Filsafat Materialisme mulai diserap dalam kehidupan Eropa dan
sekitarnya saat Aufklarung mulai mencerahkan Eropa dan Humanisme menjadi suatu
dasar pemikiran dalam kehidupan masyarakat Eropa. Pada masa ini pulalah para
pemikir sudah mulai bosan mendengarkan doktrin dan dogma agama yang penuh
dengan mitos, konservatif, dan tidak masuk akal. Menurut para pemikir pada masa
itu, agama hanya dijadikan alat agar para masyarakat patuh dan tunduk kepada
para tuan tanah dan para pendeta. Dengan ini pendeta bisa menjaring pengikut
yang banyak serta membuat para masyarakat dijadikan budak para Feodal.
Tetapi di masa itu, masih ada aja para filsuf yang
mencampuradukkan antara akal, teologi, dan pemikiran, diantaranya adalah
Voltaire, Immanuel Kant, dan sebagian besar para filsuf di Inggris dan
Perancis. Walaupun sudah ada beberapa yang tercerahkan dengan pemikirannya yang
luas. Hegel dengan idealisme nya, Hume, Feuerbach, dan sebagainya yang telah
memakai Materialisme sebagai dasar dari pemikiran filsafat mereka.
Pertanyaanya, kenapa mereka lebih memilih Materialisme sebagai
dasar dari pemikiran mereka ? Sebenarnya tidak sepenuhnya pemikiran
mereka itu Materialisme, sebagian besar dari mereka mengagungkan akal dan
pemikiran manusia. Itu artinya pengaruh pemikir Humanis sebelumnya mempunyai
pengaruh yang sangat besar. Atau pemikiran mereka bisa saya sebut “Materialisme
Humanis” yang artinya mencampuradukkan akal dengan material. Betapa agungnya
pemikiran manusia pada saat itu.
Tujuan dari pemikiran mereka jelas sangat membebaskan rakyat
dari beban dogmatis agama yang pada masa sebelumnya menguasai mereka. Mereka
menyatakan bahwa kesempurnaan itu hanya milik dari manusia, bahkan Tuhan
merupakan representatatif dari khayalan manusia, atau lebih tepatnya pemikiran
dari para pemuka agama agar para rakyat bisa takut akan keagungan Tuhan
sehingga segala sesuatu atau perbuatan manusia bisa di control oleh para wakil
Tuhan di bumi (dalam hal ini para pemuka agama dan para Feodalis). Sungguh
miris kehidupan rakyat pada saat itu (sebelum terjadinya revolusi Perancis)
yang harus tunduk dan merasa tertindas dibawah doktrin agama para wakil Tuhan
di bumi. Saat itu agama merupakan alat yang efektif untuk melegalkan kekuasaan
para penguasa.
Tetapi saya sendiri tidak menafikkan para pemikir dari Islam
yang terus menghargai Tuhannya karena Tuhannya tidak mengajari para hambanya
untuk memlihara kekuasaan yang absolut untuk menindas rakyatnya. Di agama Islam
kita mengenal Sosialisme yang menyatakan tidak ada yang namanya kepala, semua
sama rasa dan sama rata. Dengan itu, hanya Tuhanlah yang berkuasa, sedangkan
manusia hanya berfungsi sebagai hamba. Tidak ada wakil Tuhan di bumi, tidak ada
yang bisa menghapus dosa atau menjualbelikan surat penghapusan dosa.
Saya juga bukan pemikir konservatif yang harus menelan
mentah-mentah filsafat orang-orang konservatif seperti kebanyakan orang yang
harus tunduk di bawah kuasa filsafat dan agama. Saya lebih memilih
memperbaharui pemikir filsafat zaman dahulu yang tidak mengerti akan arti
pentingnya filsafat. Materialisme yang saya anut bukanlah seperti materialisme
yang tidak mengenal Tuhan sama sekali seperti Nietzche atau Feuerbach
sekalipun, tetapi lebih kepada Materialisme yang bersifat Sosialis seperti Marx
dan Engels, bukan pula seperti Lenin yang benar-benar benci kepada agama.
