Saturday, February 17, 2018

Pandangan Marxisme Terhadap Agama


Sepertinya kita, kaum Materialisme tidak akan ada henti-hentinya membahas tentang keagamaan, kita akan diminta berpendapat soal agama, dan kita tidak akan pernah bersatu dalam mengeluarkan pendapatnya soal agama. Bagi kaum Materialisme Ekstrimis, maka pemikirannya adalah Atheis dan mutlak untuk tidak di pertentangkan. Bagi kaum Materialisme Ekletisis, maka mereka selalu mencampuradukkan pemikiran mereka dengan agama. Lalu bagaimana dengan Materialisme Dialektis? Maka agama adalah salah satu sumber pertentangan alamiah manusia untuk mencapai ke tahap kemasyarakatan berikutnya.
Agama juga menjadi suatu permasalahan urgent bagi para Marxis. Mereka yang menjadi Marxis tulen, atau Komunisme tulen, maka selalu di pertanyakan pendapatnya tentang agama. Sebagian besar dari mereka selalu menganggap agama adalah seperti yang Lenin bilang soal itu, sebagian kecil dari mereka termasuk saya berkata, perlu ada penelitian lebih lanjut lagi soal agama. Karena pemikiran tetaplah kritis, walau itu soal agama sekalipun. Kita bukan orang-orang yang menelan mentah mitologi, takhayul, mitos, mistisme, atau kisah-kisah fantasi yang berasal dari agama, bagi kita yang berpikir kritis, maka kita akan berusaha merasionalkan agama itu serasional mungkin, meninggalkan bentuk-bentuk Metafisika sebuah agama itu dan menilai agama itu dari perspektif keilmuan dan keilmiahan.


Kritik Lenin Atas Agama
Lenin mempunyai pemikiran yang agak radikal soal agama. Bagi Lenin, agama merupakan suatu vodka yang membuat masyarakat tertindas, maka agama itu harus terpisah dari masyarakat, bahkan kalau bisa dihapus karena merupakan sumber kebodohan. Apa yang dilakukan Lenin dalam praxisnya adalah menutup segala kegiatan dan institusi keagamaan di lingkungan Uni Soviet, membantai gerakan keagamaan sekaligus para anggotanya, dan akhirnya melarang segala bentuk dogma keagamaan di luar gereja, mesjid, ataupun vihara.
Setelah Lenin meninggal pada tahun 1924, Stalin lalu melanjutkan misi pendahulunya untuk menghancurkan keagamaan di Uni Soviet, bahkan di negeri yang penduduknya rata-rata Islam seperti Afghanistan. Hal ini yang menimbulkan persepsi dari masyarakat bahwa Komunisme itu adalah anti agama. Mereka bertolak dari apa yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin. Stalin mengakui bahwa apa yang dilakukannya sesuai dengan ajaran Leninisme. Maka kita perlu menyelidiki lebih dalam sebenarnya apa kata Lenin dalam menyoalkan keagamaan.
Dalam bukunya What Is To Be Done?, Lenin berpendapat bahwa Marx terlalu lembut dalam kritiknya soal agama, maka Lenin membuat sebuah pandangan baru yang lebih keras dan radikal lagi soal agama, bagi Lenin, agama adalah pengganggu masyarakat, menindas proletariat, dan membunuh semangat juang kaum buruh. Mengapa bisa demikian? Karena agama adalah sumber kepasrahan kaum buruh.
Lenin membuat contoh sederhana soal itu, ketika seorang buruh bekerja kepada seorang capital karena ketiadaan alat produksi dan modal, maka sang buruh tersebut bekerja karena kepasrahan. Kepasrahan itu terjadi karena buruh tersebut mudah menerima takdir yang katanya telah di tentukan oleh Tuhan. Agama mengajarkan bahwa kita harus pasrah menerima keadaan yang terjadi. Ini seperti pemikiran Plato juga yang menyatakan bahwa akan ada kebahagiaan di balik penderitaan dan pemerasan. Sepintas pemikiran seperti ini memang merupakan suatu pembenaran atas penindasan keagamaan. Apalagi Lenin juga menilik kasus Black Death demi pembenaran teorinya tentang keagamaan.
