Thursday, December 24, 2020

Santa Claus dan Jack Skellington

 

MARI kita bermain teka-teki di penghujung tahun ini. Untuk Anda yang sedari kecil merayakan Natal pastinya sudah tak lagi asing dengan sosok pria tua gemuk berjanggut putih mengenakan pakaian musim dingin berwarna merah dan putih. Dari cerita kakek nenek atau ayah ibu, Anda pasti mendengar bahwa pria itu datang ke rumah anak-anak baik hati untuk membagikan kado yang dibawanya pada malam Natal. Konon, beliau mengendarai kereta kuda terbangnya dari Kutub Utara, mendarat di atap-atap rumah lalu masuk melalui cerobong asap, menaruh kado-kado di sebelah pohon Natal dan menitipkan pesan singkatnya kepada anak-anak baik yang dihadiahinya.

Orang memanggilnya Santa Claus, Sinterklas atau hanya memanggilnya dengan sebutan Santa. Santa sangat terkenal khususnya pada hari Natal di belahan dunia Eropa dan Amerika Serikat. Siapakah sesungguhnya pria tua berjanggut putih itu? Dari mana kado-kado itu berasal? Siapakah yang membuatnya? Bagaimana membuatnya? Meski anak-anak tak pernah mempertanyakannya, tapi anak kecil yang dulu menerima kisah itu dengan pengharapan, kini kepalanya penuh dengan pertanyaan.

Berdasarkan catatan sejarah, Sinterklas yang diketahui bernama asli Nikolas dari Myra ini sama sekali bukanlah penghuni Kutub Utara, melainkan seorang laki-laki penganut ajaran Kristianisme yang lahir dan besar di Lycia pada sekitar abad ke-4 masehi pada saat Kekaisaran Romawi berkuasa atas wilayah Turki. Meski sempat dipersekusi dan dipenjara ketika Kaisar Diocletian berkuasa, ia dibebaskan pada masa Kaisar Constantine dan diangkat menjadi orang suci di masa Kaisar Theodosius II. Kisah tentangnya bercampur antara sejarah dan legenda.

Karena berasal dari salah satu keluarga berada, Nikolas memiliki banyak harta dan terkenal sering membagikannya kepada orang-orang tertindas. Konon, ia pernah memberikan emasnya untuk seorang ayah dari keluarga miskin supaya tidak menukarkan tiga anaknya kepada penguasa wilayah untuk menjadi pelacur. Nikolas juga pernah menenangkan badai di tengah laut serta menyelamatkan orang dari hukuman mati. Banyak dikisahkan cerita tentang menolong ‘wong cilik’ pada masa itu, Nikolas digelari sebagai orang suci oleh Gereja Katolik. Ia dianggap menjadi pelindung para nelayan, pedagang, pembuat roti, pembuat minuman, pelacur, anak-anak hingga orang-orang asing. Sebagian umat Katolik, khususnya umat Gereja Orthodox, memanggilnya Santo Nikolas dari Myra.  

Selain sifatnya yang dermawan itu, kisah Nikolas yang diceritakan di atas nampaknya memiliki banyak perbedaan dengan kisah Santa Claus yang sering kita dengar sewaktu Natal. Santa yang mengendarai kereta kuda dan membawakan kado Natal tersebut rupanya adalah sosok legenda yang lahir dari cerita rakyat dalam tradisi Kristen pada pertengahan abad ke-17 di daratan Eropa dan Britania Raya hingga ke benua Amerika. Ia dipercaya membuat catatan tentang kelakuan baik serta buruk seluruh anak di dunia, mengategorikan mereka berdasarkan tingkat kenakalan dan kebaikannya, lalu membagikan permen serta hadiah kepada anak-anak yang tercatat selalu baik hati.

Dalam membuat permen dan hadiah untuk anak-anak, Santa dibantu oleh banyak peri yang tinggal bersamanya di Kutub Utara. Peri-peri itu dipercaya hidup dengan tubuh pendek, bertelinga lancip, mengenakan pakaian berwarna-warni dengan topi lancip. Santa memiliki semacam tempat kerajinan tangan yang lebih mirip pabrik yang memproduksi mainan, permen dan hal-hal lainnya yang mana bisa dijadikan sebagai hadiah Natal. Namun apa betul hanya Santa yang bisa menjadi dermawan?

Hal ini mengingatkan kita pada film garapan Tim Burton yang berjudul Nightmare Before Christmas. Diceritakan bahwa Jack Skellington, sang tengkorak dari dunia Halloween, tak sengaja masuk ke dunia Natal dan menemukan kota kediaman Santa sekaligus pabrik pembuatan benda-benda yang nantinya akan diberikan sebagai hadiah kepada anak-anak baik di seluruh dunia. Terkaget menyaksikan perbedaan yang kontras antara dunianya dengan dunia Natal, Jack bermaksud menciptakan Natal dengan caranya sendiri. Jack menculik Santa, mempelajari produk-produk hadiah yang dihasilkannya serta menciptakan “Natal” versinya sendiri.

