Berbicara
mengenai buruh haruslah diawali dengan logika relasi yang terjadi antara buruh
dan majikan. Dalam relasi buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif
terhadap majikan. Hal ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan
ekonomi yang selanjutnya memunculkan ketidakseimbangan dalam kekuasaan politik.
Secara
sosiologis buruh bukanlah sebuah kelas yang bebas. Buruh tidak memiliki
alat-alat produksi, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya buruh hanya bisa
menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi (majikan). Dan selanjutnya,
majikanlah yang bebas menentukan syarat-syarat kerja.
Di
bawah kondisi-kondisi material kapitalisme hari ini, buruh dieksploitasi oleh
pengusaha dengan alasan tunggal, yakni profit. Dan untuk maksimalisasi profit,
korelasi langsung dengan pemotongan biaya produksi akan terjadi. Oleh karena
itu, majikan akan berusaha terus untuk meningkatkan produktifitas buruh dengan
membuatnya bekerja lebih keras dan lebih lama untuk memacu pendapatan sang
pengusaha. Begitulah logikanya.
Eksploitasi
dan penindasan adalah fakta sosiologis dalam masyarakat kapitalis. Ini adalah
kenyataan yang akan terus terjadi selama sistem belum berganti. Karena dalam
masyarakat kapitalis, proletariat, atau kaum buruh, tidak memiliki akses ke
sarana produksi mereka sendiri. Ini artinya tidak ada pilihan lain bagi buruh
kecuali menyerahkan hidupnya untuk memperkaya sang pengusaha hanya untuk
kelangsungan hidupnya. Kenyataan yang sungguh tragis.
Dalam
berbagai kasus buruh, tawar-menawar antara pengusaha dan buruh, melalui
serikat-serikat buruh, sudah sering terjadi. Misalnya tuntutan mengenai kondisi
kerja yang lebih baik, jam kerja yang pendek, dan upah yang sesuai UMK. Meskipun
proses tawar-menawar ini tidak hanya dilakukan di meja perundingan, tetapi juga
melalui pemogokan, tetapi ini tidak mengubah relasi dasar antara buruh dan
majikan. Dalam beberapa kasus, memang, beberapa pengusaha terpaksa mengakui dan
memenuhi beberapa tuntutan dari buruh, tetapi sang pengusaha tetap saja bisa
menemukan obat yang mujarab untuk melanjutkan eksploitasinya atas kelas buruh.
Buruh
bisa memperoleh jam kerja yang lebih pendek dan upah yang sesuai UMK namun
mereka dipaksa untuk bekerja lebih keras dan lebih produktif, tanpa peningkatan
upah. Akhirnya, buruh rela terampas kehidupannya demi bisa bertahan hidup.
Buruh dieksploitasi ke titik di mana tenaga kerja mereka menjadi sejajar dengan
komoditas lain. Seperti bahan baku atau mesin. Buruh tak pernah dihargai
sebagai manusia -- sebagai sesuatu yang punya jiwa, rasa, cinta, tangis, resah,
sedih, harga diri, dll.
Bagaimana
peran serikat-serikat buruh dalam menangani persoalan-persoalan buruh?
Meskipun
saat ini banyak serikat buruh baru bermunculan, tetapi belum ada organisasi
buruh tingkat lokal maupun nasional yang mampu mengintervensi
kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai perburuhan. Lemahnya pengaruh
organisasi-organisasi buruh ini terlihat saat berbagai macam bentuk
undang-undang perburuhan tetap berpihak kepada pemilik modal. Gambaran nyata
mengenai lemahnya posisi serikat-serikat buruh di Indonesia terlihat saat
ancaman yang dilayangkan para investor Korea Selatan dan Jepang, bahwa kelak
‘modal mereka akan hengkang’ dari Indonesia. Ancaman tersebut membuat takut
para pejabat pemerintah dan menanggapi hal ini dengan mengerem kenaikan upah
buruh serta mengontrol serikat buruh. Dan serikat-serikat buruh tak bisa
berbuat apa-apa.
Berdasarkan
realitas dari hubungan subordinatif tersebut, peran negara sangat diperlukan.
Kebijakan negara tentang perburuhan harus mengandungi dua kategori prinsipal,
yakni menyangkut hak ekonomi dan hak politik buruh. Hak ekonomi buruh diartikan
sebagai peraturan-peraturan yang menyangkut kesejahteraan secara langsung bagi
buruh, yakni upah layak, jaminan kesehatan, keamanan, dll. Sementara hak
politik diartikan sebagai peraturan-peraturan dalam berserikat, yakni hak untuk
berserikat itu sendiri, hak untuk melakukan perundingan, dan hak mogok. Tetapi
kenyataannya sampai hari ini negara, lewat UU perburuhannya, yang diharapkan
mampu menjadi “kekuatan adil” justru lebih berpihak kepada kepentingan pemilik
modal. Persekutuan erat dan vulgar antara kepentingan negara dan kepentingan
pemilik modal ini semakin menyudutkan posisi buruh.
