Sepertinya
kita, kaum Materialisme tidak akan ada henti-hentinya membahas tentang
keagamaan, kita akan diminta berpendapat soal agama, dan kita tidak akan pernah
bersatu dalam mengeluarkan pendapatnya soal agama. Bagi kaum Materialisme
Ekstrimis, maka pemikirannya adalah Atheis dan mutlak untuk tidak di
pertentangkan. Bagi kaum Materialisme Ekletisis, maka mereka selalu
mencampuradukkan pemikiran mereka dengan agama. Lalu bagaimana dengan
Materialisme Dialektis? Maka agama adalah salah satu sumber pertentangan
alamiah manusia untuk mencapai ke tahap kemasyarakatan berikutnya.
Agama
juga menjadi suatu permasalahan urgent bagi para Marxis. Mereka yang
menjadi Marxis tulen, atau Komunisme tulen, maka selalu di pertanyakan pendapatnya
tentang agama. Sebagian besar dari mereka selalu menganggap agama adalah
seperti yang Lenin bilang soal itu, sebagian kecil dari mereka termasuk saya
berkata, perlu ada penelitian lebih lanjut lagi soal agama. Karena pemikiran
tetaplah kritis, walau itu soal agama sekalipun. Kita bukan orang-orang yang
menelan mentah mitologi, takhayul, mitos, mistisme, atau kisah-kisah fantasi
yang berasal dari agama, bagi kita yang berpikir kritis, maka kita akan
berusaha merasionalkan agama itu serasional mungkin, meninggalkan bentuk-bentuk
Metafisika sebuah agama itu dan menilai agama itu dari perspektif keilmuan dan
keilmiahan.
Kritik Lenin Atas Agama
Lenin
mempunyai pemikiran yang agak radikal soal agama. Bagi Lenin, agama merupakan
suatu vodka yang membuat masyarakat tertindas, maka agama itu harus terpisah
dari masyarakat, bahkan kalau bisa dihapus karena merupakan sumber kebodohan.
Apa yang dilakukan Lenin dalam praxisnya adalah menutup segala kegiatan
dan institusi keagamaan di lingkungan Uni Soviet, membantai gerakan keagamaan
sekaligus para anggotanya, dan akhirnya melarang segala bentuk dogma keagamaan
di luar gereja, mesjid, ataupun vihara.
Setelah
Lenin meninggal pada tahun 1924, Stalin lalu melanjutkan misi pendahulunya
untuk menghancurkan keagamaan di Uni Soviet, bahkan di negeri yang penduduknya
rata-rata Islam seperti Afghanistan. Hal ini yang menimbulkan persepsi dari
masyarakat bahwa Komunisme itu adalah anti agama. Mereka bertolak dari apa yang
dilakukan oleh Lenin dan Stalin. Stalin mengakui bahwa apa yang dilakukannya
sesuai dengan ajaran Leninisme. Maka kita perlu menyelidiki lebih dalam
sebenarnya apa kata Lenin dalam menyoalkan keagamaan.
Dalam
bukunya What Is To Be Done?, Lenin berpendapat bahwa Marx terlalu lembut
dalam kritiknya soal agama, maka Lenin membuat sebuah pandangan baru yang lebih
keras dan radikal lagi soal agama, bagi Lenin, agama adalah pengganggu
masyarakat, menindas proletariat, dan membunuh semangat juang kaum buruh.
Mengapa bisa demikian? Karena agama adalah sumber kepasrahan kaum buruh.
Lenin
membuat contoh sederhana soal itu, ketika seorang buruh bekerja kepada seorang
capital karena ketiadaan alat produksi dan modal, maka sang buruh tersebut
bekerja karena kepasrahan. Kepasrahan itu terjadi karena buruh tersebut mudah menerima
takdir yang katanya telah di tentukan oleh Tuhan. Agama mengajarkan bahwa kita
harus pasrah menerima keadaan yang terjadi. Ini seperti pemikiran Plato juga
yang menyatakan bahwa akan ada kebahagiaan di balik penderitaan dan pemerasan.
Sepintas pemikiran seperti ini memang merupakan suatu pembenaran atas
penindasan keagamaan. Apalagi Lenin juga menilik kasus Black Death demi
pembenaran teorinya tentang keagamaan.
Lenin
juga mengkritik sikap para pemuka agama yang suka mendogma ajarannya demi
kepentingan ekonomi. Menurut Lenin, para pemuka agama adalah bentuk sebuah
hierarki Feodal yang telah memperbudak masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan
keuntungan demi kebutuhan pribadi gereja. Jika sudah begitu, Lenin malah lebih
keras menentang gerakan keagamaan di Uni Soviet dan negeri Komunis lainnya.
