Beberapa
hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Mei 2015 saya turut menjadi salah satu
serpihan dari mozaik ekspresi massa tentang perjuangan melawan penindasan
kapitalisme. Siang itu, matahari cukup ketus membakar kulit kami yang juga
terbakar kekecewaan atas penindasan kaum kapitalis yang masih saja terjadi.
Siang di seberang sebuah istana yang mulia, ribuan orang berdesakan sambil
berteriak, bernyanyi, dan mengekspresikan dengan cara apapun yang mereka bisa.
Semua demi satu tujuan, perjuangan melawan penindasan.
Sejak
pagi hari, ribuan massa sudah memadati jalan-jalan di ibukota. Berbagai macam
serikat buruh dari segala penjuru dengan berbagai macam warna pakaian yang
mereka kenakan satu per satu mulai berdatangan. Tuntutan demi tuntutan mereka
sampaikan dengan suara lantang yang dipertegas dengan kepalan tangan. Seakan
memberi peringatan bahwasanya mereka datang bukan sekedar menjadi hiburan di
depan istana yang menjadi simbol kebanggaan.
Tak
bisa dipungkiri secara historis kaum buruh menjadi sebuah warna tersendiri
dalam perjuangan pergerakan di Indonesia. Sejak era kaum palu arit, buruh dan
tani seolah menjadi kekuatan massa yang begitu kuat menjelma bak dewa. Partai
apapun yang mampu menarik hati mereka, pastilah berpeluang besar menjadi
penguasa. Namun ironisnya, kekuatan mereka seakan-akan hanya menjadi minyak
yang dibakar. Mampu menghangatkan dan menerangkan yang membakarnya namun
menguap begitu saja.
Apa
yang menjadi perjuangan mereka saya rasa adalah perjuangan yang sewajarnya
menjadi manusia. Mereka menuntut pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja dan
perlindungan terhadap penindasan kaum kapitalis yang satu-satunya jalan ialah
dengan diatur oleh undang-undang. Lalu, bagaimana wajah undang-undang kita yang
menjadi dasar tuntutan mereka? Saya rasa semua kita mengerti tentang masih
banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pemenuhan hak-hak para pekerja yang
terjadi di lembaga apa saja. Gaji yang tidak sesuai dengan UMR, jam kerja yang
tidak manusiawi, keterlambatan gaji, dan masih banyak masalah lagi menjadi
serpihan-serpihan retak dalam keutuhan cermin kesuksesan implementasi
Undang-undang Ketenagakerjaan yang masih saja diremehkan.
Jikalau
berharap kemakmuran bersama, rasa-rasanya hubungan gelap antara pemerintah, wakil
rakyat, aparat penegak hukum dan korporat harus segera dihentikan. Ibarat suatu
perzinahan, mudharat bukan hanya menimpa para pelakunya, namun juga
lingkungan sekitarnya. Kita sebagai rakyat yang tak banyak punya kuasa atas
akses intervensi ternyata ada di lingkungan mereka dan terkena imbas mudharat
yang semakin membuat kita melarat.
Sejarah
mencatat sejak rezim orba berkuasa, Indonesia semakin terbuka terhadap blok
barat. Hal tersebut tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Pembangunan ekonomi
memang terjadi begitu pesat yang dipicu oleh industrialisasi yang melesat.
Struktur masyarakat pun semakin bergeser dari masyarakat petani menjadi
masyarakat industri. Akan tetapi, sayangnya mayoritas masyarakat hanyalah
menempati lapisan terbawah dalam struktur masyarakat Industri dengan hanya
menjadi buruh. Kecerdasan rakyat seakaan dihambat dengan informasi yang diikat
erat oleh para pejabat. Keadaan ekonomi mungkin terasa lebih mudah bagi rakyat
sebagai ganti dari industrialisasi dan eksploitasi sebagai wujud penindasan
kaum kapitalis. Namun sayangnya saat itu bangsa kita lambat untuk sadar akan
hal-hal buruk yang terjadi di depan sebagai dampak dari hegemoni kapitalis yang
mungkin sampai saat ini kita rasakan.
Indonesia
sejatinya merupakan negara yang sarat akan corak sosialisme. Kita bisa melihat
cerminan itu dari Pancasila dan Undang-undang Dasar kita yang memang sangat
kental akan corak sosialis. Meskipun pasca 65 terjadi penumpasan terhadap
ideologi komunis dan semakin melemahnya ideologi sosialis, namun nilai-nilai
perjuangan sosialisme tentunya masih mendarah daging di setiap sendi-sendi
kehidupan masyarakat kita, khususnya kaum proletar. Oleh karena itu, rakyat
kita seakan-akan fobia terhadap kapitalisme yang selalu menumbalkan mereka
dalam memperoleh hak-hak mereka. Kecerdasan organik masyarakat mengarahkan
mereka untuk memilih pemikiran mana yang lebih pantas untuk mereka serap dan
jadikan acuan dalam bertindak. Maka dari itu, 1 Mei yang kita peringati sebagai
hari buruh internasional atau yang kita kenal dengan Mayday menjadi sebuah
momentum untuk mengekspresikan perjuangan melawan penindasan kapitalisme.
0 comments:
Post a Comment