Sunday, February 25, 2018

Tanggapan Atas Tantangan Zaman Terhadap PANCASILA


“Dari Kacamata Ideologi Marxisme”
Pancasila adalah suatu sistem ideologi yang unik dimana para pelopornya berusaha membuat Pancasila tidak berpihak kepada ideologi kiri maupun kanan. Tetapi dalam kronologi perjalanannya, Pancasila akhirnya banyak terkait dengan ideologi kiri, apalagi Soekarno, salah satu perumus Pancasila pernah menyatakan bahwa esensi dari Pancasila adalah kiri. Berarti kita bisa ambil kesimpulan bahwa Pancasila merupakan representasi dari Sosialisme yang bersifat membumi dengan rakyat Indonesia.
Penjabaran mengenai Pancasila bisa kita lihat dalam Preambule dan UUD 1945, dalam satu contoh kasusnya, ideologi Pancasila bersifat Sosialisme ini terlihat pada beberapa pasal dalam UUD 1945, misalnya saja dalam pasal 33 yang menjelaskan tentang pemerataan ekonomi dan sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.  Hal ini cukup menjelaskan bahwa penjabaran Pancasila memang bersifat Sosialisme.
Dalam perjalanannya, para tokoh pergerakan Nasional yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme memang memasukkan unsur Sosialisme pada konstitusi kita dan dalam kronologisnya, banyak kebijakan politik pada masa orde lama yang sangat condong ke kiri, contohnya saja adalah pembentukan poros Beijing-Phnom Penh-Jakarta yang di cetuskan oleh Soekarno.

