Sunday, January 10, 2016

KEBANGKITAN GERAKAN KIRI ABAD 20 [Bagian 2]




1.      Evo Morales, yang lahir tanggal 26 Oktober 1959 dari keluarga Aymara di Orinoca, terorbit karena komitmennya memperjuangkan kebangkitan bangsa-bangsa pribumi di Bolivia. Di kalangan orang Aymara dan Quechua, dia dikenal sebagai Apu Mallku, atau Pemimpin Besar. Dia mendapat mandat dari kedua suku asli yang terbesar di Bolivia untuk memimpin jaringan ayllus, dewan-dewan adat di pegunungan Andes yang lebih tua dari kekaisaran Inca, dan kini telah mengalami kebangkitan karena Negara tidak berfungsi meningkatkan kesejahteraan penduduk asli negeri itu (Langman 2005: 46; Kompas, 4 Jan. 2005).
2.      Kebangkitan bangsa-bangsa pribumi Amerika Latin bukan hanya gejala khas Bolivia, tapi mengubah petabumi politik sebagian besar negara hasil kolonisasi bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis itu. Sejak tahun 2000, gerakan bangsa-bangsa pribumi telah mendorong tergulingnya empat orang presiden di Ekuador dan Bolivia, dua di antaranya dalam tahun 2004 saja. Di Ekuador, Konfederasi Bangsa-Bangsa Asli punya partai politik sendiri, Pachakutik (Kebangkitan, dalam bahasa Quechua), yang ikut mengorbitkan Presiden Lucio Gutierrez. Namun setelah Gutierrez menyetujui paket reformasi ekonomi neo-liberal dari IMF, Pachakutik ikut menjatuhkan Gutierrez di bulan April 2005. Sedangkan di Bolivia, Presiden Carlos Mesa dipaksa turun takhta oleh parlemen jalanan yang dipelopori bangsa-bangsa pribumi di bulan Juni 2005 (Langman 2005: 47-8).
3.       Kebangkitan politik bangsa-bangsa pribumi yang lebih moderat terjadi di Kolombia, Venezuela dan Guatemala, di mana wajah-wajah berkulit coklat semakin mendominasi pemerintahan federal dan lokal, menggantikan wajah-wajah seputih salju Pegunungan Andes yang hampir 200 tahun bercokol di sana. Soalnya, partai-partai pribumi telah bermunculan di Bolivia, Kolombia, Venezuela, Peru, Argentina, Guyana, Mexico dan Nicaragua. Di Chile Selatan, lebih dari selusin kota sekarang dikuasai walikota-walikota dari suku Mapuche. Sedangkan di Kolombia dan Venezuela, walaupun hanya merupakan minoritas, penduduk pribumi telah memilih gubernur dan melengserkan anggota-anggota legislatif dari partai-partai tua. Hal ini dimungkinkan, karena masyarakat luas yang bukan penduduk asli pun melihat kandidat-kandidat partai-partai pribumi lebih committed pada reformasi (idem).
4.      Terpilihnya Alejandro Toledo, seorang mestizo (berdarah campuran pribumi dan Eropa) di Peru tahun 2001, tadinya disambut gembira oleh penduduk pribumi. Namun mereka kini merasa dikhianati. Berbagai perubahan yang dijanjikan Toledo, seperti penguatan hak-hak adat atas tanah, tidak diwujudkan. Saat ini hanya ada seorang wakil penduduk asli dalam parlemen Peru yang beranggotakan 120 orang. Makanya, mata penduduk asli Amerika Latin kini tertuju pada Bolivia, di mana baru setengah abad lalu, tepatnya pada tahun 1952, penduduk pribumi mendapatkan hak suara dan hak untuk mengenyam pendidikan dasar. Hal ini dimungkinkan karena di negara yang menjalankan semacam politik apartheid, satu kelompok cocaleros (penanam koka) dari suku Quechua dan Aymara di tahun 1995 bersepakat mengubah nasib mereka. Di bawah kepemimpinan Morales mereka dirikan MAS, yang dalam tujuh tahun berhasil memenangkan tiket ke kursi kepresidenan dengan 42 ribu suara. Dukungan di parlemen Bolivia juga sangat besar. Dari 154 kursi, 30 persen jatuh ke kandidat pribumi, yang masih mungkin naik sampai 40 persen (Langman 2005: 47-8).
5.      Kunci sukses Morales, yang sekaligus merupakan duri dalam daging diplomasi regional AS, adalah pembelaan Morales terhadap hak penduduk asli Bolivia untuk terus menanam koka, daun suci dalam upacara-upacara keagamaan asli Bolivia sejak 3000 tahun Seb. Masehi. Tidak cuma buat penduduk pribumi Bolivia, juga buat suku-suku asli kawasan Pegunungan Andes yang lain, seperti di Kolombia dan Peru, yang sampai hari ini masih punya kebiasaan mengunyah daun koka untuk menahan rasa lapar atau untuk obat. Pembelaan terhadap hak penduduk asli untuk menanam dan memperdagangkan daun koka inilah yang menyebabkan AS menuduh Morales sebagai penyelundup kokaine, narco-trafficker dan narco-terrorist (Langman 2005: 48; Kompas, 22 Des. 2005).
