Pukul 4, hampir seluruh asrama di salah satu wisma terbangun
dengan wajah pucat. Mereka bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat
Shubuh di musholla samping wisma. Dalam waktu singkat, musholla penuh dengan
mahasiswa yang sholat berjama'ah dengan ekspresi wajah mengantuk. Sesekali
mereka menutup mulut mereka saat menguap dan menutup mata mereka karena masih
lelah berkedip. Setelah sholat, mereka menandatangani absen sholat dan
selanjutnya absen tersebut menjadi catatan ibadah yang akan dinilai setiap akhir
bulan.
Di tempat yang berbeda, hari Minggu menjadi serasa berat untuk
dialami mahasiswa Kristen karena mereka dengan berat hati bangun pagi untuk
melaksanakan ibadah di gereja. Sama halnya dengan wisma sebelumnya, mereka juga
menandatangani absen sebagai pertanggungjawaban ibadah mereka di hadapan kepala
yayasan. Kedua wisma tersebut dikenal karena keshalehan para mahasiswanya yang
rajin melaksanakan ibadah.
Apakah itu dengan terpaksa atau tidak, tidak menjadi persoalan
si kepala yayasan. Yang menjadi persoalan adalah tentang bagaimana citra
tersebut pada akhirnya mendatangkan profit bagi si kepala yayasan. Wisma yang
dipenuhi pemuda shaleh yang demikian biasanya diincar oleh para orang tua yang
menginginkan anaknya shaleh jua.
Fenomena tersebut hanyalah contoh kecil tentang bagaimana
hukum agama disalahgunakan untuk mengejar profit bagi si penguasa. Dalam konsep
yang lebih makro, kita dapat melihat otoritas halus sang penguasa - seperti yang
terjadi pada Aceh - dalam mewajibkan syari'ah keagamaan untuk citra politik. Padahal
sebagian besar dari mereka yang menjalankan hukum tersebut didasarkan atas
dasar keterpaksaan. Bahkan beberapa dari mereka - mahasiswa yang berasal dari
Aceh misalnya - mengatakan bahwa hukum syari'ah tersebut pada akhirnya
menimbulkan tekanan psikologis bagi si pelaksana.
Mereka mengatakan bahwa mereka mempunyai aturan moral
tersendiri tanpa diperintah oleh hukum yang ada. Malah terkadang mereka
menantang hukum yang ada karena aturan moral subjektif yang mereka punya. Kant
- seorang filsuf Aufklarung - mengatakan bahwa moral yang sejati ialah moral yang
dipraktikkan bukan berdasarkan kewajiban atau tuntutan untuk melakukan moral
tersebut, melainkan didasarkan pada kesadaran penuh manusia yang hadir sebagai
subjek untuk melakukan tindakan moral tersebut.
Disini yang perlu kita luruskan adalah bahwa hukum agama
terkadang membatasi tindakan moral itu sendiri. Walaupun pada dasarnya agama
adalah aturan untuk melakukan tindakan bermoral, namun untuk menjadi orang yang
bermoral, orang tidak perlu beragama. Nabi Muhammad SAW memang pernah
menyatakan bahwa orang yang baik dapat dinilai dalam kepatuhannya dalam
menjalankan ibadah. Semakin ia sering melakukan ibadah, maka baiklah moralnya.
Seorang muballigh (yang notabene merupakan paman saya)
mengungkapkan hal yang bernada sama dengan penekanan terpenting dalam sholat.
Tetapi ada fallacy disini, karena ibadah tidak hanya sholat. Tata aturan moral
subjektif juga pada akhirnya merupakan ibadah dalam bentuk hubungan baik antar
individu. Sebagaimana yang pernah disebutkan Cak Nun, bahwa agama seharusnya
diletakkan di dapur saja, orang hanya menilai kebaikan seseorang dengan melihat
perilaku kita, bukan seberapa sering kita melakukan keintiman dengan Tuhan
kita.
Apakah juga seorang bhiksu dinilai bermoral hanya karena ia
banyak melakukan semedi di Vihara. Rasanya kita perlu skeptis dalam menilai,
karena hubungan intim kita dengan Tuhan bukanlah menjadi tata acuan untuk
menilai orang tersebut bermoral atau tidak. Begitupun halnya dengan para Ustadz
yang duduk di Majelis Kerakyatan dengan topeng kesucian menikmati gaji panas
tiap bulannya.
Apakah yang demikian bisa dikatakan bermoral? Sama halnya
dengan Paus yang menyatakan dirinya sebagai wakil Tuhan namun banyak melakukan
skandal ekonomi politik dalam kehidupannya, misalnya menjadi pemegang otoritas
tertinggi dalam menetapkan hukum manusia di berbagai negara.
Hukum moral menjadi pembicaraan spesial ketika Renaisans
membuka kran kritik terhadap otoritas keagamaan di Eropa. Manusia mulai
menempatkan dirinya menjadi posisi sentral dalam penetapan hukum moral, bukan
lagi Tuhan. Namun, yang patut diingat disini ialah kebenaran selalu bersifat
subjektif, maka hukum moral bersifat subjektif pula. Tetapi moral menjadi
objektif ketika ia disepakati oleh masyarakat dalam suatu kontrak sosial tak
tertulis.
