Showing posts with label Feminist. Show all posts
Showing posts with label Feminist. Show all posts
Friday, March 26, 2021 0 comments

Bersama Sosialisme, Perempuan Lebih Bahagia

            Di suatu hari, 1997, Jake gembira. Ia berhasil merekrut seorang perempuan untuk posisi strategis di perusahaan start up-nya. Dalam wawancaranya, perempuan ini berhasil mengalahkan dua finalis laki-laki yang juga sangat kualified. Namun setelah mendengarkan ocehan para feminis, Jake meyakinkan bosnya untuk merekrut perempuan ini. Di kemudian hari, ia memang terbukti cerdas, kompeten, dan pekerja keras. Perusahaan Jake berkembang pesat. Setelah mendapatkan promosi jabatan, perempuan ini mengumumkan dirinya hamil. Inilah awal lahirnya bencana.

Perusahaan start up Jake tidak mempunyai kebijakan cuti hamil (maternity leave). Dengan berat hati, perusahaan memberikan cuti hamil 12 minggu dengan gaji penuh.

Thursday, January 7, 2021 0 comments

Sekaleng Coca-Cola dan Realita (2)

 

DALAM artikel sebelumnya kita telah membahas bagaimana bentuk masyarakat hari ini mampu dikenali hanya melalui sekaleng Coca-Cola. Masyarakat yang kita maksud tentu merupakan kumpulan dari relasi-relasi manusia dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bayangkan saja pemandangan orang yang berlalu-lalang di Shibuya, Time Square, atau Stasiun Dukuh Atas. Ratusan hingga ribuan orang dari latar belakang berbeda, pekerjaan yang berbeda dan dengan urusannya yang juga berbeda bertemu di suatu waktu dan tempat yang sama. Siapa yang membuat kemejanya? Siapa yang menyiapkan sarapannya tadi pagi? Atau bahkan siapa yang membuat mereka sampai bertemu di saat yang bersamaan di sana? Keterkaitan dan kesalinghubungan antar orang atau antar kelompok orang itu bersifat kasat mata.

Sehingga yang menampak cuma suatu kumpulan orang banyak yang memenuhi suatu tempat pada waktu tertentu. Seperti itulah kiranya suatu masyarakat. Lantas apa yang membuatnya hadir dan bertahan? Tentu karena ada manusianya, tapi ada yang lebih esensial di balik manusia-manusia itu. Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.

Wednesday, December 30, 2020 0 comments

Pandemi Korona Menguak Wajah Kita

 

Dua fenomena yang muncul saat wabah korona merambah di Indonesia adalah sulitnya mengatur penjarakan sosial (social distancing), namun pada saat yang sama muncul pula gerakan volunterisme yang dianggap sebagai cerminan gotong royong. Masyarakat berbondong membuka dapur umum, menyisihkan uang dan barangnya untuk membelikan masker, APD, ventilator. Pertanyaannya adalah, mengapa penjarakan sosial cukup sulit di lakukan di Indonesia? Apakah gotong royong dan voluntarisme, adalah sifat alami dari masyarakat Indonesia atau ia reaksi terhadap kondisi politik ekonomi saat ini?

Mengapa Social Distance Sulit Diterapkan

Sulitnya penerapan social distancing bukan karena watak esensial masyarakat kita yang komunal. Kerekatan sosial adalah reaksi terhadap corak pemerintahan kita yang selama ini minim dalam menyediakan sistem kesejahteraan terhadap masyarakatnya.

Wednesday, December 9, 2020 0 comments

Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona


 “Modal bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh. …

Tidak ada kapitalisme tanpa gerak.”

—David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, 2010, 12

PERUBAHAN besar sedang terjadi di seluruh dunia. Kekayaan dari sebuah dunia di mana moda produksi kapital-finansial mendominasi tampil dalam wujud unggunan surat-surat: kontrak dagang, kontrak kerja, kontrak kerjasama finansial. Seluruh surat-surat itu ditutup dengan sebuah pasal tentang keadaan kahar (force majeure): “apabila terjadi hal-hal yang berada di luar kendali para pihak, maka perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku selama hal-hal itu terjadi.” Seorang pekerja tidak bisa dituntut untuk terus bekerja seturut kontrak apabila, misalnya, gempa bumi menelan habis pabriknya. Perekonomian dunia saat ini sedang dihadapkan pada keadaan kahar itu: COVID-19. Berbeda dengan keadaan kahar biasanya, kali ini kita menghadapi sebuah keadaan kahar universal, suatu universal state of exception.

