Shubuh menjelang, pikiran melayang, fantasi liar sungguh
jalang! Mungkin ungkapan ini yg cukup menggambarkan betapa syahdunya pukul
empat pagi. Ketika aku menikmati syahdu, sejenak aku bertanya, apakah Tuhan itu
materiil serta dimana keberadaan Tuhan? Bagaimana pula kita menerima-Nya secara
filosofis?
Jika Tuhan itu materiil, maka runtuhlah Materialisme
Dialektika itu sendiri. Tuhan tetaplah sebuah persepsi absolut yg hadir
menanggapi tiap keluh kesah, cinta, ketakutan, dan kekaguman manusia. Itulah
mengapa kepercayaan terhadap Tuhan lahir pertama-tama sebagai respon manusia
atas fenomena alam. Pada dasarnya, ketika manusia menjadi antithese dari alam,
maka manusia membutuhkan kawan - tempat bergantung - untuk mempertahankan
posisinya terhadap alam. Begitulah akhirnya Tuhan muncul sebagai jawaban atas
pencarian manusia akan kawan tersebut.
Walaupun tidak materiil, tetapi Tuhan itu wujud. Wujud Tuhan
bukanlah wujud materiil, namun wujud dalam persepsi yg muncul ketika manusia
mengingat-Nya. Inilah yg bisa menjelaskan thesis Montaigne yg mengatakan bahwa
manusialah menciptakan Tuhan. Namun kritik ku kepadanya adalah bahwa Tuhan
bukan diciptakan begitu saja, namun Dia tercipta ketika manusia mengingatnya.
Itulah mengapa iman yg paling rendah itu bisa diartikan sebagai "hanya
mengingat Tuhan di waktu dan atau tempat tertentu saja". Sedangkan
sejatinya iman adalah ketika kita mencintai-Nya sehingga menyertakan-Nya dalam
tiap gerak kita.
Dalam hal ini, ketika Laplace berkata kepada Napoleon,
"tuan, aku tidak membutuhkan itu (Tuhan) dalam thesisku", maka Laplace
sungguh tidak mempersepsikan Tuhan. Namun ketika manusia sudah menemui
batasnya, maka kita akan setuju dengan Einstein bahwa Tuhan memang sedang tidak
bermain dadu.
Lalu bagaimana kita dapat menerima kehadiran Tuhan yg tidak
materiil?
Pengejawantahan dari hablumminallah adalah hablumminannas dan
hablumminal'alam. Maka kita akan menerima keadaan-Nya ketika kita menemukan
jati diri kita dan menjalani hubungan yg harmonis dengan ibu kita - yaitu alam.
Bagaimanapun keberadaan Tuhan tidak dapat dijelaskan oleh Materialisme karena
sejatinya Materialisme hanya menempatkan Tuhan di persepsi pikiran manusia.
Maka kita membutuhkan konsep yg lebih luhur lagi - yaitu cinta. Penerimaan
keberadaan Tuhan bukan didasarkan atas batas pemikiran, tetapi didasarkan atas
cinta. Terkadang orang yg telah menemukan Tuhan karena ada batasan, ia hanya
mengenal-Nya sebagai bentuk rasa kekecewaan atas pencarian yg terburu-buru
usai.
Kembali ke pendapat awal bahwa bagaimanapun Tuhan itu tidak
materiil, Tuhan hanyalah persepsi. Aku harus menambahkan bahwa persepsi yg
dicintai pada akhirnya akan melahirkan rasa beriman dan kasih sayang. Disaat
itulah, Tuhan menjadi persepsi absolut. Dengan begitu, di dunia yg paskamodern
ini, kini hanya tersisa 4 pemikiran ghaib secara general yg tidak bisa
dimateriilkan, yaitu: Akhirat, mukjizat, Tuhan, dan Kiamat.
Seharusnya kita sebagai manusia tidak boleh tahu diri. Kita
mesti menembus batasan-batasan untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut.
Tujuannya bukan untuk meruntuhkan agama, tapi malah untuk mengembangkan agama
ke arah yg lebih kontekstual. Bukankah tanda dan kekuasaan Tuhan hanya
ditunjukkan kepada orang-orang yg berpikir saja?
0 comments:
Post a Comment