Setengah berkacak, dengan lembut, Arsad menendangi bongkahan
blok mesin sepeda motornya. “Nggak akan tembus kan, Sir?” katanya. Nasir
menggeleng. Khairan menepuk bahunya. “Kita juga main, Sad. Kita tutup nomor
jagonya, dan karenanya kita hanya narikin duit orang kampung. Ini hanya
pemancing saja,” katanya. Arsad menaiki sepeda motornya, mendorongnya sehingga
rodanya mencecah di tanah. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang
mengangkang. Terbayang lagi, olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus, yang
harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai sepeda motor itu. Ini bukan
punyamu, kata ayah, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu,
karenanya akan ada evaluasi setiap minggu-apa masih layak diinventariskan apa pasnya
dicabut.
Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif tiga bulan.
Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan kini ia akan menjadikannya Hadiah
Utama Toto (gelap) Singapura, di kisaran empat angka, per lima puluh ribu
tombok.
Kemungkinan cuma sepersepuluh ribu,” kata Nasir, serius. Khairan
tersenyum dan mengiyakan dengan sungguhsungguh. “Pokoknya kamu tenang-tenang
saja, Sad,” kata Nasir. “Kamu duduk-duduklah, megang surat-suratnya-sementara
itu masih bisa dipakai ngojek sama Sitol, dengan setoran biasa.” Setengah
berbisik, menghindarkan pendengaran Khairan, “Dan sementara itu kamu pun bisa
aman-aman saja ngeloni Saimah. Beres! Bapaknya pasti meneng. Lha wong kowe melu
mbandari …” Khairan menatap, curiga, “Apa? Ngomong apa?” Nasir memberi isyarat
telunjuk di mulut.
“Sudah sana!” katanya sambil mendorong Arsad pelan menegakkan
sepeda motor. Melangkah. Melemparkan kunci kontak ke arah Nasir. Jalan ke pintu
belakang warung. Menyelinap dan masuk kamar yang pengap dan remang. Saimah
menyusul dari depan. Menyibak tirai pudar dan merangkul Arsad dari belakang,
Arsad menangkap dan meremas dua belahan pantat yang bagai punuk dan tanpa
berlapiskan celana dalam. Saimah menjerit artifisial sambil mendorong Arsad ke
arah pembaringan yang berantakan, dengan payudara yang berdenyut. Radio
menyerukan dangdut.
Itu hari keduapuluh delapan berada di luar rumah. Dan mungkin
tepat pada hari yang keseratus satu, Arsad mengenal Suimah. Perkenalan tidak
disengaja sebenarnya. Ia membolos bersama Taberi. Menghindar dari sekolah,
menjauh dari keramaian, dan menyuruh di pangkalan ojek di mulut jalan ke
Perumahan Ganda Mekar. Abai bergabung dengan banyak orang-para pengojek, preman
dan pemabuk, dan utamanya pemalas yang hanya omong dan terus omong sambil
berjudi. Motornya dipakai ngojek sembarang orang, dan karenanya mendapat duit
buat modal ngombe atau ngepil. Mungkin cuma memesan kopi, makan jajan, dan
makan diawali dan ditutup oleh merokok di warung Khairan. Terkadang Arsad hanya
nongkrong, bermalasan di warung itu, berbincang dengan istri Khairan, atau
menggoda Saimah.
Itulah awalnya, Saimah makin genit, orangtuanya semakin
permisif, dan Arsad pun menikmati hari-hari manis, dengan semena-mena
merangkul, menggerayangi dan menciumi Saimah. Orang-orang mendelik. Tapi,
Khairan-setengah preman karena istrinya yang sebenarnya membanting tulang
menyambung hidup-lembut menenangkan mereka. “Biarlah,” katanya, “Toh kita tahu
ia berduit dan orangtuanya sugih.” Orang-orang tersentak. Khairan menenangkan.
“Kita ini orang dagang,” katanya. “Dan mempunyai anak perawan bermakna
mempunyai barang dagangan. Berharap, siapa tahu akan mendapat jodoh lelaki yang
genah. Nakal sedikit kayak si Arsad lumayanlah, biar bisa kompak dengan mertua.
Ya kan?” Orang-orang pada tertawa. Terlebih karena Arsad semakin sering membawa
Topi Miring, yang diedarkan berkeliling di antara orang yang berbual atau main
kartu. Berjoget dengan tape dan terbahak-bahak. Sepanjang waktu.
Lantas mereka pun mulai memanggil Arsad dengan sebutan bos.
Sekaligus itu membuat Arsad semakin butuh duit untuk menyenangkan banyak orang.
Utamanya Saimah, yang melingkar manja tanpa celana dalam dan bra-meski masih
memakai rok terusan longgar. Dan Arsad pun semakin jarang pulang sekaligus
semakin jarang masuk sekolah, karenanya semakin tidak mempunyai duit.
