Sunday, January 22, 2017

​Kesia-siaan Mematerialiskan Tuhan dan Bagaimana Menjelaskan Kehadiran Tuhan Secara Singkat


Shubuh menjelang, pikiran melayang, fantasi liar sungguh jalang! Mungkin ungkapan ini yg cukup menggambarkan betapa syahdunya pukul empat pagi. Ketika aku menikmati syahdu, sejenak aku bertanya, apakah Tuhan itu materiil serta dimana keberadaan Tuhan? Bagaimana pula kita menerima-Nya secara filosofis?
Jika Tuhan itu materiil, maka runtuhlah Materialisme Dialektika itu sendiri. Tuhan tetaplah sebuah persepsi absolut yg hadir menanggapi tiap keluh kesah, cinta, ketakutan, dan kekaguman manusia. Itulah mengapa kepercayaan terhadap Tuhan lahir pertama-tama sebagai respon manusia atas fenomena alam. Pada dasarnya, ketika manusia menjadi antithese dari alam, maka manusia membutuhkan kawan - tempat bergantung - untuk mempertahankan posisinya terhadap alam. Begitulah akhirnya Tuhan muncul sebagai jawaban atas pencarian manusia akan kawan tersebut.

Walaupun tidak materiil, tetapi Tuhan itu wujud. Wujud Tuhan bukanlah wujud materiil, namun wujud dalam persepsi yg muncul ketika manusia mengingat-Nya. Inilah yg bisa menjelaskan thesis Montaigne yg mengatakan bahwa manusialah menciptakan Tuhan. Namun kritik ku kepadanya adalah bahwa Tuhan bukan diciptakan begitu saja, namun Dia tercipta ketika manusia mengingatnya. Itulah mengapa iman yg paling rendah itu bisa diartikan sebagai "hanya mengingat Tuhan di waktu dan atau tempat tertentu saja". Sedangkan sejatinya iman adalah ketika kita mencintai-Nya sehingga menyertakan-Nya dalam tiap gerak kita.
Dalam hal ini, ketika Laplace berkata kepada Napoleon, "tuan, aku tidak membutuhkan itu (Tuhan) dalam thesisku", maka Laplace sungguh tidak mempersepsikan Tuhan. Namun ketika manusia sudah menemui batasnya, maka kita akan setuju dengan Einstein bahwa Tuhan memang sedang tidak bermain dadu.
Lalu bagaimana kita dapat menerima kehadiran Tuhan yg tidak materiil?
Pengejawantahan dari hablumminallah adalah hablumminannas dan hablumminal'alam. Maka kita akan menerima keadaan-Nya ketika kita menemukan jati diri kita dan menjalani hubungan yg harmonis dengan ibu kita - yaitu alam. Bagaimanapun keberadaan Tuhan tidak dapat dijelaskan oleh Materialisme karena sejatinya Materialisme hanya menempatkan Tuhan di persepsi pikiran manusia. Maka kita membutuhkan konsep yg lebih luhur lagi - yaitu cinta. Penerimaan keberadaan Tuhan bukan didasarkan atas batas pemikiran, tetapi didasarkan atas cinta. Terkadang orang yg telah menemukan Tuhan karena ada batasan, ia hanya mengenal-Nya sebagai bentuk rasa kekecewaan atas pencarian yg terburu-buru usai.
Kembali ke pendapat awal bahwa bagaimanapun Tuhan itu tidak materiil, Tuhan hanyalah persepsi. Aku harus menambahkan bahwa persepsi yg dicintai pada akhirnya akan melahirkan rasa beriman dan kasih sayang. Disaat itulah, Tuhan menjadi persepsi absolut. Dengan begitu, di dunia yg paskamodern ini, kini hanya tersisa 4 pemikiran ghaib secara general yg tidak bisa dimateriilkan, yaitu: Akhirat, mukjizat, Tuhan, dan Kiamat.

Seharusnya kita sebagai manusia tidak boleh tahu diri. Kita mesti menembus batasan-batasan untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut. Tujuannya bukan untuk meruntuhkan agama, tapi malah untuk mengembangkan agama ke arah yg lebih kontekstual. Bukankah tanda dan kekuasaan Tuhan hanya ditunjukkan kepada orang-orang yg berpikir saja?

0 comments:

Post a Comment

 
;