Tujuan saya menulis ini tidak lain hanya untuk memahami
seberapa dekat Materialisme itu dengan Tuhan. Tetapi pilihan ini terlampau
sulit bagi saya karena tidak banyak orang yang mengerti betapa pentingnya arti
sebuah Materialisme yang sosialis, mereka hanya stop pada suatu kesimpulan yang
picis yaitu Materialisme adalah sebuah penentangan terhadap agama yang nyata,
mereka hanya mengambil pernyataan kecil dari Marx atau para antek-anteknya yang
mengatakan agama hanya dijadikan alat untuk menjatuhkan martabat kaum buruh dan
tani.
Tetapi tidak dapat di pungkiri, kesempurnaan manusia dalam
berpikir telah sampai kepada tingkat yang melawan Tuhan, dalam artian, apa yang
mereka hasilkan selalu menentang kekuasaan Tuhan. Betapa sulitnya menyatukan
pemikiran mereka yang menentang Tuhan demi nama rakyat dengan para pemuka agama
yang berkuasa atas nama Tuhan demi nama manusia pula. Tetapi saya termasuk
orang yang berusaha untuk keluar dari arus mainstream tersebut. Saya hanya
mencoba untuk merealisasikan betapa pentingnya rasa Sosialisme antar manusia di
wujudkan di bumi Tuhan, bukan untuk saling berperang atas nama Tuhan ataupun
atas nama para pemikir yang tidak mengerti akan hadirnya Tuhan, tetapi untuk
sebuah rasa kemanusiaan yang telah hilang akibat arus modernisasi.
Tetapi bagi saya, merevolusikan sebuah filsafat konservatif
adalah suatu keharusan karena akan berguna dalam arti kemanusiaan. Saya adalah
seorang Marxis yang tidak peduli dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa
suatu hal yang tabu untuk mengungkit kembali kebesaran suatu massa Komunisme
pada masa dahulu karena di dukung oleh kaum yang tertindas. Toh, sekarang kaum
yang tertindas itu malah memihak kepada para kapitalis demi sebuah jaminan
hidup. Faktanya, mereka yang dahulu mendukung sebuah ideologi kaum proletar
harus pasrah tunduk kepada suatu aliran modernisasi yang di kuasai oleh kaum
Liberal yang tidak mengerti arti filsafat Sosialisme, atau individualistis
mereka telah merongrong hak asasi manusia secara keseluruhan.
Saya tekankan, sebuah Materialisme yang bersifat Dialektis ala
Marx ataupun Idealis ala Hegel harusnya menjadi batu pondasi sebuah perlawanan
kaum bawah untuk melawan para penguasa yang hanya mementingkan agama sebagai
jalan untuk menguasai pemikiran mereka yang tidak tahu apa-apa tentang
kerumitan soal politik dan ekonomi. Mereka yang hanya mengerti soal perut
mereka dan akhirnya nasib mereka terkatung-katung, pasrah akan keadaan dan
akhirnya hanya menengadahkan tangan di hadapan Tuhan untuk berdoa yang sia-sia.
Mengapa hal yang jauh dari kemistisan agama harus di buang ?
Mereka hanya berpikir suatu filsafat yang bersifat Materialis hanya bisa
membuat mereka akhirnya takut akan azab Tuhan yang pedih, sekiranya itu yang
saya dengar dari para pemuka agama yang memerintahkan para kadernya untuk
selalu tunduk pada kuasa Tuhan.
Saya pernah mendengar seseorang yang Islamnya kuat pernah
berkata bahwa kita harus tunduk kepada suatu pemerintahan yang jahat sekalipun.
Mengapa begitu ? bahkan mereka siap di injak kepalanya demi sebuah kesetiaan.
Bukankah itu sebuah kenistaan agama juga ? sebuah kenistaan manusia yang
akhirnya tidak mengenal lagi rasa kesetaraan. Mereka harus memakan
mentah-mentah perkataan para pemimpin yang akhirnya hanya memperkaya diri
sendiri atau golongan. Rasa Komunis dalam diri para proletar telah mati akibat
pasrah terhadap keadaan.
