Hujan-yang kau sangka bisa
menghijaukan seluruh lampu lampion-baru saja mendera jalanan Sussex, Dixon, dan
Goulburn. Matamu tentu tak waras kalau menganggap billboard Sussex Centre atau
Nine Dragons telah menghijau. Dalam kepungan kristal-kristal air yang jernih
pun, papan nama-papan nama restoran itu menguarkan cahaya merah-kuning yang
tajam. Dan lampu-lampu lampion bergenta mungil itu tetap saja membiaskan
kesejukan daun-daun hijau kekuningan di antara para migran Thailand, Vietnam,
atau Korea yang berlarian menghindar ke trotoar.
Dan kau, Xi Shi, diimpit
gedung-gedung pink, gapura-gapura berornamen naga atau patung-patung harimau,
tak mau menghindar dari kutuk hujan. Maka, sungguh aneh jika orang-orang yang
berpapasan denganmu tak menganggap kau sebagai perempuan edan. “Mereka toh tak
memahami makna kenikmatan,” dengusku sambil menatapmu yang terus-menerus
membentangkan sepasang tangan dan menari-nari dalam dera hujan.
Kau tahu apa yang kau harapkan
Xi Shi. Di akuarium raksasa bernama Chinatown, tak seorang berani mengguratkan
segores luka jarum pun di tubuhmu yang dipenuhi tato naga. Luka paling luka,
perih paling perih, dan pedih paling pedih pun tak mengubahmu menjadi perempuan
sehening teratai, selembut bunga lili, atau sesejuk kolam-kolam jernih di The
Chinese Garden of Friendship.
Ya, ya, kau pasti membayangkan
kristal-kristal air itu akan berubah menjadi jarum-jarum tato yang
menusuk-nusuk ke sekujur tubuh. Kau pasti mengharapkan petir akan menyambar
sepasang bahu indah, membakar rambut panjang terurai, dan mengabukan jasad naga
yang senantiasa menjelita di keriuhan ruang kasino dan restoran-restoran
bergorden sutra. “Maka, sungguh busuk hati para turis yang tak segera memotret
tarianmu. Sungguh bodoh mereka yang tak bergegas mengabadikan kenikmatan seorang
perempuan mendamba kematian.”
Aduh! Aku sebenarnya tak perlu
mendengus-dengus seperti itu, Xi Shi. Mataku masih waras untuk memergoki
ketololan para pejalan kaki. Mereka memang membelalakkan mata harimau dan
berharap kau segera telanjang, tetapi sesungguhnya terlalu takut menatap
tubuhmu yang terus-menerus menggelinjang itu ditabrak mobil polisi yang
berpatroli. Mereka memang mengasah keberanian untuk menyeretmu dari amuk petir,
tetapi tak sejumput nyali pun mengecambah untuk sekadar membebaskanmu dari
cambukan hujan.
Namun,
Thian1) dan naga paling ganas tak mengasah lidah api di
langit Sussex. Hujan mereda justru ketika kau mengharapkan kota ini dihantam
banjir dahsyat, terhapus dari peta Sydney dan keangkuhan para perintis asal
Guangdong yang membangun taman-taman persahabatan sembari melupakan penghinaan
besar-besaran terhadap orang-orang Asia pada masa Politik Australia
Putih.2)
Maka, dipandang dari angkasa
yang jauh, Chinatown hanyalah sebuah akuarium penuh cahaya lampion. Kau dan
turis-turis yang memuja kosmetik dan kepalsuan kostum Negeri Leluhur yang
disewakan secara murah tak lebih dari ikan-ikan konyol yang berenangan dari Hay
Market ke Sussex, Dixon ke Goulburn, atau Sussex ke Dixon. Kau hanya
melingkar-lingkar dalam labirin dan jadi tontonan turis bego. Apakah kau juga
menikmati penjara yang ditebarkan lampion-lampion indah itu, Xi Shi?
Sudah kuduga Xi Shi tak akan
menjawab pertanyaanku. Aku juga yakin dia tak akan pernah peduli pada siapa pun
yang menebarkan sepasang mata ke sekujur tubuhnya saat itu.
Musim dingin memang menjijikkan.
Namun, bukan lantaran sayatan-sayatan udara minus 8 Celsius itu yang membuat Xi
Shi abai pada kekasih. Bergaul dengan dia sepanjang waktu, aku jadi paham kapan
perempuan indah itu menebar senyum, merokok, mengisap marijuana, teler, menari,
memimpin gerombolan bandit merampok toko, berjalan sambil mengendus- endus bau
anjing, menangis, atau bercumbu.