Saturday, June 13, 2020 0 comments

Kritik Alexandra Kollontai atas Prostitusi

AKHIR-AKHIR ini kita kerap menyaksikan pembahasan soal isu prostitusi di berbagai media. Mulai dari penertiban kegiatan prostitusi jalanan hingga penggrebekan prostitusi online. Dari sana, muncul suatu perdebatan tiada akhir di antara para hakim moral. Di satu sisi terdapat pihak yang menyalahkan sang pelaku prostitusi, namun di pihak yang lain beranggapan bahwa para pengguna jasalah yang patut disalahkan. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Jika penasaran, rekaman dari perdebatan para hakim moral ini bisa Anda temukan di youtube dalam beberapa acara talkshow televisi lokal atau setidaknya dapat ditemukan di antara cuitan-cuitan bebas dalam dunia Twitter.

Sebagai pembelajar Marxis, di mana kira-kira posisi kita dan bagaimana kita menyikapinya?

Sebelum menjawab bagaimana menyikapi prostitusi, sebaiknya kita berkonsultasi dahulu kepada ahlinya. Untuk itu dalam kesempatan di bulan Maret 2020 yang penuh gegap gempita Hari Perempuan Sedunia ini, saya akan mengajak Anda berkenalan kembali dengan salah satu tokoh perempuan revolusioner bernama Alexandra Mikhailovna Domontovich atau sering kita kenal dengan nama Alexandra Kollontai. Melalui beliaulah kita akan belajar menghadapi persoalan yang bias antara logika dan moral tersebut.

Saturday, March 14, 2020 0 comments

Rosa Luxemburg: Sang Pedang Revolusi


Banyak sudah tulisan yang memahat nama agung perempuan ini, seorang pemimpin partai revolusioner Jerman (SPD); jurnalis dan penulis tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Rosa Luxemburg, tak hanya di Jerman, namanya abadi pula dalam perjuangan revolusioner di Polandia dan Rusia. Sebarisan karya-karya besarnya menjadi bagian dari penggerak perubahan sejarah. Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia teguh berjuang demi tegaknya sosialisme.
Berakhir tragis. Setahun setelah revolusi Bolsyevik yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim Hitler menamatkan riwayatnya. Tengah malam pada Januari 1919, setelah menjalani perburuan panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, -- kawan-kawannya-- ia ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke penjara mereka disiksa habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam dengan popor senjata, remuk. Belum selesai di situ, kepala perempuan yang sarat pikiran-pikiran radikal ini dihujani berpuluh-puluh peluru.
Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo Jogiches, kawan karib sekaligus kekasihnya,  terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri tertangkap dan dibunuh tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat Luxemburg. Baru pada bulan Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung, tersangkut di tiang pancang jembatan, di sebuah sungai di pinggiran kota Berlin.
Friday, October 25, 2019 0 comments

Posisi Perempuan dalam Jerat Kapitalisme: Kembali pada Analisis Kelas


Judul Buku : Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression 
Penulis         : Tithi Bhattacharya (ed.) 
Penerbit       : Pluto Press.Press, 2017 
Tebal             : xii + 250 halaman
 
