Wednesday, December 2, 2020

Pandemi Covid-19 dan Mendesaknya Internasionalisme Proletariat

Hingga tulisan ini disusun, tercatat sudah 2,5 juta lebih kasus infeksi dan 170 ribu korban meninggal di seluruh dunia karena pandemi Coronavirus desease 2019 (Covid-19). Dampak dari pandemi ini juga meluas ke berbagai sektor: ekonomi, politik, dsb.

Yuval Noah Harari menyatakan ini adalah krisis global terbesar dalam generasi kita yang datang secara mendadak. Tahun kemarin, mayoritas penduduk dunia belum mengenalnya. Kini, Covid-19 memperparah krisis sistemik  dalam kapitalisme yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Datangnya Covid-19 meluluhlantakkan perhitungan-perhitungan ekonom dalam menghadapi krisis sebelum datangnya Covid-19.

Bisa kita lihat melalui berbagai media, sendi-sendi penopang kehidupan manusia mulai mengalami kekacauan. Industri-industri kalang-kabut, kerugian dalam jumlah besar meluas, dan potensi sebagian besar bangkrut. Sementara itu, saat tulisan ini direview, jutaan buruh telah di-PHK [1] dan jutaan lainnya mengantri. Kita, mayoritas dari bagian penduduk dunia, berada dalam kondisi paling terancam (tertular virus, terkena PHK, tidak bisa memenuhi kebutuhan, dst.).

Respon pemerintah dalam menghadapi pandemi bukannya menjadi solusi, tapi malah memperuncing masalah. Bersamaan dengan itu, sistem kapitalisme yang telah lama diterapkan justru berpotensi menciptakan wabah-wabah yang lebih sering dan ganas. Seolah, tidak ada harapan bagi kita, umat manusia, untuk bisa lolos dari krisis ini tanpa kehilangan banyak pencapaian di berbagai bidang; ekonomi, politik, budaya, sains, seni dan tentunya populasi.

Berangkat dari kenyataan itu, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apa yang harus kita lakukan untuk menang dalam perang melawan pandemi saat ini? Upaya apa yang bisa kita tempuh untuk mengantisipasi wabah, bencana, dan sejenisnya yang berpotensi datang di masa depan?

Potensi Badai yang Lebih Besar

Tiap periode sejarah senantiasa terkait antara satu sama lain. Kehidupan sekarang memiliki hubungan dengan kehidupan sebelumnya. Ini suatu keniscayaan. Secara berkelanjutan, kehidupan hari ini pun akan menjadi penghubung, dan berkontribusi bagi kehidupan di masa mendatang.[2]

Terkait pandemi ini, Harari sekali waktu menegaskan, sebuah keputusan yang diambil pada periode tertentu dalam menghadapi “keadaan darurat”, dalam hal ini adalah pandemi yang menjadi krisis global, akan banyak berdampak pada kehidupan pasca pandemi.[3] Dalam “keadaan darurat” ini, segala hal yang tidak dapat diberlakukan dalam “keadaan normal” atau bahkan ditentang[4] bisa diberlakukan. Sebagaimana kita saksikan, beberapa negara hari ini melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Semisal, nasionalisasi industri-industri penting;[5] memberlakukan lockdown; dll.

Di Tiongkok, tempat pertama munculnya Covid-19, pemberlakuan lockdown juga disusul upaya peningkatan/pengetatan pengawasan. Pemerintahnya bekerja sama dengan beberapa perusahaan untuk membuat sistem kecerdasan buatan (Artificial Intelligence –AI). Dengan mengembangkan “sensor deteksi suhu tubuh” yang dikombinasikan dengan “sistem pendeteksi wajah”, sistem ini menuntut partisipasi rakyat Tiongkok untuk memasukkan data pribadinya secara sahih ke dalam sistem basis data berskala besar (Big data).[6] Dengan perpaduan AI dan Big data yang cepat, setiap rakyat Tiongkok dapat diketahui/dilacak pergerakannya. Sehingga antisipasi kemungkinan terjadinya kontak dengan pasien Covid-19 bisa dilakukan. Dengan begitu, potensi penyebaran Covid-19 dapat ditekan dan pandemi ini dapat dikalahkan.

Di sini, apa yang dikhawatirkan Harari patut dipertimbangkan dalam melihat kemungkinan yang terjadi pasca Covid-19. Ia menegaskan, pengawasan ketat hingga ke ranah privasi individu memang bisa digunakan untuk menghadapi pandemi ini. Namun, ibarat pedang bermata dua, ia juga dapat menjadi ancaman bagi kehidupan manusia setelahnya[7]. Terlebih dengan sistem ekonomi politik yang diterapkan saat ini, di mana seluruh sistem produksi dan reproduksi barang hanya didasarkan pada profit/laba semata. Pemberlakuan pengawasan secara ketat itu berpotensi melahirkan rezim pengawasan totaliter pasca pandemi. Dengan memanfaatkan kumpulan data pribadi individu yang telah diakses sebelumnya, hal itu bisa digunakan untuk memuluskan segala kepentingan ekonomi dan politik penguasa.

