Dalam
cita-cita penumbangan kapitalisme dan pendirian negara buruh, kekuatan politik
perempuan punya tempat yang tidak bisa diremehkan. Banyak revolusi dan
peristiwa-peristiwa besar terjadi karena campur tangan mereka. Lenin sendiri
mengatakan bahwa gerakan perempuan adalah fundamental bagi setiap keberhasilan
revolusi proletar. Untuk itulah gerakan proletar tidak bisa tidak harus menyatu
dengan gerakan pembebasan perempuan. Keduanya berdiri saling menyokong. Maka
dari itu kelas penguasa paham bahwa kekuatan politik perempuan menjadi tiang
penting yang harus dihancurkan berikut dengan ideologinya.
Demikian
juga dengan peristiwa 30 September dan hari-hari setelahnya di awal tahun 1966.
Penumpasan terhadap 3 juta orang, yang terdiri dari anggota, simpatisan dan
leader-leader Partai Komunis Indonesia dilakukan secara sistematis. Dengan
meminjam tangan-tangan sipil, pembantaian ini dibuat nampak seperti perang
sipil. Yang baik melawan yang jahat. Yang beragama melawan kelompok (yang
dituduh) anti-tuhan. Begitulah. Tak cukup dengan membunuh, pembalikan sejarah
pun dibutuhkan untuk membangun fondasi Orde Baru. Orde ketakutan.
Dalam
konteks Indonesia, peristiwa yang cocok kita sebut sebagai Genosida itu tidak
melewatkan organisasi perempuan untuk dihancurleburkan, baik secara fisik
maupun secara ideologis. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang diindikasikan
dekat dengan PKI dan mempunyai 1,5 juta anggota itu ikut ditumpas. Tidak hanya
dengan penyiksaan, pembunuhan dan perbuatan keji lainnya, tetapi juga dengan
serangkaian fitnah, bahwa Gerwani adalah kumpulan perempuan-perempuan bermoral
bejat, liberal dalam tradisi, dan terutama ikut barisan pendukung pembunuhan
tujuh jenderal. Tidak mengejutkan bahwa kelompok kontra-revolusioner dapat
menggunakan cara apapun, bahkan yang paling bengis sekalipun.
elalui
koran-koran yang terbit antara 1 Oktober 1965 dan bulan-bulan pertama 1966,
kampanye palsu tentang keterlibatan Gerwani di Lubang Buaya dan pembunuhan 7
Jenderal diluncurkan. Sebut saja koran dari Dinas Penerangan, Angkatan
Bersendjata (AB), Berita Yudha (BY), dan beberapa koran lain
seperti Sinar Harapan (SH), serta dua koran lainnya yakni Duta
Masjarakat (DM) dan Mingguan Berita (MB).
Dalam
editorial koran Angkatan Bersendjata, disebutkan bahwa Gerwani dan Pemuda
Rakyat terlibat dalam pembunuhan di Lubang Buaya, karena kamp mereka ada di
dekat daerah itu (5 Oktober 1965). Koran Berita Yudha tertanggal 11
Oktober 1965, melaporkan bahwa tubuh para jenderal dimutilasi. Dengan kalimat
yang bombastis, Berita Yudha, menulis, “matanya dicungkil, beberapa
jenderal penisnya dipotong”. Koran Duta Masjarakat juga membuat
headline di korannya dengan judul “Gerwani Tidak Bermoral”. Kampanye fitnah
semacam ini mendapat tempat di tengah masyarakat yang dilanda oleh krisis
ekonomi-politik dan keresahan yang menyelimuti perasaan orang-orang pedesaan
yang lekat dengan mistisisme-religius Jawa. Berita-berita dan kondisi ekonomi
politik yang kacau semacam ini tengah mempersiapkan panggung pembantaian di
waktu berikutnya.
Secara
terus menerus Gerwani digambarkan telah melakukan kekejaman. Kebohongan ini
terus menerus dibangun, diulang-ulang dan menjadi bagian dari rangkaian sejarah
Indonesia sepanjang kekuasaan Orde Baru. Kita tahu bahwa Pers Indonesia punya
peran yang tidak kecil dalam hal ini.