Bahkan, andai kata dia tahu
sudah sesiang tadi aku menguntit ketika dia bercermin di kehijauan kolam yang
dikepung bambu-bambu di Kuil Kupu-kupu, sangat mungkin Xi Shi mengabaikan
kehadiranku.
Xi Shi memang suka bercermin.
Namun, aku tahu benar, dia bukan jenis perempuan narsistis. Rasa-rasanya dia
hanya percaya pada cermin atau apa pun yang bisa memantulkan sekujur tubuhnya.
Cermin telah memberikan pemahaman tak kunjung habis tentang siapa dirinya.
Menatap cermin lama-lama Xi Shi tahu Thian telah memberikan anugerah sekaligus
kutukan.
aurasakan saat bercermin, Xi
Shi?” selalu aku bertanya sehabis kami mengisap marijuana.
“Aku melihat keheningan
kuil-kuil sehabis hujan, kolam yang senantiasa hijau, sepasang undan tak
henti-henti menciptakan gelombang transversal, gunung penuh sukma leluhur, mata
burung phoenix setelah membakar sayap, dan kera-kera kecil bergelantungan. aku
melihat diriku sebagai ratu naga paling rupawan.”
“Apa yang kau rasakan saat
bercermin, Xi Shi?” aku selalu mengulang pertanyaan itu.
“Aku melihat Buddha menatap
kesedihan dari jalanan sunyi ke lorong-lorong mesum. Aku melihat Yesus mengerang-ngerang
dan lambungnya mengucurkan penderitaan terus-menerus. Aku melihat bocah-bocah
kecil menadahkan tangan dan aku sedikitpun tak pernah merasa kasihan.”
Dan ketahuilah tak seorang pun
menganggap Xi Shi edan. Dia memang perempuan bandit yang sejak kecil membawa
pisau lipat ke mana-mana, namun tak sepercik pun darah orang Sussex menetes
oleh kebengisannya. Dia memang pemimpin gerombolan perampok tengil, namun tak
sepotong pun jarum orang Sussex hilang oleh tangan iblisnya.
Mungkin karena itulah, penduduk
membiarkan Xi Shi menari-nari atau berteriak-teriak tak keruan di jalanan. Tak
ada alasan bagi mereka untuk tak memuja Xi Shi. Xi Shi membuat Sussex tak
dijarah preman-preman Aborigin. Xi Shi membuat pria-pria sok polisi mati
berdiri saat menatap dia menari di ruang-ruang kasino atau telanjang bulat di
penjara yang sunyi.
Berlebihan? Tidak. Xi Shi memang
lahir untuk menjadi perempuan yang tak pernah peduli pada tubuhnya sendiri.
Bagaimana harus percaya pada tubuh, kalau sejak kecil sudah jadi sarang pukulan
ayahnya yang bengis? Bagaimana percaya pada tubuh kalau pada usia dua belas
tahun sudah diganyang preman jalanan? O, bagaimana dia merasa memiliki tubuh
jika pada saat umur mulai mengelopak pacar dan sang ibu berebut mencumbu
dirinya?
Kesakitan demi kesakitan itukah
yang menjadikannya sebagai perempuan iblis? Apa jadinya jika sihir sang
Mahasakit telah kehilangan teluhnya? Entahlah. Yang jelas Xi Shi telah menjadi
batu yang cuek dan terluka. Yang jelas Thian memberikan sepasang mata indah
sekaligus tak pernah menganugerahkan rasa sakit kepadanya.
Maka, pahamilah mengapa sejak
siang tadi Xi Shi mengabaikan kehadiranku. Kehadiran orang lain yang dia sangka
sebagai neraka itu.3) Ya, di yang ya, aku, penderita
bodoh ini, relung mata Xi Shi ganjil, tetap sebagai pelukis tato. Tetap saja
hanya budak impian ingin menebarkan rasa sakit tubuhnya.
Aha! Kau pasti ingin bertanya
mengapa sepanjang hari aku menguntit Xi Shi? Minumlah kopi di kafe-kafe dulu.
Ciumlah kekasih-kekasihmu di jalanan gelap dulu. Setelah itu, dengarlah
ceritaku!
