“Aku bosan menerima
suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu
di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir
kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang
menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan
kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau
kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku
menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata
yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan
terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang
perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu
menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka
merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.”
Kulipat lagi surat
yang telah berulang kali kubaca itu. Dan sebagaimana biasa, dalam kesendirian
aku larut dalam kenangan dan harapan yang selalu kudamba tapi tak kunjung tiba.
Kukira kata-kata Isti dalam surat benar. Wajar bila ia lalu menginginkan cerita
yang lain dari biasanya. Hanya saja, aku bukan pencerita yang baik. Selama ini,
setiap kali menulis surat untuknya, aku harus memberikan pengorbanan yang besar
untuk dapat merangkai-rangkaikan kalimat supaya mudah dimengerti. Ichiro, kawan
sekerjaku, mengatakan bahwa bahasaku selalu minim. “Tanganmu lebih cekatan saat
bekerja ketimbang gerak mulutmu saat bicara. Tapi itu lebih baik,” katanya.
Meskipun demikian, dengan susah payah telah kutulis serangkaian peristiwa yang
terjadi akhir-akhir ini. Aku berharap surat ini bisa memenuhi harapan Isti.
Lembar-lembar surat yang belum beramplop ini masih berserakan di atas tatami.
Siapa pun yang melihat bisa membacanya.
Suatu malam, waktu
itu aku tengah menikmati libur osyogatsu selama seminggu, setelah memenuhi undangan
Nagayama, aku keluar dan hendak kembali ke apaato-ku dalam lingkungan pabrik.
Malam hampir memasuki dini hari. Gerimis salju mulai turun. Tak ada suara-suara
serangga. Sunyi. Aku berpikir, saat musim dingin seperti ini, ke manakah
serangga-serangga yang pada musim panas dan musim gugur begitu ramai? Ah,
mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang serangga? Kau mungkin menduga bahwa hal
ini karena aku tengah digelibat kenangan tentang kampung kita yang pada malam
hari tak pernah sepi suara serangga. Kau benar, Is, tapi bukan karena itu saja.
Saat itu, tiba-tiba aku tak ingin segera kembali ke apaato-ku. Dalam hujan
salju yang semakin lebat aku ingin menyusuri malam. Salju yang melayang-layang
ringan di sekitar lampu jalanan tampak seperti kupu-kupu kecil beterbangan.
Suara geripisnya pada dedaun pohon jyooryokujyu terdengar begitu puitis.
Waktu aku keluar dari
rumahnya, Nagayama yang mabuk berat tertidur begitu saja di atas tatami
beralaskan karpet elektrik yang hangat. Beberapa botol sake telah ditenggak
habis bersama Ichiro yang juga tergeletak di atas karpet hangat itu dalam
keadaan mabuk. Jika besok pagi terbangun, pikirku waktu itu, pasti Nagayama
akan menggerutu karena aku dianggapnya telah berbuat kejam dengan
meninggalkannya dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, hal itu bukan hal yang perlu
kukhawatirkan benar. Jika libur osyogatsu habis dan kami bertemu di pabrik, ia
akan sudah melupakannya. Satu-satunya yang diingatnya di pabrik hanyalah kerja.
Hal ini telah menciptakan fenomena yang berlawanan: Nagayama yang ramah di
rumah dan Nagayama yang pembisu di pabrik. Selama ini aku menyadari benar
sikapnya yang demikian. Orang boleh mengatakan bahwa bagi duda tanpa anak
seperti Nagayama, wajar jika memiliki sikap seperti itu. Hanya saja, aku
sendiri memahaminya sebagai sikap menghargai orang dan pekerjaan secara
sungguh-sungguh.
