1.
Evo Morales, yang lahir tanggal 26 Oktober
1959 dari keluarga Aymara di Orinoca, terorbit karena komitmennya
memperjuangkan kebangkitan bangsa-bangsa pribumi di Bolivia. Di kalangan orang
Aymara dan Quechua, dia dikenal sebagai Apu Mallku, atau Pemimpin Besar. Dia
mendapat mandat dari kedua suku asli yang terbesar di Bolivia untuk memimpin
jaringan ayllus, dewan-dewan adat di pegunungan Andes yang lebih tua dari
kekaisaran Inca, dan kini telah mengalami kebangkitan karena Negara tidak
berfungsi meningkatkan kesejahteraan penduduk asli negeri itu (Langman 2005:
46; Kompas, 4 Jan. 2005).
2.
Kebangkitan bangsa-bangsa pribumi Amerika
Latin bukan hanya gejala khas Bolivia, tapi mengubah petabumi politik sebagian
besar negara hasil kolonisasi bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis itu. Sejak
tahun 2000, gerakan bangsa-bangsa pribumi telah mendorong tergulingnya empat
orang presiden di Ekuador dan Bolivia, dua di antaranya dalam tahun 2004 saja.
Di Ekuador, Konfederasi Bangsa-Bangsa Asli punya partai politik sendiri,
Pachakutik (Kebangkitan, dalam bahasa Quechua), yang ikut mengorbitkan Presiden
Lucio Gutierrez. Namun setelah Gutierrez menyetujui paket reformasi ekonomi
neo-liberal dari IMF, Pachakutik ikut menjatuhkan Gutierrez di bulan April
2005. Sedangkan di Bolivia, Presiden Carlos Mesa dipaksa turun takhta oleh
parlemen jalanan yang dipelopori bangsa-bangsa pribumi di bulan Juni 2005
(Langman 2005: 47-8).
3.
Kebangkitan politik bangsa-bangsa pribumi yang
lebih moderat terjadi di Kolombia, Venezuela dan Guatemala, di mana wajah-wajah
berkulit coklat semakin mendominasi pemerintahan federal dan lokal,
menggantikan wajah-wajah seputih salju Pegunungan Andes yang hampir 200 tahun
bercokol di sana. Soalnya, partai-partai pribumi telah bermunculan di Bolivia,
Kolombia, Venezuela, Peru, Argentina, Guyana, Mexico dan Nicaragua. Di Chile
Selatan, lebih dari selusin kota sekarang dikuasai walikota-walikota dari suku
Mapuche. Sedangkan di Kolombia dan Venezuela, walaupun hanya merupakan
minoritas, penduduk pribumi telah memilih gubernur dan melengserkan
anggota-anggota legislatif dari partai-partai tua. Hal ini dimungkinkan, karena
masyarakat luas yang bukan penduduk asli pun melihat kandidat-kandidat
partai-partai pribumi lebih committed pada reformasi (idem).
4.
Terpilihnya Alejandro Toledo, seorang
mestizo (berdarah campuran pribumi dan Eropa) di Peru tahun 2001, tadinya
disambut gembira oleh penduduk pribumi. Namun mereka kini merasa dikhianati.
Berbagai perubahan yang dijanjikan Toledo, seperti penguatan hak-hak adat atas
tanah, tidak diwujudkan. Saat ini hanya ada seorang wakil penduduk asli dalam
parlemen Peru yang beranggotakan 120 orang. Makanya, mata penduduk asli Amerika
Latin kini tertuju pada Bolivia, di mana baru setengah abad lalu, tepatnya pada
tahun 1952, penduduk pribumi mendapatkan hak suara dan hak untuk mengenyam
pendidikan dasar. Hal ini dimungkinkan karena di negara yang menjalankan
semacam politik apartheid, satu kelompok cocaleros (penanam koka) dari suku
Quechua dan Aymara di tahun 1995 bersepakat mengubah nasib mereka. Di bawah
kepemimpinan Morales mereka dirikan MAS, yang dalam tujuh tahun berhasil
memenangkan tiket ke kursi kepresidenan dengan 42 ribu suara. Dukungan di
parlemen Bolivia juga sangat besar. Dari 154 kursi, 30 persen jatuh ke kandidat
pribumi, yang masih mungkin naik sampai 40 persen (Langman 2005: 47-8).
5.
Kunci sukses Morales, yang sekaligus
merupakan duri dalam daging diplomasi regional AS, adalah pembelaan Morales
terhadap hak penduduk asli Bolivia untuk terus menanam koka, daun suci dalam
upacara-upacara keagamaan asli Bolivia sejak 3000 tahun Seb. Masehi. Tidak cuma
buat penduduk pribumi Bolivia, juga buat suku-suku asli kawasan Pegunungan
Andes yang lain, seperti di Kolombia dan Peru, yang sampai hari ini masih punya
kebiasaan mengunyah daun koka untuk menahan rasa lapar atau untuk obat.
Pembelaan terhadap hak penduduk asli untuk menanam dan memperdagangkan daun
koka inilah yang menyebabkan AS menuduh Morales sebagai penyelundup kokaine,
narco-trafficker dan narco-terrorist (Langman 2005: 48; Kompas, 22 Des. 2005).
6.