Yu Chao, bandit bengis Makau
yang ingin menguasai Sussex-lah, yang memperkenalkan aku kepada Xi Shi. Waktu
itu di Star City, di ruangan kasino berarsitektur Cina mewah yang dikepung 200
meja permainan dan 1.500 mesin slot, bersama para penari lain Xi Shi menarikan
salah satu nomor Shanghai Dance.
“Jangan menganggap remeh penari
bermata liar itu. Dia memang suka menari, tetapi dia bandit yang tak
terkalahkan. Dia memang menebar mata indah. Namun, sesungguhnya dia hanya ingin
menatap lama-lama calon korbannya. Setelah mereka teperdaya, habislah riwayat
kekayaan para pria bodoh itu. Perempuan licik ini akan mengajak mereka berjudi
terus-menerus dan mencumbu serigala-serigala bloon itu hingga mereka tak punya
keberanian menolak segala keinginan Xi Shi, bahkan akhirnya mempercayai dia
sebagai ratu,” Yu Chao mendesis.
Tak kurespons kekaguman Yu Chao.
Dan sebagai perempuan mata-mata yang dibayar Yu Chao untuk menenggelamkan para
pemain kasino atau bandit lain ke ceruk kekalahan, aku memang tak berhak
membuncahkan kata-kata yang paling tak bermakna sekalipun.
“Aku dengar dia mencari
perempuan penato yang bisa mengguratkan sepasang naga di sekujur tubuh. Aku
dengar dia ingin menunjukkan kepada para bandit Sussex betapa rasa sakit paling
sakit pun tak membuatnya gigrik menghadapi kehidupan. Dan sekarang, kau, Cit
Li, kutugaskan untuk menenggelamkan dia ke comberan.”
enapa harus seorang perempuan
penato? Bukankah Fan Li, pemimpin Gerombolan Naga Sembilan, musuh bebuyutan
yang paling kita takuti pun telah bertekuk lutut kepadanya?”
“Karena Fan Li tak punya
apa-apa, kecuali pistol dan kebodohan. Kau lain, Cit Li. Kau punya jarum-jarum
tato. Kau…,” Yu Chao mendesiskan alasan-alasan aneh.
Tak butuh musim demi musim yang
lebih menjijikkan untuk menyusup ke ceruk kehidupan Xi Shi. Sebulan menguntit
perempuan iblis itu, aku menemukan keindahan sekaligus kerapuhan jiwa moleknya
Xi Shi-yang kutaksir telah 30 tahun tak usai-usai memahami kepedihan-sangat
menyukai penari-penari muda. Dan karena aku sangat mahir menarikan nomor-nomor
Shanghai Dance, dia meminta aku mengajarinya sepanjang hari di apartemennya. Xi
Shi-seperti dugaan Yu Chao-juga membutuhkan perempuan penato. Dan karena
menganggap aku sebagai penato hebat, dia memaksaku menusukkan jarum-jarum
tatoku ke tubuh indah yang seharusnya tak membutuhkan tambahan keindahan itu.
Sampai di sini harus kukatakan
kepadamu: Yu Chao keliru ketika memilihku menjadi kaki tangannya. Dia tak tahu
betapa aku sangat bisa dan cepat berpaling dari serigala-serigala bengis yang
tak percaya pada kekuatannya sendiri. Dia keliru menafsirkan kelembutanku
sebagai perempuan. Dia juga keliru ketika terlalu percaya pada ketakmungkinanku
terperosok dalam sihir cinta monster cantik itu. Maka, sebengis apa pun
kemarahan Yu Chao, perintah-perintah dan bayaran setinggi langit agar aku
segera membunuh Xi Shi pun kuabaikan.
Memang seorang pelukis tato
hanya berhak memandang keindahan tanpa boleh memiliki sejumput keinginan
mencumbu tubuh para pelanggan. Namun, Xi Shi telah menebar candu cinta yang
begitu dahsyat sehingga aku memiliki keberanian melanggar segala pantangan.
Melanggar petuah-petuah leluhur dan melawan aturan-aturan Thian hanya untuk
sebuah kisah kasih yang konyol. Hanya untuk wajah liar Xi Shi saat didera
sepotong rembulan.
Apakah Yu Chao menyangka aku tak
bisa mencintai perempuan?
Tak perlu dia menjawab
pertanyaan itu. Namun, seharusnyalah dia mendengarkan desis Xi Shi ketika pada
suatu malam menebarkan teluh cinta kepadaku.