Pada dasarnya, Soekarno memandang Pancasila sebagai salah satu dari penerapan konsep Nasakomnya Soekarno. Kurang lebihnya, Pancasila merupakan salah satu ideologi yang berorientasi pada Marhaenisme. Suatu teori Marxis yang di sesuaikan dengan keadaan rakyat Indonesia. Asas tunggal Pancasila yang berbunyi “Gotong Royong” merupakan sifat dari rakyat Indonesia yang memang berorientasi pada Sosialistik. Maka tidak heran, dalam konsep ajaran Pancasila murni yang masih menurut Soekarno, Yamin, maupun beberapa tokoh pergerakan nasional lainnya berdasarkan ajaran Owen, Marx, dan Soekarno sendiri tentunya. Soekarno dikatakan berhasil menyusun konsep teori yang menggabungkan Marxisme, Nasionalisme, dan Agama. Hasil dari konsep teori tersebut tentunya adalah Pancasila.
Pancasila pada umumnya menggambarkan sifat dari rakyat Indonesia itu sendiri yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, berdemokrasi, dan berkeadilan sosial. Walaupun saya sendiri menyimpulkan bahwa Pancasila tersebut merupakan penggabungan dari Agama, Humanitas, Nasionalisme, Demokrasi, dan Sosialisme, tetapi dalam penjabaran teorinya banyak menyebutkan konsep Sosialisme. 
Tetapi pada masa Soeharto, ketika terjadi pelarangan segala bentuk ajaran Marxisme dan Soekarnoisme, maka ajaran Pancasila pun tidak murni lagi. Soeharto mengumumkan konsep Pancasila sesuai dengan interpretasi dirinya dalam memandang Pancasila. Hal ini memicu stigma yang terjadi dikalangan rakyat Indonesia terhadap Sosialisme. Penjabaran Pancasila yang di cetuskan Soeharto banyak di susupi teori Liberalisme yang sifatnya kebarat-baratan. Maka tidak heran, ketika pada masa itu, ideologi Indonesia adalah Pancasila, tetapi dalam prakteknya bersifat Liberalisme.
Penanaman modal asing swasta di Indonesia pada masa Soeharto dianggap sebagai implentasi dari Liberalisme itu sendiri. Ketika Soekarno berusaha untuk menasionalisasi segala aset negara, maka Soeharto berhasil menyimpang dari ajaran Pancasila itu sendiri dengan penguasaan asing terhadap kekayaan negara, sebut saja PT. Freeport, Exxon Mobile, atau berbagai perusahaan swasta asing lainnya yang berhasil menguasai aset kekayaan negara. Maka itu dikatakan Pancasila tidak lagi murni.
Soeharto secara tegas menanamkan Pancasila di kalangan rakyat dengan adanya Pedoman Penghayatan dan Penataran Pancasila atau yang biasa di singkat P-4, tetapi penanaman nilai-nilai Pancasila yang demikian bersifat otoriter. Dalam kasus tersebut, Soeharto bersifat sangat McCarthyism, McCarthy adalah salah satu penganut Liberalisme yang mengeluarkan ajaran yang menyatakan bahwa segala bentuk ideologi yang tidak sesuai dengan pemikiran para penguasa maka perlu di musnahkan. Dalam prakteknya, McCarthy menyatakan bahwa segala bentuk ideologi Marxisme dan akar-akarnya harus di musnahkan. Soeharto dan McCarthy adalah seorang epigon. Ciri dari seorang epigon adalah cemerlang sebagai peniru orang panutannya, namun tanpa orijinalitas dan tanpa intelegensi, biasanya malah bertindak berlebihan (Pernyataan Joesoef Ishak, dalam pengantar penerbit dari buku “Friederich Engels Tentang Das Kapital Karl Marx”).
Hal ini sungguh sangat disayangkan, penanaman nilai Pancasila yang terlalu berlebihan pada rakyat Indonesia tersebut telah mengubah sifat rakyat Indonesia yang tadinya berasaskan “Gotong Royong” menjadi Liberalisme yang bersifat individualistis. Maka kita bisa melihat hasilnya ketika Pancasila hanya menjadi teori akut saja di masa reformasi. Bahkan konstitusi-konstitusi yang di ciptakan oleh para pemerintah di masa reformasi banyak menjauh dari ajaran Pancasila yang murni.
Ketika kondisi sebuah ideologi sudah demikian maka muncul pertanyaan di benak para kritikus ideologi, masih relevankah ideologi tersebut di masa sekarang? Jawaban dari pertanyaan tersebut sebenarnya terletak pada rakyat dan pemerintah dari negara yang menganut ideologi tersebut. Relevansi dari suatu ideologi terletak dari pengamalan prakteknya yang sesuai dengan keadaan zaman, terkadang sebuah ideologi dikatakan konservatif ketika ideologi tersebut tidak bisa menjawab tantangan zaman yang menghinggapi masyarakatnya.
Bagaimana dengan ideologi Pancasila? Jika dilihat dari teori di atas maka kita harus melihat lebih dalam lagi tentang ajaran Pancasila tersebut. Pancasila dalam kajian filsafahnya merupakan suatu ideologi yang unik. Soekarno pada awalnya mengorientasikan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang lepas dari pengaruh timur dan barat, tetapi dalam teorinya Pancasila banyak di dominasi oleh Sosialisme, sama halnya dengan Juche yang di anut bangsa Korea yang berorientasi pada Humanisme dan Komunisme. Jika dalam kajiannya dikatakan bahwa Pancasila merupakan sebuah ideologi yang lepas dari pemikiran konservatif walaupun dalam proses perumusannya banyak dimasukkan pemikiran-pemikiran konservatif, terutama dari Moch. Yamin yang merumuskan Pancasila pertama pada sidang BPUPKI pertama.
Jika dikatakan Pancasila bukanlah suatu ideologi konservatif seperti halnya Feodalisme, maka kita harus membuktikan hal tersebut dalam prakteknya. Praktek penerapan ideologi non-konservatif tidak bisa lepas dari gagasan ketahanan ideologi tersebut dalam menghadapi tantangan eksternal. Ketahanan tersebut bisa membuktikan apakah sebuah ideologi memang benar-benar ideal dalam prakteknya menghadapi setiap zaman yang selalu berubah sesuai dengan pola kehidupan masyarakatnya.
Maka kita perlu melawan para kritikus yang menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak relevan lagi di Indonesia.