Para penguasa berpidato secara keras tentang sebuah kebijakan
yang tidak di mengerti oleh rakyatnya, rakyat bersorak hore dan berharap
kebijakan tersebut pro terhadap rakyat. Para penguasa dengan segala dalilnya
seperti wahyu dari Tuhan meluncur dan membenarkan semua kebijakan yang padahal
menyengsarakan rakyat mereka. Dan rakyat dipaksa untuk pasrah terhadap keadaan
dan menunggu apakah kebijakan tersebut akan mensejahterakan mereka atau
akhirnya hanya menjadi alat untuk memperkaya diri bagi kaum Liberalis.
Inikah yang namanya filsafat moderat yang dianut oleh orang
sana-sini ? Atau ini sebuah agama pembaharuan yang dibawa untuk sebuah
perubahan yang sifatnya menghancurkan orang-orang yang tidak mempunyai harapan
hidup yang tinggi seperti para rakyat awam yang harusnya menjadi pemerhati,
malah menjadi kuda-kuda dan anjing liar yang saling berebut daging busuk ?
Suatu filsafat yang picis, filsafat yang menyalahartikan
sebuah perubahan, modernisasi, ataupun problema yang benar-benar disayangkan
menghantui pemikiran semua rakyat di dunia. Hegel mengharapkan sebuah
idealistik bisa dibangun dari setiap pikiran dan akal manusia agar manusia
mengerti bahwa masing-masing dari mereka adalah merdeka, mempunyai kekuasaan
untuk menjalankan kehidupannya masing-masing tanpa menelan mentah-mentah
peraturan pemerintah yang mereka tidak mengerti.
Tetapi saya sempat berpikir, apakah jika pikiran Marx dan
Hegel demikian, maka apa pentingnya diciptakan sebuah Negara yang proletariat ?
Pertanyaan yang demikianlah bukanlah sebuah pertanyaan dari seorang
Anarkho-Komunis yang menghilangkan batas antar Negara, ras, atau agama, tetapi
lebih kepada pertanyaan seorang Marxis yang berusaha memahami apa pentingnya
Negara yang demikian di agungkan.
Saya berpendapat sebuah revolusi harus dijalankan untuk
meruntuhkan batas setiap Negara yang diciptakan untuk membedakan mereka dengan
para barbaris atau dengan para penghuni neraka seperti yang mereka percayai.
Tetapi saya juga tidak menafikkan perlunya sebuah Negara yang merdeka dari kaum
borjuis yang menguasainya. Dalam artian lain, manusia harus di control dalam
satu undang-undang yang sekiranya perlu untuk mensejahterakan mereka.
Tidak ada yang membatasi keadaan mereka untuk bersatu, seperti
ras, golongan, ataupun agama. Filsafat para Humanis pada abad ke 18 dan 19
menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang harusnya mempunyai
kelakuan dan intelegensi seperti Tuhan atau setidaknya mendekati Tuhan, bukan mendekati
para binatang yang masih menghadapi seleksi alam untuk mencapai suatu kehidupan
yang kuat.
Kita diciptakan dengan akal dan pikiran yang sehat, diciptakan
dengan berbagai perbedaan untuk saling mengenal dan saling bersahabat dalam
panji agung Sosialisme, bukan saling berebut sumber daya alam untuk kepentingan
suatu golongan, bukan pula berkoar-koar demi sebuah keagungan agama
masing-masing.
Saya menyatakan agama itu harus dihapuskan karena menurut
pengamatan saya pada masa sekarang, orang akan saling berperang mengatasnamakan
kebenaran agama masing-masing. Terserah orang menganggap saya kafir atau
atheis, karena seperti yang telah saya katakan sebelumnya, sebuah agama adalah
persepsi dari pribadi masing-masing individu, bukan dipaksakan agar orang mengikuti
jalan kita. Biarkan agama itu menjadi beratus-ratus atau beribu-ribu, asalkan
hal tersebut tidak menyentuh ranah Sosialisme.
Itu berarti pernyataan saya mengatakan agama itu harus
dihapuskan karena banyak para iblis yang berkoar agar rakyat mengikuti agama
mereka masing-masing dan saling berperang demi sebuah kebenaran agama bukan
dimaksudkan untuk melarang kebebasan beragama. Tetapi jika fungsi agama sudah
demikian, apalah arti sebuah agama bagi segolongan manusia ?
