Thursday, February 2, 2017

​Islam Politik: Bolehkah Agama Berpolitik?


Sejak runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyah, kaum sekuler mengumandangkan kejayaannya. Tetapi beberapa pemikir Islam modern kembali mengumandangkan Islam politik, seperti Jamaluddin El Afghani dan Muhammad Abduh. Keduanya membuat konsep Pan Islamisme yang belakangan menjadi kiblat bagi pergerakan Sarekat Islam. Tak ketinggalan, Hasan Al Banna dan Sayyid Qutbh pun mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan mulai bersaing dengan partai sekuler Mesir.
Tetapi rupanya Lenin dan kawan-kawannya di Komintern meyakinkan kita bahwa Pan Islamisme sesungguhnya bentuk Imperialisme agama. Apakah benar demikian? Kebijakan Komintern tersebut - pada akhirnya - membuat pergerakan Sarekat Islam pecah. Hasan Sho'ub, Muhammad Thaha, dan beberapa pemikir Islam lainnya sependapat dengan tesis Komintern tersebut. Menurut mereka sudah seharusnya Islam jauh dari politik.
Mengutip pernyataan dalam situs Dakwatunna, Islam adalah agama yang menyeluruh sehingga ia dapat berpolitik jua. Hasan Al Banna juga menyatakan bahwa tidak lengkap Islamnya seseorang ketika ia tidak berpolitik, "Setiap muslim harus berpolitik". Beberapa pemikir Islam - termasuk Jamaluddin El Afghani - banyak mengutip ayat Alqur'an - yang sebenarnya - tidak ada hubungannya dengan politik seperti ayat yang menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah di bumi.