Lenin juga mengkritik sikap para pemuka agama yang suka mendogma ajarannya demi kepentingan ekonomi. Menurut Lenin, para pemuka agama adalah bentuk sebuah hierarki Feodal yang telah memperbudak masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan keuntungan demi kebutuhan pribadi gereja. Jika sudah begitu, Lenin malah lebih keras menentang gerakan keagamaan di Uni Soviet dan negeri Komunis lainnya. Stalin juga bersikap demikian atas nama perpanjangan tangan teori Lenin, kebijakannya yang paling fenomenal sebagai praxis atas kritik keagamaan adalah menentang habis-habisan Pan Islamisme dan menyerukan kepada Komunisme dunia untuk bersikap anti Pan Islamisme. Hal inilah yang kemudian di tentang oleh Tan Malaka sebagai wakil Asia Tenggara di Komintern.
Jelas, pemikiran Lenin soal agama sangat radikal di telinga masyarakat non Marxis. Dan bagi mereka yang bukan bagian dari lingkungan Marxisme pasti langsung menjudge Komunisme sebagai anti agama. Masyarakat berpendapat demikian karena masyarakat menggeneralisasi Komunisme terhadap Lenin itu sendiri. Ini suatu hal yang wajar, sebab kalau bukan karena Lenin, maka Marxisme hanya menjadi teori filsafat dan ekonomi yang hanya dikenal dalam kalangan ahli saja dan tidak mendunia. Sama halnya dalam menggeneralisasi Komunisme sebagai ideologi kediktatoran karena kebijakan Stalin dalam menyelewengkan ajaran Leninisme.
Sebenarnya, Lenin berpikiran demikian karena berpatokan dari teori Marx yang paling masyhur soal agama yaitu “Agama adalah candu bagi masyarakat”. Marx berpendapat demikian karena adanya agama membuat kaum buruh hanya bisa menerima nasibnya, maka Marx juga berpendapat bahwa agama hanya bisa dijadikan hiburan proletar atau sebagai tempat keluh kesahnya masyarakat. Dalam hal ini, Marx berpendapat lunak soal agama, sangat berbeda dengan pemikiran Lenin yang keras terhadap agama.
Akibat dari pemikiran Lenin tersebut, maka seluruh masyarakat yang melabel dirinya sebagai Marxisme, Komunisme, atau sejenisnya menjadi Atheis dogmatis. Mengapa demikian? Saya menyebut Atheis Dogmatis karena mereka menelan mentah-mentah pemikiran Lenin soal agama tadi. Hanya sebagian kecil dari mereka yang akhirnya sadar dari kritik. Maka muncullah kritik atas kritik Lenin terhadap agama sebagai jawaban atas pertanyaan apakah Komunisme itu sama dengan Atheisme? Pertanyaan kekanak-kanakan ini masih saja muncul dalam forum diskusi politik, ekonomi, dan filsafat. Mereka dengan mudah berpendapat bahwa Komunise itu Atheis.
Komunisme Itu Sama Dengan Atheisme?
Apa yang mendasari masyarakat berpikir demikian? Itu karena masyarakat hanya mengambil separuh kalimat Marx yang menyatakan bahwa Agama adalah candu bagi masyarakat. Memang sudah sifat masyarakat dalam memahami sebuah teori dan pemikiran secara awam, maka itu fungsi seorang intelektual adalah mengemukakan sebuah teori dan pemikirannya secara awam pula agar masyarakat mengerti dan paham apa maksud dan tujuan dari teori tersebut. Inilah yang menjadi kesalahan seorang Marx dan Engels sebagai motor utama dari sebuah ideologi yang mengguncang dunia hingga sepertiga masyarakat dunia menganutnya, dua pertiga yang lainnya mempersoalkannya.
Marx sebagai seorang yang mempunyai pemikiran dasar dari Komunisme membuat sebuah pemikiran yang demikian rumitnya sehingga jika kita mempelajari teorinya hingga seumur hidup pun mungkin belum selesai. Muncullah Engels sebagai orang yang sanggup mencerna pemikiran Marx dan membuat tinjauan ulang terhadap teori-teorinya dengan penambahan-penambahan yang krusial seperti Materialisme Dialektika, Dialektika Alam, dan beberapa teori menyangkut teori ekonominya Marxisme. Setelah Engels, muncullah Bakunin, Kautsky, dan Plekhanov sebagai tokoh Marxis awal yang telah memberikan sumbangsih terhadap pengembangan teori Karl Marx. Mereka akhirnya terjebak dalam pemahaman-pemahaman mereka sendiri dalam menafsirkan teori Marx sesuai dengan versi mereka sendiri. Bakunin dengan Anarkismenya, Kautsky dengan Sosial Demokrat Non Revolusionernya, dan Plekhanov dengan Demokrasi Rakyatnya.