Di sisi lain, pada sektor ekonomi, potensi kebangkrutan sejumlah industri saat ini berada tepat di depan mata. Berbagai upaya pemerintah kapitalis pun dilakukan. Salah satunya dengan memotong pajak sementara untuk menutupi kerugian atau potensi kebangkrutan perusahaan. Di negara kita misalnya, ancaman ambruknya perekonomian tampaknya lebih mengerikan daripada Covid-19. Dua bulan lalu, presiden kita menyetujui subsidi pusat ke Pemerintah Daerah sebesar Rp3.3 triliun yang nantinya akan digunakan untuk membebaskan pajak hotel dan restoran.[8] Kebijakan ini diputuskan dalam rangka mengambil momentum krisis di Tiongkok akibat Covid-19, yang juga berimbas pada pemasukan negara dan industri-industri kapitalis. Di Amerika Serikat (AS), presiden Donald Trump bahkan menandatangani rencana stimulus sebesar $2 triliun dalam rangka mengatasi dampak Covid-19.[9]

Krisis dan kemungkinan ambruknya ekonomi ini sedang berlangsung. Kabar buruknya, selain menghantam perekonomian mayoritas manusia secara global, ia dapat dimanfaatkan untuk makin memperkokoh kekuatan ekonomi segelintir kapitalis. Klein dalam bukunya The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism[10], menyebut cara kerja ini sebagai “Kapitalisme Bencana” (Disaster Capitalism). Ia menggunakan istilah “Doktrin Kejut” (Shock Doctrine) untuk merujuk strategi politik yang menggunakan krisis skala besar untuk mendorong kebijakan sistematis guna memperdalam ketidaksetaraan (memperkaya para elit dan melemahkan orang lain). Covid-19 adalah bencana yang sempurna bagi sebagian kecil industri-industri kapitalis untuk mengambil kesempatan dalam persaingan bebas.[11]

Pada kasus ini, ketimpangan akan menjadi semakin lebar. Industri kecil akan dilumat oleh industri besar yang mampu bertahan. Implikasinya, modal/kekayaan akan semakin terkumpul dan terpusat ke segelintir kapitalis itu. Dengan itu, industri-industri besar mampu memanipulasi dan mengambil peran melalui berbagai praktek monopoli, kartel, sindikat, dan sebagainya secara signifikan.[12] Dalam kondisi ketimpangan ekonomi dan kemiskinan akut yang bahkan telah terjadi sebelumnya, wabah dan krisis ke depan bisa membuat hajat hidup umat manusia secara keseluruhan akan semakin tergilas oleh kekuatan minoritas kapitalis yang mengontrol kapital/kekayaan di tangannya. Sebagian hal ini telah kita saksikan sekarang saat wabah datang. Ketika barang kebutuhan pokok (pangan, sarana kesehatan, dll) dimonopoli beberapa persen manusia, dan kita semua harus tertatih untuk mendapatkannya. Sederhananya, kehidupan kita semua akan jauh lebih buruk dari hari ini. Sebuah badai dan kesengsaraan yang lebih besar akan berlangsung alot di masa depan.

Sains dan Solidaritas Antarmanusia

Memilah pengetahuan ilmiah dapat membantu kita meraih kemenangan dalam perang terhadap Pandemi Covid-19. Sejarah membuktikan, berulang kali umat manusia berhasil menang melawan wabah, virus dan bencana dengan memanfaatkan sains.[13]

Namun, cara pandang yang tidak “ilmiah” mendominasi segelintir elite politik di berbagai negara. Para politisi kita, diikuti tokoh publik lain (tokoh agama, aktris,dan sebagainya) kukuh menunjukkan ketidakminatannya untuk berpikir ilmiah. Kedatangan wabah justru disambut dengan sikap acuh dan guyonan konyol. Sejumlah peneliti dan pakar kesehatan yang mengklaim kemungkinan adanya kasus Covid-19 di Indonesia, justru direspon dengan amarah oleh pejabat di Jakarta.[14] Akibatnya, ketika ‘tsunami’[15] itu datang, solusi-solusi yang dilakukan untuk mengatasinya pun tidak matang. Mereka gagal memahami wabah hingga langkah mengatasinya sehingga merenggut satu per satu korban. Dengan pertimbangan ekonomis semata, melindungi kepentingan politik dan bisnis kroninya, mereka menyampingkan efek bencana yang berpotensi menewaskan ratusan ribu bahkan jutaan jiwa manusia.

Inilah salah satu kontradiksi dalam sistem kapitalisme hari ini. Sistem kapitalisme memang membawa kemajuan sains, teknologi dan berbagai penemuan modern secara pesat. Namun, ia juga membawa ancaman kehancuran yang dapat melemparkan kita, umat manusia, mundur jauh ke belakang, bahkan ke “barbarisme”, sebuah periode kekacauan dimana umat manusia saling menikam, individualistik, dan cenderung anti-kemajuan (anti-sains), seperti sikap anti sains yang ditunjukkan oleh segelintir politisi untuk melindungi kondusifitas bisnis.