Dakwatunna juga menyebutkan bahwa tidak ada satupun ayat yang menyebutkan kata 'as-siyasah' - yang berarti politik - di Alqur'an. Menurut para pakar Islam, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik, kalau dipisahkan, maka politik akan kotor sifatnya seperti Machiavelli yang memisahkan politik dengan etika (kok bisa kotor tanpa agama?). Aristoteles dan Plato sepakat bahwa politik tujuannya adalah untuk keadilan sosial, terus letak kotornya politik dimana bilamana ia tidak dibarengi dengan hukum agama?
Hasan Sho'ub berpendapat bahwa arti dari hadits "setiap manusia ialah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya" bukan merujuk pada arti politis, ia lebih merujuk pada arti kebebasan. Maksudnya, manusia yang diberikan amanat oleh Tuhan bukanlah makhluk yang hanya terikat dengan hukum alam, amanat yang diberikan lebih dari itu. Amanat tersebut lebih berarti sebagai kebebasan sehingga manusia dapat melampaui hukum alam. Amanat tersebut ditunjang oleh kebebasan berekspresi dengan menggunakan akal sehingga manusia bebas menentukan pilihannya. Kita perlu mengetahui jua bahwa politik adalah hasil dari akal manusia itu sendiri sehingga ia lebih bersifat ekspresi dari kebebasan manusia - kebebasan untuk memimpin dan dipimpin. Disinilah maksud dari pernyataan Hasan Sho'ub.
Pakar Islam - seperti Muhammad Abduh - berpendapat bahwa sejatinya politik harus digandeng dengan agama. Bahkan tidak hanya politik, seluruh dimensi akal manusia (dalil aqli?) harus bersumber pada wahyu Ilahi. Pernyataan tersebut ada benarnya, namun ada salahnya juga. Memang, pada dasarnya akal harus dibarengi dengan iman, namun itu termasuk pilihan dan politik - yang merupakan produk akal - juga merupakan pilihan.
Islam sendiri tidak menetapkan aturan yang ketat mengenai kepemimpinan sehingga ia perlu ijtihad yang mantap untuk menetapkannya. Satu-satunya sumber ijtihad politik bagi Islam adalah Qiyas. Namun, perlu diketahui jua, Qiyas (atau bahkan ijma') juga bersandarkan pada akal manusia. Bukankah situasi ekonomi politik harus disesuaikan dengan keadaan histori manusia serta keterkaitannya dengan alam?
Mari kita ambil contoh studi yang cocok untuk menjelaskan hal tersebut. Di masa paceklik, Umar Ibn Khattab menetapkan suatu kebijakan progressif yaitu mencabut hukum potong tangan bagi maling. Faraq Fouda menjelaskan hal tersebut dengan sangat mantap. Juga di masa Umayyah, ketika khilafah bertransformasi menjadi kekaisaran, Abu Dzar El Ghifary menentang kebijakan Mu'awiyah soal baitul mal yang ditetapkan sebagai pajak Ketuhanan.
Abu Bakar sendiri menolak dilabeli Khalifatullah, ia lebih senang jika disebut Khilafah Rasyidin pengganti Rasullullah. Contoh-contoh tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan politik bukanlah ditetapkan berdasarkan wahyu Ilahi, tetapi berdasarkan situasi histori manusia pada saat itu. 
Pakar Islam politik banyak yang membesar-besarkan masa kekhilafahan sebagai bentuk Islam yang mengatur soal perpolitikan. Faraq Fouda dengan mantap menelanjangi pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa mereka yang menjadi khilafah bahkan tidak menetapkan suatu kebijakan karena perintah agama, melainkan karena kondisi dan ego. Coba ingat, 3 dari 4 khilafah Rasyidin bahkan dibunuh dengan tragis akibat persaingan politik. Jesus Annam - seorang pemikir Marxis Indonesia - menyatakan jika Islam bermain dengan politik, maka akan membentuk 3 hal yaitu ia akan menjadi barbar (layaknya Isis dan Alqaeda), diktator (seperti Safawiyah, Moghul, dan Abbasyah), atau Idealisme Utopis (seperti HTI dan Ikhwanul Muslimin). Lalu dimana letak politik dalam Islam?
Para ahli Islam berselisih pendapat mengenai politik Islam, mereka setuju bahwa Islam menggunakan sistem kekhalifahan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam teknis pelaksanaannya dikarenakan histori kekhalifahan selalu menerapkan teknis kepemimpinan yang berbeda-beda. Dakwatunna menyatakan bahwa tidak peduli siapa pemimpinnya yang penting ia menerapkan hukum syariat.
Menurut hemat pendapat saya, hukum syariat (fiqh dan ushul fiqh) merupakan tata aturan moral agama dan terkadang lebih bersifat yudikatif daripada bersifat politis. Hukum tersebut pun harus selalu berubah sesuai dengan zeitgeist yang berlaku. Hal inilah yang membuat Wahabi sebagai paham yang menekankan hukum syariat yang statis menjadi begitu konservatif. Segala yang modern diharamkan.
Terlebih lagi umat muslim dilarang memeluk salah satu paham politik yang ada dengan dalih hadits, "barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk ke dalam kaum tersebut". Hadits tersebut bukanlah menyoalkan kultur ataupun dimensi akal manusia, tetapi lebih menegaskan kepada hal naqli, tauhid, dan aqidah akhlak.
Sedangkan, tidak ada larangan bagi umat muslim untuk mengikuti paham politik tertentu selama ia tidak bertentangan dengan dasar keagamaan. Seorang muslim bisa menjadi liberal, marxis, sosialis, ataupun kapitalis. Semuanya mempunyai bukti-bukti tertentu bahwa Islam itu sesuai dengan paham-paham tersebut. Sedangkan bagi yang menyatakan Islam sebagai jalan tengah, maka ia tidak melihat bahwa Islam secara historis muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap apa. 
Wajar jika Lenin mengutuk Pan Islamisme karena adanya penyalahgunaan hukum Islam untuk keperluan politik. Membangkitkan kembali khilafah dengan berdasarkan romantisme sejarah berarti sama dengan membangkitkan masa Imperialisme masa lalu. Ibnu Khaldun dan Al Farabi saja bisa berbeda pendapat dengan Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah tentang persoalan politik walaupun keempatnya mempunyai dalil yang sama. Pertentangan tersebut membuktikan bahwa interpretasi wahyu dan hadits (berdasarkan akal) harus disesuaikan dengan kondisi histori manusia. Tidak mungkin kita mengharamkan mobil (karena ia diciptakan Jerman) ataupun lampu (yang berasal dari Amerika) karena keduanya diciptakan orang kafir.
Ini sungguh tidak masuk akal! Demikian juga tidak mungkin kita mengharamkan filsafat moral Kant dan filsafat psikologi Freud karena keduanya nonmuslim. Terlebih lagi Durkheim dan Engels yang Atheis, wajar bagi mereka untuk menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kultur. Bagi kita, persoalan pemisahan kultur dengan spirit tauhid sangat penting, sehingga kita dapat membenarkan analisa Durkheim misalnya, untuk menjelaskan realitas kultur masyarakat.
Bagi saya, seorang muslim bisa menjadi seorang liberal, kapitalis, sosialis, dan feodalis sepanjang bagaimana akal seorang muslim tersebut digunakan dalam menginterpretasi wahyu Ilahi. Tiada yang namanya politik Islam karena semua agama samawi terlalu suci untuk bercampur dengan politik. Politik adalah persoalan akal, bukan persoalan wahyu. Wahyu hanya menjadi titik acuan untuk menuntun kita pada pilihan yang benar dalam hidup.

0 comments:

Post a Comment

 
;