Friday, June 10, 2016

​Catatan Harian : Ahmad Wahib


Buku catatan hariannya ditemukan setelah ia wafat. Ia terus menulis dalam buku catatan itu, meskipun tidak konstan, sejak pertama kali ia tiba di Yogya pada 1961. Catatan-catatanya itu bertambah detail dan serius pada sekitar 1966 dan, sejak akhir 1968, sedikit demi sedikit mengambil bentuk esai-esai pendek mengenai berbagai aspek kehidupan budaya, keagamaan dan politik di Indonesia. Buku catatan ini kemudian disunting kawan dekat dan koleganya di HMI, Djohan Effendi, yang bersamanya menyatakan keluar dari organisasi tersebut, pada hari yang sama dan dengan alasan-alasan yang juga sama. Catatan-catatan yang dipilih untuk diterbitkan itu kemudian dibagi-bagi ke dalam empat tema besar: “ Ikhtiar Menjawab Masalah Keagamaan”, “Meneropong Politik dan Budaya Tanah Air”, “Dari Dunia Kemahasiswaan dan Keilmuan” dan “Pribadi yang selalu gelisah”.
-------
Terutama paling penting adalah catatan-catatan Wahib tentang agama. Salah satu kunci gagasan-gagasan keagamaannya adalah seperti yang ditulisnya pada 15 Juli 1969:
"Saya malah berpendapat bahwa andaikata Nabi Muhammad datang lagi di dunia sekarang, menyaksikan bagian-bagian yang modern dan yang belum, serta melihat pikiran-pikiran manusia yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara hadits-hadits Nabi yang sekarang ini umumnya dipahami secara telanjang oleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut oleh Nabi peredaran dan diganti dengan hadits-hadits lain."
--------
Wahib sepenuhnya sadar bahwa ia harus menghadapi sendiri masalah-masalah yang menurutnya tak bisa diatasi para ulama tersebut. Masalah itu adalah: bagaimana menerjemahkan wahyu, dari yang seberang masa dan mengatasi segala waktu, ke dalam bentuk yang cocok dengan waktu dan tempat tertentu, tanpa bersikap tidak jujur dan tidak adil terhadap asal-usulnya yang suci dan tak terciptakan. Maka, pada 28 Maret 1969, Wahib menulis demikian:
"Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulamaulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain."
"Dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari Qur‟an dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi orang-orang lain pun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!"
--------
Pada 17 Januari 1969, ia menulis:
"Kita orang Islam belum mampu menerjemahkan kebenaran ajaran Islam dalam suatu program pencapaian. Antara ultimate values (nilai-nilai pokok –Red.) dalam ajaran Islam dengan kondisi sekarang memerlukan penerjemahan-penerjemahan. Dan ini tidak disadari.... Karena seperti itulah kita menjadi orang yang selalu ketinggalan dalam usaha pencapaian dan cenderung ekslusif"
-------
Pada 16 Agustus 1969:
"Bagi kita, Teis dan ateis bisa berkumpul Muslim dan Kristiani bisa bercanda, Artis dan elit bisa bergurau. Kafirin dan muttaqin bisa bermesraan. Tapi, Pluralisme dan anti pluralisme tak bisa bertemu"
------
Pada 1970, ia lagi-lagi berefleksi mengenai sikap defensif konyol beberapa pemikir Muslim. Simaklah catatannya tertanggal 10 April:
"Sikap apologetik, yang selalu ingin mengadakan pembenaran pembenaran (pembelaan-pembelaan) timbul karena:
1.       Kekurang kematangan umat Islam setelah baru saja lepas dari tindakan umat-umat di luarnya; 
2.       Proses timbal-balik yang terjadi masih menempatkan umat Islam sebagai kekuatan kecil yang terkempung dari segala arah. Serangan-serangan terhadap umat Islam mengakibatkan mereka apologis. Sikap apologis mengakibatkan mereka eksklusif dan karenanya lebih terkepung dan sebagainya."
----
Menurut Wahib, obat buat penyakit ini adalah kebebasan total dalam berpikir. Kebebasan yang juga tidak dibatasi oleh formulasi-formulasi ajaran keagamaan. Ini sudah disarankannya dalam catatannya tertanggal 17 Juli 1969:
"Saya kira, orang-orang yang tidak mau berpikir bebas itu telah menyianyiakan hadiah Allah yang begitu berharga, yaitu otak"
"Saya berdoa agar Tuhan member petunjuk pada orang-orang yang tidak menggunakan otaknya sepenuhnya. Dan, saya pun sadar bahwa para pemikir bebas itu adalah orangorang yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya. Dia gelisah untuk memikirkan macam-macam hal terutama hal-hal yang dasariah dengan semata-mata berpijak pada objektivitas akal."
Pada saat yang sama, ia mengakui bahwa ada kontradiksi yang tak terelakan antara sikapnya menerima agama sebagai kebenaran yang diwahyukan dan percobaan berpikir sebebasbebasnya.
----
Ini diakuinya pada catatannya tertanggal 9 Maret 1969:
"Dalam kenyataannya, dalam praktik berpikir sekarang ini, kita tidak berpikir bebas lagi. Bila menilai sesuatu, kita sudah bertolak dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam baik dan paham-paham lain di bawahnya lebih rendah."
Wahib mencoba masuk ke dalam jantung persoalan ini, sambil membuat pengakuan terangterangan:
"Kadang-kadang hatiku berpendapat bahwa, dalam beberapa hal, ajaran Islam itu jelek. Jadi ajaran Allah itu, dalam beberapa bagian, jelek dan beberapa ajaran manusia, yaitu menusia-manusia besar, jauh lebih baik. Ini akal bebasku yang berkata."
"Akal bebas yang meronta-ronta untuk berani berpikir tanpa disertai ketakutan akan dimarahi Tuhan. Dan hanya kepercayaanku akan adanya Tuhan serta bahwa Qur‟an itu betul-betul dari Tuhan serta Muhammad itu betul-betul manusia sempurna, maka aku pada resultante terakhir tetap berpendapat bahwa Islam itu secara total baik dan sempurna. Akalku sendirilah yang tidak mampu meraba kesempurnaan tadi."
Kekeliruan-kekeliruan dan cacat-cacat yang ditemukan akal dalam Islam harus diakui dengan kejujuran yang sama. Inilah yang diakui dalam catatannya pada 8 Juni 1969:
"Inilah saat yang paling baik bagi saya untuk meningkatkan democratic attitude (sikap demokratis – Red), walaupun saya tidak berpendapat bahwa Islam itu tak sepenuhnya demokratis. Terus terang saya mengakui bahwa, dalam hal ini, sampai sekarang saya belum seorang Muslim yang utuh. 
"Saya tidak akan berpura-pura mengingkari bahwa saya menolak bunyi suatu hukum islam: “Bahwa seorang Islam yang tidak shalat itu harus dihukum.”
"Saya pikir, salah satu sikap seorang demokrat ialah tidak melakukan terror terhadap orang yang mau bersikap lain."
"Ada baiknya kita ingat bahwa mengucapkan assalamu’alaikum tidak terus berarti Islam; mengaji yang keras hingga didengar orang banyak tidak terus berarti Islam; menulis dengan arab tidak terus berarti Islam; sok ikhlas, sok khusyuk tidak terus berarti Islam; mengobral ayat-ayat Qur‟an tidak terus berarti Islam; pidato pakai shalawat tidak terus berarti Islam. "
"Demikian pula menyerang gadis pakai kerudung tidak terus berarti modern; meremehkan pentingnya shalat tidak terus berarti modern; membela ateime tidak terus berarti modern; mengkritik umat Islam tidak terus berarti modern; membela orang-orang berdansa tidak terus berarti modern."
Satu-satunya ruang yang tersisa untuk dipercayai adalah pribadi. Akhirnya, di atas pundak pribadilah tanggung jawab menemukan kebenaran harus diletakkan. Inilah arah kemana pikiran-pikiran Wahib bergerak, ketika pada 8 September 1969 ia menulis:
"Tuhan, aku ingin tanya, apakah nilai-nilai dalam agama-Mu itu tetap atau berubah-ubah. Tuhan, mana sajakah dari ajaran-Mu yang betul-betuk merupakan fundamen yang tak bisa berubah-ubah lagi, yang harus menjadi pedoman dalam perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat?
"Saya kira, pemasangan ijma‟ dalam deretan sumber pembinaan hukum berupa Qur‟an, Sunnah dan ijma sudah bukan waktunya lagi. Dalam dunia yang cepat berubah dan individualisme makin menonjol, cukuplah dengan Qur‟an dan Sunnah. Dan biarkanlah tiap orang memahamkan Qur‟an dan sunnah itu menurut dirinya sendiri. Nah, kalau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnyalah hukum-hukum Islam itu berkembang. "
"Halal dan haram saat ini seharusnya tidak sama dengan halal dan haran pada tiga atau empat abad yang lalu atau bahkan pada masa nabi hidupkarena itu, seharusnya ada banyak hadits nabi atau bahkan ayat al-Qur‟an yang tidak dipakai lagi, karena memang tidak diperlukan dan madharat (kerusakan -red) yang dikuatirkan di situ sudah tidak ada lagi, berhubung nilai-nilai baru yang kini berlaku dalam masyarakat."
"Saya sadari bahwa perubahan nilai-nilai moral tentunyamembawa perubahan dalam keboleh jadian madharat atau manfaat yang ditimbulkannya."
"Karena hukum Islam itu, saya kira, berpedoman pada madharat dan manfaat, maka seharusnyalah hukum-hukum moral dalam Islam itu juga berubah sesuai dengan perubahan nilai-nilai moral masyarakat di atas. "
"Lantas, apakah hal yang begini justru akan menimbulkan kebingungan-kebingungan bahkan pergeseran-pergeseran dalam kalangan umat Islam, karena kelihatan tidak ada kepastian hukum?"
"Kebingungan-kebingungan dan pergeseran-pergeseran itu biasa, jadi tak perlu dihindari karena menyusun nilai-nilai yang lebih baik."
"Hanya siapa yang aktif mencipta, menggunakan kesempatan sebaikbaiknya dalam dinamika masyarakat itulah, yang akan menjadi obor masyarakat."

0 comments:

Post a Comment

 
;