Wednesday, December 7, 2016

​Berpikir Bebas!! Membebaskan Pikiran Dalam Konteks Sebagai Pribadi Muslim yg Kritis


"Sebagian orang meminta agar saya berpikir dalam batas-batas Tauhid, sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Aneh, mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yg diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukalah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan 'adaNya'. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik. Sesungguhnya orang yg mengakui berTuhan, tapi menolak untuk berpikir bebas, berarti menilak rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya hanya sekedar kepura-puraan yg tersembunyi." (Ahmad Wahib dalam Catatan Hariannya)
Kutipan panjang tersebut memberikan kita senjata untuk melawan ketakutan akan berpikir bebas. Sebelumnya, dogma agama dan mistisme membuat kita terkurung sehingga untuk mempertanyakan hal yg sangat fundamental dianggap tabu. Padahal pertanyaan itu sangat penting dilontarkan agar pemahaman kita terhadap agama bukanlah pemahaman karena genealogi. Padahal Alqur'an menyatakan bahwa:
"Dan tidak ada seorangpun akan beriman, kecuali dengan izinNya. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yg tidak mempergunakan akalnya" (QS Yunus: 100)
Selain itu terdapat ayat lain yg menyatakan keutamaan berpikir yaitu:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yg berakal" (QS Ali Imran:190)
Kedua ayat tersebut menerangkan kewajiban bagi umat manusia untuk berpikir dan hukuman bagi orang yg malas berpikir. Disana kita mendapat penggambaran bahwa Tuhan memberikan kita akal bukan semerta-merta ingin membatasi pikiran. Hal tersebut bisa dipahami seperti ini, selama ini kita belum pernah tahu batasan pikiran sampai mana. Jika kita tidak mencoba berpikir bebas, maka kita tidak akan mendapatkan batasan pemikiran yg ditentukan Tuhan sebenarnya. Pernyataan yg menyatakan bahwa, "kita harus memikirkan ciptaanNya, bukan zatNya", bukan merupakan batasan dari pikiran kita, melainkan peringatan atas pendekatan batas pemikiran kita.
Jika Tuhan tidak memperbolehkan kita memikirkan zatNya, maka kita tidak akan pernah tahu kebesaranNya. Maka kita tidak perlu ragu memikirkan soal zatNya, karena dari sanalah iman kita dapat bertambah. Nashruddin Syarief dalam artikelnya soal Epistemologi Islam menjelaskan bahwa:
"Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi Sofisme (paham yg menyatakan kebenaran itu relatif/skeptisme), Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan"
Maka agar kita tidak ragu, maka kita harus berpikir bebas, dimana Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya menyatakan bahwa:
"menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim"
Ilmu adalah wujud dari kehendak bebas pemikiran manusia. Manusia yg membebaskan pikiran akan mendapatkan ilmu yg berguna bagi dirinya. Jika kita berpikir bebas, Tuhan-seperti kata Ahmad Wahib-akan senang dan bangga dengan kita. Jika kita berpikir bebas, kita dapat melakukan eksperimen untuk menentukan kebenaran mutlak berdasarkan fakta empiris dan kesimpulan logis. Inilah manfaat berpikir bebas.
Muhammad Natsir sendiri mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad SAW meletakkan akal pada tempat yg terhormat dan menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan. Singkatnya, akal itulah yg memerdekakan kaum Muslim dari kekolotan yg ada. Seperti yg kita saksikan, orang yg tidak membebaskan pikirannya jatuh menjadi teroris dan orang yg membebaskan pikirannya akan menjadi orang bijak yg mampu memahami semesta. Tentunya kemerdekaan pikiran itu tetap dalam batasan.
Apa yg dipikirkan dan apa yg menjadi batas kebebasan berpikir?
Tentunya sudah jelas bagi kita, yg dipikirkan ialah keseluruhan hal yg ada, bahkan Tuhan sekalipun. Mengutip perkataan Muhammad Natsir, bahwa akal adalah cara bagaimana umat muslim untuk mengetahui Tuhannya. Al Ghazali juga pernah berkata bahwa jika kita membebaskan pikiran kita untuk memahami seluruh ciptaan Tuhan, maka kita juga memikirkan Tuhan dan memahamiNya. Sedangkan, alat untuk memahamiNya ialah wahyu.
Batasan kebebasan pikiran adalah relatif bagi setiap manusia yg berpikir. Kita akan memperoleh batasan ketika kita sudah tidak mengetahui lagi soal keadaan tertentu hingga kita berkata "Wallahu a'lam!" atau "hanya Allah yg tahu". Pernyataan tersebut bukan menjadi legitimasi kita untuk berhenti berpikir. Penyelidikan adalah alat berpikir yg kan nantinya menghapus rasa ragu. Seperti yg kita ketahui, dalam QS Al Baqarah ayat 2 pun jelas disebutkan bahwa kita dilarang untuk ragu.
Kesimpulannya, kebebasan berpikir adalah kewajiban bagi setiap muslim. Muslim yg berpikir bebas akan menemukan Tuhannya karena proses pencarian tersebut. Seperti yg kita ketahui, muslim sejati bukanlah muslim yg menjadi Islam karena faktor genealogi. Acuan bagi kebebasan berpikir adalah fakta empiris, hal rasional, dan tentunya wahyu. Seperti yg diungkap Al Ghazali bahwa acuan berpikir terdiri atas wahyu, akal, dan indra. Sedangkan, batas kebebasan pikiran bersifat sangat relatif. Bagi kita yg berpikir bebas, untuk mengetahui batasan berpikir, maka secara progressif kita perlu mencapai batasan tersebut. Terakhir, Natsir pernah menulis:
"Akal merdeka bisa memperkuat dan memperteguh iman kita, menambah khusyu' dan tawadhu' kita terhadap kebesaran Ilahi serta membantu kita mencari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita memahamkan hikmah-hikmah suruhan dan ajaran agama, mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita."



Sumber:
- Alqur'anul Karim
- Ahmad Wahib. 1981. Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: LP3ES Press.
- M. Natsir. 1961. Capita Selecta. Bandung: Sumur Bandung.
- Al Ghazali. ____. Kimiyatussa'adah. ____.
- Syarif Muharim. 2010. Menggapai Kembali Pemikiran Rasullullah SAW. Bima: Anonim Press.
- Artikel Nashruddin Syarief yg berjudul Epistemologi Islam. 2010.

0 comments:

Post a Comment

 
;