Padahal, perkembangan sains dapat digunakan untuk menganalisis dan menguraikan urutan genetik yang berkaitan dengan hasil mutasi[16] dari virus corona baru (Novel Coronavirus – 2019-nCov).[17] Penelitian untuk melawan pandemi ini juga mulai menemukan beberapa informasi terkait pencegahan Covid-19. Melalui biologi anti-corona, para peneliti terus berusaha menemukan cara pencegahan dan penanganan sementara terhadap Covid-19.[18]

Namun, sains juga memiliki keterbatasan.[19]

Detik ini, penggunaan sains pada berbagai sektor kehidupan justru lebih sering dikembangkan bukan untuk tujuan membantu kehidupan manusia. Melainkan dikonversi menjadi laba, ataupun sebagai instrumen untuk mengintensifkan tingkat laba. Di sektor pangan misalnya, penggunaan sains justru berdampak negatif. Inovasi bahan pengawet buatan, pewarna makanan, penambah rasa dan aroma, serta berbagai zat berbahaya lainnya menciptakan segudang masalah. Bersamaan dengan itu, paksaan penumpukan modal/kekayaan dalam proses produksi mengakibatkan industri pangan dan industri-industri lainnya harus terus melakukan ekspansi dengan mendesak ruang hidup manusia, ataupun makhluk lainnya.

Upaya menggenjot produksi pangan juga berimplikasi pada penyeragaman di berbagai sektor, termasuk pangan. Alhasil, kita mengonsumsi pangan dan berbagai kebutuhan lainnya secara seragam. Di Indonesia pangan pokok diseragmankan menjadi beras. Kala beras yang tersedia mengalami penurunan secara kualitas (tidak layak atau bahkan berbahaya jika dikonsumsi), kita pun sama-sama mengalami penurunan daya kekebalan tubuh (antibody).

Mikroba/bibit penyakit (patogen) di sekitar kita sudah ada bersamaan dengan ada dan berkembanganya kehidupan di bumi. Selama berabad-abad, patogen ini hidup dan berjarak dengan kita. Mereka “terpelihara” oleh ekosistem di pedalaman hutan. Namun, perkembangan berbagai industri membuat ruang hidup mereka musnah.[20] Karena kehilangan ruang hidup, masuklah mereka ke ruang hidup kita. Patogen akhirnya menjadi rekan hidup kita sehari-hari, sehingga kita menjadi semakin rawan sakit. Jika patogen mengalami mutasi dan kemudian berevolusi,[21] ia bisa menjadi sangat ganas. Dengan kondisi tubuh yang rentan dan cenderung seragam, manusia berpotensi makin masif memanen bencana dalam periode-periode selanjutnya

Tuntutan untuk memasifkan produksi dan pasar bagi industri-industri kapitalis turut menyeret sains menjadi senjata mematikan. Berbagai penemuan sains yang awalnya ditujukan untuk kemanusiaan, berubah menjadi senjata menakutkan. Misalkan, Fusi Nuklir, Sarin Gas, Zyklon B, Ekstasi, dan berbagai penemuan mutakhir lain yang dimonopoli negara-negara kapitalis untuk menjaga nafas kehidupan sistem kapitalisme.

Senasib dengan sains, solidaritas antar manusia juga menemui hambatan-hambatan. Kehidupan bersaing, saling menikam, mencaplok untuk bisa mendapatkan keuntungan membuat kita seolah membutuhkan “polisi moral” yang mengawasi dan mengontrol tingkah laku. Sialnya, orang-orang kaya pemilik industri-industri besar menyuap “polisi moral” ini. Tidak heran, selama mereka berderma, memberi beasiswa, membangun rumah ibadah, mendirikan badan amal dan memberikan santunan ke pesantren, kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka ciptakan bukanlah sesuatu pelanggaran hukum bagi “polisi moral”.

Singkatnya, sains dan solidaritas semata bukanlah solusi utama mengatasi pandemi ini. “Keadaan darurat” yang lebih makin dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita.

Internasionalisme

Pandemi Covid-19 adalah problem dunia. Covid-19 tidak mengenal identitas warga negara, ia menyerang siapa saja. Untuk itu, cara pandang indivualistik dan nasionalisme yang sempit dalam menyelesaikan pandemi ini mesti segera diubah. Kita tidak membutuhkan lagi identitas yang bersekat. Yang kita butuhkan adalah kerjasama sebagai warga negara dunia.

Dalam lingkungan yang lebih “kecil”, mesti kita uraikan sekat pembatas antara desa dan kota yang selalu disalahartikan. Di mana kota selalu diidentikan dengan kemajuan, sementara desa sebaliknya. Kita tahu bahwa kota mengakses segala kebutuhan dengan berbagai fasilitasnya dari desa maupun dari kota lainnya. Sementara desa, meskipun mensuplai banyak kebutuhan di kota, tidak memiliki akses pada kebutuhan dan fasilitas yang hanya tersedia di kota. Padahal, rakyat di desa juga membutuhkan berbagai falisitas yang ada di kota; rumah sakit, transportasi, sekolahan yang layak atau bahkan sinyal dan televisi. Ketika seseorang di desa terinfeksi Covid-19, maka yang ia butuhkan adalah sama dengan kebutuhan orang di kota yang terinfeksi. Sehingga yang menjadi masalah, salah satunya adalah akses terhadap fasilitas-fasilitas yang pada kenyataanya hanya bisa didapatkan melalui perjuangan di kota-kota beberapa negara.

