Friday, December 30, 2016

​Kritik Fundamentalisme Agama Dalam Menanggapi Tahun Baru Masehi



Bukanlah persoalan baru ketika para fundamentalis agama menebar sentimen sektarian terhadap agama lainnya. Maksudnya ialah ketika agama lain merayakan hari besarnya, maka agama kita misalnya malah melarang tuk bersama-sama merayakannya dengan alasan menggoyang tauhid kita.  Hal tersebut terjadi saat natal dan maulid Nabi SAW hanya beda sehari. Lalu kini ada pula sentimen lainnya yg menyatakan umat muslim haram merayakan tahun baru masehi? Apa maksud mereka? Apa pantas bagi mereka untuk mengkafirkan orang yg merayakan tahun baru masehi?
Tahun masehi pertama kali di tetapkan oleh Paus Gregorius V (kalau salah mohon koreksi) pada abad kegelapan Eropa sebagai reformasi atas Kalender Julian yg sebelumnya tidak terdapat tahun kabisat. Jika kita sekarang memakai Kalender Julian, maka tahun baru akan terjadi 18 hari lagi. Kalender tersebut ditetapkan berdasarkan perhitungan perputaran bumi atas matahari. Berbeda dengan kalender hijriyah yg mendasarkan perhitungan atas perputaran bulan terhadap bumi. Jadi, perbedaan kalender bukanlah sebuah perbedaan syari'ah, namun lagi-lagi hanyalah persoalan kultur pengetahuan.

Bagi semua manusia, kita mempunyai kehendak bebas untuk menentukan memakai kalender apapun sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Perbedaan penetapan waktu dimulainya pemberlakuan kalender tersebut juga hanya berdasarkan sebuah peristiwa-peristiwa manusiawi, bukan peristiwa adikodrati. Misalnya, kalender hijriyah dimulai perhitungannya sejak Nabi SAW hijrah bersama kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah. Ini adalah sebuah peristiwa manusiawi biasa yg kebetulan dianggap penting oleh kaum muslim. Begitu juga dengan penetapan kalender Gregorian yg kebetulan bukanlah peristiwa adikodrati jua.
Lalu mengapa kaum muslim tak boleh merayakan tahun baru masehi?
Mereka-kaum fundamentalis agama-berpendapat bahwa perayaan tahun baru masehi dan persoalan fashionnya merupakan produk dari agama pagan majusi, Yahudi, dan Kristiani. Mereka menilai musik adalah bagian dari agama Yahudi, kembang api bagian dari agama Majusi, dan yg lainnya. Sepanjang yg saya ketahui, Islam pun tidak mengharamkan musik sehingga saat Nabi SAW sampai di Madinah pun, bernyanyi Thola'al Badru pun bukan sesuatu yg diharamkan. Selain itu terdapat kembang api yg menurut kaum fundamentalis merupakan produk agama Majusi. Rupanya mereka perlu mempelajari sejarah secara mendalam dulu. Kembang api merupakan produk kebudayaan China yg sudah ada 2500 tahun yg lalu, kawan!
Jika kaum fundamentalis berpendapat mengapa tahun baru masehi sebagai produk agama Kristen, maka mereka lupa jika persoalan kalender merupakan persoalan kultur, bukanlah syari'at. Maksud Allah SWT dalam Alqur'an yg menyatakan barang siapa yg menyerupai suatu kaum, disini kita mendapati maksudnya-secara sederhana-merupakan serupa dalam hal syari'atnya, bukan kebudayaannya. Kebudayaan sendiri bukan milik sebuah agama, agama dan kebudayaan sendiri milik sebuah peradaban sehingga kultur apapun tak bisa diklaim milik agama apapun. Misalnya, peci milik kaum muslim. Padahal kenyataannya, peci merupakan produk kebudayaan China. 
Disinilah kita harus menyikapi segalanya dengan kritis. Jangan hanya mengandalkan klaim kebenaran saja sehingga para fundamentalis menganggap dirinya paling benar dan berhak mengkafirkan orang lain. Tanpa memandang toleransi dan mau menang sendiri, ia tak lebih dari kumpulan egois yg diciptakan sebagai pelengkap ciptaanNya. Seharusnya mereka sadar bahwa mereka hidup berdampingan dengan yg lainnya. Disinilah kita membutuhkan toleransi yg kuat. Hemat pendapat saya, jangan mau dipecah oleh kapitalis yg menginginkan kita buta akan adanya eksploitasi yg mengatasnamakan agama. Kita harus sadar bersama bahwa musuh kita merupakan Kapitalisme, bukan agama yg lain.

0 comments:

Post a Comment

 
;