Wednesday, January 27, 2016

KEBANGKITAN GERAKAN KIRI ABAD 20 [Bagian 4]




31. Ketujuh, andil gerakan perempuan dalam mendorong transformasi ekonomi dan politik di Amerika Latin, tidak begitu tampak dalam gerakan-gerakan Kiri tersebut di atas. Baru di Chile kita melihat munculnya seorang kandidat presiden yang tidak hanya Sosialis, tapi juga perempuan. Terpilih karena dirinya sendiri, bukan mewarisi tampuk kepresidenan dari suami yang meninggal atau karena sebab-sebab lain tidak mampu menjalankan tugasnya. Mungkin itu sebabnya, ia berusaha betul-betul memanfaatkan profil gendernya. Ia berjanji bahwa separuh dari jabatan di kabinetnya akan dialokasikan kepada perempuan. Selain itu, sebagai presiden ia akan mendorong keluarnya undang-undang yang akan mewajibkan partai-partai politik mengisi quota tertentu bagi perempuan sebagai kandidat untuk pemilihan jabatan di berbagai jenjang (Langman & Contreras 2005: 55).

32. Kemunculan Bachelet ke pentas politik nasional tentunya tidak terlepas dari peranan gerakan perempuan di Chile, khususnya Gerakan Perempuan untuk Sosialisme (Movimiento Mulheres por el Socialismo, MMS), yang terbentuk tahun 1984, yang mulai memadukan analisis kelas dengan analisis gender (lihat Chuchryk 2005: 203). Namun kita masih harus melihat, seberapa jauh korban kudeta Pinochet tanggal 11 September 1973 itu akan mengawinkan agenda pemberdayaan perempuan dengan agenda demiliterisasi dan pemberdayaan buruh Chile, di masa kepresidenannya.

33. Last but not least, gerakan Kiri yang paling unik adalah Zapatista, yang boleh dikata merupakan pemicu gerakan-gerakan Kiri yang lain di daratan Amerika Latin. Gerakan ini memadu cara perjuangan bersenjata dengan cara-cara perjuangan lain yang sudah lazim bagi gerakan-gerakan Kiri lain di Amerika Latin, bahkan di dunia. Dalam hal ini, Zapatista ada persamaan dengan gerakan penumbangan diktator Batista di Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara, serta gerakan Sandinista di Nikaragua. Namun berbeda dengan revolusi Kuba dan Sandinista, Zapatista tidak berusaha merebut tampuk kekuasaan negara di Mexico, tapi lebih memusatkan perhatian mereka pada penegakan demokrasi langsung di negara bagian Chiapas, sambil memperluas ruang politik bagi kemunculan partai-partai oposisi baru di lingkup nasional.

IMPLIKASI TEORETIS:
34. APA implikasi teoretis dari pengalaman empiris arus pasang gerakan Kiri di Amerika Latin itu? Saya lihat, ada tiga bidang yang perlu pembahasan yang agak kritis. Pertama, karakteristik gerakan-gerakan Kiri tersebut sebagai gerakan sosial (social movement ). Kedua, karakteristik demokrasi yang ingin diwujudkan oleh gerakan-gerakan tersebut. Dan ketiga, apa yang dapat diharapkan dari masyarakat-masyarakat pasca-revolusi, setelah tokoh-tokoh pemimpin gerakan-gerakan tersebut berhasil merebut tampuk kekuasaan negara.

35. Seperti yang telah disinggung di atas (lihat butir-butir 25 dan 29), gerakan-gerakan Kiri ini umumnya merupakan koalisi di antara berbagai gerakan sosial (social movement), dengan karakteristik tambahan bahwa gerakan buruh, khususnya gerakan buruh industri manufaktur yang berbasis di kota, tidak memainkan peranan yang dominan atau menentukan dalam gerakan-gerakan Kiri tersebut.

36. Realitas arus pasang Gerakan Kiri di Amerika Latin itu lebih mendekati teori ‘gerakan sosial baru’ (new social movements) dari pasangan pemikir Post-Marxist, Ernesto Laclau (berasal dari Argentina) dan Chantal Mouffe (berasal dari Perancis). Konsep ‘gerakan sosial baru’ sebagai subyek revolusioner masa kini, merupakan pemberontakan mereka terhadap ajaran Marx yang melihat kaum buruh (proletariat) sebagai subyek revolusioner yang utama. Konsep ini merangkum berbagai gerakan atau perjuangan (struggle ) yang tidak berbasis kelas dan bukan gerakan buruh, seperti gerakan urban, gerakan lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan anti-institusi, gerakan feminis, gerakan anti-rasisme, gerakan etnis, gerakan regional, dan gerakan perdamaian (Laclau and Mouffe 1999: 159-60).