Setelah mereka bertiga, maka bermunculanlah tokoh-tokoh Marxis yang menginterpretasikan teori Marx berbeda pula dari para pendahulunya seperti Rosa Luxembourg, Vladimir Lenin, Antonio Gramsci, dan Leon Trotsky. Mereka lah yang dianggap sebagai introduktor teori Marx hingga menjadi sebuah ideologi yang universal. Secara terang-terangan mereka mengutuk habis-habisan tokoh-tokoh Internationale II yang dianggap telah menyelewengkan ajaran Marxisme, tokoh utamanya adalah Kautsky.
Dalam mempersoalkan keagamaan, mungkin hanya Marx, Engels, Tan Malaka dan Lenin saja yang paling menangkap persoalan ini. Agama menjadi sesuatu yang krusial untuk di bahas karena merupakan salah satu unsur pokok dari sebuah kebudayaan yang secara tidak langsung mempengaruhi jalan pikiran dan aktivitas masyarakat. Marx sebagai kunci utama dari Marxisme sangat tanggap dalam hal keagamaan. Dengan paragraph yang singkat, Marx menyatakan agama sebagai candu :
"Penderitaan religius, pada saat yang bersamaan, adalah ekspresi dari penderitaan riil dan protes terhadap penderitaan riil tersebut. Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jantung-hati dari dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari situasi yang tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat.”
Pernyataan Marx tersebut besar maknanya, ini menimbulkan persepsi yang banyak di kalangan para Marxis sendiri. Tetapi diantara semua Marxis, hanya Engels, Lenin, dan Tan Malaka sajalah yang menyoalkan keagamaan selain Marx itu sendiri. Engels hanya memperjelas pendapat Marx soal agama, sedangkan Lenin berpikiran sangat keras dalam menentang keagamaan, dan Tan Malaka bersikap lunak terhadap agama.
Masalah keagamaan ini membagi Komunisme menjadi dua kubu yaitu Komunisme Sekular dan Komunisme Agamis. Komunisme Agamis memang sangat dialektik, hal ini berkaitan antara pendekatan Materialisme terhadap ajaran agama dengan pemisahan Idealisme dari ajaran agama. Saya rasa, ahli Komunisme di seluruh dunia sudah cukup pintar dalam menyoalkan keagamaan dalam pemikiran Marx dan Lenin ini.
Atas dasar pemikiran Marx itu saja sudah cukup menjudge Marxisme sebagai Atheis, tetapi saya berpandangan bahwa Marx tidak pernah menyoalkan agama karena agama adalah kebutuhan pribadi. Jika agama berubah menjadi kebutuhan social, maka  agama berubah menjadi “Agama diekonomikan”. Secara konsepnya dalam Historical Materialism, teori kesejarahannya Marx, maka agama adalah suatu ciri masa dimana di masyarakat di dalamnya masih bersifat feodalistik. Bukan berarti Marx melarang keagamaan tersebut, tetapi agama bisa jadi hanya bersifat hiburan bagi para proletariat. Maka suatu kebebasan bagi kita untuk menganut salah satu gerakan keagamaan atau tidak. Salah besar jika seseorang menilai teori Marx sebagai Theological Komunisme.
Saya tahu pasti seseorang akan bertanya, Materialisme secara tidak langsung menentang filsafat keagamaan itu sendiri, mengapa bisa Materialisme ala Marxisme bisa di dekatkan dengan keagamaan? Saya sebagai seorang Marxis tahu bahwa Materialisme berarti cara berpikir manusia yang menganggap segala sesuatu di luar indrawi bukanlah sebuah realita, dan realita itu hanyalah materi dan rasional. Tetapi masing-masing dari para penganut Marxisme mempunyai teorinya sendiri-sendiri dalam mempertahankan keagamaannya dalam Marxisme itu sendiri.