Seorang
Sejarawan, Ben Anderson, berhasil mendapatkan hasil otopsi dari mayat Jenderal
yang mati. Hasil otopsi itu sendiri baru beredar luas di Indonesia pada
penghujung 1987, saat Anderson mengungkapkan bahwa semua luka yang ditemukan
pada tubuh Jenderal adalah luka tembak. Satu dengan luka sobekan panjang di
perut akibat bayonet, dan luka lain akibat benturan dinding sumur. Alat kelamin
dalam keadaan utuh, tidak ada bekas apapun juga yang menunjukkan mata mereka
dicungkil. Karena Soeharto sendiri yang memerintahkan otopsi itu, tentu dia
mengetahui lebih dulu, jauh sebelum dipublikasi ke khalayak luas. Belakangan,
Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan menegaskan ketidakterlibatan Gerwani
sebagai organisasi dalam pembunuhan Jenderal.
Rezim
Orde Baru Soeharto dibangun tidak hanya di atas timbunan jutaan mayat rakyat
Indonesia tetapi juga di atas penindasan perempuan yang berlangsung selama
tahun-tahun selanjutnya. Ini dilakukan dengan penghancuran organisasi perempuan
yang progresif dan membangun organisasi-organisasi perempuan yang baru yang
tunduk pada kepatuhan terhadap laki-laki dan jauh dari dari aktivitas politik:
yakni Dharma Wanita; Dharma Pertiwi; PKK dan lain-lain.
Usaha
men-subordinasikan “gerakan” perempuan di bawah kontrol Soeharto ini
menghasilkan organisasi perempuan yang menjauhkan diri dari aktivitas politik.
Sama seperti sejarah SPSI masa Orde Baru, yang dibuat khusus untuk merangkul
kaum buruh di bawah organisasi yang manut pada penguasa.
Gerwani:
Integrasi Penuh Bersama Kaum Buruh dan Tani
Menilik
dari sejarahnya, dari sekian banyak organisasi perempuan yang berhasil tumbuh
dengan kuat sebelum 1965, Gerwani adalah salah satunya. Organisasi perempuan
ini membedakan diri dengan perhatiannya terhadap hak-hak kaum buruh dan tani
perempuan. Gerwani adalah simbol perlawanan perempuan terhadap penguasa. Tidak
heran, bila penguasa menganggap Gerwani adalah sasaran yang wajib dibasmi
sampai ke akarnya, karena politiknya yang revolusioner.
Gerwani
sendiri awalnya adalah Gerwis, yang berdiri tahun 1950. Atas inisiasi dari 6
organisasi perempuan, yakni: Rukun Putri Indonesia (Rupindo-Semarang);
Persatuan Wanita Sedari-Surabaya; Isteri Sedar-Bandung; Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwindo-Kediri); Wanita Madura; dan Perjuangan Putri Republik
Indonesia-Pasuruan.
Pada
dasawarsa akhir 1950, Gerwis punya 500 anggota. Dan 4 tahun kemudian meningkat
menjadi 80.000 anggota. Lewat Kongres pertamanya pada tahun 1954, Gerwis
memutuskan untuk mengubah nama menjadi Gerwani. Hal ini sejalan dengan politik
PKI, dimana Gerwani membanting setir dari yang awalnya organisasi kader menjadi
organisasi massa perempuan.
Keterlibatan
Gerwani dalam kancah politik nasional menandai level politik gerakan perempuan
pada masanya. Seperti PKI yang punya koran Harian Rakjat, Gerwani punya
koran politik Berita Gerwani dan Api Kartini. Lewat koran,
anggota dapat mendiskusikan masalah yang mereka hadapi, seperti perjuangan
penghapusan poligini, cuti haid, upah yang setara untuk kerja yang sama yang
dilakukan oleh laki-laki dan lain sebagainya. Dalam Api Kartini, dikritiki
juga masalah pengaruh buruk film-film yang diimpor dari budaya Barat yang
liberal dan bermutu rendah.
Di
sepanjang tahun 1961, tahun-tahun yang penuh gejolak, dimana harga-harga barang
melambung dengan harga tidak masuk akal, Gerwani tampil di baris depan, tidak
hanya berteriak di pinggir. Di kota-kota, mereka beraliansi dengan SOBSI,
menyelesaikan persoalan kaum buruh. Jika ada buruh wanita dipecat karena
menggunakan hak cuti haidnya, maka Gerwani dan SOBSI bergerak menyelesaikan
soal ini bersama.
