Moral
Juang(Moralitas) adalah salah satu unsur pokok manusia atau dalam bentuk
komunalnya adalah masyarakat secara struktural. Moral Juang selalu dikaitkan
dengan etika dan norma sebagai suatu trinitas yang menjadi batasan bagi
masyarakat dalam bersikap dan bertindak. Ketiganya merupakan sumber peraturan
masyarakat, sehingga jika dilanggar maka hukum komunal masyarakat lah yang
menentukan harganya. Segala bentuk teori dari ketiganya adalah etik. Etik dalam
bentuk dasarnya merupakan suatu codex yang tidak tertulis namun menjadi suatu
unsur budaya yang penting. Bentuk etik yang paling umum kita kenal adalah agama
dan kepercayaan masyarakat.
Moral
Juang seringkali menjadi suatu unsur yang di kesampingkan karena merupakan
suatu aturan tidak tertulis yang di buat untuk di langgar, seperti peraturan
pada umumnya. Padahal jika moralitas tersebut di bangun, maka akan tercipta
suatu tatanan masyarakat yang teratur dan luhur budi. Jika suatu masyarakat
tidak menetapkan suatu aturan etika dan moral, masyarakat tersebut akan
tenggelam menjadi suatu artifisial yang tiada berbudaya. Hasilnya, masyarakat
tersebut akan hancur dengan sendirinya. Hal ini dapat kita lihat realitanya
pada masyarakat Romawi yang telah diramalkan kehancurannya akibat moralitas
oleh Virgil.
Faktor
hierarki dalam masyarakat berpengaruh dalam pembentukan moralitas. Biasanya
tingkatan hierarki tertinggi lah yang menjadi contoh tindakan moral bagi
masyarakatnya. Tetapi tak selalu hierarki tertinggi yang menjadi patokan dalam
pembentukan moral tersebut. Ada kalanya, kekuasaan tidak berpengaruh sama
sekali terhadap moral. Ketika penguasa bermoral tinggi dan luhur dan
masyarakatnya berantonim terhadap penguasanya, maka faktor mayoritas sering di
menangkan dalam pembentukan moral.
Lalu
bagaimana bisa seorang revolusioner moral mengubah tingkatan moralitas
masyarakatnya yang bobrok? Seharusnya pertanyaan yang demikian menjadi kerangka
dasar perjuangan pembentukan moralitas suatu masyarakat. Ini yang dilakukan
oleh Socrates, Virgil, dan Spartacus sekalipun, mereka akhirnya mati karena
perjuangan menegakkan moralitas. Kebanyakan dari para revolusioner moral
akhirnya gagal tenggelam dalam pendapat mayoritas. Contoh lainnya adalah
seorang nabi yang bernama Luth yang berusaha menegakkan moral dalam masyarakat
kaum Sodom dan Gomorah. Akhirnya Luth menerima kegagalan, ramalan akan
kehancuran suatu bangsa akibat moralitas pun terjadi kepada kedua daerah
tersebut.
Kita
beralih pembahasan kepada Materialisme yang menjadi unsur pokok dalam filsafat
Marxisme. Bagaimana Marxisme bisa membentuk moralitas terhadap para penganut
ajarannya? Terkadang saya berpikir, apakah karena ketiadaan moral yang membuat
Uni Soviet runtuh dan terjadinya penyelewengan ajaran Komunisme Internasional
oleh berbagai pihak yang haus kekuasaan seperti Stalin? Belajar dari sejarah,
ketika Marxisme dihadapkan kepada pendapat orang yang menyatakan bahwa Marxisme
itu usang, tugas kita adalah mengembangkannya. Mungkin jika kita mendekatkan
moralitas pada Marxisme akan membuat ideologi tersebut akan menjawab tantangan
zaman. Artinya Marxisme akan sesuai dengan zeitgeist dari tiap zaman-zaman
yang dilalui oleh masyarakat.