Di dalam masyarakat kapitalisme, kerja-kerja reproduksi sosial seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah masih selalu dikonstruksikan secara sosial sebagai tanggung jawab individu perempuan (semata). Pengemban tanggung jawab tersebut ialah seorang istri/ibu; sementara suami/ayah dikonstruksikan secara sosial sebagai seorang yang hanya berkewajiban mencari nafkah.
Konsekuensinya, para perempuan selalu disibukkan dengan kerja reproduksi sosial di samping pekerjaan mereka di bidang lainnya (jika ada). Selain itu, konstruksi sosial ini menyebabkan pembagian gender yang asimetris di tengah-tengah masyarakat (Coontz, 1986).[1]
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi tersebut tergambar dengan nyata, misalnya, dalam sebuah akun Instagram bernama @blacklistnannys. Melalui akun Instagram @blacklistnannys, para perempuan[2] ‘ex-majikan’ mem-blacklist para mantan ‘mbak’[3] dan ‘sus’[4] yang pernah bekerja di keluarga mereka dengan cara mem-posting foto dan kekecewaan (dan seringkali kemarahan) mereka terhadap para ‘mbak’ dan ‘sus’ tersebut. Melalui pengelola akun @blacklistnannys tersebut, para perempuan ‘majikan’ mengunggah foto sang ‘mbak’ atau ‘sus’ yang di blacklist sambil mendeskripsikan kesalahan-kesalahan yang diperbuat (dalam caption foto tersebut). Harapannya: agar para perempuan ‘majikan’ lain yang disebut dengan ‘moms’, yang akan mempekerjakan ART atau nanny, tidak merekrut mereka.
Friday, May 31, 2019 0 comments

Pembebasan Perempuan dalam Sosialisme


Emansipasi. Kita sering mendengar istilah tersebut. Tak jarang pula istilah tersebut dihubungkan dengan perempuan. Ya. Emansipasi perempuan. Lantas, apakah artinya? Emansipasi berarti pembebasan atau pemerdekaan. Karena itu, emansipasi perempuan berarti pembebasan atau pemerdekaan kaum perempuan. Ya, pembebasan dari penjara-penjara yang membuat perempuan menjadi manusia klas dua, dengan kedudukan serta harkat dan martabat yang lebih rendah daripada laki-laki. Ya, pembebasan dari belenggu-belenggu yang membuat perempuan tidak dapat beraktualisasi atau mewujudkan dirinya sendiri.

Feminisme dan Sosialisme
Sejak Marx dan Engels, Sosialisme selalu berkomitmen terhadap pembebasan perempuan. Dalam hal ini, Sosialisme sejalan dengan gerakan-gerakan perempuan yang lazim dinamakan Feminisme. Tapi Sosialisme dan Feminisme memiliki pendekatan dan visi yang sangat berbeda. Bagi kaum Feminis, terutama kaum Feminis Liberal, perempuan hidup dalam suatu masyarakat di mana laki-laki menindas perempuan. Penindasan itu berakar di dalam kodrat laki-laki. Ada sesuatu di dalam struktur biologis dan psikologis laki-laki yang membuat mereka memandang dan memperlakukan perempuan sebagai manusia yang lebih rendah. Pandangan dan perlakuan itu kemudian diwujudkan dalam patriarki, tatanan masyarakat yang di dalamnya laki-laki berkuasa dan kaum perempuan tunduk pada kekuasaan laki-laki. Dengan demikian, perempuan menjadi manusia klas dua. Hak-hak politik, ekonomi, dan sosialnya tidak setara dengan laki-laki. Bahkan perempuan tidak memiliki kuasa atas tubuh dan seksualitasnya sendiri. Karena itu, kaum perempuan harus bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mengakhiri penindasan laki-laki terhadap mereka.
Friday, May 10, 2019 0 comments