37. Walaupun disebut gerakan sosial ‘baru’, gerakan-gerakan itu tercetus oleh proses yang mulai mengalami akselerasi di tahun 1940an, yakni Fordisme. Istilah ini dipopulerkan oleh Antonio Gramsci untuk sistem ban berjalan yang dirintis Henry Ford dalam pabrik mobilnya di Detroit (AS), yang ditiru oleh FIAT di Turino, Italia. Sistim ini, menurut Laclau dan Mouffe, merupakan “articulation between a labour process organized around the semi-automatic production line, and a mode of consumption characterized by the individual acquisition of commodities produced on a large scale for private consumption” (1999: 160). Sistem ini punya dampak luarbiasa, sebab “This penetration of capitalist relations of production, initiated at the beginning of the century and stepped up from the 1940s on, was to transform society into a vast market in which new ‘needs’ were ceaselessly created, and in which more and more of the products of human labour were turned into commodities. This commodification’ of social life destroyed previous social relations, replacing them with commodity relations through which the logic of capitalist accumulation penetrated into increasingly numerous spheres. Today it is not only as a seller of labour-power that the individual is subordinated to capital, but also through his or her incorporation into a multitude of other social relations: culture, free time, illness, education, sex and even death. There is practically no domain of individual or collective life which escapes capitalist relations” (Laclau & Mouffe 1999: 160-1).

38. Masyarakat konsumen ini, kata Laclau dan Mouffe, melahirkan berbagai bentuk perjuangan baru yang menunjukkan perlawanan terhadap bentuk-bentuk subordinasi baru, yang muncul dari jantung masyarakat baru ini. Aksi-aksi menentang pemborosan sumber-sumber daya alam, pencemaran dan perusakan lingkungan, akibat ideologi produksi demi produksi ini, melahirkan gerakan lingkungan. Aksi-aksi menentang hancurnya kawasan kota karena urbanisasi besar-besaran melahirkan gerakan untuk menuntut kehidupan kota yang lebih baik. Sedangkan produksi massal yang menurunkan kualitas barang dan jasa, melahirkan gerakan konsumen. Dari sinilah dapat kita lihat bagaimana habitat (lingkungan tempat tinggal), konsumsi, dan kebutuhan akan berbagai macam jasa, memicu gerakan-gerakan baru yang menentang ketidakadilan dan menuntut hak-hak baru (Laclau & Mouffe 1999: 161).

39. Walaupun menolak gagasan Marx terhadap peranan buruh sebagai subyek revolusioner, agen perubahan sosial utama menuju sosialisme, gagasan ‘gerakan sosial baru’ Laclau dan Mouffe ini tetap berakar di pemikiran Marx, baik secara langsung maupun melalui re-interpretasi pokok-pokok pikiran Marx oleh Gramsci. Dari Gramsci mereka secara khusus meminjam konsep hegemoninya, sebab tugas gerakan-gerakan sosial baru itu, menurut Laclau dan Mouffe, adalah menciptakan suatu hegemoni baru. Mereka tergerak oleh kritik Marx terhadap para filsuf, dalam tesis kesebelas tentang Feuerbach, yang dijabarkan oleh Gramsci menjadi perbedaan antara intelektual tradisional dan intelektual organik. Bahkan kepedulian Marx secara umum tentang berbagai bentuk alienasi (keterasingan), baik di bidang ekonomi maupun di bidang filsafat dan teologi, yang paling eksplisit dituangkan Marx dalam Naskah-Naskah Paris tahun 1844, melandasi ketidakterikatan pada satu kelas atau kategori sosial saja. Akhirnya, mereka juga ‘berhutang’ kepada Gramsci, yang pertama kali berbicara tentang aliansi antara buruh dan petani, dan menciptakan kategori “subaltern classes” yang kemudian mengalir ke dalam konsep ‘gerakan sosial baru’. Secara umum, evolusi pemikiran dari Marx ke Gramsci ke Laclau dan Mouffe dapat dilihat di Lampiran 1.

40. Gagasan ‘gerakan sosial baru’ ini, telah mulai mengilhami gerakan perempuan di Indonesia (lihat Budianta 2003). Soalnya, gagasan ini berkaitan dengan gagasan demokrasi yang lebih radikal, tapi mengakui pluralitas gerakan. Seperti kata Chantal Mouffe: Democratic discourse questions all forms of inequality and subordination. This is why I propose to call those new social movements ‘new democratic struggles’ because they are extensions of the democratic revolution to new forms of subordination. Democracy is our most subversive idea because it interrups all existin discourses and practices of subordination (dikutip dalam Budianta 2003: 149).