Kita
sadar, bahwa berbicara tentang proletar dan borjuis bukan lagi seperti pada
pemahaman awal yaitu proletar adalah kelas pekerja dan borjuis adalah kelas
pemilik modal. Apakah teori dualisme kelas itu akan bertahan bergantung pada
para intelektual menafsirkan kontradiksi tersebut sesuai dengan perkembangan
zaman. Sama halnya dengan faktor pembentukan moral yang berbeda setiap zaman.
Walaupun output dari moral setiap zamannya tetap sama, tetapi dalam prosesnya,
membentuk etika dan norma itu berbeda. Teori-teori terus dikembangkan dan di
perbaharui dalam menjawab tantangan pembentukan moral tersebut. Bisa saja
estetika dari filsafat etika dari Yunani Kuno itu sudah usang di zaman
sekarang, siapa yang tahu itu? Masyarakat yang bersifat awam terkadang tidak
peduli dengan hal itu.
Sekarang
ketika orang bertanya apa itu moral? Hemat saya, moral adalah suatu penilaian
atas sikap manusia yang sesuai dengan etika. Etika sendiri berarti praxis dari
etik, yaitu kode moralitas yang membatasi sikap dan tindakan manusia. Etika dan
moral berkaitan dengan norma, norma berarti peraturan tidak tertulis yang
mendasari etika dan moral. Sekilas ketiga pengertian itu saling berhubungan.
Seperti yang saya kemukakan tadi, bahwa ketiganya merupakan suatu trinitas yang
menjadi pembatasan atas sikap dan tindakan manusia (dalam hal ini masyarakat
komunal). Ketiganya muncul atas kesepakatan dari anggota masyarakatnya, berarti
berkaitan dengan suara mayoritas. Melanjutkan tema, lalu bagaimana mendekatkan
suatu moralitas dengan Materialisme yang menjadi dasar dari Marxisme?
Materialisme
selalu berbicara tentang materi yang menjadi subjek utama dari filsafatnya.
Materialisme berbicara bahwa materi adalah sumber dari segala sesuatu. Dalam
filsafat Materialisme juga disebutkan bahwa ide merupakan representasi dari
materi sebagai subjeknya, berarti ide merupakan objeknya. Dalam kaitannya
dengan sejarah, maka muncullah Materialisme Historis yang menyatakan bahwa
peristiwa sejarah adalah suatu peristiwa masa lampau yang terjadi akibat dari
campur tangan manusia sebagai subjek utamanya. Faktor terjadinya sejarah
tersebut adalah kebutuhan atau dalam bahasa lain disebut ekonomi.
Tetapi
Marxisme tidak sedangkal itu dalam menafsirkan historis manusia. Materialisme
Historis juga berbicara mengenai pertentangan yang menjadi proses dari
peristiwa sejarah tersebut. Akibat dari pertentangan tersebut adalah
suatu synthese yang bersifat baru. Sedangkan sebabnya adalah selalu
karena faktor kebutuhan manusia. Kebutuhan tersebut lah yang menciptakan ranah
sosial, politik, dan keagamaan manusia.
Kita juga
tidak lepas dari bentuk Materialisme lain yang unik yaitu Materialisme
Dialektika. Materialisme Dialektika secara sederhananya adalah berbicara
tentang pertentangan yang subjeknya adalah materi, bukan ide. Sebab dari
pertentangan adalah kenyataan indrawi, realitas, dan bukan ide. Setidaknya kita
menempatkan ide dalam objektifitas dari materi tersebut. Misalnya, otak manusia
sebagai sumber dari ide tersebut menghasilkan suatu pemikiran untuk memulai
suatu revolusi masyarakat karena sadar akan kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Antara
Materialisme Historis dan Materialisme Dialektika merupakan suatu bentuk
filsafat modern yang benar-benar melihat masalah dari realitas yang ada. Bukan
seperti pemikiran Idealisme yang selalu mengambang dalam pemikiran. Tidak
mungkin suatu ide bisa menciptakan peristiwa sejarah, karena ide itu sendiri
merupakan output dari materi. Lalu dimana peran ide dalam peristiwa sejarah?
Sepertinya anda sudah bisa menebaknya.