Gagasan Ketahanan Nasional Pancasila dalam Menghadapi Tantangan Eksternal
Berbicara tentang gagasan ketahanan nasional maka kita tidak pernah lepas dari hukum Dialektika yang menyatakan bahwa suatu these yang menjadi dasar suatu teori akan selalu menjadi kontradiksi dari antithese yang merupakan kritik atas teori tersebut. Pancasila kita sering di kritik oleh kaum Marxisme Dogmais yang menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak relevan lagi dalam menjawab tantangan eksternal karena berubahnya zaman. Maka untuk melawan kritikan tersebut diperlukan tindakan realita yang sesuai dengan kondisi negara yang sudah mengglobalisasi di era reformasi ini.
Aspek ekonomi merupakan suatu kekuatan yang menjadi dasar dari globalisasi di masa kini, tetapi di masa globalisasi yang semakin gencar ini, kita di hadapi oleh tantangan dari Universalis Liberalisme yang di lancarkan oleh berbagai negara Kapitalis dalam menguasai sumber daya dan struktural ekonomi di negara berkembang. Ini bisa dilihat dengan semakin maraknya program free trade area di dunia. Dewasa ini kita mengenal Masyarakat Ekonomi Eropa sebagai contoh terbaik dari free trade area, selain itu juga terdapat organisasi APEC yang mendasari konsep free trade area di wilayah regional Asia Pasifik yang di motori oleh China.
Akhir-akhir ini muncul gagasan baru dari konsep free trade area yang bersifat regional yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (selanjutnya di singkat MEA) yang akan di canangkan berjalan pada tahun 2015. Maka itu, Indonesia di hadapi oleh penghilangan batas negara dalam aspek ekonomi. Mari kita lihat sisi positif dan negatifnya MEA ini bagi Indonesia.
Dilihat dari sisi positifnya, MEA akan menduniakan berbagai produk Indonesia yang di canangkan berorientasi pada produk manufaktur, perikanan, pertanian, dan teknologi, pernyataan ini dilontarkan oleh Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Indonesia. Selain itu, semakin terbukanya investasi swasta asing di Indonesia yang akan menambah serunya perjalanan pasar yang bersifat multiregional di Indonesia.
Bagaimana dengan sisi negatifnya? Dilihat dari sisi negatifnya, maka akan berkaitan dengan mikro ekonominya Indonesia. Hal ini berkaitan dengan nasib UKM yang tersingkir akibat makin menjamurnya produk-produk luar yang bebas keluar masuk Indonesia. Selain itu, hal ini akan menimbulkan hilangnya nasionalisasi ekonomi negara yang harusnya berasaskan Pancasila atau lebih tepatnya berdasarkan teori ekonomi kerakyatan.
Dalam hal ini, Pancasila memandang MEA sebagai sesuatu yang menggerus kesejahteraan sosial yang terpelihara ketika Indonesia berhasil menguasai sektor ekonomi di negerinya sendiri. Tetapi yang terjadi tidak demikian, Indonesia semakin menuju ke tahap yang lebih Liberalisme lagi sehingga relevansi Pancasila sebagai ideologi utama akan tersingkir secara perlahan.
Hilangnya batas antar negara dalam sektor ekonomi dianggap belum relevan bagi Indonesia karena sektor UKM sebagai penyumbang utama ekonomi terbesar di Indonesia dianggap belum mampu menyaingi perusahaan swasta asing yang menjamur di Indonesia. Selain itu, simpang siurnya sektor prioritas ekonomi Indonesia akan berdampak sangat buruk ke depannya. Indonesia dianggap belum siap menghadapi MEA di kemudian hari.
Teori ekonomi kerakyatan yang harusnya menjadi landasan teori ekonomi di Indonesia dianggap belum dijalani secara praktisinya sehingga Indonesia semakin kabur dalam menjalankan perekonomiannya. Menurut saya, peraturan multiregional dan peraturan pemerintah Indonesia tidak pernah sesuai lagi dengan konstitusi dasar Indonesia. Pasal 33 jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang berada dalam negara akan menjadi milik negara dan aspek pemerataan ekonomi sesuai dengan asas ekonomi kerakyatan menjadi landasan ekonomi dasar Indonesia. Tetapi dalam prakteknya jauh dari kenyataan.
Jika ditanya tentang gagasan mengenai ketahanan nasional, maka kita perlu berkaca pada China yang berhasil mempribumikan 90% perusahaannya serta membatasi investasi modal asing sehingga perekonomian China bisa terbangun mandiri dan bahkan menjadi salah satu kekuatan perekonomian terkuat di dunia.
Berkaca pada sila ketiga Pancasila yang berbunyi ”Persatuan Indonesia” dan sila keempat Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, maka itu merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut. Ketahanan nasional berasaskan Pancasila berdasarkan pada persatuan dan pemerataan keadilan internal secara menyeluruh sehingga tercipta sebuah masyarakat yang kuat dan bersifat Nasionalisme-Sosialisme. Suatu negara mandiri yang tidak bergantung pada investasi asing. Kesimpulannya negara kita harus dibangun dari sektor perekonomian yang bersifat Nasional sebelum menghadapi free trade area. Jika kita menilai tentang Nasionalisme Ekonomi, maka Malaysia bisa menjadi juaranya di Asia Tenggara karena Malaysia berhasil membumikan produk-produknya dan berusaha menekankan kepada rakyatnya untuk menghargai produk dalam negeri. Seperti itulah harusnya kita mengonepsikan perekonomian kita.