41. Selain pluralitas gerakan, atau “pluralism of subjects”, yang paling penad (relevan) dari teori Mouffe bagi gerakan perempuan, menurut Melani Budianta, adalah “solidaritas” di antara gerakan gerakan-gerakan demokratik itu. Kata Mouffe: A new conception of democracy also requires that we transcend certain individualistic conception of rights and that we elaborate a central notion of solidarity. This can only be achieved if the rights of certain subjects are not defended to the detriment of the rights of other subjects (dikutip dalam Budianta 2003: 150).

42. Secara tidak langsung, kita sudah memasuki persoalan teoretis kedua yang dapat dijabarkan dari realitas empiris kebangkitan gerakan Kiri di Amerika Latin ini, yakni demokrasi. Demokrasi macam apa yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Kiri yang mengorbitkan pemimpin-pemimpin baru di Brazil, Venezuela, Bolivia, dan Chile itu? Termasuk, demokrasi macam apa yang diperjuangkan oleh Zapatista di Mexico, yang tidak berusaha merebut kekuasaan negara? Yang jelas, yang diperjuangkan itu bukanlah semata-mata demokrasi liberal yang hanya ditandai dengan pergantian kepemimpinan secara periodik dan damai, yang disalurkan lewat partai-partai politik, yang tetap meminggirkan mayoritas rakyat miskin, dan tidak dibarengi dengan demokratisasi alat-alat produksi (lihat Whitehead 1994).
43. Sebagai alternatif bagi kaum Kanan yang terlalu mengunggulkan demokrasi liberal, maupun kaum Kiri lama (baca: kaum Marxis-Leninis) yang mengunggulkan perebutan kekuasaan Negara oleh satu partai pelopor (vanguard) yang mengatasnamakan kaum proletar, duet Laclau dan Mouffe mengusulkan bahwa tugas gerakan-gerakan sosial baru adalah membangun apa yang mereka sebut “demokrasi radikal pluralis”, dalam konteks munculnya antagonisme-antagonisme sosial baru dalam masyarakat kapitalis maju (lihat Hutagalung n.d).

44. Istilah “radikal” dalam konsep demokrasi plural ini, menurut Daniel Hutagalung, mahasiswa Ernesto Laclau di Universitas Essex di Inggris dapat bermakna sebagai berikut. Pertama, demokrasi haruslah pluralis-radikal dalam arti, pluralitas dari identitas-identitas yang berbeda tidaklah transeden dan tidak didasarkan pada pasar positifis apapun. Kedua, demokrasi radikal plural adalah di mana demokrasi plural dan perjuangan untuk kebebasan dan persamaan (freedom and equality ) dihasilkan, haruslah diperdalam (deepened ) dan diperluas ke seluruh wilayah kehidupan masyarakat. Ketiga, perjuangan demokrasi radikal plural akan melibatkan di dalamnya sosialisasi produksi, tetapi bukan berarti hanya buruh yang mengatur, tetapi partisipasi sepenuhnya dari semua subyek dalam pembuatan keputusan mengenai apa yang akan diproduksi, bagaimana diproduksi dan format bagaimana produk-produk akan didistribusikan. Keempat, tugas utama demokrasi radikal adalah memperdalam revolusi demokratik dan mengaitkan berbagai perjuangan demokratik yang beragam. Tugas seperti itu mensyaratkan penciptaan posisi-posisi subyek baru yang dapat menerima berbagai artikulasi yang sudah umum, seperti anti-rasisme, anti-seksisme dan anti-kapitalisme (Hutagalung n.d.).

45. Akhirnya, menghadapi era baru di mana semakin banyak posisi politis di tingkat lokal dan nasional di Amerika Latin berhasil direbut oleh gerakan Kiri, kita juga perlu membaca kembali wanti-wanti Samir Amin, seorang Marxis Mesir yang meneruskan teladan Frantz Fanon untuk tetap bersikap kritis terhadap mantan kawan seperjuangan. Khususnya, kritis terhadap jebakan-jebakan yang sudah, atau dapat, dihadapi dalam era pasca-revolusi. Samir Amin menulis (1993), bahwa di banyak negara yang sudah berhasil direbut kepemimpinan nasionalnya oleh partai-partai Kiri, yang terjadi bukan transisi ke Sosialisme, tapi sekedar rekonstruksi nasional demi mempertahankan popularitas rezim yang berkuasa. Ia juga memperkenalkan istilah recompradorization, atau ‘re-kompradorisasi’, yakni penguasaan kembali sektor-sektor ekonomi yang strategis oleh Negara atau kelas yang berkuasa, untuk diintegrasikan kembali ke sistem ekonomi kapitalis global. Kedua gejala tersebut – rekonstruksi nasional populer dan re-kompradorisasi – saling berkaitan, dan tampaknya sudah sedang terjadi di Brazil di bawah Lula.

1 comments:

Post a Comment

 
;