Akhirnya duniaku tidak akan sampai kepada makna karena makna
adanya dalam konsep Idealisme yang subjektif. Akhirnya seorang Materialis
sepertiku terjebak kepada pernyataan di luar indrawi yang melewan pertentangan
antara ilmu dan agama. Rasanya tak pernah ada sesuatu pun yang ku
campuradukkan, tetapi kenyataannya agama adalah dogma bagiku, disatu sisi ku
dekatkan agama dengan ilmu pengetahuan, suatu konsep Dialektika yang harusnya
terus berlangsung abadi. Semua yang sifatnya perasaan, jiwa, roh, dan sebagainya
kumaterikan, tetapi seberapa usahaku untuk membuktikan konsep Materialisme,
akhirnya aku terjebak satu pernyataan bahwa Tuhan adalah segala-galanya, tak
pernah bisa terjangkau akal maupun perasaan.
Ada kalanya ku pisahkan akal dengan perasaan, keistimewaan
manusia terletak pada keduanya karena keduanya diciptakan saling beralienasi
tetapi manusia berusaha menghilangkan batas dualisme diantara keduanya. Muncul
lagi pihak ketiga yang mengaku sebagai bukti dari kebenaran hukum gerak Newton,
Copernicus, atau Keppler. Nabi-nabi ilmu pengetahuan yang mengonsepkan perasaan
dan akal dalam teori dan hukum gerak dalam prakteknya. Maka aku semakin
terjebak dalam pemikiran antara kebenaran sains, kebingungan filsafat, dan
dogmatis agama.
Aku seperti berenang dalam kolam susu yang berusaha
membersihkan diriku dari dosa, tetapi kenyataannya aku semakin dekat saja
dengan jurang dosa dan penghambaan setan. Aku tidak percaya dengan setan,
tetapi setan tetaplah setan, walaupun dia bergerak sebagai kaki tangan para ilmuwan
pseudo-saintik. Apa maksudnya ini? Aku tak mengerti hidupku sendiri. Aku terus
menerus menyelesaikan pertentangan antara Dialektika dan Idealisme, Idealisme
dengan agama, dan agama dengan Materialisme, tetapi aku akhirnya terjebak dalam
kemunafikan filsafat.
Harus kuakui akhirnya pemikiranku mengambang, tertarik antara
kebendaan dan kerohanian, apa itu artinya munafik bagi diriku bahkan ketika
diriku mencela kemunafikan dengan segudang kata-kata yang sifatnya dialektik.
Aku berusaha menjadi Plato yang berusaha menjawab segala macam permasalahan
dengan metode ilmiah praktis tanpa melewati tahap eksperimen terlebih dahulu.
Semua bersifat opini, semua bersifat hipotesa, dan semua bersifat menelan
mentah-mentah doktrin.
Aku teralienasi di kehidupanku sendiri, tak ada artinya aku
berargumen sekuat pemikiranku, tetapi lemah dalam perasaan. Toh, apa
hubungannya perasaan dan akal? Ini seperti terjebak dalam hubungan antara
Mistisme dengan Rasionalitas. Pikiranku mengacau entah kemana, aku terjebak antara
Materialisme Theologi dengan Islamisme. Apa artinya aku akan bersebrangan paham
dengan Marx dan memihak Muhammad? Tapi mereka se pemikiran walaupun secara
personalitas, mereka sangat berbeda.
Banyak yang mengkufurkan Marxisme dan mengangungkan Islam dengan
berbagai argument-argumen lepas yang mereka pikir berasal dari Tuhan, tetapi
apa itu sebuah pembenaran agama? Aku lebih memilih menentang keras para ulama
yang mengatasnamakan Tuhan dalam mendogma manusia, padahal Allah telah memberi
kebebasan kepada manusia dengan 2 pilihan yang selalu hidup bertentangan namun
saling berhubungan, maksudnya inilah yang dinamakan negasi dari negasi atau
konsep Dialektika pada umumnya.