Kontrak sosial tersebut terkadang menjadi agama sendiri - yang
kemudian Rousseau menyebutnya dengan 'civil religion' - namun hukum moral
keagamaan tersebut tidaklah bersifat superior karena ia dibebani oleh zeitgeist
dari tiap zaman. Inilah mengapa moral dalam keagamaan tidak harus lagi merujuk
kepada kemutlakan kitab suci.
Hukum agama yang dipolitikkan - begitulah saya menyebutnya -
menjadi tidak relevan akibat perkembangan zaman yang menuntut hukum moral
subjektif. Seorang wanita yang tidak berjilbab mempunyai kadar moral tersendiri
dalam menjalani kehidupannya dan yang terpenting ia tidak dikekang oleh aturan
pakaian yang ada. Inilah mengapa Durkheim berpendapat bahwa agama sebenarnya
produk kebudayaan karena ia hadir sebagai tata aturan moral yang berkembang
dalam lokalitas masyarakat tersebut.
Kalau sudah begitu, sekularisasi bukanlah sesuatu yang
mengancam moral masyarakat, malah bisa dikatakan sekularisasi membungkam
superioritas keagamaan dalam menetapkan tata aturan moral. Karena pada dasarnya
- menurut Marx - agama menjadi sarana borjuasi untuk mmbungkam tindakan kelas
pekerja dengan pengharapan surga. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa satu
tangan yang bekerja lebih baik daripada seribu tangan yang berdoa.
Sudah seharusnya agama tidak membatasi masyarakat dengan moral
yang ada. Batasan tersebut nantinya akan menjadi pagar yang mencegah masyarakat
untuk mengetahui kepentingan sang penguasa. Inilah yang terjadi ketika
superioritas keagamaan menggelapkan Eropa di abad kegelapan dan menggelapkan
Timur Tengah pada masa Umayyah. Manusia pada akhirnya mempunyai tata aturan dan
kadar moral tersendiri tanpa perlu diatur agama maupun negara.
Mengapa demikian? Karena agama dan negara pada akhirnya
menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan ekonomi politik yang ada. Ini pula yang
terjadi pada Arab Saudi di masa sekarang, dimana masyarakat diwajibkan mematuhi
ke-wahabi-an demi moral, sementara penguasanya berpoya-poya dalam istana
menikmati kekayaan yang diberikan Kapitalis kepada mereka.
Kalau sudah begini apakah agama masih diperlukan?
Agama sebagai tata aturan moral dan pengatur hubungan manusia
dengan Tuhan pada akhirnya kan luntur jua. Karena manusia punya cara tersendiri
untuk melakukan hubungan intim dengan Tuhannya tanpa aturan tersebut. Tetapi
bukan berarti kitab suci sudah usang jua, Syeikh Siti Jenar berpendapat bahwa
kitab suci adalah wahyu kering, yang sebenarnya ialah alam semesta itu sendiri.
Alam semesta menjadi wahyu basah yang harus dipahami manusia. Inilah mengapa
fungsi kitab suci sebenarnya hanyalah anggaran dasar dari sebuah organisasi yang
bernama agama.
Aturan moral sesungguhnya ialah terdapat dalam simbiosis antar
individu, antar species, maupun dengan alam. Tuhan tidak semerta-merta
menetapkan kitab suci sebagai hukum superior yang tak terbantahkan (pada
kenyataannya hampir semua kitab suci tidak menyebutkan demikian, kecuali hanya
menyebutkan bahwa isinya merupakan kesempurnaan hukum), interpretasi manusialah
yang pada akhirnya membuat tafsir atas kitab suci menjadi dinamis.
Kesimpulannya, agama (dan negara) tidaklah memiliki hak untuk
mengatur moral manusia karena pada akhirnya aturan tersebut hanya menjadi
selubung aktivitas kafir yang dijalankan para kapitalis dan feodalis dalam
menghisap masyarakat. Pada dasarnya - merujuk pada pemahaman Materialisme
Historis - agama pada akhirnya dijadikan alat untuk menghisap rakyat pekerja.
Agama sudah seharusnya menjadi institusi suci yang sifatnya privasi sehingga
tidak bisa digunakan untuk legitimasi apapun.
Agama hanyalah sarana manusia untuk berhubungan dengan
Tuhannya. Disinilah kita dapat memahami bahwa moral adalah bentuk kutukan
kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sifat moral tidaklah absolut,
karena ia berdiri subjektif dan dibatasi norma yang berlaku dalam masyarakat -
bukan agama maupun negara. Ustadz, uskup, ataupun pendeta tidak berhak mencap
seorang wanita yang berpakaian seadanya sebagai seorang amoral. Yang berhak
mencap ia bermoral ataupun tidak ialah perilaku dirinya sendiri dalam
interaksinya dengan masyarakat. Maka dari itu mari kita sama-sama melawan orang
yang mengatasnamakan agama yang menetapkan hukum moral mutlak sebagai
selubungnya untuk melakukan penghisapan!
0 comments:
Post a Comment