Sekitar
tahun 1960an, undang-undang land reform diperjuangkan. Gerwani ikut
andil dalam aksi itu, berhadap-hadapan langsung dengan traktor tuan tanah yang
mengusir petani dari tanah garapannya. Di desa-desa Gerwani bersama dengan BTI
(Barisan Tani Indonesia) bekerja sama, atas nama kaum perempuan buruh-tani.
Semua hal yang dilakukan Gerwani bersifat politik, dan kelas penguasa membenci
hal itu. Dalam kasus tertentu, mereka juga berhadapan dan ditembaki oleh
tentara.
Keinginan
untuk membangun gerakan massa dengan basis perempuan menjadi agenda penting
dalam program politik Gerwani. Mengikuti jejak PKI, membangun front dari bawah
untuk menekan pemerintah. Kesadaran bahwa Sosialisme-lah yang dapat menjamin
tuntasnya masalah-masalah perempuan dipahami sebagai jalan satu-satunya. Mereka
mengenali bahwa musuh sebenarnya bukan laki-laki melainkan kapitalisme itu
sendiri.
Gerakan
Perempuan Paska 65
Untuk
dapat membangun kembali gerakan perempuan yang progresif, kita menanggung beban
penghancuran sejarah gerakannya sendiri yang secara ideologi telah remuk.
Selama 32 tahun di bawah represi Orde Baru, dan 50 tahun memori pahit tragedi
berdarah, gerakan perempuan mesti menyusun kembali ideologinya dari puing-puing
penghancuran sejarah gerakannya yang berserakan.
Masalah
lain yang dihadapi adalah feminisme liberal. Tanpa mengurangi rasa simpati kita
pada model perjuangan mereka, kita mesti melihat bagaimana pendekatan mereka
terhadap masalah perempuan. Pendekatan feminisme liberal membuat rancu
perjuangan kelas. Tuntutan kesetaraan dalam bidang apapun menjadi fokus
perjuangannya. Selain itu kesimpulan bahwa akar dari semua masalah mereka
adalah laki-laki, merupakan pandangan sempit yang dapat memundurkan perjuangan
perempuan ke level yang berbeda. Ideologi ini mengalihkan perempuan dari fokus
masalah dan akar penindasan, sehingga kita perlu mengambil jeda selangkah untuk
mengklarifikasi gagasan.
Persoalan
pembebasan perempuan dan revolusi justru tersatukan dalam tali-temali yang
sama. Dalam perspektif Marxis, kita melihat persoalan pembebasan nasional dan
penindasan perempuan dalam bingkai garis kelas. Untuk itu, perjuangan perempuan
tidak bisa memisahkan diri dari gaung pembebasan kaum tertindas lainnya.
Seperti
halnya, kaum buruh yang diperas keringatnya guna menghasilkan pundi-pundi nilai
lebih, logika kapitalisme juga menghendaki kaum perempuan diletakkan secara
sub-ordinat di dalam masyarakat kelas, yakni mengembalikannya ke dalam proses
produksi dan sumber bagi tenaga kerja yang bisa diupah murah. Di sisi lain,
perempuan juga dilihat sebagai penyuplai cadangan tenaga kerja baru bagi
generasi buruh berikutnya, yang siap menggantikan bapak ibunya.
Dengan
segala hambatan yang ada, pembangunan gerakan perempuan harus dihubungkan
dengan tuntutan perjuangan kelas. Kita memulai dari tuntutan-tuntutan minimal
dan menariknya menjadi tuntutan maksimal; dalam kata lain, menggunakan tuntutan
sehari-hari dan ekonomis, lalu menariknya ke tuntutan politik. Gerakan
perempuan revolusioner yang sudah dihancurkan oleh kontra-revolusi 1965 harus
dibangun kembali, karena Sosialisme akan mustahil kalau tidak melibatkan
perjuangan kaum perempuan, sebagai lapisan kelas pekerja yang paling tertindas.
0 comments:
Post a Comment