Friday, February 2, 2018

“Batas Antara Materialisme, Idealisme, dan Agama”

Akhirnya duniaku tidak akan sampai kepada makna karena makna adanya dalam konsep Idealisme yang subjektif. Akhirnya seorang Materialis sepertiku terjebak kepada pernyataan di luar indrawi yang melewan pertentangan antara ilmu dan agama. Rasanya tak pernah ada sesuatu pun yang ku campuradukkan, tetapi kenyataannya agama adalah dogma bagiku, disatu sisi ku dekatkan agama dengan ilmu pengetahuan, suatu konsep Dialektika yang harusnya terus berlangsung abadi. Semua yang sifatnya perasaan, jiwa, roh, dan sebagainya kumaterikan, tetapi seberapa usahaku untuk membuktikan konsep Materialisme, akhirnya aku terjebak satu pernyataan bahwa Tuhan adalah segala-galanya, tak pernah bisa terjangkau akal maupun perasaan.

Ada kalanya ku pisahkan akal dengan perasaan, keistimewaan manusia terletak pada keduanya karena keduanya diciptakan saling beralienasi tetapi manusia berusaha menghilangkan batas dualisme diantara keduanya. Muncul lagi pihak ketiga yang mengaku sebagai bukti dari kebenaran hukum gerak Newton, Copernicus, atau Keppler. Nabi-nabi ilmu pengetahuan yang mengonsepkan perasaan dan akal dalam teori dan hukum gerak dalam prakteknya. Maka aku semakin terjebak dalam pemikiran antara kebenaran sains, kebingungan filsafat, dan dogmatis agama.
Aku seperti berenang dalam kolam susu yang berusaha membersihkan diriku dari dosa, tetapi kenyataannya aku semakin dekat saja dengan jurang dosa dan penghambaan setan. Aku tidak percaya dengan setan, tetapi setan tetaplah setan, walaupun dia bergerak sebagai kaki tangan para ilmuwan pseudo-saintik. Apa maksudnya ini? Aku tak mengerti hidupku sendiri. Aku terus menerus menyelesaikan pertentangan antara Dialektika dan Idealisme, Idealisme dengan agama, dan agama dengan Materialisme, tetapi aku akhirnya terjebak dalam kemunafikan filsafat.
Harus kuakui akhirnya pemikiranku mengambang, tertarik antara kebendaan dan kerohanian, apa itu artinya munafik bagi diriku bahkan ketika diriku mencela kemunafikan dengan segudang kata-kata yang sifatnya dialektik. Aku berusaha menjadi Plato yang berusaha menjawab segala macam permasalahan dengan metode ilmiah praktis tanpa melewati tahap eksperimen terlebih dahulu. Semua bersifat opini, semua bersifat hipotesa, dan semua bersifat menelan mentah-mentah doktrin.
Aku teralienasi di kehidupanku sendiri, tak ada artinya aku berargumen sekuat pemikiranku, tetapi lemah dalam perasaan. Toh, apa hubungannya perasaan dan akal? Ini seperti terjebak dalam hubungan antara Mistisme dengan Rasionalitas. Pikiranku mengacau entah kemana, aku terjebak antara Materialisme Theologi dengan Islamisme. Apa artinya aku akan bersebrangan paham dengan Marx dan memihak Muhammad? Tapi mereka se pemikiran walaupun secara personalitas, mereka sangat berbeda.
Banyak yang mengkufurkan Marxisme dan mengangungkan Islam dengan berbagai argument-argumen lepas yang mereka pikir berasal dari Tuhan, tetapi apa itu sebuah pembenaran agama? Aku lebih memilih menentang keras para ulama yang mengatasnamakan Tuhan dalam mendogma manusia, padahal Allah telah memberi kebebasan kepada manusia dengan 2 pilihan yang selalu hidup bertentangan namun saling berhubungan, maksudnya inilah yang dinamakan negasi dari negasi atau konsep Dialektika pada umumnya.
