Buku catatan hariannya ditemukan
setelah ia wafat. Ia terus menulis dalam buku catatan itu, meskipun tidak
konstan, sejak pertama kali ia tiba di Yogya pada 1961. Catatan-catatanya
itu bertambah detail dan serius pada sekitar 1966 dan, sejak akhir 1968,
sedikit demi sedikit mengambil bentuk esai-esai pendek mengenai berbagai aspek
kehidupan budaya, keagamaan dan politik di Indonesia. Buku catatan ini
kemudian disunting kawan dekat dan koleganya di HMI, Djohan Effendi, yang
bersamanya menyatakan keluar dari organisasi tersebut, pada hari yang sama dan
dengan alasan-alasan yang juga sama. Catatan-catatan yang dipilih untuk
diterbitkan itu kemudian dibagi-bagi ke dalam empat tema besar: “ Ikhtiar
Menjawab Masalah Keagamaan”, “Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air”, “Dari
Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan” dan “Pribadi yang selalu gelisah”.
-------
Terutama paling penting adalah
catatan-catatan Wahib tentang agama. Salah satu kunci gagasan-gagasan
keagamaannya adalah seperti yang ditulisnya pada 15 Juli 1969:
"Saya malah berpendapat bahwa
andaikata Nabi Muhammad datang lagi di dunia sekarang, menyaksikan
bagian-bagian yang modern dan yang belum, serta melihat pikiran-pikiran manusia
yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara hadits-hadits Nabi yang
sekarang ini umumnya dipahami secara telanjang oleh pengikut-pengikutnya, akan
dicabut oleh Nabi peredaran dan diganti dengan hadits-hadits lain."
--------
Wahib sepenuhnya sadar bahwa ia
harus menghadapi sendiri masalah-masalah yang menurutnya tak bisa diatasi para
ulama tersebut. Masalah itu adalah: bagaimana menerjemahkan wahyu, dari yang
seberang masa dan mengatasi segala waktu, ke dalam bentuk yang cocok dengan
waktu dan tempat tertentu, tanpa bersikap tidak jujur dan tidak adil terhadap
asal-usulnya yang suci dan tak terciptakan. Maka, pada 28 Maret 1969, Wahib
menulis demikian:
"Aku belum tahu apakah Islam
itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam
menurut Abduh, Islam menurut ulamaulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam
menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain."
"Dan terus terang aku tidak
puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya.
Bagaimana? Langsung studi dari Qur‟an dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi orang-orang
lain pun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku
sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang
kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!"
--------
Pada 17 Januari 1969, ia menulis:
"Kita orang Islam belum mampu
menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara
ultimate values (nilai-nilai pokok –Red.) dalam ajaran Islam dengan kondisi
sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari....
Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha
pencapaian dan cenderung ekslusif"
-------
Pada 16 Agustus 1969:
"Bagi kita, Teis dan ateis
bisa berkumpul Muslim dan Kristiani bisa bercanda, Artis dan elit bisa
bergurau. Kafirin dan muttaqin bisa bermesraan. Tapi, Pluralisme dan anti
pluralisme tak bisa bertemu"
------
Pada 1970, ia lagi-lagi berefleksi
mengenai sikap defensif konyol beberapa pemikir Muslim. Simaklah catatannya
tertanggal 10 April:
"Sikap apologetik, yang selalu
ingin mengadakan pembenaran pembenaran (pembelaan-pembelaan) timbul karena:
1.
Kekurang
kematangan umat Islam setelah baru saja lepas dari tindakan umat-umat di luarnya;
2.
Proses
timbal-balik yang terjadi masih menempatkan umat Islam sebagai kekuatan kecil
yang terkempung dari segala arah. Serangan-serangan terhadap umat Islam
mengakibatkan mereka apologis. Sikap apologis mengakibatkan mereka eksklusif
dan karenanya lebih terkepung dan sebagainya."
----
Menurut Wahib, obat buat penyakit
ini adalah kebebasan total dalam berpikir. Kebebasan yang juga tidak dibatasi
oleh formulasi-formulasi ajaran keagamaan. Ini sudah disarankannya dalam
catatannya tertanggal 17 Juli 1969:
"Saya kira, orang-orang yang
tidak mau berpikir bebas itu telah menyianyiakan hadiah Allah yang begitu
berharga, yaitu otak"
"Saya berdoa agar Tuhan member
petunjuk pada orang-orang yang tidak menggunakan otaknya sepenuhnya. Dan, saya
pun sadar bahwa para pemikir bebas itu adalah orangorang yang senantiasa
gelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya. Dia gelisah untuk memikirkan
macam-macam hal terutama hal-hal yang dasariah dengan semata-mata berpijak pada
objektivitas akal."
Pada saat yang sama, ia mengakui
bahwa ada kontradiksi yang tak terelakan antara sikapnya menerima agama sebagai
kebenaran yang diwahyukan dan percobaan berpikir sebebasbebasnya.
----
Ini diakuinya pada catatannya
tertanggal 9 Maret 1969:
"Dalam kenyataannya, dalam
praktik berpikir sekarang ini, kita tidak berpikir bebas lagi. Bila menilai
sesuatu, kita sudah bertolak dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam baik dan
paham-paham lain di bawahnya lebih rendah."