“Maukah kau segera mengguratkan
tato sepasang naga, Cit Li?”
akan kutatokan sepasang naga di sekujur
tubuhmu. Akan kuguratkan juga sepasang lampion indah di bahumu.”
“Dalam warna-warni pelangi yang
kusuka?”
“Ya, dalam warna-warni pelangi
yang kau suka.”
Apakah Yu Chao masih berani
menyangka kami hanya sepasang undan yang tak mungkin bercinta?
inkan aku menceritakan kepadamu
tentang keindahan segurat kepedihan. Ketahuilah, tak seorang pun pelangganku
yang mampu menahan rasa sakit. Setiap jarum- jarum tajam itu kuhunjamkan ke
tubuh, mereka akan meringis atau berteriak-teriak menyebut nama Thian. Xi Shi
sungguh sebuah perkecualian. Tak pernah menyebut nama Thian. Tak mengeluh
sedikit pun saat jarum menusuk-nusuk membentuk ekor, kepala, sisik, dan taring
tajam.
“Masih adakah yang lebih sakit
daripada tusukan-tusukan indahmu, Cit Li?”
Tak kujawab pertanyaan itu.
Ingatanku melayang ke cerita Nenek tentang Sussex puluhan tahun lalu. “Dulu…
dulu sekali… di Sussex hanya ada delapan perempuan Cina, Cucuku. Kau tahu, apa
yang terjadi ketika delapan perempuan itu harus menghadapi pria-pria serigala?”
Waktu itu aku tak bisa menjawab pertanyaan
Nenek. Namun, kini aku bisa membayangkan rasa sakit yang meletup-letup saat
serigala-serigala itu mencabik-cabik daging indah para perempuan selembut
keramik. “Karena itu, Cucuku, setiap perempuan Sussex diajari melupakan rasa
sakit dan sebaliknya harus mampu menebarkan kesakitan yang luar biasa. Hanya
dengan cara itu mereka bisa hidup. Hanya dengan cara itu Nenek bisa memiliki
cucu secantik kamu.”
Maka, aku jadi tahu mengapa pada
saat usiaku menginjak enam tahun. Nenek mengajariku menato tubuh sendiri. Mula-
mula memang rasa sakit itu menebar ke sekujur tubuh, namun lama-lama
menimbulkan kenikmatan luar biasa.
Nenek juga mengajari aku membenci
setiap laki-laki. Laki- laki adalah serigala bodoh. Kata Nenek, dia selalu
mencakar wajah Kakek saat mereka bercumbu. Ibuku juga lahir sebagai betina
perkasa. Dia bercinta habis-habisan dengan Ayah, namun setiap malam membawa
pria Aborigin atau serigala-serigala Sydney ke ranjang.
Lalu, kalaupun aku kemudian
bekerja untuk Yu Chao, itu hanyalah siasat untuk menggiring pria bodoh Makau
ini ke jurang paling dalam. “Hanya orang-orang yang bisa pelanggan yang sedang
kautato. Kalau kaulanggar, jari-jemarimu akan patah. Matamu akan buta. Cintamu
akan menghunjam ke comberan…..”
“Tak ada lagikah rasa sakit yang
kau hunjamkan ke tubuhku, Cit Li?” Xi Shi mendesis lagi.
Lagi-lagi tak kujawab pertanyaan
itu. Sambil memandang lukisan sepasang naga setengah jadi di tubuh Xi Shi,
ingatanku melambung pada puluhan perempuan yang dicumbu dan dicambuki pria-pria
sadis, pada pria-pria ganas yang menyiksa perempuan Cina di negara tetangga,
pada kegilaan Yu Chao yang tak habis-habis mengusung puluhan penari ke
apartemennya. O, apakah kami-para perempuan yang dicipta serupa bidadari-memang
telah benar-benar melupakan rasa sakit? Dan Xi Shi, monster cantik itu, apakah
telah melupakan pedih perih hingga ke tulang sumsum? Tak bisa kujawab
pertanyaan itu. Tak bisa.
“Sepasang lampion itu telah kau
guratkan ke bahuku, Cit Li?” Xi Shi membuyarkan lamunanku, “Apakah tubuhku
terlalu indah bagimu?”
Aku mengangguk.
“Seperti dirimu, aku tahu, Cit
Li, kau dikutuk untuk tak pernah merasakan kesakitan dan dilarang mencintai
serigala- serigala Sussex bukan?”