Ternyata pemikiranku salah, atau benar dalam satu sisi. Aku diagungkan kaum Materialisme karena argumenku menabrak keras para ulama dengan ayat-ayat suci mereka. Di satu sisi aku dibenci kaum agamawan karena aku telah berhasil menjatuhkan martabat konservatif mereka dengan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Aku menghilangkan dongeng dan mitologi dalam pemikiran agama dengan menyatakan secara tegas bahwa “Semua agama adalah rasional, yang tidak rasional adalah pemikiran kaum konservatif”. Tetapi secara tegas pula aku menyatakan bahwa “Tuhan adalah konsep rasionalitas yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan perasaan, namun bisa dirasakan oleh hati dan indrawi manusia”. Bukankah itu bagian dari konsep Dialektika?
Aku mengaburi pemikiran Dialektika Marxian yang menyatakan bahwa manusia lah yang menciptakan pertentangan, bukan roh absolute seperti kata Hegel, manusia yang menciptakan ide, bukan ide yang menciptakan manusia. Pertentangan terjadi karena manusia dan faktor produksinya, bukan karena ide yang membawa manusia ke mana arahnya yang mereka mau. Tetapi apakah kita sebagai manusia bisa mengonsepkan Tuhan? Inilah yang kumaksud dengan pengambangan idealitas. Thomas Aquinas menyatakan bahwa sejarah adalah suatu konsep dialektika antara Tuhan dengan Setan, dan Marx membalikkan kata-kata tersebut dengan menyatakan bahwa sejarah adalah hasil pertentangan manusia karena faktor ekonomi, agama diekonomikan. Inilah yang mendasari pemikiran Marx tentang opium masyarakat yang berbentuk Ketuhanan.
Tapi aku adalah kaum yang beragama, maka adalah usahaku untuk mendekatkan konsep keagamaan dengan pemikiran Materialisme Historis dan Materialisme Dialektika. Orang pasti mencemoohku sebagai seorang yang munafik dan tidak berpendirian, mengaburi batas antara mitologi keagamaan dengan perspektif objektif manusia. Namun aku berpikir apa adanya, sesuai realita yang ada dan metode ku kritis. Aku percaya bahwa agama diciptakan untuk menjaga moralitas antar manusia, bukan untuk mendogma manusia.
Terlebih lagi aku percaya Materialisme itu ada karena untuk membuka mata manusia yang buta akan kekuatan-kekuatan supranatural yang tidak jelas akarnya. Maka runtuhlah perdukunan, ilmu kanuragan, dan setan, tetapi berjayalah Tuhan Materialis yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan manusia yang bersifat empiris. Tapi bagaimana dengan Islam? Apakah aku harus secara terang-terangan berkata bahwa Islam juga adalah Materialisme setelah ku rasionalkan agamaku sendiri.
Inilah yang kumaksud kebingungan itu, tak akan pernah kutemui makna itu hingga duniaku selesai dengan membusuk di dalam tanah. Hanya satu jawaban pasti yang bisa menyatukan pemikiranku yang saling bertentangan yaitu, agama adalah untuk moral, dan Materialisme untuk epistomologi. Keduanya harus saling membutuhkan karena seperti sifat Proton dan Elektron dalam atom, mereka saling membangun demi kesejahteraan manusia. Bukankah itu yang menjadi cita-cita dari Marx dan Muhammad?
Akhirnya aku kan musnah dalam pemikiranku sendiri, tenggelam dalam khayal nan tinggi untuk mendamaikan agama dengan Materialisme. Mendamaikan antara dosa kebendaan dengan pahala irrasionalitas. Maka benarlah kata Hegel, “Siapa orang yang dikutuk Tuhan, maka akan menjadi filsuf”. Akhirnya aku akan menjadi orang yang terkutuk karena hidup diantara batas-batas keagamaan dan batas-batas Materialisme. Apa cocok aku dipanggil sebagai Eklesistik? Tapi bagaimanapun kalian berargumen tentang pemikiranku, maka secara tegas aku akan membela habis-habisan pemikiranku. Karena inilah pemikiranku.
Aku teralienasi dalam pemikiranku, tetapi sebagaimana Dialektika berkata, bahwa hal yang saling bertentangan akan saling berhubungan untuk menciptakan keseimbangan. 

0 comments:

Post a Comment

 
;