Agar rakyat di desa dapat mengakses fasilitas-fasilitas tersebut, bukan berarti kita mesti membangun fasilitas-fasilitas di desa persis sebagaimana dengan yang ada di kota. Itu sama dengan mencoba untuk membangun gedung WTC (World Trade Center) di Indonesia atau bahkan Kakbah di Amerika Serikat, Tembok Ratapan di Iran, Wall Street di West Papua, dan seterusnya. Kita tidak membutuhkan produksi ruang-ruang mubadzir yang diproduksi demi perolehan laba oleh sistem (kapitalisme) seperti itu.[22]

Sehingga, solusi dari permasalahan tersebut (ketimpangan wilayah), adalah akses terhadapnya, seluas-luasnya atau tanpa sekat, yang didasarkan pada kebutuhan. Jika memang pada suatu wilayah membutuhkan adanya saluran air bersih, maka wilayah tersebut harus mendapatkannya. Jika membutuhkan rumah sakit, maka rumah sakit tersebut harus tersedia dan dapat diakses oleh rakyat seluas-luasnya. Kita harus menguraikan ketimpangan populasi antar desa dan kota karena ini pula yang membuat Covid-19 mudah menyebar dan menginfeksi manusia, dari terpusat di perkotaan lalu menyebar ke pedesaan melalui fenomena mudiknya kaum urban.

Jika kita lihat secara nyata (situasi objektif), pusat-pusat ekonomi terletak di wilayah perkotaan. Mayoritas beranggapan mendapat kehidupan yang lebih baik jika bekerja di sana. Tidak heran jika perpindahan suatu kelompok masyarakat (urbanisasi, imigrasi, dst.) kerap terjadi secara besar-besaran. Kita juga sering mendengar adanya imigran-imigran dari luar (pekerja dari Tiongkok, Jepang, dsb.) yang mencari kehidupan di negara kita.

Kepadatan penduduk kota tidak terjadi tanpa sebab. Industri-industri berani mendirikan pabrik-pabrik dan perkantoran di wilayah yang memadai secara infrastruktur demi perolehan laba, sehingga memunculkan ketimpangan penduduk dan pembangunan antar wilayah.[23] Dengan demikian, sekali lagi, tugas kita adalah menghilangkan ketimpangan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Menghancurkan hambatan-hambatan dengan kerja sama yang luas yang didasari kerangka saling membutuhkan.

Sejalan dengan itu, harapan dan kepercayaan terhadap sains sebagai opsi untuk perang melawan Covid-19, hanya bisa dan optimal dilakukan jika di dalamnya kita mendapatkan akses seluas-luasnya. Seluruh penduduk dunia memperoleh hak yang sama untuk berperan dalam kerja-kerja perjuangan melawan Covid-19 berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Seorang ilmuwan di AS misalkan, ia bisa mendapatkan akses terhadap penelitian terkait Covid-19 dari ilmuwan di Inggris, Tiongkok, Kuba, dan di wilayah-wilayah lainnya, begitu juga sebaliknya. Lebih lanjut industri yang memproduksi kebutuhan medis di Italia juga memperoleh bahan baku dari Indonesia, Kuba dst, serta mendistribusikan produknya ke berbagai wilayah lain yang membutuhkan. Begitu juga dengan kebutuhan lainnya.

Dengan demikian, seluruh hambatan-hambatan yang membuat sains tidak bisa dikembangkan untuk kemanusiaan secara luas, kekhawatiran akan munculnya rezim pengawasan totaliter karena akses informasi yang hanya terbatas pada segelintir, atau bahkan ketakutan akan adanya sekelompok serikat (monopoli; kartel, sindikat dsj.) kapitalis yang mengambil keuntungan dalam krisis global ini, dapat dimusnahkan.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana hal itu bisa diwujudkan?

Perjalanan yang Panjang

Selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, manusia telah dipasung dan dipenjara oleh sistem yang mendasarkan dirinya pada laba dan persaingan bebas—kapitalisme. Dengan demikian, bagaimana bisa kemanusiaan mengalahkan orientasi perolehan laba sistem kapitalis?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa belajar pada Kuba.