Ia bahkan mengenakan pakaian Santa buatan kekasihnya, mengendarai kereta kuda tengkorak dan terbang mengitari langit kota sambil membagikan hadiah pada malam Natal. Jack pun menjadi “Santa” menurut versinya sendiri. Ketika terbang dari rumah ke rumah membagikan hadiahnya, ia beserta kereta kudanya ditembak jatuh karena dianggap menganggu kehidupan manusia. Hal itu disebabkan hadiah yang diberikan kepada anak-anak tidaklah seperti hadiah Natal seperti biasanya. Anak-anak yang terbiasa dihadiahi kado berisi hal-hal menyenangkan, kini berisi hal-hal yang menyeramkan khas Kota Halloween.

Meski gagal menjadi Santa, Jack membuktikan bahwa ia bisa juga menjadi seperti Santa. Jack bisa menjadi seorang yang dermawan di Hari Natal.

Pertanyaannya, apa yang memungkinkan seorang Jack Skellington bisa menjadi Santa Claus? Tentu saja karena Jack berpakaian merah putih lengkap dengan janggut putih dan membagikan hadiah kepada anak-anak di Malam Natal, kita semua pasti paham itu. Namun ada poin sesungguhnya yang paling menentukan apakah ia bisa menjadi seorang Santa atau bukan, yaitu kemampuan memproduksi kado-kado Natal. Tanpa memiliki mainan, hiasan Natal, kue, permen, meski ia mengenakan pakaian serta janggut Santa pun, ia tak mungkin bisa membagikan kado kepada anak-anak di seluruh dunia. Oleh karena itu, Jack mengatur monster-monster warga Kota Halloween untuk segera menyiapkan barang-barang gubahan hasil kreativitas mereka. Alhasil para warga menciptakan barang-barang hadiah khas Halloween yang dijadikan kado Natal.

Dapat kita simpulkan sementara bahwa Jack dan Santa punya kesamaan yang utama, yaitu memproduksi barang yang nantinya menjadi hadiah. Barang yang diproduksi itu terbuat dari barang-barang mentah terpisah, digabungkan menjadi satu benda baru yang memiliki bentuk fisik berbeda yang mana nantinya mampu digunakan atau dinikmati. Misalnya ketika mereka membuat sebuah boneka. Mereka pastinya memerlukan benang, kapas dan kain sebagai bahan dasarnya.

Selain itu mereka membutuhkan gunting, jarum dan mesin jahit misalnya untuk mengubah bahan dasar tersebut menjadi sebuah boneka. Siapa yang mengubah bahan dasar menjadi boneka? Barang-barang itu tidak akan menjadi hadiah apabila tidak diolah oleh pembuatnya. Jika di Christmas Town para peri yang mengerjakan, di Halloween Town tentu saja para monster warga kotalah yang mengerjakannya. Kemudian, kita pasti bertanya, apakah kado-kado yang dibuat mereka merupakan komoditas? Lalu apakah mereka berdua pantas kita sebut sebagai kapitalis?

Sebelum terlalu cepat menyimpulkan, mari kita ingat kembali tulisan-tulisan Marx dan Engels.

Apabila mengingat kembali Kritik Ekonomi Politik dan Das Kapital, pasti terbersit dalam kepala kita pembahasan soal komoditas. Komoditas inilah yang merupakan pembuka pembahasan soal perdebatan ilmu ekonomi yang dominan beberapa abad terakhir. Pada kalimat pertama bagian pertama Kapital, Marx menulis bahwa kekayaan dalam masyarakat dengan cara produksi kapitalisme mengemuka sebagai timbunan komoditas yang banyak. Seperti apa komoditas itu? Komoditas tentu saja merupakan benda yang berguna atau yang dibuat untuk berguna sebagai pemenuhan kebutuhan. Maka komoditi memiliki elemennya yang pertama yaitu nilai-guna. Selanjutnya ia memiliki elemen yang kedua yaitu nilai-tukar. Ketika suatu barang dapat ditukarkan dengan barang lainnya.

Misalnya satu boneka memiliki nilai-tukar yang sepadan dengan sepasang sepatu, dua benda yang berbeda memiliki suatu persamaan. Lalu apa artinya persamaan ini? Artinya bahwa ada penyetara di antara keduanya, tentu saja nilai itu sendirilah penyetaranya. Nilai inilah elemen ketiga yang terkandung di dalam komoditas. Dari mana datangnya nilai? Marx berpendapat bahwa nilai berasal dari pencurahan sejumlah kerja tertentu yang diberikan oleh pekerja.