Ternyata pemikiranku salah, atau benar dalam satu sisi. Aku
diagungkan kaum Materialisme karena argumenku menabrak keras para ulama dengan
ayat-ayat suci mereka. Di satu sisi aku dibenci kaum agamawan karena aku telah
berhasil menjatuhkan martabat konservatif mereka dengan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Aku menghilangkan dongeng dan mitologi dalam pemikiran agama
dengan menyatakan secara tegas bahwa “Semua agama adalah rasional, yang tidak
rasional adalah pemikiran kaum konservatif”. Tetapi secara tegas pula aku
menyatakan bahwa “Tuhan adalah konsep rasionalitas yang tidak bisa dijangkau
oleh akal dan perasaan, namun bisa dirasakan oleh hati dan indrawi manusia”.
Bukankah itu bagian dari konsep Dialektika?
Aku mengaburi pemikiran Dialektika Marxian yang menyatakan
bahwa manusia lah yang menciptakan pertentangan, bukan roh absolute seperti
kata Hegel, manusia yang menciptakan ide, bukan ide yang menciptakan manusia.
Pertentangan terjadi karena manusia dan faktor produksinya, bukan karena ide
yang membawa manusia ke mana arahnya yang mereka mau. Tetapi apakah kita
sebagai manusia bisa mengonsepkan Tuhan? Inilah yang kumaksud dengan
pengambangan idealitas. Thomas Aquinas menyatakan bahwa sejarah adalah suatu
konsep dialektika antara Tuhan dengan Setan, dan Marx membalikkan kata-kata
tersebut dengan menyatakan bahwa sejarah adalah hasil pertentangan manusia
karena faktor ekonomi, agama diekonomikan. Inilah yang mendasari pemikiran Marx
tentang opium masyarakat yang berbentuk Ketuhanan.
Tapi aku adalah kaum yang beragama, maka adalah usahaku untuk
mendekatkan konsep keagamaan dengan pemikiran Materialisme Historis dan
Materialisme Dialektika. Orang pasti mencemoohku sebagai seorang yang munafik
dan tidak berpendirian, mengaburi batas antara mitologi keagamaan dengan
perspektif objektif manusia. Namun aku berpikir apa adanya, sesuai realita yang
ada dan metode ku kritis. Aku percaya bahwa agama diciptakan untuk menjaga
moralitas antar manusia, bukan untuk mendogma manusia.
Terlebih lagi aku percaya Materialisme itu ada karena untuk
membuka mata manusia yang buta akan kekuatan-kekuatan supranatural yang tidak
jelas akarnya. Maka runtuhlah perdukunan, ilmu kanuragan, dan setan, tetapi
berjayalah Tuhan Materialis yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan manusia
yang bersifat empiris. Tapi bagaimana dengan Islam? Apakah aku harus secara
terang-terangan berkata bahwa Islam juga adalah Materialisme setelah ku
rasionalkan agamaku sendiri.
Inilah yang kumaksud kebingungan itu, tak akan pernah kutemui
makna itu hingga duniaku selesai dengan membusuk di dalam tanah. Hanya satu
jawaban pasti yang bisa menyatukan pemikiranku yang saling bertentangan yaitu,
agama adalah untuk moral, dan Materialisme untuk epistomologi. Keduanya harus
saling membutuhkan karena seperti sifat Proton dan Elektron dalam atom, mereka
saling membangun demi kesejahteraan manusia. Bukankah itu yang menjadi cita-cita
dari Marx dan Muhammad?
Akhirnya aku kan musnah dalam pemikiranku sendiri, tenggelam
dalam khayal nan tinggi untuk mendamaikan agama dengan Materialisme.
Mendamaikan antara dosa kebendaan dengan pahala irrasionalitas. Maka benarlah
kata Hegel, “Siapa orang yang dikutuk Tuhan, maka akan menjadi filsuf”.
Akhirnya aku akan menjadi orang yang terkutuk karena hidup diantara batas-batas
keagamaan dan batas-batas Materialisme. Apa cocok aku dipanggil sebagai
Eklesistik? Tapi bagaimanapun kalian berargumen tentang pemikiranku, maka
secara tegas aku akan membela habis-habisan pemikiranku. Karena inilah
pemikiranku.
Aku teralienasi dalam pemikiranku, tetapi sebagaimana
Dialektika berkata, bahwa hal yang saling bertentangan akan saling berhubungan
untuk menciptakan keseimbangan.
0 comments:
Post a Comment