Saturday, January 27, 2018

Arah Filsafat, Agama, Dan Politik dalam Marxisme

Filsafat Materialisme mulai diserap dalam kehidupan Eropa dan sekitarnya saat Aufklarung mulai mencerahkan Eropa dan Humanisme menjadi suatu dasar pemikiran dalam kehidupan masyarakat Eropa. Pada masa ini pulalah para pemikir sudah mulai bosan mendengarkan doktrin dan dogma agama yang penuh dengan mitos, konservatif, dan tidak masuk akal. Menurut para pemikir pada masa itu, agama hanya dijadikan alat agar para masyarakat patuh dan tunduk kepada para tuan tanah dan para pendeta. Dengan ini pendeta bisa menjaring pengikut yang banyak serta membuat para masyarakat dijadikan budak para Feodal.
Tetapi di masa itu, masih ada aja para filsuf yang mencampuradukkan antara akal, teologi, dan pemikiran, diantaranya adalah Voltaire, Immanuel Kant, dan sebagian besar para filsuf di Inggris dan Perancis. Walaupun sudah ada beberapa yang tercerahkan dengan pemikirannya yang luas. Hegel dengan idealisme nya, Hume, Feuerbach, dan sebagainya yang telah memakai Materialisme sebagai dasar dari pemikiran filsafat mereka.
Pertanyaanya, kenapa mereka lebih memilih Materialisme sebagai dasar dari pemikiran mereka ?  Sebenarnya tidak sepenuhnya pemikiran mereka itu Materialisme, sebagian besar dari mereka mengagungkan akal dan pemikiran manusia. Itu artinya pengaruh pemikir Humanis sebelumnya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Atau pemikiran mereka bisa saya sebut “Materialisme Humanis” yang artinya mencampuradukkan akal dengan material. Betapa agungnya pemikiran manusia pada saat itu.

