Saturday, February 18, 2017

​AGAMA KEBEBASAN : Kritik Terhadap Penyalahgunaan Hukum Agama Untuk Superioritas Moral

Pukul 4, hampir seluruh asrama di salah satu wisma terbangun dengan wajah pucat. Mereka bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat Shubuh di musholla samping wisma. Dalam waktu singkat, musholla penuh dengan mahasiswa yang sholat berjama'ah dengan ekspresi wajah mengantuk. Sesekali mereka menutup mulut mereka saat menguap dan menutup mata mereka karena masih lelah berkedip. Setelah sholat, mereka menandatangani absen sholat dan selanjutnya absen tersebut menjadi catatan ibadah yang akan dinilai setiap akhir bulan.
Di tempat yang berbeda, hari Minggu menjadi serasa berat untuk dialami mahasiswa Kristen karena mereka dengan berat hati bangun pagi untuk melaksanakan ibadah di gereja. Sama halnya dengan wisma sebelumnya, mereka juga menandatangani absen sebagai pertanggungjawaban ibadah mereka di hadapan kepala yayasan. Kedua wisma tersebut dikenal karena keshalehan para mahasiswanya yang rajin melaksanakan ibadah.
Apakah itu dengan terpaksa atau tidak, tidak menjadi persoalan si kepala yayasan. Yang menjadi persoalan adalah tentang bagaimana citra tersebut pada akhirnya mendatangkan profit bagi si kepala yayasan. Wisma yang dipenuhi pemuda shaleh yang demikian biasanya diincar oleh para orang tua yang menginginkan anaknya shaleh jua.

