Friday, March 12, 2021

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (3): Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan

 

Demokrasi yang Radikal Membutuhkan Harapan

Jika pendidikan dan institusi pendidikan demokrasi egaliter dianggap sesuatu yang radikal dikarenakan tujuannya yang adalah untuk mengadvokasi perubahan politik dan sosial yang menyeluruh, maka mengutip Giroux, “adalah suatu hal yang mustahil menjadi seorang yang radikal tanpa dipenuhi harapan.” Pendidikan dan institusi pendidikan demokratis harus turut memulihkan apa yang disebut oleh filsuf Marxis Ernst Bloch (1995) dalam bukunya The Principle of Hope ketika berbicara mengenai harapan, ‘forward dreaming‘ atau ‘mimpi ke depan’.

Adalah penting saya kira untuk menghadirkan diskursus akan harapan, terlebih lagi ketika membicarakan pendidikan. Seperti yang telah dikatakan oleh Johnson (2013) sebelumnya, berfokus terhadap kritik semata dapat dengan sangat mudah memperparah keputusasaan. Salah satu tugas pendidikan dan institusi pendidikan demokratis, dengan berlandaskan analisis sosio-politik yang mendalam, adalah menyingkap peluang akan harapan, walau dihadang beragam rintangan yang mematikan harapan kita dalam keseharian.

Tanpa harapan, hanya sedikit yang bisa kita lakukan. Akan sulit untuk terus berjuang melaksanakan upaya transformasi sosial, dan ketika kita bertarung sebagai individu yang telah putus asa atau dipenuhi oleh sinisme yang menyeluruh, perjuangan kita akan ‘transformasi sosial’ adalah suatu kegiatan bunuh diri. Perlahan ia akan menggerogoti jiwa maupun raga. Tanpa paling tidak berpegang pada sedikit harapan, kita tidak bisa memulai sebuah perjuangan. Tetapi tanpa perjuangan, harapan (sebuah kebutuhan yang esensial yang menjadikan kita sebagai manusia) dapat menghilang, dan berubah menjadi keputusasaan.

Ketika keputusasaan menghampiri dan menyelimuti kita, kita akan dengan sangat mudah terjatuh ke dalam tragedi. Diri dan komunitas serta pergerakan akan sulit menghadirkan kemungkinan-kemungkinan akan masa depan yang lebih baik, jika tidak ada harapan. Tanpa harapan, keinginan kita akan kemungkinan-kemungkinan tersebut akan sirna. Mengutip Erik Olin Wright (2018: 35), ‘dunia alternatif tersebut harus diinginkan, dapat dilakukan, dan dapat tercapai’. Maka walau sangatlah penting agar pendidikan demokratis menanamkan dan mengembangkan pengetahuan emansipatoris yang berlandaskan kritik mendalam pada akar permasalahan yang ada di masyarakat, pendidikan harus pula menanamkan harapan-harapan akan dunia yang lebih adil. Hal ini penting agar pendidikan demokratis dapat pula menumbuhkembangkan keinginan-keinginan untuk secara aktif mengubah status quo serta menanamkan sebuah keyakinan yang mengakar bahwa tranformasi sosial yang emansipatoris dapat, mungkin, dan harus tercapai untuk kita semua.

Membangun dan Melawan

Harus saya akui bahwa saya menulis ini karena saya adalah seorang yang pesimis. Sulit bagi saya untuk merasa optimis ketika saya melihat dan memahami penindasan dan kuasa hegemonik negara yang terjadi di sekitar kita, terlebih lagi ketika penindasan tersebut begitu lumrah dan mendominasi dalam keseharian kita. Saya selalu teringat sebuah konsep yang diusung Michel Foucault (1980), yaitu capillary power: kuasa hegemoni yang tak lagi terkonsentrasi pada satu pihak namun begitu menjalar dan menubuh di dalam masyarakat. Sekadar menumbangkan mereka yang berkuasa dan berharap hegemoni lantas sirna adalah suatu upaya yang sia-sia.