Filsafat, politik, agama, suatu hal yang picis, naïf. Banyak
kaum proletar yang akhirnya dipaksa untuk mengikuti suatu idealisme tertentu
dengan khayal yang sederhana. Rakyat yang tidak mengerti akhirnya mengikuti
jalan tersebut dan menganggap jalan tersebut sudah benar tanpa adanya sebuah
kajian yang mendalam terlebih dahulu. Mengapa kita harus berlaku demikian ? Apa
manusia ini hanya menjadi pengikut, atau tidak berhak menjadi sebuah pemikir ?
Saya pernah bertanya kepada beberapa orang, mengapa mereka
harus mengikuti Hegel, Marx, Muhammad, atau seorang Lenin sekalipun. Jawabannya
sangat sederhana, mereka percaya bahwa dengan mengikuti mereka, kesejahteraan
akan tercipta. Lalu saya bertanya lagi, apakah mereka sudah memikirkan terlebih
dahulu apa yang membuat kesejahteraan ala mereka bisa tercipta dan konsekuensi
dari pemikiran mereka tersebut itu apa ? Dengan serentak, orang awam menjawab,
hal yang tabu membicarakan sebuah hal yang tidak jelas asal-usulnya. Suatu
jawaban yang konservatif, picis.
Saya ambil contoh lagi dari para pemuda yang saya Tanya,
kenapa mereka lebih memilih Hegel daripada Marx ? Singkatnya mereka menjawab
bahwa Marx dan segala bentuk pemikiran filsafatnya telah melarang sebuah
kebebasan beragama. Mengapa mereka tidak berpikir terlebih dahulu, Marx hanya
mengajarkan bahwa manusia itu harus bersatu dibawah satu panji tanpa mengenal
batas Negara, agama, dan kelas. Mereka akhirnya menelan mentah-mentah filsafat
dengan pemikiran dan pandangan umum. Apa yang dikatakan kaum minoritas yang
inginkan perubahan adalah suatu hal yang sangat tabu untuk di bicarakan.
Atau para pemuka NU mengatakan bahwa Komunis itu sesat,
Muhammad adalah satu-satunya pemikir yang rahmatan lil alamin yang harusnya
dijadikan pegangan bagi setiap manusia yang hidup sesudah zamannya. Tapi apakah
mereka pernah berpikir, kalau mereka akhirnya mengikuti suatu mazhab tertentu,
atau selalu tunduk pada suatu muktamar ala KH. Wahid Hasjim atau Abdurrahman
Wahid yang artinya mereka menduakan Muhammad itu sendiri karena para pemuka
agama dikalangan mereka masing-masing mempunyai opini sendiri menyoalkan
sosial, politik, dan ekonomi.
Pada akhirnya saya mengakui, saya bukanlah pemikir yang
mempunyai wawasan luas seperti Muhammad, Hegel, Nietzche, Hume, Voltaire,
ataupun Marx dan Engels. Tetapi saya hanya berusaha menginterpretasikan
pemikiran saya soal Filsafat, agama dan politik dalam pandangan saya. Saya
mengambil pemikiran ini dari persoalan nyata yang telah terjadi dikalangan
manusia saat ini. Bukan pada persoalan teori yang belum terbukti kebenarannya.
Inilah ideologi saya yang berusaha memahami setiap sendi kehidupan setiap
manusia dan hubungan manusia dengan para penguasanya, termasuk Tuhan itu
sendiri. Saya berusaha berpikir serasional mungkin dalam menghadapi sebuah
persoalan, empiris, dan menyampaikan suatu kesimpulan yang harusnya menjadi pedoman
bagi saya untuk menjalankan pemikiran saya secara nyatanya.
Semua manusia menginginkan perubahan, kebebasan, dan lepas
dari dogmatis agama, filsafat dan politik. Tetapi tanpa sadar mereka, mereka
terjebak dalam suatu ideologi yang membuat mereka terjebak dengan hal yang
mereka benci. Inilah pemikiran Materialisme ala saya.
0 comments:
Post a Comment