Sejak
kita kecil, peran kita di dalam keluarga sepertinya sudah disuratkan oleh
takdir. Laki-laki bekerja mencari nafkah. Perempuan di rumah mengurus rumah
tangga dan membesarkan anak. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa kodrat
laki-laki dan perempuan demikian adanya. Kadang-kadang jawaban yang diberikan
tampak begitu mudah dan masuk akal: laki-laki fisiknya lebih kuat, oleh
karenanya ia lebih cocok bekerja di luar, sedangkan perempuan itu lemah lembut
dan lebih cocok bekerja di dalam rumah.
Namun
jawaban dangkal ini dapat dengan mudah dipatahkan. Sudah banyak kita temui
perempuan pemberani yang kemampuan fisiknya tidak kalah dengan laki-laki. Sebut
saja Cut Nyak Dien sebagai satu contoh. Namun tidak perlu jauh-jauh. Di sekitar
kita dengan mudah bisa kita temui perempuan-perempuan – dari kelas buruh, tani,
dan miskin kota –yang tegar dan kuat, yang harus membanting tulang untuk sesuap
nasi seperti laki-laki, dan kekuatan fisik dan semangat mereka tidak kalah.
Hanya perempuan borjuis saja, yang sejak lahir bergelimpangan susu dan madu,
yang tampil sebagai makhluk yang lemah.
Kapitalisme
mengharuskan dilemparkannya jutaan buruh ke dalam pabrik-pabrik, tidak pandang
bulu jenis kelamin karena motif kapitalisme hanya satu: memeras keringat untuk
laba. Dalam situasi ini, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam pabrik.
Selain itu, kemajuan teknologi membuat kerja di pabrik semakin mudah sehingga
bisa dilakukan oleh siapapun, baik perempuan maupun laki-laki, bahkan anak
kecil sekalipun.
Peran
tradisional perempuan tampaknya semakin retak.
Namun,
ternyata yang terjadi justru kebalikannya. Sekarang kaum perempuan terjebak
dalam dua macam penindasan: penindasan di rumah sebagai ”babu” dan penindasan
di pabrik sebagai pekerja upahan. Ia sekarang harus menanggung beban
penderitaan dua kali lipat: harus bekerja di pabrik dari pagi hingga sore dan
tiba di rumah harus melaksanakan ”tugas mulia” mengurus rumahtangga. Kerja
perempuan bukan lagi kerja 8 jam sehari, tetapi kerja 24 jam sehari. Tidak ada
ruang baginya untuk memperbaiki dirinya, untuk mewujudkan dirinya sebagai
manusia yang bebas dan kreatif.
Oleh
karenanya, pembebasan perempuan dari penindasan terikat erat dengan
program-program yang secara konkrit akan membebaskannya dari kungkungan kerja
rumahtangga (domestik). Kapitalisme masih mengurung perempuan dalam kerja
rumahtangga karena kerja ini adalah kerja gratis, kerja yang tidak dibayar.
Kapitalis membutuhkan buruh yang terawat dan juga bisa berkembang biak. Tugas
perawatan dan perkembang-biakan ini jatuh di pundak perempuan. Dia harus
merawat suaminya, supaya bisa terus kerja di pabrik. Dia juga harus melahirkan
dan lalu membesarkan anaknya sebagai generasi pekerja seterusnya. Dalam kapitalisme,
oleh karenanya, tugas perempuan ini sangat krusial untuk keberlangsungan sistem
penindasan buruh.
Dalam
program-program sosialis, tugas-tugas domestik akan disosialisasikan, dalam
arti ini tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan sendiri saja, tetapi
menjadi tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan. Untuk tugas merawat dan
membersihkan rumah, akan dibentuk satu angkatan kerja nasional pembersih rumah.
Tidak lagi harus perempuan yang menyapu rumah setiap harinya, tetapi ini
dilakukan oleh pekerja trampil, yang berserikat, yang bukan hanya diisi oleh
pekerja perempuan, yang gajinya layak, dan profesional. Layanan ini akan
menjadi layanan sosial yang gratis dan universal, yang dapat diakses oleh
setiap rumah tangga secara sukarela.
Lalu
untuk tugas mencuci baju, negara akan mendirikan layanan laundry (cuci-baju)
nasional, dimana di tiap-tiap komunitas akan ada layanan laundry yang
memperkerjakan pekerja trampil dengan mesin-mesin cuci baju dan pembersih yang
paling moderen. Tiap-tiap keluarga dan juga individu bisa menggunakan layanan
laundry ini dengan gratis dan universal. Dengan demikian, perempuan akan
terbebaskan dari pekerjaan mencuci baju yang begitu menguras tenaga mereka.