Menurut Ichiro,
Nagayama telah bersikap demikian jauh sejak sebelum istrinya meninggal karena
kecelakaan pesawat. Perbedaan yang terjadi hanyalah karena Nagayama jadi sering
mengundang mereka ke rumahnya yang berbentuk ikkodate itu. Tentu saja aku
mempercayai kata-kata Ichiro karena sejak bekerja padanya, bersama Ichiro dan
marhum Hiroshi, aku pun sering mendapat undangannya. Meskipun demikian,
ketimbang menebak-nebak sikap lelaki yang hampir memasuki usia tujuh puluh itu,
jika berada di rumahnya aku lebih tertarik memperhatikan kesan sederhana tetapi
terasa indah dan nyaman. Tentang hal ini aku merasa selalu gagal
menerjemahkannya secara tepat. Jika aku mempertanyakannya, Nagayama tak pernah
memberikan jawaban yang pasti. Ia lebih banyak tertawa haha…heheh ketimbang
menjawab pertanyaanku. Karenanya, untuk mengobati rasa penasaranku aku sering
berkata kepada diri sendiri bahwa keindahan dan kenyamanan rumah yang tercipta
dari kesederhanaan merupakan hal yang sulit terjadi tanpa pemahaman seni yang
benar; tanpa ketelatenan dan keseriusan perawatan pemiliknya secara
terus-menerus.
Salju kian menderas.
Suara jatuhnya yang sama sekali tak terdengar terasa menyentuh perasaan;
sesuatu yang lembut jatuh ke sesuatu yang sama lembutnya yang tak menimbulkan
getaran, tapi jika terlihat seolah mampu mengusik pendengaran. Jalanan yang
kulalui mulai memutih. Di mana-mana bumi mulai memutih. Menurut prakiraan cuaca
di televisi, salju akan turun dan mengendap sampai lima belas sentimeter. Hawa
dingin terasa semakin membeku. Tapi aku tak berniat langsung pulang. Malam ini
aku ingin berlama-lama berada dalam salju.
Memasuki pelataran
kuil Burung Besar yang anggun, kembali aku teringat pada maksud Nagayama
mengundang aku dan Ichiro. Katanya, ia mengundang kami bukan untuk menyatakan
kegembiraannya karena telah terbebas dari tuntutan hukum atas tuduhan bahwa
dirinya adalah penyebab utama yang mendorong Hiroshi nekat bunuh diri,
melainkan justru untuk mengenang marhum Hiroshi yang sebenarnya sangat
disayanginya, dan tentunya sambil merayakan osyogatsu. Bebasnya Nagayama dari
tuntutan hukum terutama karena Janda Murata, ibu Hiroshi, tidak melakukan
tuntutan apa pun. Dalam sidang pengadilan ia justru berkata dengan lantang
bahwa ia merelakan kematian anak satu-satunya itu. Jelas ia berusaha membela
Nagayama. “Biarlah anakku merasakan akibat dari kebodohan dan kemalasannya.
Lagipula, jika saya bunuh diri dan meninggalkan surat wasiat bahwa yang
menyebabkan saya bunuh diri adalah kaisar, apakah Bapak Hakim akan menghukum
kaisar?” Kata Janda Murata yang diceritakan Nagayama kepadaku dan Ichiro.
Baiklah kini aku berterus terang kepadamu, Is, bahwa kini aku
bukan trainie lagi sebab sudah lari dari majikan karena aku tak mau menjadi
sapi perahan. Sejak itu aku menjadi penduduk gelap karena pasporku dipegang
majikan lama. Aku lalu bekerja di pabrik keramik milik Nagayama yang tak
mempermasalahkan status kependudukanku. Kerjaku hanya menjaga api saat membakar
keramik perangkat minum sake bikinan Nagayama yang kualitas dan keindahannya
sangat terkenal di negeri perantauanku.
Semula Nagayama membuat sendiri semua produknya. Meskipun secara
kuantitas produknya kalah jauh dengan produk sejenis yang dibuat secara
mekanis, ia tak merasa khawatir. Nagayama malah merasa bangga karena secara
kualitas produknya jauh lebih unggul. “Orang yang mengerti dan menghargai
kualitas tak pernah berkurang. Dan mereka mau membayar mahal untuk pengertian
dan penghargaannya itu!” katanya selalu. Akan tetapi, Nagayama yang merasa
perlu menambah jam istirahat karena usia tua, mulai mempersiapkan dua orang
penerusnya, Hiroshi dan Ichiro. Usaha menyiapkan penerus sambil sedikit
memperbanyak produk inilah yang membawa permasalahan bagi Nagayama hingga ia
dibawa ke pengadilan, meskipun kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan.