Sedangkan bagi saya, agama itu bersifat sangat rasional, sifat inilah yang membuat agama tidak menjadi konservatif. Maka agama yang tidak rasional merupakan sebuah produk kebudayaan konservatif yang tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi bukannya saya melarang untuk menganut agama tersebut. Menurut saya, kesadaran beragama merupakan urusan privasi antara manusia dengan Tuhannya, maka masyarakat akan sadar mana yang merupakan rasional, mana yang tidak. Karena tingkat rasional tersebut lah yang membedakan masyarakat sadar dengan masyarakat awam.
Bagi saya sendiri, saya sebagai Komunisme-Marxisme pasti menjunjung tinggi Historical Materialism dan Historical Dialectic. Dan saya sebagai penganut agama Islam juga menjunjung tinggi Al Qur’an dan As Sunah. Maka untuk itu saya berpikir bahwa semua bentuk hubungan manusia itu rasional, termasuk bentuk keagamaan. Tetapi jika bentuk hubungan manusia sudah merupakan hubungan manusia dengan diluar batas kemampuan akal manusia, dengan hal ini saya menyatakan Tuhan Allah, maka sifatnya sudah tidak menjadi rasional lagi, dan sudah jauh dari ranah Materialisme itu sendiri. Maka tugas saya sebagai penindak hubungan tersebut adalah melepas jubah Materialisme dan menggantinya dengan jubah suci keagamaan. Hal ini bukan berarti saya menelan mentah-mentah dogma keagamaan, maka saya bersifat kritis dalam menjalankan sebuah agama (dalam hal ini agama Islam).
Jika seorang Materialisme tulen membuat batasan kabur antara irrasional dengan materi, maka saya jelas menetapkan batas tersebut. Ada saatnya dimana saya berpikir Materialisme seperti pada tingkat komunal dan social, dan ada saatnya dimana saya harus beragama, yaitu pada saat saya dihadapkan kepada Tuhan secara personal. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran Komunisme yang agamis.
Komunisme sekuler selalu berpandangan terhadap pemikiran Lenin. Bagi mereka, tetap menjadi sebuah hukum ketika agama telah menjadi candu bagi masyarakat, maka tiada hak bagi mereka untuk beragama. Semua adalah hukum Sosialisme dibawah kediktatoran satu partai yaitu partai Komunis revolusioner. Pembantahan terhadap agama secara radikal ini juga menghilangkan moralitas dan etika keagamaan para tokoh-tokohnya.
Bukan berarti juga saya harus setuju terhadap Sosialisme Etis, karena Marx sendiri tidak pernah mempersoalkan Etika dan moral. Dalam pandangan saya, etika dan moral itu adalah pembentukan diri secara otomatis akibat interaksi social yang telah ada sejak kita lahir. Untuk membentuk moral dan etika yang baik, maka perlu disetarakan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemaksaan moral juga dianggap perlu jika dalam hal ini bertujuan baik. Beda moral, beda pula dengan agama. Saya menegaskan tiada campur dan sangkut paut antara etika moral dengan keagamaan. Karena bagi saya sendiri, agama adalah bentuk hubungan kita dengan Tuhan, bukan bentuk moralitas ilmiah kita akibat dari interaksi social itu.

Kritik Atas Pernyataan Komunisme Sekuler dan Lenin Soal Agama
Komunisme Sekuler mempunyai pandangan teori Karl Marx dan Friederich Engels berdasarkan Vladimir Lenin. Mereka menganggap bahwa Lenin telah mengembangkan teori Marx dan membakukan ajarannya menjadi Marxisme-Leninisme atau yang biasa disebut Komunisme Internasional. Ajaran Komunisme yang berdasarkan manifesto Komintern dan ajaran-ajaran Lenin mengenai revolusi.
Komunisme Sekuler yang berdasarkan asas Marxisme-Leninisme selalu mengkritik soal agama, itu karena menurut mereka, agama menghambat segala jalan mereka untuk mencapai revolusi. Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa agama hanya dijadikan alat penindasan proletariat. Menurut mereka agama harus dihapuskan, paham seperti inilah yang memunculkan kediktatoran nyata. Lenin selalu berpegangan pada kediktatoran partai sebagai salah satu cara untuk melegalkan kekuasaan proletariat. Maka hal ini merupakan suatu ancaman terbesar bagi kaum agamis, borjuis, maupun yang tidak sepaham dengan partai.
