Hari
ini adalah hari tergila ku, hari keterbalikan semua akal logika, hari titik
balik seorang mahasiswa biasa yang terbuang tak memiliki suara menjadi seorang
yang memiliki suara merubah arah perjalanan. Hari yang mencampur aduk perasaan
dipangkal pikiranku, rasa senang, iri, sedih, marah, dan bangga bercampur
menjadi satu melebur dalam keringat perjuangan.
Rasa
senang ku, adalah yang biasanya aku hanya berada dibarisan belakang, suaraku
tak didengar, bahkan aku tak dianggap ada, berniat memberi lebih tapi selalu
dipandang tak berguna, hanya menjadi mahasiswa pendengar dan berteriak tak bersua.
Kemarin suaraku didengar tidak hanya oleh barisan keluargaku saja, namun oleh
seluruh barisan. Senang memang namun tak seseru dibarisan keluarga tercinta.
Lalu
rasa sedihku, adalah karena melihat keluargaku berfikiran dan menatap sinis
keluarga lain saat mereka dengan lantang menjaga keluarganya walaupun dengan
kericuhan. Memang terlihat kekanak-kanakan, namun bukankah keluarga seharusnya
seperti itu ketika satu keluarga kita dipukul anggota keluarga yang lain tidak
hanya bisa tinggal diam, mereka membalas orang yang memukul keluarganya dan
membelanya, walaupun dengan cara yang tidak bijak. Namuan keluarga tersebut
memiliki sosok seorang kepala keluarga yang selalu paling depan menenangkan
keluarga itu dengan arif dan bijak.
Terkadang
ada rasa iri, ketika melihat keluarga mereka seperti itu, Karena mereka
memiliki rasa yang solid satu sama yang lain, memiliki kebanggan atas
keluarganya, hingga tak bisa berfikir panjang ketika melihat salah satu
keluarganya dihina dan sakiti. Namun keluargaku? Ahh entahlah. Keluargaku hanya
melihatnya dengan sinis dan merendahkan, terlihat dengan jelas diraut wajahnya,
mungkin masih dalam proses belajar menghargai, mendengar, dan merangkul.
Hatiku
terbakar karena Amarah yang besar,”Jangan pak, biarkan. tunggu sampai mereka
selesai pemberian penghormatan” saat seorang satpam memaksa membubarkan barisan
keluarga itu. ketika sedang menghormat dan menyanyikan lagu kabanggaan keluarga
mereka dihadapan bendera yang besar dan megah, dengan kebanggaan terbesar dari
lubuk hati mereka terlihat dengan jelas diraut wajah mereka. Mungkin sama
halnya ketika aku menghormat bendera kehormatanku “Sang Merah Putih” yang selalu
membuatku menitihkan air mata kebanggan ketika menghormatinya sedang berkibar
dipuncak tiang tertinggi.
Sedangkan
keluargaku? Menaruh mendera yang sebagai symbol penghormatan dan kebanggan,
diletakkan diatas tanah dan ditinggalkan setelah acara selesai. Aku sungguh akan
berteriak marah kepada mereka ketika aku melihatnya langsung, tidak perduli
jika mereka menganggapku sok-sok’an bahkan jika membuangku dari keluarga, aku
tak perduli akan ku anggap ini sebagai perjuangan membela symbol kehormatanku. Namun
aku hanya mengetahuinya dari foto, dan langsung aku comment di grup itu, dan tak
ada tanggapan, hanya diread tak didengar bahkan mungkin tak dipikir ulang hanya
diliat bagai debu.
Aku
berfikir jika symbol kehormatan itu menyentuh tanah sedikit pun, maka satu keluarga
harus dihukum atas ketidak mampuan menjaga kehormatan itu. Bendera adalah saksi
sejarah perjuangan kakak kakak kita yang telah memperjuangkannya, alangkah
baiknya kita jaga dan berjuang untuk menjunjung tinggi nama keluarga.
Pada
akhirnya semua kekurangan dari keluargaku, aku tetap mencintainya, tetap bangga
dan menjunjung tinggi kehormatanya. Walau sekarang aku tidak dapat
berkontribusi langsung lewat pengurus keluarga, namun aku akan selalu memberi
dukungan kepada keluarga ini. Baik sebagai koalisi dengan pengurus yang selalu
membatu tenaga dan pikiran, maupun sebagai oposisi yang selalu mengkritik,
mengingatkan dan mengevaluasi. Itu semua demi keluarga tercintaku, kebanggaanku
dan kehormatanku, jika aku tak perduli dan mencintainya, tak akan aku berfikir,
peduli dan berkontribusi melalui pemikiran dan kritikan.
0 comments:
Post a Comment