Keterwakilan Kaum Perempuan dalam Parlemen dan Kebijakan Afirmatif


Tahun 2018 didominasi oleh gerakan #MeToo yang sungguh mengguncang semua sendi masyarakat. Kaum perempuan yang lama diam dan tunduk kini menemukan suaranya. Segala bentuk penghinaan, diskriminasi, pelecehan dan kekerasan yang mereka alami sejak mereka lahir, entah di tempat kerja, di sekolah, atau bahkan di rumah mereka sendiri dimana mereka seharusnya merasa aman, kini menjadi tak tertanggungkan. Mereka menuntut keadilan.
Bermula dari Amerika Serikat, gerakan #MeToo menyebar ke seantero dunia. Gaungnya pun  sampai ke Indonesia, walau tidak sekeras di AS. Misalnya kasus pemerkosaan Agni, seorang mahasiswi dari Universitas Gadjah Mada, yang tidak hanya menarik perhatian publik tetapi juga memercikkan kampanye anti kekerasan seksual di banyak kampus lainnya.
Namun yang terutama gerakan #MeToo mendorong banyak orang untuk bertanya mengenai akar penindasan terhadap kaum perempuan dan solusi terhadapnya. Kaum perempuan yang matanya mulai terbuka tidak bisa tidak bertanya mengenai posisinya dalam masyarakat. Partisipasi kaum perempuan dalam masyarakat, entah dalam ranah politik, ekonomi, kebudayaan, sains, dsb., sepanjang sejarah umumnya sangat rendah. Ini merupakan indikator posisi perempuan dalam masyarakat, yang terjebak dalam kungkungan persalinan dan dapur.
Thursday, April 25, 2019 0 comments

Pekerjaan Domestik(Rumah Tangga), Membelenggu Perempuan?



Sejak kita kecil, peran kita di dalam keluarga sepertinya sudah disuratkan oleh takdir. Laki-laki bekerja mencari nafkah. Perempuan di rumah mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa kodrat laki-laki dan perempuan demikian adanya. Kadang-kadang jawaban yang diberikan tampak begitu mudah dan masuk akal: laki-laki fisiknya lebih kuat, oleh karenanya ia lebih cocok bekerja di luar, sedangkan perempuan itu lemah lembut dan lebih cocok bekerja di dalam rumah.
Namun jawaban dangkal ini dapat dengan mudah dipatahkan. Sudah banyak kita temui perempuan pemberani yang kemampuan fisiknya tidak kalah dengan laki-laki. Sebut saja Cut Nyak Dien sebagai satu contoh. Namun tidak perlu jauh-jauh. Di sekitar kita dengan mudah bisa kita temui perempuan-perempuan – dari kelas buruh, tani, dan miskin kota –yang tegar dan kuat, yang harus membanting tulang untuk sesuap nasi seperti laki-laki, dan kekuatan fisik dan semangat mereka tidak kalah. Hanya perempuan borjuis saja, yang sejak lahir bergelimpangan susu dan madu, yang tampil sebagai makhluk yang lemah.
Kapitalisme mengharuskan dilemparkannya jutaan buruh ke dalam pabrik-pabrik, tidak pandang bulu jenis kelamin karena motif kapitalisme hanya satu: memeras keringat untuk laba. Dalam situasi ini, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam pabrik. Selain itu, kemajuan teknologi membuat kerja di pabrik semakin mudah sehingga bisa dilakukan oleh siapapun, baik perempuan maupun laki-laki, bahkan anak kecil sekalipun.
Thursday, April 18, 2019 0 comments

Kontra-revolusi 1965 dan Kehancuran Gerakan Perempuan



Dalam cita-cita penumbangan kapitalisme dan pendirian negara buruh, kekuatan politik perempuan punya tempat yang tidak bisa diremehkan. Banyak revolusi dan peristiwa-peristiwa besar terjadi karena campur tangan mereka. Lenin sendiri mengatakan bahwa gerakan perempuan adalah fundamental bagi setiap keberhasilan revolusi proletar. Untuk itulah gerakan proletar tidak bisa tidak harus menyatu dengan gerakan pembebasan perempuan. Keduanya berdiri saling menyokong. Maka dari itu kelas penguasa paham bahwa kekuatan politik perempuan menjadi tiang penting yang harus dihancurkan berikut dengan ideologinya.
Demikian juga dengan peristiwa 30 September dan hari-hari setelahnya di awal tahun 1966. Penumpasan terhadap 3 juta orang, yang terdiri dari anggota, simpatisan dan leader-leader Partai Komunis Indonesia dilakukan secara sistematis. Dengan meminjam tangan-tangan sipil, pembantaian ini dibuat nampak seperti perang sipil. Yang baik melawan yang jahat. Yang beragama melawan kelompok (yang dituduh) anti-tuhan. Begitulah. Tak cukup dengan membunuh, pembalikan sejarah pun dibutuhkan untuk membangun fondasi Orde Baru. Orde ketakutan.
Dalam konteks Indonesia, peristiwa yang cocok kita sebut sebagai Genosida itu tidak melewatkan organisasi perempuan untuk dihancurleburkan, baik secara fisik maupun secara ideologis. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang diindikasikan dekat dengan PKI dan mempunyai 1,5 juta anggota itu ikut ditumpas. Tidak hanya dengan penyiksaan, pembunuhan dan perbuatan keji lainnya, tetapi juga dengan serangkaian fitnah, bahwa Gerwani adalah kumpulan perempuan-perempuan bermoral bejat, liberal dalam tradisi, dan terutama ikut barisan pendukung pembunuhan tujuh jenderal. Tidak mengejutkan bahwa kelompok kontra-revolusioner dapat menggunakan cara apapun, bahkan yang paling bengis sekalipun.
Wednesday, April 3, 2019 0 comments

