Sejak runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyah, kaum sekuler
mengumandangkan kejayaannya. Tetapi beberapa pemikir Islam modern kembali
mengumandangkan Islam politik, seperti Jamaluddin El Afghani dan Muhammad
Abduh. Keduanya membuat konsep Pan Islamisme yang belakangan menjadi kiblat
bagi pergerakan Sarekat Islam. Tak ketinggalan, Hasan Al Banna dan Sayyid Qutbh
pun mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan mulai bersaing dengan partai
sekuler Mesir.
Tetapi rupanya Lenin dan kawan-kawannya di Komintern
meyakinkan kita bahwa Pan Islamisme sesungguhnya bentuk Imperialisme agama.
Apakah benar demikian? Kebijakan Komintern tersebut - pada akhirnya - membuat
pergerakan Sarekat Islam pecah. Hasan Sho'ub, Muhammad Thaha, dan beberapa
pemikir Islam lainnya sependapat dengan tesis Komintern tersebut. Menurut
mereka sudah seharusnya Islam jauh dari politik.
Mengutip pernyataan dalam situs Dakwatunna, Islam adalah agama
yang menyeluruh sehingga ia dapat berpolitik jua. Hasan Al Banna juga
menyatakan bahwa tidak lengkap Islamnya seseorang ketika ia tidak berpolitik,
"Setiap muslim harus berpolitik". Beberapa pemikir Islam - termasuk
Jamaluddin El Afghani - banyak mengutip ayat Alqur'an - yang sebenarnya - tidak
ada hubungannya dengan politik seperti ayat yang menyatakan bahwa Allah
menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah di bumi.
Dakwatunna juga menyebutkan bahwa tidak ada satupun ayat yang
menyebutkan kata 'as-siyasah' - yang berarti politik - di Alqur'an. Menurut
para pakar Islam, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik, kalau dipisahkan,
maka politik akan kotor sifatnya seperti Machiavelli yang memisahkan politik
dengan etika (kok bisa kotor tanpa agama?). Aristoteles dan Plato sepakat bahwa
politik tujuannya adalah untuk keadilan sosial, terus letak kotornya politik
dimana bilamana ia tidak dibarengi dengan hukum agama?
Hasan Sho'ub berpendapat bahwa arti dari hadits "setiap
manusia ialah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya"
bukan merujuk pada arti politis, ia lebih merujuk pada arti kebebasan.
Maksudnya, manusia yang diberikan amanat oleh Tuhan bukanlah makhluk yang hanya
terikat dengan hukum alam, amanat yang diberikan lebih dari itu. Amanat
tersebut lebih berarti sebagai kebebasan sehingga manusia dapat melampaui hukum
alam. Amanat tersebut ditunjang oleh kebebasan berekspresi dengan menggunakan
akal sehingga manusia bebas menentukan pilihannya. Kita perlu mengetahui jua
bahwa politik adalah hasil dari akal manusia itu sendiri sehingga ia lebih
bersifat ekspresi dari kebebasan manusia - kebebasan untuk memimpin dan
dipimpin. Disinilah maksud dari pernyataan Hasan Sho'ub.
Pakar Islam - seperti Muhammad Abduh - berpendapat bahwa
sejatinya politik harus digandeng dengan agama. Bahkan tidak hanya politik,
seluruh dimensi akal manusia (dalil aqli?) harus bersumber pada wahyu Ilahi. Pernyataan
tersebut ada benarnya, namun ada salahnya juga. Memang, pada dasarnya akal
harus dibarengi dengan iman, namun itu termasuk pilihan dan politik - yang
merupakan produk akal - juga merupakan pilihan.
Islam sendiri tidak menetapkan aturan yang ketat mengenai
kepemimpinan sehingga ia perlu ijtihad yang mantap untuk menetapkannya.
Satu-satunya sumber ijtihad politik bagi Islam adalah Qiyas. Namun, perlu
diketahui jua, Qiyas (atau bahkan ijma') juga bersandarkan pada akal manusia.
Bukankah situasi ekonomi politik harus disesuaikan dengan keadaan histori
manusia serta keterkaitannya dengan alam?
Mari kita ambil contoh studi yang cocok untuk menjelaskan hal
tersebut. Di masa paceklik, Umar Ibn Khattab menetapkan suatu kebijakan
progressif yaitu mencabut hukum potong tangan bagi maling. Faraq Fouda
menjelaskan hal tersebut dengan sangat mantap. Juga di masa Umayyah, ketika
khilafah bertransformasi menjadi kekaisaran, Abu Dzar El Ghifary menentang
kebijakan Mu'awiyah soal baitul mal yang ditetapkan sebagai pajak Ketuhanan.