Stalin juga bersikap demikian atas nama perpanjangan tangan teori Lenin,
kebijakannya yang paling fenomenal sebagai praxis atas kritik
keagamaan adalah menentang habis-habisan Pan Islamisme dan menyerukan kepada
Komunisme dunia untuk bersikap anti Pan Islamisme. Hal inilah yang kemudian di
tentang oleh Tan Malaka sebagai wakil Asia Tenggara di Komintern.
Jelas,
pemikiran Lenin soal agama sangat radikal di telinga masyarakat non Marxis. Dan
bagi mereka yang bukan bagian dari lingkungan Marxisme pasti langsung
menjudge Komunisme sebagai anti agama. Masyarakat berpendapat demikian
karena masyarakat menggeneralisasi Komunisme terhadap Lenin itu sendiri. Ini
suatu hal yang wajar, sebab kalau bukan karena Lenin, maka Marxisme hanya
menjadi teori filsafat dan ekonomi yang hanya dikenal dalam kalangan ahli saja
dan tidak mendunia. Sama halnya dalam menggeneralisasi Komunisme sebagai
ideologi kediktatoran karena kebijakan Stalin dalam menyelewengkan ajaran
Leninisme.
Sebenarnya,
Lenin berpikiran demikian karena berpatokan dari teori Marx yang paling masyhur
soal agama yaitu “Agama adalah candu bagi masyarakat”. Marx berpendapat
demikian karena adanya agama membuat kaum buruh hanya bisa menerima nasibnya,
maka Marx juga berpendapat bahwa agama hanya bisa dijadikan hiburan proletar
atau sebagai tempat keluh kesahnya masyarakat. Dalam hal ini, Marx berpendapat
lunak soal agama, sangat berbeda dengan pemikiran Lenin yang keras terhadap
agama.
Akibat
dari pemikiran Lenin tersebut, maka seluruh masyarakat yang melabel dirinya
sebagai Marxisme, Komunisme, atau sejenisnya menjadi Atheis dogmatis. Mengapa
demikian? Saya menyebut Atheis Dogmatis karena mereka menelan mentah-mentah
pemikiran Lenin soal agama tadi. Hanya sebagian kecil dari mereka yang akhirnya
sadar dari kritik. Maka muncullah kritik atas kritik Lenin terhadap agama
sebagai jawaban atas pertanyaan apakah Komunisme itu sama dengan Atheisme?
Pertanyaan kekanak-kanakan ini masih saja muncul dalam forum diskusi politik,
ekonomi, dan filsafat. Mereka dengan mudah berpendapat bahwa Komunise itu
Atheis.
Komunisme
Itu Sama Dengan Atheisme?
Apa yang
mendasari masyarakat berpikir demikian? Itu karena masyarakat hanya mengambil
separuh kalimat Marx yang menyatakan bahwa Agama adalah candu bagi
masyarakat. Memang sudah sifat masyarakat dalam memahami sebuah teori dan
pemikiran secara awam, maka itu fungsi seorang intelektual adalah mengemukakan
sebuah teori dan pemikirannya secara awam pula agar masyarakat mengerti dan
paham apa maksud dan tujuan dari teori tersebut. Inilah yang menjadi kesalahan
seorang Marx dan Engels sebagai motor utama dari sebuah ideologi yang
mengguncang dunia hingga sepertiga masyarakat dunia menganutnya, dua pertiga
yang lainnya mempersoalkannya.
Marx
sebagai seorang yang mempunyai pemikiran dasar dari Komunisme membuat sebuah
pemikiran yang demikian rumitnya sehingga jika kita mempelajari teorinya hingga
seumur hidup pun mungkin belum selesai. Muncullah Engels sebagai orang yang
sanggup mencerna pemikiran Marx dan membuat tinjauan ulang terhadap teori-teorinya
dengan penambahan-penambahan yang krusial seperti Materialisme Dialektika,
Dialektika Alam, dan beberapa teori menyangkut teori ekonominya Marxisme.
Setelah Engels, muncullah Bakunin, Kautsky, dan Plekhanov sebagai tokoh Marxis
awal yang telah memberikan sumbangsih terhadap pengembangan teori Karl Marx.