Tujuan dari pemikiran mereka jelas sangat membebaskan rakyat dari beban dogmatis agama yang pada masa sebelumnya menguasai mereka. Mereka menyatakan bahwa kesempurnaan itu hanya milik dari manusia, bahkan Tuhan merupakan representatatif dari khayalan manusia, atau lebih tepatnya pemikiran dari para pemuka agama agar para rakyat bisa takut akan keagungan Tuhan sehingga segala sesuatu atau perbuatan manusia bisa di control oleh para wakil Tuhan di bumi (dalam hal ini para pemuka agama dan para Feodalis). Sungguh miris kehidupan rakyat pada saat itu (sebelum terjadinya revolusi Perancis) yang harus tunduk dan merasa tertindas dibawah doktrin agama para wakil Tuhan di bumi. Saat itu agama merupakan alat yang efektif untuk melegalkan kekuasaan para penguasa.
Tetapi saya sendiri tidak menafikkan para pemikir dari Islam yang terus menghargai Tuhannya karena Tuhannya tidak mengajari para hambanya untuk memlihara kekuasaan yang absolut untuk menindas rakyatnya. Di agama Islam kita mengenal Sosialisme yang menyatakan tidak ada yang namanya kepala, semua sama rasa dan sama rata. Dengan itu, hanya Tuhanlah yang berkuasa, sedangkan manusia hanya berfungsi sebagai hamba. Tidak ada wakil Tuhan di bumi, tidak ada yang bisa menghapus dosa atau menjualbelikan surat penghapusan dosa.
Saya juga bukan pemikir konservatif yang harus menelan mentah-mentah filsafat orang-orang konservatif seperti kebanyakan orang yang harus tunduk di bawah kuasa filsafat dan agama. Saya lebih memilih memperbaharui pemikir filsafat zaman dahulu yang tidak mengerti akan arti pentingnya filsafat. Materialisme yang saya anut bukanlah seperti materialisme yang tidak mengenal Tuhan sama sekali seperti Nietzche atau Feuerbach sekalipun, tetapi lebih kepada Materialisme yang bersifat Sosialis seperti Marx dan Engels, bukan pula seperti Lenin yang benar-benar benci kepada agama.
Tujuan saya menulis ini tidak lain hanya untuk memahami seberapa dekat Materialisme itu dengan Tuhan. Tetapi pilihan ini terlampau sulit bagi saya karena tidak banyak orang yang mengerti betapa pentingnya arti sebuah Materialisme yang sosialis, mereka hanya stop pada suatu kesimpulan yang picis yaitu Materialisme adalah sebuah penentangan terhadap agama yang nyata, mereka hanya mengambil pernyataan kecil dari Marx atau para antek-anteknya yang mengatakan agama hanya dijadikan alat untuk menjatuhkan martabat kaum buruh dan tani.
Tetapi tidak dapat di pungkiri, kesempurnaan manusia dalam berpikir telah sampai kepada tingkat yang melawan Tuhan, dalam artian, apa yang mereka hasilkan selalu menentang kekuasaan Tuhan. Betapa sulitnya menyatukan pemikiran mereka yang menentang Tuhan demi nama rakyat dengan para pemuka agama yang berkuasa atas nama Tuhan demi nama manusia pula. Tetapi saya termasuk orang yang berusaha untuk keluar dari arus mainstream tersebut. Saya hanya mencoba untuk merealisasikan betapa pentingnya rasa Sosialisme antar manusia di wujudkan di bumi Tuhan, bukan untuk saling berperang atas nama Tuhan ataupun atas nama para pemikir yang tidak mengerti akan hadirnya Tuhan, tetapi untuk sebuah rasa kemanusiaan yang telah hilang akibat arus modernisasi.
Tetapi bagi saya, merevolusikan sebuah filsafat konservatif adalah suatu keharusan karena akan berguna dalam arti kemanusiaan. Saya adalah seorang Marxis yang tidak peduli dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa suatu hal yang tabu untuk mengungkit kembali kebesaran suatu massa Komunisme pada masa dahulu karena di dukung oleh kaum yang tertindas. Toh, sekarang kaum yang tertindas itu malah memihak kepada para kapitalis demi sebuah jaminan hidup. Faktanya, mereka yang dahulu mendukung sebuah ideologi kaum proletar harus pasrah tunduk kepada suatu aliran modernisasi yang di kuasai oleh kaum Liberal yang tidak mengerti arti filsafat Sosialisme, atau individualistis mereka telah merongrong hak asasi manusia secara keseluruhan.