Abu Bakar sendiri menolak dilabeli Khalifatullah, ia lebih
senang jika disebut Khilafah Rasyidin pengganti Rasullullah. Contoh-contoh
tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan politik bukanlah ditetapkan berdasarkan
wahyu Ilahi, tetapi berdasarkan situasi histori manusia pada saat itu.
Pakar Islam politik banyak yang membesar-besarkan masa
kekhilafahan sebagai bentuk Islam yang mengatur soal perpolitikan. Faraq Fouda
dengan mantap menelanjangi pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa mereka yang
menjadi khilafah bahkan tidak menetapkan suatu kebijakan karena perintah agama,
melainkan karena kondisi dan ego. Coba ingat, 3 dari 4 khilafah Rasyidin bahkan
dibunuh dengan tragis akibat persaingan politik. Jesus Annam - seorang pemikir
Marxis Indonesia - menyatakan jika Islam bermain dengan politik, maka akan
membentuk 3 hal yaitu ia akan menjadi barbar (layaknya Isis dan Alqaeda),
diktator (seperti Safawiyah, Moghul, dan Abbasyah), atau Idealisme Utopis
(seperti HTI dan Ikhwanul Muslimin). Lalu dimana letak politik dalam Islam?
Para ahli Islam berselisih pendapat mengenai politik Islam,
mereka setuju bahwa Islam menggunakan sistem kekhalifahan, tetapi mereka
berbeda pendapat dalam teknis pelaksanaannya dikarenakan histori kekhalifahan
selalu menerapkan teknis kepemimpinan yang berbeda-beda. Dakwatunna menyatakan
bahwa tidak peduli siapa pemimpinnya yang penting ia menerapkan hukum syariat.
Menurut hemat pendapat saya, hukum syariat (fiqh dan ushul
fiqh) merupakan tata aturan moral agama dan terkadang lebih bersifat yudikatif
daripada bersifat politis. Hukum tersebut pun harus selalu berubah sesuai
dengan zeitgeist yang berlaku. Hal inilah yang membuat Wahabi sebagai paham yang
menekankan hukum syariat yang statis menjadi begitu konservatif. Segala yang
modern diharamkan.
Terlebih lagi umat muslim dilarang memeluk salah satu paham
politik yang ada dengan dalih hadits, "barang siapa yang menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk ke dalam kaum tersebut". Hadits tersebut bukanlah
menyoalkan kultur ataupun dimensi akal manusia, tetapi lebih menegaskan kepada
hal naqli, tauhid, dan aqidah akhlak.
Sedangkan, tidak ada larangan bagi umat muslim untuk mengikuti
paham politik tertentu selama ia tidak bertentangan dengan dasar keagamaan.
Seorang muslim bisa menjadi liberal, marxis, sosialis, ataupun kapitalis.
Semuanya mempunyai bukti-bukti tertentu bahwa Islam itu sesuai dengan
paham-paham tersebut. Sedangkan bagi yang menyatakan Islam sebagai jalan
tengah, maka ia tidak melihat bahwa Islam secara historis muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap apa.
Wajar jika Lenin mengutuk Pan Islamisme karena adanya
penyalahgunaan hukum Islam untuk keperluan politik. Membangkitkan kembali
khilafah dengan berdasarkan romantisme sejarah berarti sama dengan
membangkitkan masa Imperialisme masa lalu. Ibnu Khaldun dan Al Farabi saja bisa
berbeda pendapat dengan Al Ghazali dan Ibnu Taimiyah tentang persoalan politik
walaupun keempatnya mempunyai dalil yang sama. Pertentangan tersebut
membuktikan bahwa interpretasi wahyu dan hadits (berdasarkan akal) harus
disesuaikan dengan kondisi histori manusia. Tidak mungkin kita mengharamkan
mobil (karena ia diciptakan Jerman) ataupun lampu (yang berasal dari Amerika)
karena keduanya diciptakan orang kafir.
Ini sungguh tidak masuk akal! Demikian juga tidak mungkin kita
mengharamkan filsafat moral Kant dan filsafat psikologi Freud karena keduanya
nonmuslim. Terlebih lagi Durkheim dan Engels yang Atheis, wajar bagi mereka
untuk menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kultur. Bagi kita, persoalan
pemisahan kultur dengan spirit tauhid sangat penting, sehingga kita dapat
membenarkan analisa Durkheim misalnya, untuk menjelaskan realitas kultur
masyarakat.
Bagi saya, seorang muslim bisa menjadi seorang liberal,
kapitalis, sosialis, dan feodalis sepanjang bagaimana akal seorang muslim
tersebut digunakan dalam menginterpretasi wahyu Ilahi. Tiada yang namanya
politik Islam karena semua agama samawi terlalu suci untuk bercampur dengan
politik. Politik adalah persoalan akal, bukan persoalan wahyu. Wahyu hanya
menjadi titik acuan untuk menuntun kita pada pilihan yang benar dalam hidup.
0 comments:
Post a Comment