Mereka akhirnya terjebak dalam pemahaman-pemahaman mereka sendiri dalam
menafsirkan teori Marx sesuai dengan versi mereka sendiri. Bakunin dengan
Anarkismenya, Kautsky dengan Sosial Demokrat Non Revolusionernya, dan Plekhanov
dengan Demokrasi Rakyatnya.
Setelah
mereka bertiga, maka bermunculanlah tokoh-tokoh Marxis yang menginterpretasikan
teori Marx berbeda pula dari para pendahulunya seperti Rosa Luxembourg,
Vladimir Lenin, Antonio Gramsci, dan Leon Trotsky. Mereka lah yang dianggap
sebagai introduktor teori Marx hingga menjadi sebuah ideologi yang universal.
Secara terang-terangan mereka mengutuk habis-habisan tokoh-tokoh Internationale
II yang dianggap telah menyelewengkan ajaran Marxisme, tokoh utamanya adalah
Kautsky.
Dalam
mempersoalkan keagamaan, mungkin hanya Marx, Engels, Tan Malaka dan Lenin saja
yang paling menangkap persoalan ini. Agama menjadi sesuatu yang krusial untuk
di bahas karena merupakan salah satu unsur pokok dari sebuah kebudayaan yang
secara tidak langsung mempengaruhi jalan pikiran dan aktivitas masyarakat. Marx
sebagai kunci utama dari Marxisme sangat tanggap dalam hal keagamaan. Dengan
paragraph yang singkat, Marx menyatakan agama sebagai candu :
"Penderitaan
religius, pada saat yang bersamaan, adalah ekspresi dari penderitaan riil dan
protes terhadap penderitaan riil tersebut. Agama adalah keluh-kesah makhluk
tertindas, jantung-hati dari dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari situasi
yang tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat.”
Pernyataan
Marx tersebut besar maknanya, ini menimbulkan persepsi yang banyak di kalangan
para Marxis sendiri. Tetapi diantara semua Marxis, hanya Engels, Lenin, dan Tan
Malaka sajalah yang menyoalkan keagamaan selain Marx itu sendiri. Engels hanya
memperjelas pendapat Marx soal agama, sedangkan Lenin berpikiran sangat keras
dalam menentang keagamaan, dan Tan Malaka bersikap lunak terhadap agama.
Masalah
keagamaan ini membagi Komunisme menjadi dua kubu yaitu Komunisme Sekular dan
Komunisme Agamis. Komunisme Agamis memang sangat dialektik, hal ini berkaitan
antara pendekatan Materialisme terhadap ajaran agama dengan pemisahan Idealisme
dari ajaran agama. Saya rasa, ahli Komunisme di seluruh dunia sudah cukup
pintar dalam menyoalkan keagamaan dalam pemikiran Marx dan Lenin ini.
Atas
dasar pemikiran Marx itu saja sudah cukup menjudge Marxisme sebagai
Atheis, tetapi saya berpandangan bahwa Marx tidak pernah menyoalkan agama
karena agama adalah kebutuhan pribadi. Jika agama berubah menjadi kebutuhan
social, maka agama berubah menjadi “Agama diekonomikan”. Secara
konsepnya dalam Historical Materialism, teori kesejarahannya Marx, maka
agama adalah suatu ciri masa dimana di masyarakat di dalamnya masih bersifat
feodalistik. Bukan berarti Marx melarang keagamaan tersebut, tetapi agama bisa
jadi hanya bersifat hiburan bagi para proletariat. Maka suatu kebebasan bagi
kita untuk menganut salah satu gerakan keagamaan atau tidak. Salah besar jika
seseorang menilai teori Marx sebagai Theological Komunisme.
Saya tahu
pasti seseorang akan bertanya, Materialisme secara tidak langsung menentang
filsafat keagamaan itu sendiri, mengapa bisa Materialisme ala Marxisme bisa di
dekatkan dengan keagamaan? Saya sebagai seorang Marxis tahu bahwa Materialisme
berarti cara berpikir manusia yang menganggap segala sesuatu di luar indrawi
bukanlah sebuah realita, dan realita itu hanyalah materi dan rasional. Tetapi
masing-masing dari para penganut Marxisme mempunyai teorinya sendiri-sendiri
dalam mempertahankan keagamaannya dalam Marxisme itu sendiri.