Walau bisa diakui kebenaran konsep capillary power (apakah Orde Baru telah benar-benar tumbang?), namun merangkul secara penuh pendekatan Foucault ini dapat meniadakan harapan. Pendekatan ini seolah hanya membawa kita pada kematian dan terkesan tak memberi ruang sedikitpun untuk menentang hegemoni. Bahkan keberdayaan kita sebagai individu atau kolektif untuk melawan hegemoni negara terkesan tidak kelihatan, sehingga akan sangat mudah untuk membuat kita masuk ke dalam lubang hitam pesimisme yang tiada akhir.

Sebagai pendidik, saya tidak bisa begitu saja dengan pasrah tenggelam dalam pesimisme itu. Sebaliknya, tulisan ini adalah refleksi perjalanan saya sebagai pendidik yang berupaya melawan pesimisme di dalam diri saya maupun masyarakat. Saya membutuhkan harapan, seberapa kecilpun harapan itu untuk melanjutkan perjuangan. Seperti yang dikatakan Paulo Freire (1992) ketika merenungi harapan saat dihadapkan dengan kehancuran ‘[…] harapanku itu perlu, tapi itu tidak cukup. Sendiri, ia tidak bisa menang. Namun tanpa itu, perjuangan saya akan lemah’.

Saya berharap tulisan ini bisa menjadi salah satu referensi untuk merefleksikan dan memeriksa sejauh apa tantangan perjuangan pendidikan kita hari ini dan sejauh apa kita perlu membongkar rintangan dan melangkah ke depan. Tulisan ini tak hanya saya peruntukkan pada kawan-kawan pendidik, namun juga mereka yang turut mengupayakan dunia-dunia alternatif yang lebih adil bagi kita semua. Harapan saya, tulisan ini dapat mengajak kita untuk secara serius melihat kembali pendidikan sebagai alat transformasi sosial dan emansipatoris serta melihat secara lebih dalam peran dan kekuatan pendidikan sebagai strategi jangka panjang dalam memperkenalkan dan memperdalam akal sehat dan nilai-nilai yang egaliter dan emansipatoris di masyarakat.

Di era pragmatis ini, mimpi dan utopia (yang merupakan turunan dari harapan) akan dunia yang lebih adil, telah dilihat sebagai hal yang tak berguna, bahkan menghambat, membebankan. Maka saya rasa merupakan tugas kita bersama untuk kembali menelusuri ‘bahasa-bahasa’ yang kita gunakan untuk tak hanya berpaku pada kritik dan amarah, namun juga akan harapan dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita wujudkan secara nyata bersama-sama. Pendidikan, seperti yang telah ditulis oleh Gramsci, adalah tentang menciptakan budaya baru, suatu hegemoni baru yang memanusiakan, dan tidak hanya berhenti pada bagaimana menjadi oposisi atau membangun perlawanan. Kita perlu menciptakan budaya baru dengan tujuan membangun dunia baru.

Sekali lagi, ini bukan ajakan atau pembenaran untuk menjadi seorang optimis yang naif, yang berharap akan perubahan namun tidak mengacu pada kenyataan dunia. Ini bukan ajakan untuk menjadi optimis naif yang enggan melihat dalamnya kehancuran realitas pendidikan kita dan dengan penuh kepercayaan diri selalu berargumen bahwa upaya-upaya reformis semacam bimbel online akan merevolusi akses pendidikan kita dan mengurangi kesenjangan dengan mengagungkan privatisasi pendidikan. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk melawan kepasrahan akan penindasan dan juga merayakan keberdayaan serta membangun ketangguhan kita sebagai manusia yang selalu bisa membongkar struktur yang timpang dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru.

Sebab, seperti yang dinyatakan sosiolog Raewynn Connell, ‘akan selalu ada retakan di dinding’, dan adalah tugas kolektif kita untuk menemukan dan memperluas retakan-retakan tersebut.***

 

 

Kepustakaan

Bloch, E. (1995). The Principle of Hope. MIT Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Freire, P. (1992). Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury Publishing.

Johnson, R. (2013). Optimism of the intellect? hegemony and hope. Soundings, 54(54), 51–65. https://doi.org/10.3898/136266213807298970

Wright, E. O. (2018). The continuing relevance of the Marxist tradition for transcending capitalism. Global Dialogue, 8(1), 34–35.

 

0 comments:

Post a Comment

 
;