Saya tekankan, sebuah Materialisme yang bersifat Dialektis ala Marx ataupun Idealis ala Hegel harusnya menjadi batu pondasi sebuah perlawanan kaum bawah untuk melawan para penguasa yang hanya mementingkan agama sebagai jalan untuk menguasai pemikiran mereka yang tidak tahu apa-apa tentang kerumitan soal politik dan ekonomi. Mereka yang hanya mengerti soal perut mereka dan akhirnya nasib mereka terkatung-katung, pasrah akan keadaan dan akhirnya hanya menengadahkan tangan di hadapan Tuhan untuk berdoa yang sia-sia.
Mengapa hal yang jauh dari kemistisan agama harus di buang ? Mereka hanya berpikir suatu filsafat yang bersifat Materialis hanya bisa membuat mereka akhirnya takut akan azab Tuhan yang pedih, sekiranya itu yang saya dengar dari para pemuka agama yang memerintahkan para kadernya untuk selalu tunduk pada kuasa Tuhan.
Saya pernah mendengar seseorang yang Islamnya kuat pernah berkata bahwa kita harus tunduk kepada suatu pemerintahan yang jahat sekalipun. Mengapa begitu ? bahkan mereka siap di injak kepalanya demi sebuah kesetiaan. Bukankah itu sebuah kenistaan agama juga ? sebuah kenistaan manusia yang akhirnya tidak mengenal lagi rasa kesetaraan. Mereka harus memakan mentah-mentah perkataan para pemimpin yang akhirnya hanya memperkaya diri sendiri atau golongan. Rasa Komunis dalam diri para proletar telah mati akibat pasrah terhadap keadaan.
Para penguasa berpidato secara keras tentang sebuah kebijakan yang tidak di mengerti oleh rakyatnya, rakyat bersorak hore dan berharap kebijakan tersebut pro terhadap rakyat. Para penguasa dengan segala dalilnya seperti wahyu dari Tuhan meluncur dan membenarkan semua kebijakan yang padahal menyengsarakan rakyat mereka. Dan rakyat dipaksa untuk pasrah terhadap keadaan dan menunggu apakah kebijakan tersebut akan mensejahterakan mereka atau akhirnya hanya menjadi alat untuk memperkaya diri bagi kaum Liberalis.
Inikah yang namanya filsafat moderat yang dianut oleh orang sana-sini ? Atau ini sebuah agama pembaharuan yang dibawa untuk sebuah perubahan yang sifatnya menghancurkan orang-orang yang tidak mempunyai harapan hidup yang tinggi seperti para rakyat awam yang harusnya menjadi pemerhati, malah menjadi kuda-kuda dan anjing liar yang saling berebut daging busuk ?
Suatu filsafat yang picis, filsafat yang menyalahartikan sebuah perubahan, modernisasi, ataupun problema yang benar-benar disayangkan menghantui pemikiran semua rakyat di dunia. Hegel mengharapkan sebuah idealistik bisa dibangun dari setiap pikiran dan akal manusia agar manusia mengerti bahwa masing-masing dari mereka adalah merdeka, mempunyai kekuasaan untuk menjalankan kehidupannya masing-masing tanpa menelan mentah-mentah peraturan pemerintah yang mereka tidak mengerti.
Tetapi saya sempat berpikir, apakah jika pikiran Marx dan Hegel demikian, maka apa pentingnya diciptakan sebuah Negara yang proletariat ? Pertanyaan yang demikianlah bukanlah sebuah pertanyaan dari seorang Anarkho-Komunis yang menghilangkan batas antar Negara, ras, atau agama, tetapi lebih kepada pertanyaan seorang Marxis yang berusaha memahami apa pentingnya Negara yang demikian di agungkan.
Saya berpendapat sebuah revolusi harus dijalankan untuk meruntuhkan batas setiap Negara yang diciptakan untuk membedakan mereka dengan para barbaris atau dengan para penghuni neraka seperti yang mereka percayai. Tetapi saya juga tidak menafikkan perlunya sebuah Negara yang merdeka dari kaum borjuis yang menguasainya. Dalam artian lain, manusia harus di control dalam satu undang-undang yang sekiranya perlu untuk mensejahterakan mereka.
Tidak ada yang membatasi keadaan mereka untuk bersatu, seperti ras, golongan, ataupun agama. Filsafat para Humanis pada abad ke 18 dan 19 menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang harusnya mempunyai kelakuan dan intelegensi seperti Tuhan atau setidaknya mendekati Tuhan, bukan mendekati para binatang yang masih menghadapi seleksi alam untuk mencapai suatu kehidupan yang kuat.
Kita diciptakan dengan akal dan pikiran yang sehat, diciptakan dengan berbagai perbedaan untuk saling mengenal dan saling bersahabat dalam panji agung Sosialisme, bukan saling berebut sumber daya alam untuk kepentingan suatu golongan, bukan pula berkoar-koar demi sebuah keagungan agama masing-masing.