Waktu aku menghadiri undangan itu, sebelum mabuk Nagayama
mengatakan bahwa sepeninggal Hiroshi ia tak akan mengubah sikap, pola, dan
sistem kerja pabriknya. “Aku telah merintisnya bertahun-tahun dan aku bisa
hidup darinya. Aku tetap menomorsatukan seni dan kualitas! Kalian harus tahu
itu!” Karena aku diam saja, sementara Ichiro mengangguk-angguk menyatakan
persetujuan, dengan serius Nagayama menanyakan sikap diamku. Aku menjawab bahwa
sikap diamku adalah sebagai tanda mengerti.
Waktu kemudian aku mengatakan bahwa kemengertianku hampir tak
berarti karena kerjaku hanya sebagai penjaga api, Nagayama membantah dengan
keras. “Semua pekerjaan menentukan kualitas akhir sebuah produk!” Katanya dengan
wajah serius.
“Kenapa kau tak pernah mau minum sake?” Tanya Nagayama setelah
menenggak sakenya. Karena aku menjawab dengan sungguh-sungguh bahwa setiap kali
minum sake selalu terserang mencret, Nagayama tertawa terbahak-bahak dalam
mabuknya. “Ya, itu akan mengganggu kerjamu he…he… he…!” Kata Nagayama di sela
tertawanya. Ichiro yang sudah mulai mabuk itu pun ikut tertawa.
Menyusuri gang di belakang kuil Burung Besar, tiba-tiba aku
teringat bahwa di salah satu pohon pada gerumbul di belakang kuil itulah Hiroshi
menggantung diri. Aku jarang merasa takut oleh hal semacam ini, tetapi kali ini
bulu kudukku sedikit merinding. Mungkin karena hubunganku dengan Hiroshi sangat
baik sehingga kenangannya begitu lekat. Mungkin pula karena syalku terbuka
hingga hawa dingin menerobos ke kudukku. Maka, setelah merapikan syal, kembali
aku berjalan dalam salju. Meskipun demikian, saat tiba di bawah gerumbul yang
jadi pucat karena pantulan sinar lampu pada hamparan salju, aku berhenti.
Seolah terhipnotis oleh pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri, atau
sekadar terbayang pada tubuh yang tergantung dan lalu diturunkan, pikiranku
melayang ke peristiwa itu.
“Pyarrrr…! Ayo, tatap barang rongsokan yang kalian bikin ini
jadi pecah berantakan!” kata Nagayama dengan marah sambil terus membantingi
cangkir dan guci keramik bikinan Hiroshi dan Ichiro. Wajahnya semerah saat ia
mabuk berat. Maka terjadilah peristiwa yang selama delapan kali sebelumnya
terjadi. Cangkir dan guci keramik hasil percobaan Hiroshi dan Ichiro delapan
kali sebelumnya selalu dianggap gagal. Pada setiap pemeriksaan, satu-satu
cangkir dan guci keramik itu dibanting Nagayama dengan keharusan bahwa Hiroshi
dan Ichiro menatap setiap bantingan yang dilakukannya, tak terkecuali hasil
percobaan yang kesembilan karena masih dianggap belum memenuhi harapannya.
Suara pecahnya keramik-keramik yang dibanting Nagayama terus berkerompyangan
membentur lantai, membuat perasaan kami jadi giris; seolah yang pecah adalah
hati dan perasaan kami sendiri.
“Jangan palingkan tatapan kalian pada hal lain. Tatap saat
barang pasar itu pecah berantakan supaya kalian tahu bahwa tak ada artinya
pekerjaan yang dilakukan tanpa memadukan segala aspek pada diri kalian secara
total dan sungguh-sungguh!” katanya sambil terus mengambil cangkir atau guci
sekenanya, lalu membantingkannya kuat-kuat ke lantai.
