Gambar dari sini |
Seorang mahasiswa menepuk-nepuk bagian bahu
almamaternya. Sesekali ia tiup. Membuat butir-butir debu beterbangan. Bagian
lengan terlihat kusam, masih tersisa bekas keringat yang bercampur debu saat
berdemo kemarin siang. Lantas ia mencium jaket kebanggaannya itu. “Inilah wangi
perjuangan”, bisiknya dalam hati.
Di sudut yang lain, seorang mahasiswa sedang
menyeterika kemeja putih, celana hitam, dan tidak lupa jaket almamaternya.
Bahkan, biasanya sangat jarang ia semproti baju yang diseterika dengan pewangi dan
pelembut, tapi hari itu ia pakai. Mahasiswa itu membuka agendanya. Di lembar ke
dua belas ia tuliskan bahwa besok ia harus mengikuti konferensi tingkat
nasional. Ah, pasti karena itu ia siapkan pakaian rapi lengkap dengan almamater
kebanggaannya. Sebelum diletakkan dalam sudut lemari, diciuminya almamater itu.
“Wanginya sudah siap untuk konferensi esok,” batinnya bergumam.
Lain lagi dengan yang satu ini, seorang mahasiswa
sedang membersihkan kotoran akibat goresan pensil warna di almamaternya. Sambil
tersenyum, ia mengambil sehelai tissue basah lalu menggosok-gosokkan di
permukaan kotor tersebut. Meski tidak hilang sempurna, tapi ia sama sekali
tidak menyesali ulah anak-anak lucu yang telah mencoret jaket kebanggaannya
itu. Ia masih tetap bermain sembari sesekali menyeka keringat. Tentu ada
saatnya nanti, di sela-sela bermain, mahasiswa itu akan berkata, “Adik-adik,
sekarang kita belajar ya, supaya kalian jadi anak pintar dan suatu saat dapat
memperbaiki bangsa ini.”
Sekarang giliranku, mungkin juga giliranmu. Coba ciumi
almamater dari kampus kebanggaan kita, aroma apa yang menyeruak? Akankah ia
beraroma debu dan tetes keringat akibat seringnya engkau turun ke jalan?
Mungkin juga wangi yang kau cium adalah wangi peserta konferensi atau
pertemuan-pertemuan intelektual lainnya? Atau ia beraroma anak-anak yang
senantiasa kau dampingi tumbuh kembangnya dalam pembelajaran dan mimpi-mimpi?
Aku yakin, semua itu adalah wangi perjuangan.
Jika ada yang berkata, “Mahasiswa itu harus turun ke
jalan jika merasa masih peduli dengan bangsa ini!”. Hei, apakah kawan-kawan
kita yang menguras pikiran demi sebuah penemuan itu bukan bagian dari
perjuangan? Apakah teman-teman kita yang sering ke luar negeri untuk konferensi
atau lomba-lomba itu kita pandang sebagai ambisi pribadi? Atau kita menganggap
remeh perjuangan sebagian teman-teman yang lain ketika mereka berbagi senyum
dan semangat dengan anak-anak pinggiran? Semua kita sedang berjuang, kawan.
Apapun medannya.
Pemerintah harus berterima kasih kepada mereka
(mahasiswa) yang bersedia mengawal dan menasihati tanpa meminta bayaran.
Demikian juga para orang tua, selayaknya menaruh harapan bahwa ada jutaan anak
muda yang masih peduli dan mempersiapkan diri guna menjemput Indonesia di masa
depan. Mereka sekarang sedang berserakan, di trotoar jalan, di depan komputer,
di sela-sela rak perpustakaan, atau mungkin di depan papan tulis, dan ada juga
di podium-podium kehormatan.
Hanya satu yang ingin kutanyakan, kawan, wangi apa
almamatermu? Jangan sampai ia beraroma lemari usang yang hanya kaukeluarkan
saat menjelang kelulusan. Aromai ia dengan perjuangan, apa pun itu.
--Wandra, Mahasiswa UI
tahun 2012.
0 comments:
Post a Comment