Saya menyatakan agama itu harus dihapuskan karena menurut pengamatan saya pada masa sekarang, orang akan saling berperang mengatasnamakan kebenaran agama masing-masing. Terserah orang menganggap saya kafir atau atheis, karena seperti yang telah saya katakan sebelumnya, sebuah agama adalah persepsi dari pribadi masing-masing individu, bukan dipaksakan agar orang mengikuti jalan kita. Biarkan agama itu menjadi beratus-ratus atau beribu-ribu, asalkan hal tersebut tidak menyentuh ranah Sosialisme.
Itu berarti pernyataan saya mengatakan agama itu harus dihapuskan karena banyak para iblis yang berkoar agar rakyat mengikuti agama mereka masing-masing dan saling berperang demi sebuah kebenaran agama bukan dimaksudkan untuk melarang kebebasan beragama. Tetapi jika fungsi agama sudah demikian, apalah arti sebuah agama bagi segolongan manusia ?
Filsafat, politik, agama, suatu hal yang picis, naïf. Banyak kaum proletar yang akhirnya dipaksa untuk mengikuti suatu idealisme tertentu dengan khayal yang sederhana. Rakyat yang tidak mengerti akhirnya mengikuti jalan tersebut dan menganggap jalan tersebut sudah benar tanpa adanya sebuah kajian yang mendalam terlebih dahulu. Mengapa kita harus berlaku demikian ? Apa manusia ini hanya menjadi pengikut, atau tidak berhak menjadi sebuah pemikir ?
Saya pernah bertanya kepada beberapa orang, mengapa mereka harus mengikuti Hegel, Marx, Muhammad, atau seorang Lenin sekalipun. Jawabannya sangat sederhana, mereka percaya bahwa dengan mengikuti mereka, kesejahteraan akan tercipta. Lalu saya bertanya lagi, apakah mereka sudah memikirkan terlebih dahulu apa yang membuat kesejahteraan ala mereka bisa tercipta dan konsekuensi dari pemikiran mereka tersebut itu apa ? Dengan serentak, orang awam menjawab, hal yang tabu membicarakan sebuah hal yang tidak jelas asal-usulnya. Suatu jawaban yang konservatif, picis.
Saya ambil contoh lagi dari para pemuda yang saya Tanya, kenapa mereka lebih memilih Hegel daripada Marx ? Singkatnya mereka menjawab bahwa Marx dan segala bentuk pemikiran filsafatnya telah melarang sebuah kebebasan beragama. Mengapa mereka tidak berpikir terlebih dahulu, Marx hanya mengajarkan bahwa manusia itu harus bersatu dibawah satu panji tanpa mengenal batas Negara, agama, dan kelas. Mereka akhirnya menelan mentah-mentah filsafat dengan pemikiran dan pandangan umum. Apa yang dikatakan kaum minoritas yang inginkan perubahan adalah suatu hal yang sangat tabu untuk di bicarakan.
Atau para pemuka NU mengatakan bahwa Komunis itu sesat, Muhammad adalah satu-satunya pemikir yang rahmatan lil alamin yang harusnya dijadikan pegangan bagi setiap manusia yang hidup sesudah zamannya. Tapi apakah mereka pernah berpikir, kalau mereka akhirnya mengikuti suatu mazhab tertentu, atau selalu tunduk pada suatu muktamar ala KH. Wahid Hasjim atau Abdurrahman Wahid yang artinya mereka menduakan Muhammad itu sendiri karena para pemuka agama dikalangan mereka masing-masing mempunyai opini sendiri menyoalkan sosial, politik, dan ekonomi.
Pada akhirnya saya mengakui, saya bukanlah pemikir yang mempunyai wawasan luas seperti Muhammad, Hegel, Nietzche, Hume, Voltaire, ataupun Marx dan Engels. Tetapi saya hanya berusaha menginterpretasikan pemikiran saya soal Filsafat, agama dan politik dalam pandangan saya. Saya mengambil pemikiran ini dari persoalan nyata yang telah terjadi dikalangan manusia saat ini. Bukan pada persoalan teori yang belum terbukti kebenarannya. Inilah ideologi saya yang berusaha memahami setiap sendi kehidupan setiap manusia dan hubungan manusia dengan para penguasanya, termasuk Tuhan itu sendiri. Saya berusaha berpikir serasional mungkin dalam menghadapi sebuah persoalan, empiris, dan menyampaikan suatu kesimpulan yang harusnya menjadi pedoman bagi saya untuk menjalankan pemikiran saya secara nyatanya.

Semua manusia menginginkan perubahan, kebebasan, dan lepas dari dogmatis agama, filsafat dan politik. Tetapi tanpa sadar mereka, mereka terjebak dalam suatu ideologi yang membuat mereka terjebak dengan hal yang mereka benci. Inilah pemikiran Materialisme ala saya.

0 comments:

Post a Comment

 
;