Relevansi Pancasila dan Pemurnian Ajaran Pancasila
Mari kita meneliti Sosialisme, menurut Owen, Sosialisme adalah suatu sistem yang didasarkan kepada pemerataan yang menyeluruh, pemerataan yang demikian hanya bisa di wujudkan dengan pengambilalihan aset kekayaan negara oleh negara. Tetapi bukan berarti swasta nasional tidak boleh berkembang, dalam sistem Sosialisme, swasta asing bebas menjalankan roda perekonomiannya dengan pengontrolan yang dilakukan oleh negara. Sistem ini disempurnakan lagi oleh Marx dan Engels dalam buku Das Kapital sehingga kita mengenal Sosialisme Komunis.
Bagaimana dengan Pancasila? Pancasila berdasarkan asas “Gotong Royong”, jika dijabarkan lebih lanjut maka kita akan menemukan konsep Sosialisme dalam asas tersebut. Tidak perlu mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, karena keunikan Pancasila terletak pada sifat ajarannya yang sesuai dengan keadaan rakyat Indonesia yang Sosialis.
Untuk melawan para kritikus dari penganut Marxisme Dogmais, maka kita hanya perlu menjawab, tidak perlu susah-susah untuk menyingkirkan Pancasila dari bumi Indonesia, karena dalam Pancasila itu sendiri sebagian konsepnya berdasarkan teori Marx. Kita tidak bisa memaksakan Marxisme secara keseluruhan di Indonesia karena teori Marx tidak sepenuhnya di jiwai oleh masyarakat Indonesia, sedangkan Pancasila sudah cukup menggambarkan jiwa manusia Indonesia yang sifatnya Sosialis.
Untuk melawan para kritikus Anti Marxis, maka kita perlu menjawab ringan bahwa konstitusi kita pada dasarnya berpegangan pada konsepsi ideologi kiri, tetapi dalam pelaksanan prakteknya, Liberal telah merusak –rusak konstitusi kita, maka kita perlu memurnikan ajaran Pancasila kembali sesuai dengan makna yang sebenarnya yang pernah di terangkan oleh para tokoh pergerakan Nasional Indonesia.
Mengapa Sosialisme bisa diterima dengan mudah di Indonesia lewat Pancasila? Hal itu disebabkan karena rakyat Indonesia bersifat gotong royong dalam membangun negaranya, selain itu rakyat Indonesia pada umumnya dan sebenarnya mendambakan pemerataan ekonomi sehingga tidak terjadi lagi kesenjangan antara si kaya dengan si miskin di negeri sendiri.
Kesimpulannya, Pancasila sebenarnya masih relevan di Indonesia karena Pancasila sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang sesungguhnya, apalagi Pancasila bukan merupakan ideologi yang konservatif karena Pancasila selalu berusaha untuk berasosiasi dengan zaman sehingga Pancasila bisa menjawab tantangan-tantangan zaman. Hal ini merupakan pembuktian bahwa Pancasila sesuai dengan zeitgeistnya.
Pancasila merupakan suatu ideologi sempurna karena kelima aspek kehidupan di terangkan dalam Pancasila yaitu aspek keagamaan, kemanusiaan, Nasionalisme, Musyawarah Mufakat, dan Sosialisme. Hal ini harusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena para tokoh pergerakannya berhasil merumuskan ideologi yang menggabungkan kelima konsep secara sempurna.
Untuk mempertahankan relevansi Pancasila tersebut, maka diperlukan sebuah penataran yang bebas dari dogma orde baru yang telah menciptakan stigma bagi Pancasila itu sendiri. Sudah seharusnya kita menjalankan konstitusi kita dengan yang sebenarnya, bukan berpihak kepada kelas negara super power yang telah menguras habis kekayaan negara demi keuntungan kaum Liberal-Kapital. Tidak ada hak individualistis yang disebutkan dalam Pancasila, semuanya berdasarkan asas Sosialisme dan pemerataan yang telah sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Maka dari itu, untuk menciptakan sebuah ketahanan nasional, maka pemerataan ekonomi diperlukan sehingga membangkitkan mikro ekonomi Indonesia yang menjadi penopang perekonomian Indonesia yang utama. Kita tidak harus berbaik hati kepada kaum Kapital-Liberal yang bercokol di Indonesia dengan merendahkan pajak, dengan meninggikan pajak, maka keuntungan sosial yang di dapat dalam dunia Kapital akan terwujud, seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan China dewasa ini.

0 comments:

Post a Comment

 
;