Lenin dengan kejamnya mengatasnamakan ideologi membantai manusia-manusia tak berdosa yang berlindung dibawah payung keagamaan. Dengan begitu, Lenin sungguh menghancurkan moralitas keagamaan dibawah rezimnya. Stalin melanjutkan invasi keagamaan tersebut atas nama Leninisme. Hal inilah yang memicu persepsi negatif di kalangan masyarakat yang mempersoalkan Marxisme. Setelah rezim Uni Soviet runtuh di tahun 1991, maka tidak ada satu pun lagi yang berani membangkitkan ideologi yang di ciptakan Karl Marx ini. Mengapa seperti ini? Ideologi yang di ciptakan atas nama kebersamaan dan pemerataan kemanusiaan ini akhirnya menjadi ideologi using, padahal Marxisme itu sendiri non konservatif.
Sisanya, hanya para Marxis dan tokoh Komunisme modern lah yang menjadi harapan untuk melawan dan mematahkan segala argumen yang salah akibat generalisasi ideologi tersebut. Tugas ini sungguh berat bagi para Post-Marxisme abad 21, mereka akan di cap sebagai pembangkit rezim totaliter ala Lenin dan Stalin, menghancurkan agama atas nama ideologi. Bahkan saya dan teman-teman saya yang membawa paham ini pun ikut memikul dosa berat akibat kekejaman totaliter kedua tokoh Soviet tersebut.
Menurut Lenin dan para tokoh Komunisme Sekuler lainnya berpendapat bahwa agama harus di hapuskan seiring terciptanya pemerataan sosial dalam sebuah Negara. Sedikitnya 60 juta rakyat beragama di Uni Soviet di bantai untuk mengimplementasikan kritik Lenin terhadap agama tersebut. Lalu, bagaimana sikap dan pandangan kita sebagai seorang Marxis terhadap agama?
Kritik Atas Kritik Lenin Terhadap Agama
Lenin terlalu radikal dalam memahami agama, padahal para pendahulu Marxisme seperti Karl Marx, Engels, dan beberapa yang lainnya tidak pernah mengajarkan bahwa agama harus dihapuskan atas nama kesejahteraan kaum proletariat. Memang dalam kerasnya kritik Lenin terhadap agama, Lenin mengakui bahwa apa yang dilakukannya merupakan perpanjangan teori Karl Marx yang lebih bersifat revolusioner lagi.
Saya berpendapat, jika Marxisme merupakan sebuah ideologi kemanusiaan yang bergerak atas nama pembebasan umat manusia, maka seharusnya sudah menjadi tugas kita untuk memberikan hak individu kepada masyarakat. Tentu ada tanda kutipnya ketika kita berbicara tentang hak individu. Agama merupakan hak individu, begitu pula dengan beberapa kerohaniaan dan perasaan yang tidak ada kaitannya langsung dengan Materialisme ala Karl Marx. Tetapi dalam menyangkut beberapa hal seperti Sosialisme dan politik ekonomi Marxisme, maka seharusnya kita menggugurkan hak individu karena hak golongan atau komunal menciptakan pemerataan, keadilan, dan kesetaraan sosial.
Bagi kaum Materialisme, agama adalah pembodohan masyarakat, diciptakan karena ada rasa ketakutan masyarakat terhadap sesuatu, seperti pada kekuatan alam ataupun takdir. Tetapi hal ini lebih kepada menyangkut masyarakat komunalis, bagaimana dengan individualis? Hal keagamaan tidak bisa menjadi persepsi sosial, ketika orang berbicara tentang kepercayaannya terhadap agama, maka itu sudah menjadi sesuatu yang pribadi, privasi antara dia dengan Tuhannya. Marxisme juga bersifat sekuler, tetapi tidak se ortodoks Komunisme Sekuler dalam memandang agama sebagai suatu ekstrimitas yang mengancam keadaan proletariat.
Ketika kita bicara keadaan sosial, tidak lepas dari hak sosial, maka agama bukanlah hak sosial. Ketika kita bicara keadaan masing-masing, tidak lepas dari hak asasi, maka agama adalah hak individu yang tidak bisa di ganggu gugat.