6.      Namun ada yang lebih menjengkelkan pemerintah AS ketimbang penanaman dan perdagangan koka yang dibela oleh Morales. Seperti Hugo Chavez yang secara terbuka dipujinya, Evo Morales juga berencana meningkatkan royalty terhadap industri gas alam yang sedang dan akan beroperasi di Bolivia menjadi 50 persen. Selain itu, seperti juga Chavez, Morales secara terbuka memuji Fidel Castro, yang secara konsisten telah memberikan teladan kepada bangsa-bangsa Amerika Latin untuk melawan dominasi ekonomi dan politik Amerika Serikat, khususnya. embargo perdagangan AS. Kata tokoh perlawanan bangsa-bangsa asli Amerika Latin itu: “Saya berharap pemerintah AS suatu hari mengangkat embargo itu. Saya ingin mengatakan kepada rakyat Kuba, pemerintah dan pemimpinnya, terima kasih untuk menunjukkan bagaimana mengelola Amerika Latin dan bagian dunia lainnya. Salam revolusioner untuk seluruh rakyat Kuba”. Sebagai bukti simpatinya pada Kuba dan Castro, presiden terpilih Bolivia itu memenuhi undangan el commandante -- panggilan akrabnya untuk pemimpin Kuba yang sudah berumur 79 tahun itu – bertandang ke Havana di malam pergantian tahun. Dalam pertemuan dua generasi pejuang pembebasan bangsa masing-masing, Kuba sepakat untuk memberikan beasiswa bagi 5000 pelajar Bolivia setahun (Langman 2005: 49; Seputar Indonesia, 21 Des. 2005; Jawa Pos, 1 Jan. 2005).
7.      Satu hal yang tidak luput dari sorotan pers di Indonesia, yang telah memberitakan kemunculan Evo Morales dengan penuh nada positif (kecuali seorang kolumnis di Suara Pembaruan yang menanggapi kemunculan trio Castro-Chavez-Morales dengan sangat sinis ), adalah janji Morales untuk memangkas gaji presiden, seluruh anggota kabinet, dan 157 orang anggota parlemen dari MAS sebesar 50 persen. Berarti, gaji Presiden Bolivia yang sebelumnya 3600 dollar AS akan dipangkas menjadi 1800 dollar AS, atau sekitar Rp 18 juta saja. Selain itu, Morales mengancam anggota parlemen dari partainya, yang berhalangan menjalankan tugasnya, akan dipangkas hingga nol (Fajar. 29 Des. 2005).
8.       Sementara Bolivia mengorbitkan Presiden pribumi pertama di Amerika Latin, tetangga barat dayanya, Chile diperkirakan akan mengorbitkan Presiden perempuan pertama di Amerika Latin dalam pilpres Chile 15 Januari mendatang: Michelle Bachelet (54), yang juga seorang Sosialis. Dia anak perempuan dari Alberto, seorang marsekal Angkatan Udara Chile yang ikut ditangkap oleh rezim Jenderal Augusto Pinochet, yang merampas kekuasaan dari Presiden Sosialis terpilih, Salvador Allende. Makanya, Michelle merupakan saksi mata dari kudeta Pinochet dan epilognya. Ayahnya, Alberto, disiksa dalam tahanan dan meninggal karena serangan jantung pada usia 50 tahun. Tahun 1975, Michelle, yang waktu itu baru berusia 23 tahun dan masih kuliah di fakultas kedokteran, juga ditangkap bersama ibunya dan dipukuli selama sebulan di tahanan rezim militer Pinochet. Untunglah ibu dan anak itu berhasil lolos. Setelah kembali ke Chile tahun 1979, Michelle yang telah menyaksikan bagaimana banyak temannya hilang, dipenjarakan atau disiksa bersumpah akan menegakkan kembali demokrasi yang telah dihancurkan oleh Pinochet (Langman & Contreras 2005: 54).
9.      Itulah yang kini ingin dilakukan oleh dokter anak yang punya tiga orang anak, sudah cerai, seorang agnostic dan sekarang memimpin Partai Sosialis Chile. Setelah Pinochet digeser dari kekuasaan mutlaknya di tahun 1990, Michelle menyiapkan diri untuk terjun ke politik. Ia memperdalam pengetahuannya tentang dunia kemiliteran dan hubungan sipil-militer di Inter-American Defense College di Washington, DC dan tahun 1998 diangkat menjadi penasehat Departemen Pertahanan Chile. Tahun 2002 ia malah diangkat menjadi Menteri Pertahanan perempuan pertama di Chile. Walaupun di lubuk hatinya ia membenci para perwira tinggi yang dulu mendukung rezim Pinochet, ia berhasil mencegah konflik langsung dengan mereka. Buktinya ia terpilih menjadi kandidat presiden dari Concertacion, aliansi partai-partai Kiri dan Tengah yang memerintah Chile sejak tahun 1990 (Langman & Contreras 2005: 55).
10. Agak berbeda dengan Chavez dan Morales, Bachelet tidak mengumbar retorika anti neo-liberalisme atau anti-AS. “Pemerintah-pemerintah sebelumnya berhasil memacu laju pertumbuhan ekonomi [Chile]”, katanya kepada Newsweek di akhir 2005, “sekarang rakyat biasa di Chile menginginkan suatu negeri yang lebih layak huni, dengan jaminan sosial yang lebih baik dan dengan sarana-sarana untuk melindungi golongan masyarakat yang paling rentan”. Itu sebabnya dalam platform kampanyenya, Michelle Bachelette menjanjikan akses penuh ke pendidikan, pelayanan kesehatan, dan gizi yang layak bagi anak-anak miskin di bawah umur sepuluh tahun. Tantangan yang dihadapinya sungguh berat, sebab tingkat pengangguran di Chile tahun lalu telah mencapai sepuluh persen, dan tingkat ketimpangan pendapatan di Chile termasuk sepuluh yang terburuk di dunia (idem).

0 comments:

Post a Comment

 
;