Wahib mencoba masuk ke dalam
jantung persoalan ini, sambil membuat pengakuan terangterangan:
"Kadang-kadang hatiku
berpendapat bahwa, dalam beberapa hal, ajaran Islam itu jelek. Jadi ajaran
Allah itu, dalam beberapa bagian, jelek dan beberapa ajaran manusia, yaitu
menusia-manusia besar, jauh lebih baik. Ini akal bebasku yang berkata."
"Akal bebas yang meronta-ronta
untuk berani berpikir tanpa disertai ketakutan akan dimarahi Tuhan. Dan hanya
kepercayaanku akan adanya Tuhan serta bahwa Qur‟an itu betul-betul dari Tuhan
serta Muhammad itu betul-betul manusia sempurna, maka aku pada resultante
terakhir tetap berpendapat bahwa Islam itu secara total baik dan sempurna.
Akalku sendirilah yang tidak mampu meraba kesempurnaan tadi."
Kekeliruan-kekeliruan dan cacat-cacat
yang ditemukan akal dalam Islam harus diakui dengan kejujuran yang sama. Inilah
yang diakui dalam catatannya pada 8 Juni 1969:
"Inilah saat yang paling baik
bagi saya untuk meningkatkan democratic attitude (sikap demokratis – Red),
walaupun saya tidak berpendapat bahwa Islam itu tak sepenuhnya demokratis.
Terus terang saya mengakui bahwa, dalam hal ini, sampai sekarang saya belum
seorang Muslim yang utuh.
"Saya tidak akan berpura-pura
mengingkari bahwa saya menolak bunyi suatu hukum islam: “Bahwa seorang Islam
yang tidak shalat itu harus dihukum.”
"Saya pikir, salah satu sikap
seorang demokrat ialah tidak melakukan terror terhadap orang yang mau bersikap
lain."
"Ada baiknya kita ingat bahwa
mengucapkan assalamu’alaikum tidak terus berarti Islam; mengaji yang keras
hingga didengar orang banyak tidak terus berarti Islam; menulis dengan arab
tidak terus berarti Islam; sok ikhlas, sok khusyuk tidak terus berarti Islam;
mengobral ayat-ayat Qur‟an tidak terus berarti Islam; pidato pakai shalawat
tidak terus berarti Islam. "
"Demikian pula menyerang gadis
pakai kerudung tidak terus berarti modern; meremehkan pentingnya shalat tidak
terus berarti modern; membela ateime tidak terus berarti modern; mengkritik
umat Islam tidak terus berarti modern; membela orang-orang berdansa tidak terus
berarti modern."
Satu-satunya ruang yang tersisa
untuk dipercayai adalah pribadi. Akhirnya, di atas pundak pribadilah tanggung
jawab menemukan kebenaran harus diletakkan. Inilah arah kemana pikiran-pikiran
Wahib bergerak, ketika pada 8 September 1969 ia menulis:
"Tuhan, aku ingin tanya,
apakah nilai-nilai dalam agama-Mu itu tetap atau berubah-ubah. Tuhan, mana
sajakah dari ajaran-Mu yang betul-betuk merupakan fundamen yang tak bisa
berubah-ubah lagi, yang harus menjadi pedoman dalam perkembangan nilai-nilai
dalam masyarakat?
"Saya kira, pemasangan ijma‟
dalam deretan sumber pembinaan hukum berupa Qur‟an, Sunnah dan ijma sudah bukan
waktunya lagi. Dalam dunia yang cepat berubah dan individualisme makin
menonjol, cukuplah dengan Qur‟an dan Sunnah. Dan biarkanlah tiap orang
memahamkan Qur‟an dan sunnah itu menurut dirinya sendiri. Nah, kalau
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnyalah
hukum-hukum Islam itu berkembang. "
"Halal dan haram saat ini
seharusnya tidak sama dengan halal dan haran pada tiga atau empat abad yang
lalu atau bahkan pada masa nabi hidupkarena itu, seharusnya ada banyak hadits
nabi atau bahkan ayat al-Qur‟an yang tidak dipakai lagi, karena memang tidak
diperlukan dan madharat (kerusakan -red) yang dikuatirkan di situ sudah tidak
ada lagi, berhubung nilai-nilai baru yang kini berlaku dalam masyarakat."
"Saya sadari bahwa perubahan
nilai-nilai moral tentunyamembawa perubahan dalam keboleh jadian madharat atau
manfaat yang ditimbulkannya."
"Karena hukum Islam itu, saya
kira, berpedoman pada madharat dan manfaat, maka seharusnyalah hukum-hukum
moral dalam Islam itu juga berubah sesuai dengan perubahan nilai-nilai moral
masyarakat di atas. "
"Lantas, apakah hal yang
begini justru akan menimbulkan kebingungan-kebingungan bahkan pergeseran-pergeseran
dalam kalangan umat Islam, karena kelihatan tidak ada kepastian hukum?"
"Kebingungan-kebingungan dan
pergeseran-pergeseran itu biasa, jadi tak perlu dihindari karena menyusun
nilai-nilai yang lebih baik."
"Hanya siapa yang aktif
mencipta, menggunakan kesempatan sebaikbaiknya dalam dinamika masyarakat
itulah, yang akan menjadi obor masyarakat."
0 comments:
Post a Comment