Kekurangan
dari kedua filsafat tersebut adalah suatu bentuk moralitas dan etika yang bisa
membatasi tindakan masyarakatnya. Memang naif kalo kita mencampuradukkan
Materialisme dengan etika, tetapi hal ini di rasa sangat perlu untuk dijabarkan
karena kurangnya moralitas dalam Marxisme berdampak pada munculnya masyarakat
yang tak beretika. Untuk itu, kita perlu mengangkat moralitas dari sebuah
idealisme menjadi sebuah bentuk ilmiah berdasarkan keilmuan dan empiris. Bentuk
moralitas tersebut bisa di bilang sebagai Moralitas Ilmiah.
Moralitas
Ilmiah berarti memandang moralitas dari perspektif Materialisme. Kita tak bisa
lepas dari Ontologi dalam membahas ini. Tetapi bukan berarti kita harus
terjebak dalam Materialisme Ontologis yang mendasari Sosialisme Etis. Bentuk
yang demikian sungguh naif, karena kotornya bentuk Materialisme akibat adanya
bentuk Idealisme yang di susupkan. Memandang Moralitas secara Materialisme
berarti kita membuat moralitas menjadi suatu hal yang di tempatkan di sisi
subjektif atau menjadi satu kesatuan dengan materi sebagai hal yang mendasari
Materialisme.
Sederhananya
seperti ini, manusia yang bermoral tidak harus beragama, dan manusia beragama
belum tentu bermoral. Manusia yang bermoral tidak harus idealis, karena kita
dapat menemukan celah moralitas dalam manusia yang Materialis. Maka kita bisa
ambil kesimpulan bahwa moral adalah suatu bentuk output dari akal dalam memilah
mana yang baik mana yang buruk. Sama halnya dengan memandang dialektika dari
perspektif Materialisme, maka bentuk moral menjadi suatu realita yang berbeda
dengan bentuk moral yang masih berupa mitos yang membicarakan baik dan buruknya
manusia. Baik dan buruknya manusia dari perspektif Materialisme muncul karena
tindakan manusia yang nyata. Misalnya, ketika seseorang memperkosa wanita, maka
kita bisa langsung menjudge orang itu mempunyai moralitas yang buruk
karena adanya realita yang menunjukkan itu. Pendapat kritik atas moral tersebut
muncul karena adanya tindakan nyata manusia itu.
Saya
menolak anggapan ketika seorang Marxis menyatakan bahwa moralitas bukan bagian
dari filsafat Materialisme karena bersifat mitos. Tetapi jika kita menganalisis
moral tersebut dari perspektif Materialisme bukan berarti bentuk moral tersebut
menjadi mitos. Realitas moral bisa di wujudkan ketika manusia sudah melakukan
tindakan nyatanya. Jika manusia tersebut masih dalam sikap diamnya, maka
moralitas masih dalam bentuk khayali, tetapi saat manusia tersebut bertindak
melakukan sesuatu hal, moralitas tersebut sudah berbentuk nyata akibat adanya
wujud dari tindakan tersebut. Tiada alasan lagi bagi Marxisme untuk
mengesampingkan moralitas. Moralitas dalam bentuk ilmiah yang di analisis secara
realistis sudah menjadi bagian dari filsafat Materialisme setidaknya ketika
tindakan manusia tersebut sudah nyata dalam indrawi.
Pembentukan
moral dalam masyarakat Sosialisme di rasa sangat penting karena akan membatasi
perilaku masyarakat sosialisme sesuai dengan kaidah norma Sosialisme yang
berlaku. Bukan berarti saya ingin mencampuradukkan Idealisme dengan
Materialisme, karena saya layaknya Marx yang ingin mengembangkan teorinya
berdasarkan realitas masyarakat yang ada. Tentunya dengan adanya moralitas
dalam masyarakat yang Materialisme akan menciptakan suasana Sosialisme yang
luhur budi dan akalnya. Artinya ilmu pengetahuan akan berdampingan dengan
moral, dengan begitu tidak mungkin tercipta lagi bom nuklir, yang tercipta
hanya pembangkit listrik tenaga nuklir. Inilah yang disebut Moralitas Ilmiah
itu.
0 comments:
Post a Comment