Aku mengangguk lagi. Namun, Xi Shi tak
tahu, aku juga tak boleh mencintai pelangganku. Xi Shi tak tahu keliaran dan
sepasang lampion di matanya telah menaklukkan tebaran kutuk leluhur yang
melilit diriku sepanjang waktu.
Kegairahan dan ketakutan itu
akhirnya justru membuatku abai pada segala hal. Maka, dengan berahi dan cinta
yang meletup-letup kutusuk-tusukkan jarum-jarum tato hingga sepasang naga
betina dan sepasang lampion cantik menggurat di tubuh Xi Shi yang mestinya
terlalu indah untuk dilukai. “Setelah ini, kau tak boleh ke mana-mana Xi Shi.
Kau tak boleh menari. Kau tak boleh berkeliaran ke kuil-kuil. Kau tak boleh
asyik-masyuk di ruang kasino atau melahap makanan sembarangan di restoran,” aku
mendesis tak keruan dan merasa mengubah Xi Shi hanya menjadi seekor cacing.
“Kalau kulanggar?” aga dan lampion-lampion itu akan
hilang.”
Namun, di relung-relung musim
Sussex yang menjijikkan, kau menghilang, Xi Shi. Rasa sakit yang kutebar lewat
jarum tatoku, bahkan tak kaupedulikan. Dengan lipstik merah di cermin yang
senantiasa memantulkan percumbuan kita, kau menuliskan kata-kata bodoh yang tak
bakal dikenang oleh orang-orang yang mengaku sangat peduli pada penderitaan.
Apa arti tulisan “Melawan sakit adalah kebodohan?” Apa pula makna “Melupakan sakit
sama dengan melupakan Thian?” Bukankah kita telah lama melupakan penderitaan
dan carut- marut zaman? Bukankah kita tak mampu berbuat apa-apa ketika
manusia-manusia ganas membakar perempuan-perempuan lembut di ujung jalan?
Memang kemudian kau kutemukan di
keriuhan kutuk hujan, tetapi tak lama lagi sepasang naga dan lampion-lampion
itu akan menghilang. Kulitmu bakal mengelupas. Keliaranmu tanggal. Kau tak akan
bisa menari di ruang kasino. Kau tak akan bisa merampok orang-orang kaya di
pedesaan. Jiwamu bakal rontok di trotoar.
Karena itu, mesti tarianmu kian
kacau, aku akan terus-menerus menguntitmu, Xi Shi. Aku harus menjagamu, wahai
naga betinaku. Hanya kau yang kelak mampu memaknai surga Sussex. Hanya kau yang
mampu menebarkan derita paling terkutuk pada orang-orangyang telah melupakan
rasa sakit. Maka peluk kecup4) serigala, yang melupakan
lalu buang ke selokan. Peluk kecup perempuan garang kemontokan dirinya sendiri,
tinggalkan kalau merayu5). Namun, jangan kau jadikan aku boneka mainanmu.
“Apakah sepasang naga yang
kautatokan di tubuhku telah hilang, Cit Li?” suaramu mengiang.
“Yu Chao yang telah hilang dan
kembali ke Makau.”
“Apakah sepasang lampion itu
juga telah sirna, Cit Li?”
“Aku yang telah hilang karena
segala cintaku kauabaikan.”
Maka, sungguh sialan kalau aku
masih ingin menguntitmu, Xi Shi. Sungguh aneh kalau aku terpaku di bawah
sepasang lampion dan terus-menerus menatap tarian gilamu.
“O, adakah yang lebih edan
daripada sepasang kekasih yang menggelegakkan tawa bahagia di riuh malam yang
kehilangan amuk hujan, Xi Shi? Adakah yang lebih konyol daripada sepasang tawa
yang kehilangan jiwa?”
Aku tahu… kau terus menari
hingga cinta kehabisan api. Hingga tari kehabisan tari.
Catatan:
1) Thian adalah bahasa Cina untuk
menggantikan kata Tuhan.
2) Pada awal abad ke-20 Australia
memberlakukan White Australia Policy yang melarang imigran Asia, termasuk Cina,
masuk ke Benua Kanguru. Orang-orang Cina yang telah bekerja dan tinggal di
berbagai kota didiskriminasi, dihina, dan diperlakukan secara tak adil.
3) Neraka adalah orang lain adalah ungkapan
khas Sartre.
4) dan 5) bagian sajak Chairil Anwar,
“Kepada Kawan”.
0 comments:
Post a Comment