Sedangkan
bagi saya, agama itu bersifat sangat rasional, sifat inilah yang membuat agama
tidak menjadi konservatif. Maka agama yang tidak rasional merupakan sebuah
produk kebudayaan konservatif yang tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi
bukannya saya melarang untuk menganut agama tersebut. Menurut saya, kesadaran
beragama merupakan urusan privasi antara manusia dengan Tuhannya, maka
masyarakat akan sadar mana yang merupakan rasional, mana yang tidak. Karena
tingkat rasional tersebut lah yang membedakan masyarakat sadar dengan
masyarakat awam.
Bagi saya
sendiri, saya sebagai Komunisme-Marxisme pasti menjunjung
tinggi Historical Materialism dan Historical Dialectic. Dan saya
sebagai penganut agama Islam juga menjunjung tinggi Al Qur’an dan As Sunah.
Maka untuk itu saya berpikir bahwa semua bentuk hubungan manusia itu rasional,
termasuk bentuk keagamaan. Tetapi jika bentuk hubungan manusia sudah merupakan
hubungan manusia dengan diluar batas kemampuan akal manusia, dengan hal ini
saya menyatakan Tuhan Allah, maka sifatnya sudah tidak menjadi rasional lagi,
dan sudah jauh dari ranah Materialisme itu sendiri. Maka tugas saya sebagai
penindak hubungan tersebut adalah melepas jubah Materialisme dan menggantinya
dengan jubah suci keagamaan. Hal ini bukan berarti saya menelan mentah-mentah
dogma keagamaan, maka saya bersifat kritis dalam menjalankan sebuah agama
(dalam hal ini agama Islam).
Jika
seorang Materialisme tulen membuat batasan kabur antara irrasional dengan
materi, maka saya jelas menetapkan batas tersebut. Ada saatnya dimana saya
berpikir Materialisme seperti pada tingkat komunal dan social, dan ada saatnya
dimana saya harus beragama, yaitu pada saat saya dihadapkan kepada Tuhan secara
personal. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran Komunisme yang agamis.
Komunisme
sekuler selalu berpandangan terhadap pemikiran Lenin. Bagi mereka, tetap
menjadi sebuah hukum ketika agama telah menjadi candu bagi masyarakat, maka
tiada hak bagi mereka untuk beragama. Semua adalah hukum Sosialisme dibawah
kediktatoran satu partai yaitu partai Komunis revolusioner. Pembantahan
terhadap agama secara radikal ini juga menghilangkan moralitas dan etika
keagamaan para tokoh-tokohnya.
Bukan
berarti juga saya harus setuju terhadap Sosialisme Etis, karena Marx sendiri
tidak pernah mempersoalkan Etika dan moral. Dalam pandangan saya, etika dan
moral itu adalah pembentukan diri secara otomatis akibat interaksi social yang
telah ada sejak kita lahir. Untuk membentuk moral dan etika yang baik, maka
perlu disetarakan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemaksaan moral juga dianggap
perlu jika dalam hal ini bertujuan baik. Beda moral, beda pula dengan agama.
Saya menegaskan tiada campur dan sangkut paut antara etika moral dengan keagamaan.
Karena bagi saya sendiri, agama adalah bentuk hubungan kita dengan Tuhan, bukan
bentuk moralitas ilmiah kita akibat dari interaksi social itu.
Kritik Atas Pernyataan Komunisme Sekuler dan
Lenin Soal Agama
Komunisme
Sekuler mempunyai pandangan teori Karl Marx dan Friederich Engels berdasarkan
Vladimir Lenin. Mereka menganggap bahwa Lenin telah mengembangkan teori Marx
dan membakukan ajarannya menjadi Marxisme-Leninisme atau yang biasa disebut
Komunisme Internasional. Ajaran Komunisme yang berdasarkan manifesto Komintern
dan ajaran-ajaran Lenin mengenai revolusi.
Komunisme
Sekuler yang berdasarkan asas Marxisme-Leninisme selalu mengkritik soal agama,
itu karena menurut mereka, agama menghambat segala jalan mereka untuk mencapai
revolusi. Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa agama hanya dijadikan
alat penindasan proletariat. Menurut mereka agama harus dihapuskan, paham
seperti inilah yang memunculkan kediktatoran nyata. Lenin selalu berpegangan
pada kediktatoran partai sebagai salah satu cara untuk melegalkan kekuasaan
proletariat. Maka hal ini merupakan suatu ancaman terbesar bagi kaum agamis,
borjuis, maupun yang tidak sepaham dengan partai.