Telah berulang kali Nagayama mengatakan bahwa membuat keramik
perangkat minum sake yang berkualitas prima dan memiliki keindahan yang
memesona, tak cukup hanya mengandalkan teknik dan keterampilan, melainkan harus
juga memadukan kreativitas seni secara total. Hal itu memerlukan ketekunan,
keahlian, dan pengerahan kreativitas pikir dan seni secara sungguh-sungguh dan
terus-menerus. Berulang kali pula Nagayama mengatakan bahwa tangan mungil
wanita dan tangan kukuh pria yang memegangnya saat menuang dan minum sake, tak
boleh memudarkan unsur keindahan guci dan cangkir sake. Keindahan itu justru
harus berpadu dengan tangan-tangan yang menyentuhnya.
“Keindahan Gunung Fuji tak pernah pudar oleh perubahan cuaca
maupun waktu. Saat mendung, hujan, maupun cerah; waktu pagi, siang, maupun
malam, paduan keindahannya tak pernah memudar. Akan tetapi, kalian hanya
menghasilkan cangkir dan guci sake dengan kualitas dan keindahan jauh dari yang
kuharapkan! Kukira bukan karena kalian tak mampu! Kalian belum berbuat
maksimal! Belum juga kalian sadari bahwa untuk memperoleh kualitas dan
keindahan yang kuharapkan, kerja harus benar-benar total!” katanya dengan suara
keras.
Waktu membantingi cangkir dan guci keramik hasil percobaan
Ichiro dan Hiroshi yang kesembilan, Nagayama mengatakan bahwa akhir-akhir ini
ia merasa prihatin karena semangat Nippon mulai luntur. “Anak-anak seperti
kalian terlalu dininabobokan situasi enak akibat berhasilnya teknologi. Apa
kalian tidak mengerti bahwa teknologi canggih yang kita miliki sekarang ini
dulunya amatlah sederhana dan terbatas? Kecanggihan yang kita nikmati sekarang
adalah hasil usaha yang terus-menerus dan akan terus pula ditingkatkan.
Kehidupan tak pernah
mandek. Adalah kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek,
berhenti berpikir atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang
kali kukatakan, berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula
kehidupannya. Banyak penduduk di banyak negeri yang tak menyadari hal ini dan
akhirnya mereka selalu mundur dan kisruh melulu. Setiap hari umurku bertambah,
tubuhku menjadi renta, tapi kalian tak pernah berpikir untuk membuatku segera
bisa banyak istirahat! Sekarang juga kalian buat lagi percobaan kesepuluh!
Tunjukkan kepadaku bahwa hasil karya kalian bisa lebih baik ketimbang hasil
karyaku supaya aku bisa melihat adanya kemajuan! Ingat, kalian bukan lagi anak
sekolah yang harus dipuji dan disemangati dengan kelembutan dan kebohongan!”
kata Nagayama panjang lebar.
Begitulah, malamnya Hiroshi menghilang. Aku dan Ichiro saling
mempertanyakan tetapi sama-sama tak mencarinya. Barulah kami menyesal setelah
paginya beberapa pendeta kuil dan polisi sibuk menurunkan mayat Hiroshi dalam
rinai salju. Dari sakunya ditemukan surat wasiat untuk ibunya yang di antaranya
menyebutkan bahwa semua itu terjadi karena perlakuan Nagayama. Di antara
kerumunan orang, Janda Murata berdiri kaku dan membisu. Wajahnya menampakkan
gambaran kekosongan bercampur dengan warna-warna kusam.
Kukibas-kibaskan salju yang menempel pada topi dan overcoat-ku.
Saat membungkuk untuk mengibaskan salju di celanaku, segera kusadari bahwa aku
sudah terlalu lama berdiri di bawah pohon kusuno yang mirip pohon mahoni itu.
Sepatu saljuku bahkan sudah dalam terbenam dalam salju yang terus menumpuk. Ada
rasa nikmat yang sulit kuungkapkan. Tak jelas kumengerti rasa nikmat macam apa.
Hanya saja aku pernah berharap bahwa suatu saat bisa menyaksikan fajar menguak
pagi bersamaan dengan turunnya salju. Ingin kusaksikan perubahan antara
kelamnya malam yang pucat berganti pagi yang kusam oleh mendung dan rinai
salju. Aku sangsi apakah warna suasana keduanya bisa kuperbandingkan sebagai
warna getah karet campur sedikit tepung arang dengan warna susu yang putih
keruh? Yang jelas, pada kedua warna ini, warna-warna kontras masih bisa
dilihat. Karena itu, sesosok tubuh yang mengenakan overcoat hitam dan berjalan
ke arahku bisa kulihat dengan jelas. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa sosok
tubuh yang berjalan dalam salju itu adalah Janda Murata. Kenyataan ini tentu
saja membuatku kaget bukan main.