Untuk membantu para penduduk melawan Covid-19, lebih dari 25.000 dokter profesional beserta petugas kesehatan dari Kuba dikirim ke lebih dari 50 negara di dunia – termasuk negara-negara “miskin” di Amerika Latin dan Afrika.[24] Para dokter Kuba sendiri tidaklah kebal terhadap Covid-19. Bahkan di Kuba juga terdapat kasus infeksi Covid-19.[25] Namun hal tersebut tidak membuat pola pikir Kuba menolak untuk melakukan solidaritas bahkan dengan resiko yang nyata.[26]

Kuba memang terkenal dengan kemajuannya di sektor kesehatan, termasuk dengan melimpahnya jumlah dokter profesional yang dimilikinya. Bahkan, setiap ada bencana yang membutuhkan pertolongan medis dalam skala besar, Kuba selalu siap dengan tentara dokternya. Pada tahun 2006 misalnya, ketika Yogyakarta dihantam oleh gempa, Fidel Alejandro Castro Ruz – pemimpin Kuba – lantas menawarkan bantuannya. Tak perlu administrasi yang rumit dan segudang perjanjian yang mencekik[27], kurang dari 3 hari para dokter itu tiba di negara kita. Tidak hanya itu, ketika tsunami Aceh (2004), atau ketika El Savador diserang demam berdarah (2000), gempa bumi di Haiti (2010) dan berbagai krisis serta bencana lainnya di dunia, jika dibutuhkan, para tentara dokter Kuba siap membantunya.

Mengapa Kuba bisa melakukannya?

Kualitas kesehatan (kualitas dokter dan petugas medis) di Kuba telah terkenal maju, bahkan sejak masa rezim diktator Fulgencio Batista y Zaldívar (1952-1959). Hal tersebut karena sistem pendidikan kesehatan di Kuba mengadopsi sistem di AS. Namun, sebagaimana yang terjadi juga pada negara-negara kapitalis, dokter di Kuba pada rezim Batista hanyalah seorang profesional yang ingin bekerja dan mendapatkan gaji yang besar. Mereka hanya melayani orang-orang kaya dan borjuis-borjuis di kota. Sehingga orang-orang miskin di desa tidak mendapatkan pelayanan yang memadai.[28] Pasca Batista digulingkan dan Fidel naik ke pemerintahan, Ernesto Guevara Lynch, atau yang kita kenal dengan Ernesto Che Guevara, rekan Fidel sekaligus Menteri Perindustrian dan Manajer Ekonomi, merubah sistem kesehatan dan cara pandang para dokter di Kuba.

Pada masa-masa awal pemerintahan, Fidel dan Che menyadari bahwa para dokter Kuba hanya berorientasi pada keuntungan dan cenderung individualistik. Akhirnya Kuba mengeluarkan beberapa peraturan. Di antaranya mengganti kurikulum dan metode pendidikan yang sebelumnya tidak sesuai dengan kehidupan nyata (kondisi material). Selain itu, juga diberlakukan pendidikan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat.[29] Banyak dokter Kuba awalnya tidak menerima peraturan tersebut. Inilah fase-fase sulit yang dilalui Kuba. Akan tetapi, akhirnya Kuba berhasil menanamkan benih “kemanusiaan” pada kehidupan rakyatnya.

Para dokter Kuba yang sebelumnya (di rezim Batista) hanya berorientasi pada profit dipaksa turun ke desa-desa, ke gubuk-gubuk reyot, untuk mengobati para penduduk di sana. Para dokter yang hanya berorientasi pada keuntungan tentu akan menolak. Akan tetapi, mereka yang berpegang pada kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya saling membutuhkan akan berangkat dengan senang hati. Apalagi, para dokter tersebut menerima pendidikan dokter secara gratis, yang di negara lain pada umumnya terkenal mahal. Pengalaman tersebut merubah pola pikir rakyat Kuba; bahwa kehidupan dan kerja sosial tidak semestinya didasarkan pada orientasi profit (keuntungan; kekayaan), melainkan didasarkan pada kebanggaan atas pelayanan yang diberikan bagi kehidupan sesama manusia.

Inilah salah satu dari sekian banyak pelajaran berharga yang diberikan Kuba ke seluruh dunia di tengah pandemi Covid-19. Memang, Kuba adalah negara kecil dan miskin jika dibandingkan dengan negara-negara kapitalis seperti AS ataupun Inggris. Terlebih, Kuba harus berhadapan dengan berbagai sanksi dan embargo ekonomi dari AS.[30] Akan tetapi hal tersebut nampaknya tidak menjadi halangan bagi tumbuhkembangnya kemanusiaan di Kuba, dan menyebarluaskannya ke berbagai penjuru dunia.