Lenin
dengan kejamnya mengatasnamakan ideologi membantai manusia-manusia tak berdosa
yang berlindung dibawah payung keagamaan. Dengan begitu, Lenin sungguh
menghancurkan moralitas keagamaan dibawah rezimnya. Stalin melanjutkan invasi
keagamaan tersebut atas nama Leninisme. Hal inilah yang memicu persepsi negatif
di kalangan masyarakat yang mempersoalkan Marxisme. Setelah rezim Uni Soviet
runtuh di tahun 1991, maka tidak ada satu pun lagi yang berani membangkitkan
ideologi yang di ciptakan Karl Marx ini. Mengapa seperti ini? Ideologi yang di
ciptakan atas nama kebersamaan dan pemerataan kemanusiaan ini akhirnya menjadi
ideologi using, padahal Marxisme itu sendiri non konservatif.
Sisanya,
hanya para Marxis dan tokoh Komunisme modern lah yang menjadi harapan untuk
melawan dan mematahkan segala argumen yang salah akibat generalisasi ideologi
tersebut. Tugas ini sungguh berat bagi para Post-Marxisme abad 21, mereka akan
di cap sebagai pembangkit rezim totaliter ala Lenin dan Stalin, menghancurkan
agama atas nama ideologi. Bahkan saya dan teman-teman saya yang membawa paham
ini pun ikut memikul dosa berat akibat kekejaman totaliter kedua tokoh Soviet
tersebut.
Menurut
Lenin dan para tokoh Komunisme Sekuler lainnya berpendapat bahwa agama harus di
hapuskan seiring terciptanya pemerataan sosial dalam sebuah Negara. Sedikitnya
60 juta rakyat beragama di Uni Soviet di bantai untuk mengimplementasikan
kritik Lenin terhadap agama tersebut. Lalu, bagaimana sikap dan pandangan kita
sebagai seorang Marxis terhadap agama?
Kritik Atas Kritik Lenin Terhadap Agama
Lenin
terlalu radikal dalam memahami agama, padahal para pendahulu Marxisme seperti
Karl Marx, Engels, dan beberapa yang lainnya tidak pernah mengajarkan bahwa
agama harus dihapuskan atas nama kesejahteraan kaum proletariat. Memang dalam
kerasnya kritik Lenin terhadap agama, Lenin mengakui bahwa apa yang
dilakukannya merupakan perpanjangan teori Karl Marx yang lebih bersifat
revolusioner lagi.
Saya
berpendapat, jika Marxisme merupakan sebuah ideologi kemanusiaan yang bergerak
atas nama pembebasan umat manusia, maka seharusnya sudah menjadi tugas kita
untuk memberikan hak individu kepada masyarakat. Tentu ada tanda kutipnya
ketika kita berbicara tentang hak individu. Agama merupakan hak individu,
begitu pula dengan beberapa kerohaniaan dan perasaan yang tidak ada kaitannya
langsung dengan Materialisme ala Karl Marx. Tetapi dalam menyangkut beberapa
hal seperti Sosialisme dan politik ekonomi Marxisme, maka seharusnya kita
menggugurkan hak individu karena hak golongan atau komunal menciptakan
pemerataan, keadilan, dan kesetaraan sosial.
Bagi kaum
Materialisme, agama adalah pembodohan masyarakat, diciptakan karena ada rasa
ketakutan masyarakat terhadap sesuatu, seperti pada kekuatan alam ataupun
takdir. Tetapi hal ini lebih kepada menyangkut masyarakat komunalis, bagaimana
dengan individualis? Hal keagamaan tidak bisa menjadi persepsi sosial, ketika
orang berbicara tentang kepercayaannya terhadap agama, maka itu sudah menjadi
sesuatu yang pribadi, privasi antara dia dengan Tuhannya. Marxisme juga
bersifat sekuler, tetapi tidak se ortodoks Komunisme Sekuler dalam memandang
agama sebagai suatu ekstrimitas yang mengancam keadaan proletariat.
Ketika
kita bicara keadaan sosial, tidak lepas dari hak sosial, maka agama bukanlah
hak sosial. Ketika kita bicara keadaan masing-masing, tidak lepas dari hak
asasi, maka agama adalah hak individu yang tidak bisa di ganggu gugat.
