Friday, February 26, 2021 0 comments

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (1): Terbuka akan Kelemahan

 

BEBERAPA pemikir pendidikan kritis seperti Michael Apple dan Henry Giroux, yang mengembangkan gagasan John Dewey, Antonio Gramsci, dan Paulo Freire tentang sekolah-sekolah yang berciri emansipatoris, mengusulkan konsep pendidikan yang diberi nama democratic education (pendidikan demokratis), yang kemudian diaktualisasikan ke dalam democratic schooling (sekolah demokratis) dan democratic educators (pendidik demokratis).

Tidak ada definisi yang disetujui secara umum tentang suatu pendidikan, pendidik dan sekolah/institusi pendidikan yang demokratis. Sebab, pengertian dari demokrasi itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang (untuk memahami perdebatan terkini tentang pendidikan demokratis, lihat Sant, 2019). Akan tetapi dalam praktiknya secara umum, termasuk di Indonesia, demokrasi masih sering didefinisikan atau dipahami secara dangkal sebagai proses pemilihan pemimpin politik yang dilakukan secara kompetitif untuk menempati posisi legislatif dan/atau eksekutif.

Friday, February 19, 2021 0 comments

Ruang-Ruang Kontra-Hegemoni dalam Dunia Pendidikan

GAMBARAN tentang bagaimana sistem pendidikan kita bekerja, seperti halnya tentang cara kerja sistem sosial yang ada, terbilang kompleks dan kelam, seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan. Apakah mungkin ada harapan untuk perubahan di dalam sebuah sistem yang hegemonik? Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis dari Malta, sedikit memberi kita harapan ketika ia mengatakan bahwa “hegemoni tidak pernah sempurna”: selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra-hegemoni. Kita bicara di sini tentang bagaimana membangun suatu kontra-hegemoni yang memanusiakan serta menawarkan antitesis dari nilai-nilai dominan yang menindas.

Saturday, February 13, 2021 0 comments

“Merdeka Belajar” Gaya Menteri Nadiem: Apanya yang Merdeka?

           TIADA hari kita lalui tanpa mendengar seruan mengenai pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 menimpa Indonesia di awal 2020, jargon “Revolusi Industri 4.0” digaungkan tanpa henti di media dan para politisi yang ingin terlihat progresif tak kunjung berhenti bicara mengenai pentingnya “revolusi” ini segera diimplementasikan dalam semua lini kebijakan negara, termasuk, dan mungkin terutama, di sektor pendidikan.

“Agar kita tidak kalah bersaing dan demi masa depan bangsa kita,” begitulah kira-kira slogannya.

Setelah terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai kepala negara yang “baik”, salah satu wujud aktualisasi “revolusi” ini adalah terpilihnya Nadiem Makarim untuk mengepalai arah baru pendidikan Indonesia. Layaknya menginisiasi startup yang menawarkan pembaharuan, Nadiem membawa konsepsi baru tentang arah pendidikan bangsa kita, yang ia namakan “Merdeka Belajar”. Namun, jika dilusuri lebih lanjut, definisi “merdeka” Nadiem hanya mendaur-ulang logika lama pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan utama pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja.

Friday, February 5, 2021 0 comments

'Front Pembela Islam’ yang Sesungguhnya

 

 BELUM lama ganti tahun, Indonesia sudah ribut lagi. Pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pion penting dari arus populisme Islam di Indonesia dan aktor kunci mobilisasi gerakan Islam setelah Reformasi 1998. Mereka tidak pernah—dan tidak berkeinginan—untuk jadi partai politik. Namun, kekuatan mereka diperlukan oleh siapapun rezim politik yang ingin bermain dalam pentas politik Indonesia. Mereka menjadi kekuatan pemukul yang efektif terhadap siapapun yang dianggap mengancam rezim, mulai dari kelompok yang dilabeli “liberal”, “komunis”, hingga kelompok-kelompok minoritas keagamaan.

Laporan Wikileaks menunjukkan bahwa FPI banyak menerima dana dari Polri, dan jejaring intelijen nasional, yang tentu tidak pernah diafirmasi secara resmi baik oleh penyandang dana maupun yang diberi dana.

Sejarah dan rekam jejak FPI bisa dibaca di berbagai laporan riset hingga Wikipedia, tapi ada satu hal menarik: mengapa mereka menggunakan istilah ‘front’, yang sebenarnya awal mulanya berakar dari gagasan gerakan komunisme dan kelompok kiri dalam melawan fasisme di awal abad ke-20?

 
;