Kita memang tidak perlu untuk mencontoh Kuba secara keseluruhan. Namun kita mesti belajar secara mendasar dari beberapa periode yang telah dilalui oleh Kuba dan membandingkannya dengan beberapa negara-negara kapitalis yang berdiri di atas penjajahan atas negara yang lain.[31] Pelajaran-pelajaran dasar yang ditunjukkan Kuba tersebu saat ini telah dibuang dari negara kita[32], dijauhkan, dan difitnah oleh para penguasa, kapitalis, dan pemuka agama yang kolot dan anti-sains. Pelajaran (sains) berharga tersebut ialah “Sosialisme” yang di dalamnya memuat solidaritas antar manusia, penghapusan ketimpangan sosial dan seterusnya.[33]

Hari ini, yang perlu kita lakukan adalah membuang ketakutan, mengambil pelajaran tersebut, serta membersihkannya dari berbagai tuduhan tidak berdasar yang selama ini diciptakan dan disebarkan dengan penuh kengerian. Dengan mempelajari dan memahaminya, kita akan mengetahui bahwa segala permasalahan, termasuk ketimpangan sosial yang terjadi bukan hanya didasarkan pada perbedaan kekayaan/pendapatan, tetapi bersumber dari ketimpangan kepemilikan atas alat-alat produksi (sains, teknologi, mesin-mesin, tambang, tanah, dan sebagainya). Inilah yang membuat kita, mayoritas manusia, harus menggantungkan hidup pada pemilik alat-alat produksi melalui upah/gaji bulanan, yang sialnya kita hanya akan mendapatkannya jika kerja kita mampu memperbesar laba. Kerja kita, para buruh, menjadi tidak berarti, tidak ditujukan untuk kerja-kerja kemanusiaan.

Para buruh yang bekerja di laboratorium (ilmuwan), misalnya, apakah mereka memiliki kontrol atas alat-alat produksi (atas modal, atas laboratorium, mesin-mesin, dan teknologi di dalamnya)? Apakah kerja mereka didasarkan untuk membantu kehidupan seluruh manusia? Mengapa kita harus bekerja, membuat rokok, membuat baju, makanan, besi, minyak, dst., yang begitu melimpah melebihi kebutuhan, akan tetapi sangat mudah kita temukan orang-orang kelaparan, tidak sekolah, tidak punya rumah, mengemis, dan seterusnya?

Pada April 1955, Edward R. Murrow mewawancarai Jonas Edward Salk, penemu vaksin Polio. Dalam wawancara tersebut ia bertanya mengenai hak paten atas vaksin yang ia temukan. Dan jawaban Salk mengejutkan banyak orang waktu itu; “[…] Tidak ada paten, bisakah anda mematenkan matahari?”. Akan tetapi, para borjuis dan corong medianya menganggap keputusan Salk adalah hal bodoh.[34] Tidak ingatkah kita apa yang mendasari pertanyaan yang diajukan pada Jonas Salk?

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kerja kita selama ini tak lain hanya menumpuk kekayaan pada segelintir kapitalis. Produksi dan reproduksi yang signifikan akhirnya mengabaikan dampak lingkungan dan kehidupan kita.

Dengan demikian, tugas kita saat ini dalam perang melawan pandemi adalah membangun solidaritas di antara mayoritas manusia yang tidak memiliki hak milik atas alat-alat produksi, yakni para pekerja, para buruh, yang mana merupakan kelas dalam struktur sosial yang paling dirugikan. Solidaritas tersebut tidak hanya terbatas di pabrik-pabrik, di desa-desa atau di kota-kota, akan tetapi, tetapi harus dibentangkan seluas-luasnya ke seluruh buruh di planet bumi, ke seluruh umat manusia, sebagaimana dicontohkan para dokter Kuba.

Dari sini, perjuangan melawan Covid-19, secara integral berhubungan dengan perjuangan untuk menanamkan kemanusiaan pada kehidupan kita. Itu hanya bisa dilakukan oleh kita, para pekerja, para ilmuwan, para sopir, kuli, karyawan industri, buruh ekspedisi, buruh tani dan seluruh buruh di dunia, yang menyelenggarakan proses produksi, menemukan pencapaian-pencapaian sains, perkembangan teknologi dan sebagainya. Bukan para segelintir elit, pemodal bahkan penguasa–borjuis/kapitalis. Dengan begitu, diperlukan campur tangan secara mendasar dari para pekerja atas alat-alat produksi, dengan berbagai usaha (belajar, dan praktik; berorganisasi, berserikat, menyusun strategi politik) yang ditujukan untuk membuat “perubahan” secara drastis dan mengakar: revolusi.

Tanpanya, adalah suatu kemustahilan untuk berharap lahirnya sebuah kehidupan yang memanusiakan manusia, yang tidak merusak lingkungan, yang tidak menghancurkan ruang hidup anak cucu kita. Tanpanya pula, sebuah aktivitas produksi yang terencana, yang diatur dan dikelola secara bersama, yang didasarkan untuk memenuhi kebutuhan kita, kebutuhan manusia, dan kebutuhan lingkungan tidak mungkin bisa dilakukan.

Dari sini, perjuangan terdekat kita dalam melawan Covid-19 dan perjuangan di hari-hari setelahnya adalah mempraktikkan pelajaran-pelajaran yang telah kita ambil tadi, yang telah kita singkirkan dari doktrin-doktrin ketakutan atasnya, sembari menguji teori-teori yang telah kita pelajari di dalamnya. Semua itu dilakukan dengan solidaritas di antara buruh secara luas (internasionalisme), untuk tujuan meraih kehidupan yang disandarkan pada; kerja sama oleh seluruh manusia berdasarkan kapasitasnya (kemampuannya), dan distribusi (pemberian-penyaluran) barang kebutuhan pada seluruh manusia berdasarkan kebutuhannya.