Kesimpulannya,
Marxisme bicara soal ideologi, bukan theologi. Pernyataan dan kritik mengenai
agama seharusnya perlu di perhatikan oleh para ahli Marxis di dunia. Agama
adalah masalah yang sangaturgent untuk membimbing moralitas manusia secara
ilmiah sesuai dengan kaidah Marxisme. Agama juga merupakan salah satu unsur hak
individu yang diakui, bukan termasuk ke dalam hak golongan. Pernyataan Lenin
yang menyebutkan bahwa dalam partai proletariat, agama disingkirkan itu mengekang
hak asasi pribadi dan bersifat totaliter. Padahal apa yang dilakukannya tidak
pernah sepihak dengan Karl Marx. Lenin sendiri yang menyatakan bahwa dia lebih
keras dari Karl Marx dalam mengkritik agama. Jika menurut Marx, agama adalah
candu bagi masyarakat, maka menurut Lenin, agama adalah vodka bagi masyarakat.
Jika Marx menyatakan bahwa agama adalah tempat berkeluh kesah bagi kaum
proletar, maka menurut Lenin, agama adalah alat penindasan kaum proletar.
Beberapa
keterangan tersebut sangat bertentangan antar satu dengan yang lainnya. Maka
kita sebagai umat beragama mestinya berkaca pada pernyataan Karl Marx, bukan
pada pernyataan Vladimir Lenin. Agama bukanlah alat penindasan, melainkan
gerakan moralitas yang membimbing manusia sehingga menjadi teratur dan benar,
sedangkan Tuhan yang menjadi inti dari ajaran agama adalah sebagai sarana untuk
penilaian sikap dan aktivitas kita dan keadaan baik dan buruknya keadaan kita.
Agama dan Tuhan Menurut Pandangan Saya
Pribadi
Jika kita
berkaca pada hukum Dialektika, maka Tuhan muncul karena adanya pertentangan.
Seperti contohnya, buruh tidak akan mungkin tidak berdoa kepada Tuhan untuk
merubah nasibnya, doa itu ada karena pertentangan buruh itu terhadap kapitalis
yang berdoa kepada Tuhan untuk mempertahankan nasibnya. Kita tidak bisa menilai
Tuhan berada di pihak mana. Itu adalah masalah di luar pemahaman akal manusia.
Begitulah harusnya kita memandang keagamaan. Lalu akhirnya kita sampai kepada
pertanyaan terakhir, ketika pertentangan itu lenyap karena munculnya kesadaran
masyarakat tanpa kelas, maka apakah Tuhan itu tetap ada? Tuhan tetap ada,
tetapi pemikiran manusia soal Tuhan akan hilang. Tetapi kita juga tidak bisa
menjudge pemikiran manusia yang demikian karena Marxisme bukanlah ilmu
untuk meramal masa depan.
Jika kita
berkaca kepada perkembangan masyarakat Materialisme dimulai dengan adanya
Revolusi Perancis dan Revolusi Industri, Atheis mulai muncul sebagai reaksi
atas kaum Feodalisme yang menutup diri dengan tingkat hierarki yang
mengesalkan. Pada abad 19, Atheis dan Semi Atheis juga muncul akibat reaksi
atas adanya penguasaan alat produksi oleh para Borjuis Eropa. Jika benar, saya
mengambil kesimpulan, Atheis yang muncul pada masa Karl Marx karena adanya
perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan Atheis yang muncul pada masa
akhir Dark Age karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap
gereja. Apakah kebangkitan Atheisme pada masa nanti berkaitan dengan hilangnya
kesadaran masyarakat tanpa kelas yang dicita-citakan Marx?
Bisa jadi
iya, bisa jadi juga tidak. Tergantung sebabnya nanti. Biar hukum dialektika
yang berkembang dalam Historical Materialism dalam menentukan apakah
Tuhan itu masih ada atau tidak ketika masa depan Sosialisme begitu cerah.
Gerakan keagamaan itu sendiri muncul akibat adanya factor kepasrahan atas
realitas social yang ada. Kepasrahan itu sendiri muncul karena agama
mengajarkan dogma dan doktrin lewat para pembawanya.
Saya
sebagai umat beragama, mungkin cukup pribadi saya saja menyatakan bahwa saya
Islam. Itu artinya hanya di hadapan Tuhan lah saya mengaku Islam. Karena saya
percaya agama adalah hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Maka di
hadapan anda sekalian, saya adalah Marxisme, Materialisme Theologi, atau
sejenisnya. Karena fungsi Marxisme untuk memanusiakan manusia serta menciptakan
kebersamaan dan pemerataan di bidang ekonomi, politik dan social masyarakat.
Maka hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Karena kalau saja kita
menyangkutkan kesejahteraan bumi dengan Tuhan, hal itu bisa memicu munculnya
factor kepasrahan yang akan memunculkan dialektika baru dalam masyarakat.
0 comments:
Post a Comment