Fenomena tersebut hanyalah contoh kecil tentang bagaimana hukum agama disalahgunakan untuk mengejar profit bagi si penguasa. Dalam konsep yang lebih makro, kita dapat melihat otoritas halus sang penguasa - seperti yang terjadi pada Aceh - dalam mewajibkan syari'ah keagamaan untuk citra politik. Padahal sebagian besar dari mereka yang menjalankan hukum tersebut didasarkan atas dasar keterpaksaan. Bahkan beberapa dari mereka - mahasiswa yang berasal dari Aceh misalnya - mengatakan bahwa hukum syari'ah tersebut pada akhirnya menimbulkan tekanan psikologis bagi si pelaksana.
Mereka mengatakan bahwa mereka mempunyai aturan moral tersendiri tanpa diperintah oleh hukum yang ada. Malah terkadang mereka menantang hukum yang ada karena aturan moral subjektif yang mereka punya. Kant - seorang filsuf Aufklarung - mengatakan bahwa moral yang sejati ialah moral yang dipraktikkan bukan berdasarkan kewajiban atau tuntutan untuk melakukan moral tersebut, melainkan didasarkan pada kesadaran penuh manusia yang hadir sebagai subjek untuk melakukan tindakan moral tersebut.
Disini yang perlu kita luruskan adalah bahwa hukum agama terkadang membatasi tindakan moral itu sendiri. Walaupun pada dasarnya agama adalah aturan untuk melakukan tindakan bermoral, namun untuk menjadi orang yang bermoral, orang tidak perlu beragama. Nabi Muhammad SAW memang pernah menyatakan bahwa orang yang baik dapat dinilai dalam kepatuhannya dalam menjalankan ibadah. Semakin ia sering melakukan ibadah, maka baiklah moralnya.
Seorang muballigh (yang notabene merupakan paman saya) mengungkapkan hal yang bernada sama dengan penekanan terpenting dalam sholat. Tetapi ada fallacy disini, karena ibadah tidak hanya sholat. Tata aturan moral subjektif juga pada akhirnya merupakan ibadah dalam bentuk hubungan baik antar individu. Sebagaimana yang pernah disebutkan Cak Nun, bahwa agama seharusnya diletakkan di dapur saja, orang hanya menilai kebaikan seseorang dengan melihat perilaku kita, bukan seberapa sering kita melakukan keintiman dengan Tuhan kita.
Apakah juga seorang bhiksu dinilai bermoral hanya karena ia banyak melakukan semedi di Vihara. Rasanya kita perlu skeptis dalam menilai, karena hubungan intim kita dengan Tuhan bukanlah menjadi tata acuan untuk menilai orang tersebut bermoral atau tidak. Begitupun halnya dengan para Ustadz yang duduk di Majelis Kerakyatan dengan topeng kesucian menikmati gaji panas tiap bulannya.
Apakah yang demikian bisa dikatakan bermoral? Sama halnya dengan Paus yang menyatakan dirinya sebagai wakil Tuhan namun banyak melakukan skandal ekonomi politik dalam kehidupannya, misalnya menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam menetapkan hukum manusia di berbagai negara.
Hukum moral menjadi pembicaraan spesial ketika Renaisans membuka kran kritik terhadap otoritas keagamaan di Eropa. Manusia mulai menempatkan dirinya menjadi posisi sentral dalam penetapan hukum moral, bukan lagi Tuhan. Namun, yang patut diingat disini ialah kebenaran selalu bersifat subjektif, maka hukum moral bersifat subjektif pula. Tetapi moral menjadi objektif ketika ia disepakati oleh masyarakat dalam suatu kontrak sosial tak tertulis.
Kontrak sosial tersebut terkadang menjadi agama sendiri - yang kemudian Rousseau menyebutnya dengan 'civil religion' - namun hukum moral keagamaan tersebut tidaklah bersifat superior karena ia dibebani oleh zeitgeist dari tiap zaman. Inilah mengapa moral dalam keagamaan tidak harus lagi merujuk kepada kemutlakan kitab suci.
Hukum agama yang dipolitikkan - begitulah saya menyebutnya - menjadi tidak relevan akibat perkembangan zaman yang menuntut hukum moral subjektif. Seorang wanita yang tidak berjilbab mempunyai kadar moral tersendiri dalam menjalani kehidupannya dan yang terpenting ia tidak dikekang oleh aturan pakaian yang ada. Inilah mengapa Durkheim berpendapat bahwa agama sebenarnya produk kebudayaan karena ia hadir sebagai tata aturan moral yang berkembang dalam lokalitas masyarakat tersebut.
Kalau sudah begitu, sekularisasi bukanlah sesuatu yang mengancam moral masyarakat, malah bisa dikatakan sekularisasi membungkam superioritas keagamaan dalam menetapkan tata aturan moral. Karena pada dasarnya - menurut Marx - agama menjadi sarana borjuasi untuk mmbungkam tindakan kelas pekerja dengan pengharapan surga. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa satu tangan yang bekerja lebih baik daripada seribu tangan yang berdoa.
Sudah seharusnya agama tidak membatasi masyarakat dengan moral yang ada. Batasan tersebut nantinya akan menjadi pagar yang mencegah masyarakat untuk mengetahui kepentingan sang penguasa. Inilah yang terjadi ketika superioritas keagamaan menggelapkan Eropa di abad kegelapan dan menggelapkan Timur Tengah pada masa Umayyah. Manusia pada akhirnya mempunyai tata aturan dan kadar moral tersendiri tanpa perlu diatur agama maupun negara.
Mengapa demikian? Karena agama dan negara pada akhirnya menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan ekonomi politik yang ada. Ini pula yang terjadi pada Arab Saudi di masa sekarang, dimana masyarakat diwajibkan mematuhi ke-wahabi-an demi moral, sementara penguasanya berpoya-poya dalam istana menikmati kekayaan yang diberikan Kapitalis kepada mereka.
Kalau sudah begini apakah agama masih diperlukan?
Agama sebagai tata aturan moral dan pengatur hubungan manusia dengan Tuhan pada akhirnya kan luntur jua. Karena manusia punya cara tersendiri untuk melakukan hubungan intim dengan Tuhannya tanpa aturan tersebut. Tetapi bukan berarti kitab suci sudah usang jua, Syeikh Siti Jenar berpendapat bahwa kitab suci adalah wahyu kering, yang sebenarnya ialah alam semesta itu sendiri. Alam semesta menjadi wahyu basah yang harus dipahami manusia. Inilah mengapa fungsi kitab suci sebenarnya hanyalah anggaran dasar dari sebuah organisasi yang bernama agama.
Aturan moral sesungguhnya ialah terdapat dalam simbiosis antar individu, antar species, maupun dengan alam. Tuhan tidak semerta-merta menetapkan kitab suci sebagai hukum superior yang tak terbantahkan (pada kenyataannya hampir semua kitab suci tidak menyebutkan demikian, kecuali hanya menyebutkan bahwa isinya merupakan kesempurnaan hukum), interpretasi manusialah yang pada akhirnya membuat tafsir atas kitab suci menjadi dinamis.
Kesimpulannya, agama (dan negara) tidaklah memiliki hak untuk mengatur moral manusia karena pada akhirnya aturan tersebut hanya menjadi selubung aktivitas kafir yang dijalankan para kapitalis dan feodalis dalam menghisap masyarakat. Pada dasarnya - merujuk pada pemahaman Materialisme Historis - agama pada akhirnya dijadikan alat untuk menghisap rakyat pekerja. Agama sudah seharusnya menjadi institusi suci yang sifatnya privasi sehingga tidak bisa digunakan untuk legitimasi apapun.

Agama hanyalah sarana manusia untuk berhubungan dengan Tuhannya. Disinilah kita dapat memahami bahwa moral adalah bentuk kutukan kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sifat moral tidaklah absolut, karena ia berdiri subjektif dan dibatasi norma yang berlaku dalam masyarakat - bukan agama maupun negara. Ustadz, uskup, ataupun pendeta tidak berhak mencap seorang wanita yang berpakaian seadanya sebagai seorang amoral. Yang berhak mencap ia bermoral ataupun tidak ialah perilaku dirinya sendiri dalam interaksinya dengan masyarakat. Maka dari itu mari kita sama-sama melawan orang yang mengatasnamakan agama yang menetapkan hukum moral mutlak sebagai selubungnya untuk melakukan penghisapan!

0 comments:

Post a Comment

 
;