Dengan demikian apakah kado merupakan suatu komoditas? Jawabnya tentu saja belum tentu. Sebab kado tidak memiliki salah satu elemen dari suatu komoditas yang dinamakan dengan nilai-tukar. Lalu apakah kado memiliki nilai dan nilai-guna? Tentu saja elemen itu ada pada benda itu, namun ketika elemen nilai-tukar tidak menampak, ia tidak dapat disebut dengan komoditas. Contohnya ketika teman Anda membelikan hadiah Natal sebuah dompet, apakah ia memberikan serta barcode dengan harga senilai satu juta rupiahnya itu sekaligus meminta Anda membayarnya? Tentu saja tidak, dompet tersebut pasti dibungkus rapih dan tentu saja disematkan kata-kata kenangan terbaik untuk Anda di dalamnya. Tapi apa betul dompet itu bisa dengan sendirinya menjadi dompet? Jawabnya tidak mungkin, ia dikerjakan oleh pengrajin kulit di Garut yang mengolah kulit serta kain dan benang untuk menjadikannya sebuah dompet yang bisa digunakan untuk menyimpan selembaran uang dan karcis bioskop kenangan Anda. Oleh karena itu, meski nilai-tukar tidak menampak, namun elemen nilai-guna dan nilai itu sendiri tetap ada. Jika demikian, kado itu bukanlah suatu komoditas, kecuali apabila Anda menjualnya kembali di toko online.

Lalu apakah Santa dan Jack bisa disebut sebagai kapitalis? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab pertama, mereka berdua tidak memproduksi komoditas. Hal ini sudah saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Seorang kapitalis mesti menciptakan komoditas, sedangkan mereka berdua tidak. Kedua, tidak ditemukan adanya akumulasi kapital. Meski Santa Claus memproduksi kado secara masal dalam lingkup industrial dan Jack memproduksi kado dengan mengumpulkan tenaga-kerja warganya, namun tidak ada penumpukan nilai di sana. Sebab pekerja hanya bekerja untuk menyambut Natal saja dan juga barang yang dibuat tidak memunculkan nilai-tukar.

Sehingga mereka memproduksi dengan senang hati atau sukarela dan hasilnya diberikan untuk amal atau sama sekali tanpa keuntungan. Selain itu dari alasan kedua kita menemukan jawaban yang ketiga, bahwa mereka berdua tidak mengukuhkan relasi upahan kepada para pembuat kado untuk memproduksi komoditas secara masal dan tak henti-henti. Saat Natal usai, pekerjaan membuat kado usai, para peri bisa minum teh di pinggir perapian lagi dan para monster dapat kembali menakut-nakuti orang lagi.

Dengan demikian, obrolan kita kali ini membawa kita menjawab pertanyaan di awal tulisan. Terbukti bahwa Santa dan Jack merupakan seorang yang dermawan. Namun di sisi lain mirisnya sifat kedermawanan seperti mereka berdua tidak dimungkinkan hadir dalam dunia kita sekarang ini, mereka hanyalah legenda dan film stop motion. Sebab, fakta hari ini membuktikan bahwa mereka yang disebut sebagai orang-orang dermawan atau filantropis itu pasti memiliki sesuatu atau setidaknya sukses terlebih dahulu dalam mengikuti logika dunia kapitalisme ini untuk bisa membagikan kelebihannya kepada orang lain dan dijuluki sebagai filantropis.

Apabila Anda tidak percaya, silahkan browsing sendiri siapa saja orang-orang yang digelari sebagai manusia-manusia yang ‘dermawan.’ Hanya karena kita melihat sesuatu dengan mata kita, tidak bisa lalu kita mengatakan bahwa hal itu benar adanya – itu namanya jebakan empirisisme. Sebab, terkadang apa yang kita lihat belum tentu sama seperti yang sebenarnya. Tampakan bisa menipu, namun relasi dan hal pemenuhan kebutuhan hidup tak bisa menipu. Bisa saja kita merasa melihat Santa Claus padahal sesungguhnya ia adalah Jack Skellington.

Namun lebih dari itu, apapun kado yang kita miliki sekarang bisa jadi itulah hal terbaik yang pernah kita miliki, sebab segala sesuatunya bisa jadi lebih buruk. Tentu saja, yang terburuk adalah hidup yang terkomodifikasi sampai ke ujung-ujung kuku. Tetapi, kita bisa melawannya dan melampauinya via kerja-kerja bersama, kerja yang tidak hanya berhenti di kedermawanan.

Akhir kata, kepada para pembaca saya ucapkan selamat Hari Natal 2019 dan tahun baru 2020!***

 

0 comments:

Post a Comment

 
;