untuk kata-kata busukku, segalanya pun akhirnya terjadi. Dia menyeret Nur ke
ujung lorong. Nur menolak. Nur mencoba melepaskan diri dari dekapan dan amuk
alkohol di mulut Ahnan.
Pada saat semacam itu, Ahnan sebenarnya ingin menyarungkan
kembali nafsu busuknya. Namun, aku bergegas menyusup ke dalam jiwanya. Kupompa
berahinya. Kupompa amarahnya. Kukuatkan cengkeraman tangan Ahnan ke leher Nur
yang kian tak mampu mengembuskan napasnya.
Dan setelah segalanya terjadi, aku terbang dan menyatu
dengan asap yang mengepung kota ini. Aku lihat Ahnan termangu-mangu. Aku lihat
dia menyesali perbuatan busuknya.
“Jangan pernah menyesal, Ahnan. Jangan pernah menyesal!
Larilah! larilah sejauh yang bisa kautempuh!” kudesiskan kata-kata itu dan dia
menurut.
Ya, dia menuruti semua perintahku, paling tidak sampai
beberapa tahun lamanya. Sayang, pada akhirnya dia tak mampu memenuhi seluruh
permintaanku. Dan menjelang akhir tahun ini dia menelepon kamu bukan? Menjelang bulan maret ini,
dia katakan seluruh perbuatan busuknya kepadamu, bukan?
Maka, sebenarnya aku pun tahu, Va. Malam ini, saat takbir
mengumandang, dia akan pulang. Dia akan mengunjungi pusara Nur sebelum
bersimpuh di kakimu, di kaki seorang ibu yang sejak dulu diabaikan.
Maka jika bisa melesat mengikuti kecepatan gerakanku, kau
bisa melihat bagaimana aku menghalang-halangi Ahnan agar mengurungkan niatnya
mengunjungi pusara Nur dan menemuimu. Dan di stasiun itu, tentu aku sudah
mengubah diriku menjadi dirimu. Menjadi Va yang lembut hati. Menjadi Va yang
tak mengasah samurai untuk membunuh putranya sendiri.
“Jangan pulang, Ahnan. Aku sudah menceritakan perbuatanmu
kepada Rosa. Dia tentu bercerita kepada orang sekampung dan mereka akan
membantaimu,” kataku setelah dia turun dari kereta, setelah dari masjid
terdekat takbir mengumandang dan melukaiku.
Ahnan hanya tertunduk. Dia tak berani memandangku.
“Pergilah lagi ke mana pun, ke tempat yang tak
memungkinkan orang-orang kota ini menjangkau tubuhmu.”
Ahnan masih tetap menunduk. Meski demikian, dia mulai
berani mendesiskan kata-kata yang tak kuduga bisa melesat dari bibirnya yang
kian rapuh.
“Hari ini hari penuh ampunan, Ibu. Tak seorang pun akan
mengotori dirinya dengan perbuatan busuk. Izinkan aku mengunjungi pusara adikku.
Izinkan aku tersungkur dan menangis di keheningan makam itu.”
“Jangan, Ahnan!” teriakku, “Kau tak boleh selemah itu.”
Ahnan kian tafakur. Dia mulai menangis.
“Sudahlah, Ibu, bukankah semua orang telah melupakan
peristiwa itu. Kalau pun pada akhirnya akan ada yang membunuhku, aku sudah
siap, Ibu. Mungkin kematianku akan….”
“Akan apa? Kau tak boleh mati. Aku tak ingin kehilangan
kedua anakku. Aku tak ingin kehilangan kamu,” aku berpura-pura meledakkan
tangis.
Rupa-rupanya tangis itu tak ada gunanya. Ahnan berpaling
dan dia meninggalkanku.
Apakah di kuburan kau juga menangis, Va? Apakah sambil
mengasah kebencian kau juga merasa bakal kehilangan anakmu?
Kini mengertilah, Va, aku memang setan. Namun, aku pun
bisa punya rasa kehilangan yang mendalam. Dan, Ahnan adalah putra pujaanku. Aku
tak mau kehilangan dia. Aku tak ingin kau membunuh dirinya. Aku tak ingin
sebagaimana Va yang lain kau menyerupai, bahkan melebihi kekejamanku.
Tapi rupa-rupanya lengking takbir kian melukaiku dan
gerimis abai pada segala teriakanku. Mungkinkah gerimis itu telah bercampur
dengan darah Ahnan? Mungkinkah kau telah menebas leher putramu, membedah perut,
mengambil hati, dan menggigit daging kenyal itu sambil meneriakkan kemenangan?
Mungkinkah Ahnan rebah dan kepalanya membentur nisan Nur yang meruncing
menunggu kematian laki-laki yang paling kaulaknat? Apakah sebagaimana Va,
perempuan perkasa itu, kau akan akan bilang, “Telah kubunuh musuh sejati. Telah
kuakhiri puasa panjangku dan aku tak akan menangis lagi.”
Tak mungkin lagi kujawab pertanyaan itu. Takbir itu kian
merontokkan sayapku. Aku tak bisa terbang. Aku tak bisa melesat ke kuburan dan
membunuh amarah agungmu. Tapi, Va, mengapa harus Ahnan lagi? Mengapa harus dia
lagi? Mengapa tak kau rasakan gerimis pada bulan Maret ini kian meruncing merah
dan menyakiti?
0 comments:
Post a Comment