Perempuan dalam Revolusi




Bagi kaum Marxis, akar masalah dari segala bentuk penindasan terdiri dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas. Tapi penindasan dapat mengambil banyak bentuk. Di samping penindasan kelas, kita menemukan penindasan satu bangsa di atas yang lain, penindasan rasial, dan penindasan terhadap perempuan.
Perkembangan industrialisasi abad 17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan keluarga. Dulu kala, sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian masyarakat kelas, perempuan dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada kerja rumah tangga dan berkutat di dalamnya.
Memasuki epos kapitalisme yang barbar ini, “kodrat” perempuan yang semula berkisar antara kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lengkap beserta kerja domestiknya, saat ini perannya mulai diperluas untuk menempati barak-barak pabrik, berjejer menjadi cadangan tenaga kerja,  bekerja sebagai buruh upahan meski upahnya tidak lebih tinggi daripada laki-laki meskipun porsi kerjanya bisa dibilang sama. Dalam logika kapitalisme, pada saat yang sama ini mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengungkung mereka dalam batasan keluarga tradisional, yakni bertugas menyiapkan buruh-buruh yang prima, generasi penerus yang menjadi cadangan tenaga murah di masa depan.
Saturday, March 23, 2019 0 comments

Kritik atas Feminis Liberal



"To alter the position of woman at the root is possible only if all the conditions of social, family, and domestic existence are altered."(Trotsky)
Diskursus pembebasan perempuan yang lahir dari feminisme liberal, yang hari ini sebagai diskursus mainstream, telah membawa angin segar bagi perubahan nasib perempuan di Indonesia. Paradigma berpikir feminisme liberal telah menginspirasi banyak gerakan perempuan di Indonesia untuk mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Tetapi ternyata, pola pikir dari arus feminisme yang lahir di Barat tersebut, ditinjau dari perspektif kelas, setidaknya, akan memunculkan dua cacat politik. Pertama, konsep ini akan menciptakan terpecahnya konsentrasi ‘perjuangan kelas’ dari perempuan kelas tertindas untuk membebaskan diri dari kapitalisme. Kedua, konsep ini akan membentuk perspektif dikotomik-gender yang tidak produktif, yakni sebuah perspektif yang memandang bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah musuh.
Feminisme liberal adalah bentuk modern dari feminisme. Feminisme liberal dikarakterisasikan dengan sebuah perjuangan yang individualistik mengenai kesetaraan. Menurut filsafat feminis ini, untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak perlu melakukan perbaikan besar di dalam masyarakat, melainkan hanya perlu mengubah kebijakan hukum yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk menjadi sama kedudukannya dengan laki-laki di dalam masyarakat. Bagi seorang feminis liberal, bukti kemajuan dalam perjuangan perempuan dilihat dari jumlah perempuan yang menempati posisi strategis-publik yang sebelumnya banyak ditempati oleh kaum laki-laki. Di Amerika Serikat dan di banyak negara Barat, arus feminisme ini, dengan sentuhan corak produksi kapitalis, akhirnya menjadi arus mainstream dalam gerakan pembebasan perempuan.
 
;