Lalu
juga akan didirikan tempat-tempat penitipan anak di tiap-tiap komunitas, yang
gratis dan berkualitas tinggi. Dengan demikian orang tua – sang ayah dan
terutama sang ibu – pada siang harinya ketika harus bekerja dapat menitipkan
anaknya. Seperti kita ketahui, biasanya setelah punya anak, sang ibu tidak bisa
lagi meningkatkan kualitas hidupnya (dengan bekerja atau sekolah) karena dia
harus menjaga anaknya 24 jam.
Juga
akan dicanangkan program cuti hamil dan melahirkan yang universal. Sang ibu
setelah melahirkan akan ditanggung oleh pemerintah dengan tunjangan sosial yang
layak selama 2 sampai 3 tahun, supaya ia bisa mendedikasikan dirinya untuk
membesarkan bayinya pada masa pertumbuhan yang paling penting. Sang ibu tak
perlu khawatir tidak bisa mencari nafkah. Ia bisa beristirahat dengan lega
setelah proses melahirkan yang begitu melelahkan dan membesarkan bayinya. Lalu
setelah cuti ini selesai, ia akan dapat melanjutkan pekerjaannya yang
ditinggalkannya.
Restoran-restoran
besar akan dinasionalisasi dan dijadikan tempat makan publik (dapur komunitas)
yang menyajikan makanan sehat, beragam, dan gratis untuk rakyat. Dengan
demikian perempuan pun terbebaskan dari tugas memasak di dapur setiap harinya.
Alih-alih setiap hari berjam-jam menyiapkan makanan untuk keluarganya, ia bisa
beristirahat dan mengembangkan dirinya dengan sekolah, membaca, berseni,
berolahraga, beraktivitas, dll.
Secara
singkat, inilah sejumlah program yang akan membebaskan perempuan dari
tugas-tugas domestik yang mengekang mereka. Program ini tidak jatuh dari langit
begitu saja, tetapi merupakan satu kesatuan dari program nasionalisasi
perekonomian dan perencanaan ekonomi terpusat, yang merupakan esensi dari
sosialisme. Bukankah di dalam kapitalisme sekarang sudah ada
perusahaan-perusahaan swasta yang menjual jasa pembersih rumah (dan juga
eksploitasi pembantu rumah tangga), perusahaan laundry, rumah-rumah makan dan
restoran, tempat penitipan anak, dan lain lain? Tetapi di dalam sistem
kapitalisme, perusahaan-perusahaan ini dijalankan oleh pemilik modal untuk
meraup laba, sehingga mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat luas. Yang
bisa membeli layanan ini adalah perempuan-perempuan dari kelas atas. Di dalam
sistem sosialisme, yang kita lakukan adalah menasionalisasi layanan-layanan ini
dan meluaskan aksesnya ke seluruh rakyat Indonesia.
Lebih
dari itu, kita juga akan mengarahkan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia
untuk mengembangkan teknologi-teknologi muktahir yang akan meringankan
kerja-kerja domestik ini. Kapitalisme bisa menciptakan berbagai teknologi
muktahir (telpon genggam, komputer super cepat, roket ke bulan, dsbnya.),
tetapi kalau kita lihat teknologi yang bersangkutan dengan kerja rumahtangga
tidak ada perubahan banyak dalam seratus tahun terakhir ini. Mengapa demikian?
Ini karena di dalam kapitalisme teknologi digunakan untuk laba dan profit, bukan
untuk meringankan kerja manusia dan membebaskannya dari penindasan kerja kasar.
Program-program
di atas akan menjadi satu bagian dari keseluruhan program pembebasan perempuan,
yang meliputi kesetaraan gender dalam kesempatan bekerja dan bersekolah, perlindungan
perempuan dari kekerasan rumahtangga, dan lain sebagainya. Ia tidak dapat
berdiri sendiri, dan terlebih lagi ia tidak akan dapat terpenuhi dalam kerangka
kapitalisme. Sosialisme akan menciptakan satu tatanan masyarakat yang
memungkinkan lahirnya satu juta Kartini dan Marsinah, perempuan-perempuan
pejuang yang bebas, berani, kreatif, inovatif, dan revolusioner.
0 comments:
Post a Comment