Sekali-empat puluh hari lalu -menyelinap ke rumah ketika orangtuanya masih di
kantor, dan menjebol lemari untuk mengambil perhiasan. Memberikan sebagian
kepada Saimah, dan menjual sisanya. Khairan-matanya berkilau-cepat-cepat
mengundang tetangga dan menikahkan Arsad dengan Saimah dalam perkawinan siri.
Dan disusul pesta mabuk semalam suntuk. Orang-orang kampung
menggeleng-gelengkan kepala. Pak RT tak berdaya, bahkan untuk sekedar mengusik
keasyikan mereka. Mungkin karena lega karena kini Arsad resmi jadi suami
Saimah. Ia menganjurkan agar Khairan mau mengurusnya ke KUA agar semakin kukuh.
Khairan cuma tertawa. Ibunya Saimah lembut mengangguk. Saimah tersenyum dan
terus tersenyum. Menemani Arsad mabuk lalu menyeretnya ke kamar meski tak lagi
ada bulan madu. Siklus haid Saimah sudah telat seminggu.
Dua minggu kemudian Arsad benar-benar bangkrut. Cemberut dan
makin sering marah. Khairan bungkam. Istrinya mulai menyindir. Arsad semakin
sebel kepada Saimah-dan yang direcoki balas memaki. Arsad pun menyuruh Nasir
untuk menjualkan sepeda motornya. Akan tetapi, Nasir malah memunculkan gagasan
yang sangat kontroversial. Menjadikan sepeda motor itu modal untuk hadiah
tombokan Toto (gelap) Singapura. “Seminggu bisa empat kali,” katanya. Khairan
tersenyum. Itulah awalnya Arsad pun jadi orang yang berpenghasilan. Dan Saimah
makin manja, sedangkan Ibu Mertuanya sukarela menyervis. Surga telah kembali.
Hari itu-seperti biasa-Nasir akan berkeliling dengan sepeda
motor Arsad. Ia seorang sales yang gigih, ia seorang sales yang agresif, dan
karena itu ia mampu mencukupi Arsad dan dirinya sendiri. Membawa tas pinggang,
memboncengkan si Krowak atau Brewok sebagai pengawal pribadi, dan berkeliling
ke mana saja. Akan tetapi, terkadang orang masih datang untuk tombok nomor di
warung Khairan. Duyunan orang yang menyetor keberuntungan, pikir Khairan-yang
punya dukun kuat sehingga selalu yakin tebakan mereka tidak akan tembus. Meski
begitu, selalu, menjelang momen bukaan Arsad memilih mabuk dan tidur agar tidak
disentakkan oleh fakta ada yang tembus dan sepeda motornya melayang. Hal yang
tidak gampang meski telah dibantu minuman, pil, dan rayuan Saimah.
Hari itu-setelah sarapan nasi goreng, telur dadar setengah
matang, dan minum Topi Miring-Nasir memboncengkan Krowak. Menyulut rokok,
mblesar-kan gas, meraung saat membuat belokan besar dari jalan hancur arah
Perumahan ke jalan utama. Belokan liar itu, penyelonongan itu, memakan marka
jalan meski mereka cuma mencari jalur kiri. Pada saat yang sama, dari hadapan,
melaju di kelempangan jalan yang lengang seusai jam mengantor, sebuah Station
Wagon-dengan bemper depan tambahan dari pipa baja. Dan alur arah lajunya sepeda
motor Arsa, yang dikemudikan Nasir, meliuk-liuk, tertekuk-tekuk pendek,
bergetar karena tangan si pengendaranya goyah oleh kaget dan mabuk. Tetapi
kecepatan sepeda motor itu, akselerasi pertamanya, tak bisa diturunkan.
Sedangkan kecepatan Station Wagon itu tetap tinggi meski telah dicoba direm dan
dibanting ke kiri. Berderit direm dan dicoba dibanting ke kiri, tetapi kemudian
diluruskan lagi ke kanan ke kelurusan karena di tepi jalan itu berjajar
kios-kios-bahkan sebuah Angkot berwarna kuning sedang parkir sambil kernetnya,
ada di tengah jalan, menyeru ke seberang.
Bunyi tumbukan dan jeritan orang-orang menghias siang itu.
Kemudian teriakan memaki dan derap orang berlari memburu. Sebagian menolong
Nasir, yang lainnya memburu supir Station Wagon itu. Serentak menghajarnya-bus
dalam kondisi setengah mabok yang belum sirna. Menggulingkan kendaraannya dan
menghajarnya sampai kacanya remuk dan body-nya penyok. Mungkin akan segera
dibakar-dan sopirnya mati-kalau tak kebetulan muncul patroli. PJR yang dengan
sigap meletuskan pistol. Lalu lintas sigap diatur. Ambulan menyusul datang
setelah pasukan pengaman bantuan didatangkan untuk melokalisasi masalah dan
menenangkan warga. Akan tetapi, itu sudah amat terlambat karena si korban
spontan diangkut dengan kendaraan yang lewat dan mau mengantarkannya ke RS.