Segera aku berlindung di balik pohon Kumashidi yang tak jauh
dari pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri. Sebagaimana kuduga, Janda
Murata menuju ke arah pohon bekas anaknya menggantung diri. Begitu tiba, segera
diletakkannya kembang setaman dan guci air, lalu ia melakukan sembahyang.
Kepalanya menunduk takzim. Kedua telapak tangannya dirapatkan di dada dalam
posisi menyembah. Tak lama kemudian samar-samar kulihat pundaknya
berguncang-guncang. Lalu kudengar isak tangisnya. Di antara isak tangisnya
lamat-lamat kudengar ia menyebut-nyebut nama anaknya. “Hiroshi…! Hiroshi…!”
Dalam dadaku ada suara menggemuruh. Aku yakin di antaranya
adalah suara haru dan iba yang muncul dari bayangan kesendirian hidup Janda
Murata yang kukhayalkan. Ingin aku mendekatinya, tapi segera kutepiskan. Yang
terbaik baginya saat ini adalah membiarkannya dalam kesendirian. Dan bersama
pagi yang telah penuh terkuak, cairan warna susu keruh mulai mengendap, segera
kusadari bahwa sesungguhnya Janda Murata tengah memikul beban yang demikian
berat. Meskipun demikian, kesadaran ini dikacaukan oleh kenyataan bahwa Janda
Murata telah merelakan kematian Hiroshi. Aku jadi bertanya, sesungguhnya
benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat
dengan dirinya? Juga, benarkah Nyai Sukarti, ibu Si Gendon, merelakan kematian
anaknya itu? Benarkah ia merasa plong setelah penduduk kampung kita berhasil
membakar Si Gendon sampai mati?
Ah, banyak nilai yang harus kupertimbangkan untuk memahami
keduanya. Hanya saja aku jadi merasa malu dengan diri sendiri. Apa yang bakal
dikatakan Janda Murata jika membaca penutup suratmu tentang kerelaan ibu Si
Gendon atas kematian anaknya itu? Aku berpikir, antara Janda Murata dan ibu Si
Gendon yang sama-sama merelakan kematian anaknya yang tak wajar, sesungguhnya
memiliki perbedaan yang begitu jauh. Ada rentang nilai yang menganga lebar
antara perilaku Hiroshi dan Gendon, meski keduanya sama-sama terjadi dalam ruas
negatif. Andaikan Janda Murata membaca penutup suratmu yang terakhir kuterima,
mungkin ia akan mencibirkan bibir. “Ah, andaikan benar, mengapa di negeri kita
orang bisa merelakan kematian seseorang hanya setelah seseorang terlanjur
menjadi seperti Si Gendon yang entah berapa rumah yang telah dirampoknya,
berapa tubuh yang telah dicluritnya, berapa perawan dan nyonya-nyonya muda yang
telah diperkosanya, dan berapa kampung serta berapa kota yang telah dibuat
resah oleh ulahnya?”
Aku tak bisa membayangkan bahwa suatu saat harus merelakan
kematian tak wajar anggota keluargaku atau siapa pun, Is. Saat ini aku tak
ingin mengatakan bahwa Janda Murata dan ibu Si Gendon adalah orang-orang hebat
atau jahat. Tak sampai hatiku berpikir semacam itu. Pernah kudengar orang
mengatakan bahwa hidup memang teramat berharga untuk hanya diisi dengan impian
kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku barbar. Sekian saja suratku!
Catatan:
1. apaato:
apartemen sederhana
2. ikkodate: rumah yang
berdiri sendiri
3. jyooryokujyu: pohon
segala musim
4. osyogatsu: tahun baru
5. taiso : gerak badan
6. tatami: tikarala Jepang
Ter-inspirasi
oleh Asmudjo jono irianto “Surat Tokyo”
0 comments:
Post a Comment