Tetapi,
pemberian hak-hak ekonomik dan politik terhadap buruh yang parsial tetap masih
akan menyisakan persoalan-persoalan bagi buruh. Parsial secara ekonomik berarti
hak-hak yang diberikan masih pada level normatif, dan parsial secara politik
berarti hak-hak yang diberikan atau yang dicapai masih sebatas kebebasan
berserikat. Oleh sebab itu, capaian kualitatif dalam penyelesaian harus
diusahakan. Dan penyelesaian ini harus mengandungi visi dan nilai yang besar,
yaitu terbangunnya kekuasaan politik buruh.
Membangun
visi dan nilai ideologis yang besar tersebut bukanlah hal yang mudah. Butuh
waktu lama, program yang jelas, dan metodologi yang tepat. Seperti kemenangan
buruh di Rusia tahun 1917, dan kemudian berdiri negara buruh pertama di dunia,
melalui tahapan proses yang panjang. Bolshevik sebagai wadah politik buruh saat
itu, mendidik aktivis-aktivis buruhnya secara disiplin, militan, dan
revolusioner. Ini menunjukkan bahwa perubahan besar yang menyeluruh harus
dilakukan di bawah basis material yang matang secara politik, ideologi, dan
organisasional.
Untuk
mencapai kemenangan dalam perjuangan pembebasan buruh, para organiser buruh
harus mampu menganalisa faktor-faktor obyektif dan subyektifnya. Faktor-faktor
obyektif berarti terkait dengan kondisi riil penindasan yang tengah dihadapi
buruh. Sedangkan faktor-faktor subyektif terkait dengan kesiapan para pemimpin
buruh untuk melakukan perlawanan, panggung-panggung politik seperti apa yang
harus diciptakan, dan sudah sejauh mana capaian buruh atas kesadaran politik
dan kelasnya. Kesiapan buruh dan organisernya, panggung politik revolusioner,
dan kesadaran kelas buruh merupakan hal yang signifikan dalam mewujudkan
kemenangan buruh. Dan kemenangan ini harus berada di bawah basis ideologi
buruh, yakni sosialisme.
Sosialisme
bukanlah sebuah terminologi baru dalam membebaskan penindasan yang dialami
buruh. Ini terminologi lama yang terbelenggu oleh ilusi-ilusi “demokrasi” dan
“reformis” yang diciptakan oleh kapitalisme. Demokrasi liberal yang cenderung
memberi peluang bagi segelintir pemilik modal sudah tidak relevan sebagai basis
pijak dalam membebaskan buruh dari penindasan struktural ini. Ketika mekanisme
pengelolaan modal masih didominasi oleh kepentingan segelintir orang niscaya
buruh tetap akan menjadi bahan mentah untuk dieksploitasi. Oleh sebab itu,
pendasaran ideologi yang tepat merupakan jalan yang tak terhindarkan.
Terakhir,
sebuah pertanyaan, bisakah pembebasan kaum buruh dari eksploitasi ini hanya
berharap dari kebaikan kaum borjuis dengan ilusi-ilusi reformasi atau
restorasi?
“Tentu
tidak,” begitulah jawabannya. Hanya dengan revolusi proletariat seluruh
penindasan yang menimpa kaum buruh akan berhenti. Tetapi cita-cita untuk
mewujudkan revolusi proletariat bukanlah hal yang gampang seperti saat kita
berucap. Jika kita berpikir demikian, maka revolusi selamanya akan menjadi
istilah yang utopis. Revolusi berarti suatu pergantian tatanan sosial.
Mentransfer kekuasaan dari tangan-tangan kelas yang telah kehabisan tenaganya
kepada kelas lain yang berada di atas kekuasaan. Dan dalam revolusi
proletariat, menurut Trotsky, intervensi aktif massa merupakan elemen yang
sangat diperlukan.
Untuk
sampai pada keberhasilan mengkonsolidasikan kekuatan massa buruh, sehingga
massa buruh mampu terlibat aktif dalam perjuangan, perlu wadah politik yang
kuat, dengan program, ide, dan metode yang tepat. Sekali lagi, saya ingatkan,
Bolshevik sebagai wadah politik buruh yang mengantar kemenangan Revolusi Buruh
di Rusia pada tahun 1917, mendidik aktifis-aktifis buruhnya secara disiplin,
militan, revolusioner; dengan program, ide, dan metode yang tepat.
0 comments:
Post a Comment