Kawan, tidak tertarik kah engkau untuk bergabung bersama kami dalam perjuangan ini?***

 

Catatan kaki

[1]    Lihat: Ridhoi, Muhammad Ahsan. 2020. “Menjaga Hak Karyawan Ramayana dan 1,2 Juta Korban PHK Imbas Covid-19”. Katadata.

[2]    Engels, Frederich. 2016. “Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah” Marxist Internet Archives. Terjemahan: Ted Sprague. Marx & Engels Collected Work, Volume 24, hal 281-325. Lih.

[3]    Harari, Yuval Noah. 2020. “Yuval Noah Harari: the world after coronavirus”. Financial Times.

[4]    Loc.cit.

[5]    Pemerintah Spanyol dan Irlandia kabarnya melakukan nasionalisasi semua penyedia layanan kesehatan termasuk Rumah Sakit. Lihat: Henley, John. Kim Willsher., dan Ashifa Kassam. 2020. “Coronavirus: France imposes lockdown as EU calls for 30-day travel ban”. The Guardian. (diakses 30 Maret 2020). dan Democracynow. 2020. “British PM Boris Johnson Sickened with COVID-19; Ireland to Nationalize Hospitals”. Democracy Now.  

[6]    Yuan, Shawn. 2020. “How China is using AI and big data to fight the coronavirus”. Al Jazeera.  

[7]    Pelajaran lainnya yang juga disampaikan oleh Harari adalah dari apa yang dilalui oleh Israel. Yang mana tindakan sementara pada “keadaan darurat” (perang kemerdekaan 1948) masih diterapkan (penyensoran pers, pernyitaan tanah dsb.) bahkan setelah perang kemerdekaan 1948 dimenangkan. Lihat: Yuval Noah. Loc.cit.

[8]    Ananda, Aria. 2020. “Jurus Jokowi Lawan Virus Corona dengan Diskon Tiket Pesawat”. CNN Indonesia. (diakses 25 Maret 2020) dan Friana, Hendra. 2020. “Jokowi: Diskon Tiket Pesawat Tak Tambah Penyebaran Corona COVID-19”. Tirto.id.

[9]    Nytimes. 2020. “Trump Signs $2 Trillion Bill as U.S. Virus Cases Pass 100,000”. The New York Times.  

[10]  Buku ini  selanjutnya digugat oleh beberapa penulis liberal, dengan menyerang paragraf-paragraf yang disajikan oleh Klein. Adalah Johan Norberg salah satu sejarawan terkemuka dan dikenal sebagai penulis In Defense of Global Capitalism and Progress: Ten Reason to Look Forward to the Future yang juga menulis gugatan terhadap Klein dengan judul The Klein Doctrine: The Rise of Disaster Polemics

[11]  Solis, Marie. 2020. “Coronavirus Is the Perfect Disaster for ‘Disaster Capitalism’”. Vice.

[12]  Pada tahap ini, kita mengenalnya dengan istilah “imperialisme”. Sebuah tahapan khusus, yang mana kapitalisme yang tidak bisa matang sempurna, justru kelewat matang bersama permasalahan (kontradiksi) internalnya dan “membusuk”. Sehingga konsentrasi kapital dan produksi mendorongnya – di dalam dirinya sendiri, bersatu padu dengan kapital finansial yang, juga mengalami konsentrasi kapital – untuk melakukan akumulasi dengan dengan menjajah, tidak hanya di wilayah-wilayah baru, di negeri-negeri kapitalisme pinggiran, tetapi juga di negeri-negeri kapitalisme pusat, di jantung-jantung wilayah termaju sekalipun. Lihat: Lenin, V. I. 2005. “Imperialism, the Highest Stage of Capitalism”. Lenin Internet Archives. Bab VII (hal. 265)  (diakses 31 Maret 2020). Versi Indonesia (2011)

[13]  Bagaimana sains berperan dan meyelesaikan beberapa wabah dalam sejarah manusia, selengkapnya lihat; Hickok, Kimberly. 2020. “How does the Covid-19 pandemic compare to the last pandemic?”. Livescience.  

[14]  Mulyanto, Randy dan Febriana Firdaus. 2020. “Why are there no reported cases of coronavirus in Indonesia?”. Al Jazeera.  (diakses 1 April 2020) dan Syakriah, Ardila dkk. 2020. “Experts warn against complacency as Indonesia reports zero cases of coronavirus”. The Jakarta Post.  

[15]  Seorang dokter di Italia menggambarkan dampak Covid-19 sebagai tsunami, yakni gelombang air laut dalam skala besar yang – saat ini – tak dapat dicegah. Lihat: Winfield, Nicole. 2020. “‘Not a wave, a tsunami.’ Italy hospitals at virus limit”. Public Broadcasting Service (PBS).  