Kesimpulannya, Marxisme bicara soal ideologi, bukan theologi. Pernyataan dan kritik mengenai agama seharusnya perlu di perhatikan oleh para ahli Marxis di dunia. Agama adalah masalah yang sangaturgent untuk membimbing moralitas manusia secara ilmiah sesuai dengan kaidah Marxisme. Agama juga merupakan salah satu unsur hak individu yang diakui, bukan termasuk ke dalam hak golongan. Pernyataan Lenin yang menyebutkan bahwa dalam partai proletariat, agama disingkirkan itu mengekang hak asasi pribadi dan bersifat totaliter. Padahal apa yang dilakukannya tidak pernah sepihak dengan Karl Marx. Lenin sendiri yang menyatakan bahwa dia lebih keras dari Karl Marx dalam mengkritik agama. Jika menurut Marx, agama adalah candu bagi masyarakat, maka menurut Lenin, agama adalah vodka bagi masyarakat. Jika Marx menyatakan bahwa agama adalah tempat berkeluh kesah bagi kaum proletar, maka menurut Lenin, agama adalah alat penindasan kaum proletar.
Beberapa keterangan tersebut sangat bertentangan antar satu dengan yang lainnya. Maka kita sebagai umat beragama mestinya berkaca pada pernyataan Karl Marx, bukan pada pernyataan Vladimir Lenin. Agama bukanlah alat penindasan, melainkan gerakan moralitas yang membimbing manusia sehingga menjadi teratur dan benar, sedangkan Tuhan yang menjadi inti dari ajaran agama adalah sebagai sarana untuk penilaian sikap dan aktivitas kita dan keadaan baik dan buruknya keadaan kita.

Agama dan Tuhan Menurut Pandangan Saya Pribadi
Jika kita berkaca pada hukum Dialektika, maka Tuhan muncul karena adanya pertentangan. Seperti contohnya, buruh tidak akan mungkin tidak berdoa kepada Tuhan untuk merubah nasibnya, doa itu ada karena pertentangan buruh itu terhadap kapitalis yang berdoa kepada Tuhan untuk mempertahankan nasibnya. Kita tidak bisa menilai Tuhan berada di pihak mana. Itu adalah masalah di luar pemahaman akal manusia. Begitulah harusnya kita memandang keagamaan. Lalu akhirnya kita sampai kepada pertanyaan terakhir, ketika pertentangan itu lenyap karena munculnya kesadaran masyarakat tanpa kelas, maka apakah Tuhan itu tetap ada? Tuhan tetap ada, tetapi pemikiran manusia soal Tuhan akan hilang. Tetapi kita juga tidak bisa menjudge pemikiran manusia yang demikian karena Marxisme bukanlah ilmu untuk meramal masa depan.
Jika kita berkaca kepada perkembangan masyarakat Materialisme dimulai dengan adanya Revolusi Perancis dan Revolusi Industri, Atheis mulai muncul sebagai reaksi atas kaum Feodalisme yang menutup diri dengan tingkat hierarki yang mengesalkan. Pada abad 19, Atheis dan Semi Atheis juga muncul akibat reaksi atas adanya penguasaan alat produksi oleh para Borjuis Eropa. Jika benar, saya mengambil kesimpulan, Atheis yang muncul pada masa Karl Marx karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan Atheis yang muncul pada masa akhir Dark Age karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap gereja. Apakah kebangkitan Atheisme pada masa nanti berkaitan dengan hilangnya kesadaran masyarakat tanpa kelas yang dicita-citakan Marx?
Bisa jadi iya, bisa jadi juga tidak. Tergantung sebabnya nanti. Biar hukum dialektika yang berkembang dalam Historical Materialism dalam menentukan apakah Tuhan itu masih ada atau tidak ketika masa depan Sosialisme begitu cerah. Gerakan keagamaan itu sendiri muncul akibat adanya factor kepasrahan atas realitas social yang ada. Kepasrahan itu sendiri muncul karena agama mengajarkan dogma dan doktrin lewat para pembawanya.
Saya sebagai umat beragama, mungkin cukup pribadi saya saja menyatakan bahwa saya Islam. Itu artinya hanya di hadapan Tuhan lah saya mengaku Islam. Karena saya percaya agama adalah hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Maka di hadapan anda sekalian, saya adalah Marxisme, Materialisme Theologi, atau sejenisnya. Karena fungsi Marxisme untuk memanusiakan manusia serta menciptakan kebersamaan dan pemerataan di bidang ekonomi, politik dan social masyarakat. Maka hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Karena kalau saja kita menyangkutkan kesejahteraan bumi dengan Tuhan, hal itu bisa memicu munculnya factor kepasrahan yang akan memunculkan dialektika baru dalam masyarakat.

0 comments:

Post a Comment

 
;