Nasir mati. Kaki, tangan, dan sisi rusuk kanannya remuk. Krowak
tertolong, tetapi kaki kanannya diamputasi sedang tangan kanannya hancur tepat
di sikut dibiarkan utuh-tergantung lumpuh. Sopir Station Wagon geger otak
ringan. Kendaraannya diperbaiki dengan biaya asuransi. Sedangkan motor Arsad
jadi sumber masalah. Arsad dipaksa Ayahnya untuk pulang, dan diungsikan ke
Panarukan-dipondokkan. Sepeda motornya dituntut dikembalikan utuh kepada
keluarga Nasir dan utamanya Khairan. Ia marah ketika mengetahui kalau sepeda
motor itu telah berkali-kali dijadikan barang taruhan judi Toto (gelap)
Singapur. Ia menuntut. Tetapi Khairan tidak kalah sengit menuntut. Menyatakan
bahwa Arsad itu suaminya Saimah sehingga Arsad itu harus bertanggung jawab
sebagai suami-dengan menafkahi Saimah.
“Tapi aku tak pernah mengawinkannya!”
“Ya! Betul! Karena aku yang mengawinkannya.”
“Sembarangan! Kalau tahu aku tidak akan sudi menyetujuinya-kamu
dengan anakmu yang menyebabkan ia mutung sekolah, mencuri perhiasan ibunya,
dan…”
“Betul! Tapi, apakah aku harus menunggu izin Bapak, sementara
mereka telah bablas? Anak saya itu, belum pernah pacaran, sudah meteng. Halim!
Halim!”
“Terus? Terus?”
“Balikkan ia ke kondisi asal. Utuhkan lagi. Bisa apa ’ndak?”
Kadang Arsad mengirim uang belanja untuk Saimah. Mengeluh tak
bisa ke luar dari Pondok. “Aku tidak betah. Aku seperti masuk penjara,”
tulisnya. Saimah menangis. Khairan menelan ludah. Kembali mendatangi orangtua
Arsad dan minta agar mereka tidak memutuskan tali kasih antara Arsad dan
Saimah. Menghiba-hiba sambil lembut mengingatkan anaknya Arsad yang dikandung
Saimah. Tetapi kedua orangtua Arsad cuma bungkam. Dua kali lagi Khairan
mengiba-iba, tapi tidak pernah dilayani. Dipantati bahkan. Karena itu, Khairan,
istrinya, dan Saimah tiba pada kesepakatan kontroversial: Akan membungkus si
bayi dan langsung menyerahkannya-pada kesempatan pertama-kepada orangtua Arsad.
“Nih,” kalimatnya. “Hasil karya anakmu. Lebih jos ketimbang sepeda motor yang
remuk itu!”
Dan memang begitu. Dua hari setelah persalinan, dengan mobil
carteran, dengan dikawal Brewok, Dominik, dan Yudiono-yang setengah mabuk-,
mereka langsung mendatanginya. Segera, tanpa mampir dulu, dari rumah Bidan.
Berparkir di halaman. Mengawal Saimah yang menggendong bayi-diam-diam Khairan
menyelipkan celurit-dan langsung ke ruang keluarga lewat pintu ruang tamu yang
terbuka di rembang petang. Lantang meneriakkan salam sambil menyelonong. Ibunya
Arsad terpekik. Khairan mendelik dan membentakkannya. Ayahnya Arsad bergegas
dari kamar.
Kedua lelaki itu liar bertatapan. Si bayi santun disodorkan oleh
Saimah, tapi liar ditepiskan sehingga Saimah terdorong ke kursi. Khairan loncat
mencabut celurit dan membabatkannya kepada bapaknya Arsad-sekitar delapanpuluh
kali. Ibunya Arsad berteriak-teriak. Tetangga berdatangan, tapi mereka pada
mundur (surut) ketakutan melihat amuk Khairan. Menyisih ketika Khairan
melemparkan celurit pada cacahan bersimbah darah tubuh bapaknya Arsyad. Dan
dengan mobil itu juga, bersama si bayi-yang lantas diberi nama Caca Handika-,
Khairan melapor ke Polisi.
Catatan:
Tombok, “tombokan”: Memasang nomor judi dengan membayar uang taruhan.
Ngeloni:
Meniduri
Meneng:
Diam, membisu tanda setuju
Kowe melu mbandari: Kamu ikut menjadi Bandar
Sugih: Kaya, berharta
Genah: Enak dipandang,
artinya orang baik-baik
Topi Miring:
Merek minuman lokal beralkohol
Mblesar:
memainkan gas sehingga mesin meraung-raung
Dipondokkan:
Dimasukkan ke pesantren untuk belajar dan sekalian tinggal di sana.
Mutung:
Berhenti di tengah jalan
Meteng:
Mengandung, hamil
Jos: Langsung jadi
sempurna, instan
Celurit:
Senjata mirip sabit, khas Madura, meski tak selalu milik orang Madura.
0 comments:
Post a Comment