[16]  Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik, atau dengan kata lain perubahan dalam urutan Asam Deoksiribonukleat (DNA). DNA sendiri adalah biomolekul (senyawa-senyawa organik sederhana yang bersifat khas) yang menyimpan dan mengenkripsi perintah-perintah genetika setiap organisme dan berbagai virus. Lihat: Collins, Francis S. “Mutation”. National Institutes of Health: National Human Genome Research Institue

[17]  Kupferschmidt, Kai. 2020. “Genome analyses help track coronavirus’ moves”. Science | AAAS.

[18]  Lowe, Derek. 2020. “Covid-19 Biologic Therapies Reviewed”. Science Translation Medicine.  

[19]  Hingga tulisan ini disusun, proyek vaksin Covid-19 masih menemui beberapa kendala, misalnya keamanan dalam pengujian klinis. Lihat: Spinney, Laura. 2020. “When will a coronavirus vaccine be ready?”. The Guardian.  

[20]  Dalam wawancaranya, Rob Wallace, ahli Epidemiologi Evolusi mengatakan bahwa tidak ada patogen yang bebas dari modal. Bahkan salah satu yang menjadi sumber (yang bertanggung jawab) atas berbagai wabah, virus dsj., yang muncul dan menyebar adalah industri pangan. Berbagai aktivitas industri yang berorientasi pada laba dan berdiri di atas persaingan bebas mendorong perputaran modal untuk melakukan deforestasi (proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan), perampingan keragaman dan kompleksitas suatu wilayah (melalui klasifikasi tanaman/hewan “produktif” dan “tidak-produktif”), peningkatan produksi hewan-hewan ternak, yang mana membawa mereka (hewan-hewan dan tanaman) masuk ke dalam kehidupan manusia. Lihat: Angus, Ian (Ed). 2020. “Capitalist agriculture and Covid-19: A deadly combination”. Climate & Capitalism. (diakses 2 April 2020), lihat juga penjelasan tentang bagaimana perputaran modal (kapital) pada industri pangan, yang akhirnya justru menciptakan dan menyebarkan berbagai patogen dalam kehidupan manusia: Wallace, Rob. Alex Liebman, dkk. 2020. “Covid-19 and Circuits of Capital”. Monthly Review.  

[21]  Evolusi adalah perubahan karakteristik suatu spesies selama beberapa generasi dan bergantung pada proses seleksi alam (termasuk di dalamnya perubahan struktur alam secara radikal). Lebih jauh, evolusi bergantung pada adanya variasi genetik dalam suatu populasi yang mempengaruhi karakteristik fisik (fenotip) dari suatu organisme. Lihat: Yourgenome. “What is evolution?”. Yourgenome.org.

[22]  Putri, Perdana. 2016. “Penjarahan Ruang dalam Kapitalisme”. IndoProgress

[23]  Loc.cit.

[24]  Augustin, Ed. 2020. “Cuba sends doctors worldwide in coronavirus fight”. Al Jazeera.  

[25]  Lih. Miyared, Jorge Ruiz (Ed). 2020. “Case 4 of Coronavirus diagnosed in Cuba”. Radio Havana Cuba  

[26]  Lih. Augustin, Ed. 2020. “British coronavirus-hit cruise ship docks in Cuba”. Al Jazeera.  

[27]  Dunia juga memiliki organisasi kesehatan; World Heath Organization (WHO). Namun dalam perannya, organisasi ini cenderung lebih banyak merugikan melalui skandal yang terjadi, monopoli vaksin dan sebagainya. Lihat: Firman, Tony. 2019. “Sejarah WHO, dari Wabah Kolera Hingga Sorotan Tudingan Skandal”. Tirto.id.  (diakses 1 April). Lihat juga: Neale, Tood. 2010. “World Health Organization Scientists Linked to Swine Flu Vaccine Makers: Investigation raises questions about WHO’s handling of pandemic”. ABC News.

[28]  Pontoh, Coen Husain. 2013. “Kesehatan Buat Semua”. IndoProgress.

[29]  Loc.cit.

[30]  Lih. State.gov. “Cuba Sanction”. U.S. Department of State.  (diakses 2 April 2020), lihat juga; LeoGrande, William M. 2019. “Trump declares economic war on Cuba”. The Conversation.

[31]  Bagaimana AS dan sekutunya turut serta dalam upaya mempersulit penanganan pandemi di Venezuela lewat campur tangan politik dan sanksi berlakukan, lihat: Adam, Aulia. 2020. “Bagaimana Venezuela Hadapi Corona Saat Ditekan AS dan Krisis Ekonomi”. Tirto.id. (diakses 7 April 2020), lihat juga: Long, Gideon. 2020. “Venezuela faces threat of coronavirus catastrophe”. Financial Times.

[32]  Lihat: Hukumonline. 2016. “Meskipun Dikritik, Pasal Kejahatan Ideologi Tetap Dipertahankan”. Hukumonline.com

[33]  Lihat: Herlambang, Wijaya. 2014. “Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra”. Tangerang Selaran: Marjin Kiri. Hal 69.

[34]  Lihat: Palmer, Brian. 2014. “Jonas Salk: Good at Virology, Bad at Economics”. Slate.


0 comments:

Post a Comment

 
;