Namun ada yang lebih menjengkelkan
pemerintah AS ketimbang penanaman dan perdagangan koka yang dibela oleh
Morales. Seperti Hugo Chavez yang secara terbuka dipujinya, Evo Morales juga
berencana meningkatkan royalty terhadap industri gas alam yang sedang dan akan
beroperasi di Bolivia menjadi 50 persen. Selain itu, seperti juga Chavez,
Morales secara terbuka memuji Fidel Castro, yang secara konsisten telah
memberikan teladan kepada bangsa-bangsa Amerika Latin untuk melawan dominasi
ekonomi dan politik Amerika Serikat, khususnya. embargo perdagangan AS. Kata
tokoh perlawanan bangsa-bangsa asli Amerika Latin itu: “Saya berharap
pemerintah AS suatu hari mengangkat embargo itu. Saya ingin mengatakan kepada
rakyat Kuba, pemerintah dan pemimpinnya, terima kasih untuk menunjukkan
bagaimana mengelola Amerika Latin dan bagian dunia lainnya. Salam revolusioner
untuk seluruh rakyat Kuba”. Sebagai bukti simpatinya pada Kuba dan Castro,
presiden terpilih Bolivia itu memenuhi undangan el commandante -- panggilan
akrabnya untuk pemimpin Kuba yang sudah berumur 79 tahun itu – bertandang ke
Havana di malam pergantian tahun. Dalam pertemuan dua generasi pejuang
pembebasan bangsa masing-masing, Kuba sepakat untuk memberikan beasiswa bagi
5000 pelajar Bolivia setahun (Langman 2005: 49; Seputar Indonesia, 21 Des.
2005; Jawa Pos, 1 Jan. 2005).
7.
Satu hal yang tidak luput dari sorotan
pers di Indonesia, yang telah memberitakan kemunculan Evo Morales dengan penuh
nada positif (kecuali seorang kolumnis di Suara Pembaruan yang menanggapi
kemunculan trio Castro-Chavez-Morales dengan sangat sinis ), adalah janji
Morales untuk memangkas gaji presiden, seluruh anggota kabinet, dan 157 orang
anggota parlemen dari MAS sebesar 50 persen. Berarti, gaji Presiden Bolivia
yang sebelumnya 3600 dollar AS akan dipangkas menjadi 1800 dollar AS, atau
sekitar Rp 18 juta saja. Selain itu, Morales mengancam anggota parlemen dari
partainya, yang berhalangan menjalankan tugasnya, akan dipangkas hingga nol (Fajar.
29 Des. 2005).
8.
Sementara Bolivia mengorbitkan Presiden
pribumi pertama di Amerika Latin, tetangga barat dayanya, Chile diperkirakan
akan mengorbitkan Presiden perempuan pertama di Amerika Latin dalam pilpres
Chile 15 Januari mendatang: Michelle Bachelet (54), yang juga seorang Sosialis.
Dia anak perempuan dari Alberto, seorang marsekal Angkatan Udara Chile yang
ikut ditangkap oleh rezim Jenderal Augusto Pinochet, yang merampas kekuasaan
dari Presiden Sosialis terpilih, Salvador Allende. Makanya, Michelle merupakan
saksi mata dari kudeta Pinochet dan epilognya. Ayahnya, Alberto, disiksa dalam
tahanan dan meninggal karena serangan jantung pada usia 50 tahun. Tahun 1975,
Michelle, yang waktu itu baru berusia 23 tahun dan masih kuliah di fakultas
kedokteran, juga ditangkap bersama ibunya dan dipukuli selama sebulan di
tahanan rezim militer Pinochet. Untunglah ibu dan anak itu berhasil lolos.
Setelah kembali ke Chile tahun 1979, Michelle yang telah menyaksikan bagaimana
banyak temannya hilang, dipenjarakan atau disiksa bersumpah akan menegakkan
kembali demokrasi yang telah dihancurkan oleh Pinochet (Langman & Contreras
2005: 54).
9.
Itulah yang kini ingin dilakukan oleh
dokter anak yang punya tiga orang anak, sudah cerai, seorang agnostic dan
sekarang memimpin Partai Sosialis Chile. Setelah Pinochet digeser dari
kekuasaan mutlaknya di tahun 1990, Michelle menyiapkan diri untuk terjun ke
politik. Ia memperdalam pengetahuannya tentang dunia kemiliteran dan hubungan
sipil-militer di Inter-American Defense College di Washington, DC dan tahun
1998 diangkat menjadi penasehat Departemen Pertahanan Chile. Tahun 2002 ia
malah diangkat menjadi Menteri Pertahanan perempuan pertama di Chile. Walaupun
di lubuk hatinya ia membenci para perwira tinggi yang dulu mendukung rezim
Pinochet, ia berhasil mencegah konflik langsung dengan mereka. Buktinya ia
terpilih menjadi kandidat presiden dari Concertacion, aliansi partai-partai
Kiri dan Tengah yang memerintah Chile sejak tahun 1990 (Langman & Contreras
2005: 55).
10. Agak
berbeda dengan Chavez dan Morales, Bachelet tidak mengumbar retorika anti
neo-liberalisme atau anti-AS. “Pemerintah-pemerintah sebelumnya berhasil memacu
laju pertumbuhan ekonomi [Chile]”, katanya kepada Newsweek di akhir 2005,
“sekarang rakyat biasa di Chile menginginkan suatu negeri yang lebih layak
huni, dengan jaminan sosial yang lebih baik dan dengan sarana-sarana untuk
melindungi golongan masyarakat yang paling rentan”. Itu sebabnya dalam platform
kampanyenya, Michelle Bachelette menjanjikan akses penuh ke pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan gizi yang layak bagi anak-anak miskin di bawah umur
sepuluh tahun. Tantangan yang dihadapinya sungguh berat, sebab tingkat
pengangguran di Chile tahun lalu telah mencapai sepuluh persen, dan tingkat
ketimpangan pendapatan di Chile termasuk sepuluh yang terburuk di dunia (idem).
0 comments:
Post a Comment