Saturday, March 17, 2018

Antara Pendidikan, Marxisme, Dan Agama


Realnya, pas saya masuk KAMPUS, hal yang paling bikin saya seneng karena saya bisa lepas dari rezim keluarga bapak saya, ya bisa di bilang gitu. Saat masih SMA, apa yang dibilang kebebasan untuk berpikir dan bertindak itu tidak ada, semua orang Jawa menurut pada sistem yang lama dan konservatif (menurut saya) dan akhirnya nelen mentah-mentah aturan yang sebenarnya tidak mereka ngerti. Kalo kata bahasa politiknya, orang tua Jawa itu adalah cerminan dari feodal anak-anaknya. Ya sebenernya tujuannya baik, biar anak mereka sukses dengan didikan keras. Tapi hal negatifnya, hal itu menjadi sebuah sistem balas dendam yang akan terus berlanjut sampe keturunannya. Keras pendidikan di balas dengan keras pendidikan juga, tapi kepada keturunannya. Kurang lebihnya kayak gitu.
Impian saya bisa lepas dari cengkraman budaya konservatif ya karena sistem turun temurun itu, saya tidak mau nantinya anak saya nerima pendidikan keras yang konservatif seperti gitu, di atur tanpa ada kebebasan berpendapat sama sekali. Semua anak harus menuruti perkataan orang tuanya. Apa yang terjadi dengan Ibrahim, para sahabat nabi yang ortunya jahannam, Marx, Buddha, dan lain-lain tidak pernah menuruti apa kata ortunya yang konservatif, tapi mereka bahkan bisa menciptakan pengaruh yang besar bagi dunia.

Seharusnya ortu itu seperti Lukman, Philip II atau Abu Bakar yang bisa membimbing anaknya tanpa pendidikan keras dan bisa memberikan kebebasan berpendapat sehingga bisa menjadi orang yang sukses. Setidaknya itu segelintir alasan kenapa saya milih Sunda sebagai tempat saya buat berkembang.
Bandung itu pilihan saya untuk berkembang ketahap selanjutnya, saya bisa berekspresi sebebas-bebasnya tanpa ada kemunafikan, gengsi dan sebagainya. Persetan dengan konservatif atau segala bentuk pemikiran yang tidak bisa berkembang kayak pemikiran orang-orang yang berlindung di balik kebesaran jubah keagamaan. Kenapa Hegel, Feuerbach, Hume, Voltaire, dan Marx tidak pernah puas dengan agama? itu karena mereka merasa agama membuat masyarakat tidak bisa berkembang dan konservatif. Tapi yang benar-benar di garis bawahi di sini ada satu, agama yang tidak mengenal konservatif harusnya itu Islam. Karena Syari’at yang di kembangkan 1400 tahun yang lalu terus berkembang sesuai aturan zamannya.
KAMPUS di dirikan oleh segelintir orang yang tidak puas akan Universitas ciptaan Hindia Belanda pada saat itu, mereka sadar harusnya ada Universitas karya anak bangsa yang bisa menampung semua aspirasi bangsa pada saat itu. Orang-orang seperti Semaun, Iwa Koesoemantri, Sjahrir, Mochtar Kusumaatmaja, dan sebagainya tercatat pernah meramaikan KAMPUS sebagai Universitas tempatnya Revolusi bangsa.
Perjalanan saya masuk KAMPUS di bantu sama sahabat-sahabat saya yang setia, namanya Yan, Lutvi, Nova, dan Alfi. Mereka berusaha biar saya bisa dapet bidikmisi, setidaknya Lutvi dan Yan juga mendapatkan bidikmisi dalam waktu yang bersamaan dengan saya. Saya tidak mau nyusahin orang tua saya yang udah susah payah jadi petani dan menghidupi saya dan 4 adek saya yang bandel-bandel. (yang saya benci itu sistem keluarga saya, bukan orang tua saya –red).
Saya dan orang tua berlatar belakang kaum proletar dari pertanian yang sederhana. Saya rasa keluarga saya udah nerapin sistem Sosialis yang paling sempurna, punya tanah yang cukup untuk di olah oleh individu, bukan tanah 5 hektar ala Kapitalis. Tanah yang cukup di olah itu Cuma di tanem padi, coklat, dan kopi yang hasilnya cukup buat menghidupi keluarga saya. Walaupun kadang padi hasil tuai harus dijual semua buat kebutuhan sekolah saya dan adek2 saya. Kekurangan makanan itu udah hal biasa di kehidupan kaum proletar kayak saya. Kekurangan prinsip Sosialis yang di alami Lenin terletak pada pengalaman, Lenin tidak pernah ngalamin hal yang saya rasain. Setidaknya itu yang saya salahin dari sistem Komunisme Uni Soviet yang di bangun beliau.
Karena berlatar belakang proletar itulah yang menjadikan alasan buat saya berpikiran untuk menciptakan sistem Sosialisme ala saya yang tidak terkait dengan Lenin atau Stalin. Di KAMPUS lah pemikiran saya bisa berkembang sedemikian rupa. Tapi ada hal yang patut saya salahin dari keluarga saya, yaitu ketergantungan keluarga saya sama agama yang terlalu berlebihan tanpa memerhatikan realitas kehidupan. Saya ngerti, agama adalah persoalan individu yang tidak bisa di paksain dalam sistem Sosialis, jika di paksain, akan menghasilkan suatu candu yang bisa menghancurkan masyarakat, setidaknya itu yang terjadi di Spanyol pada zaman Isabella I atau yang terjadi di Arab Saudi pada permulaan era Saudi. Agama di jadikan alasan political untuk menyebarluaskan paham.
Kembali lagi ke konteks pembahasan, setelah saya masuk KAMPUS. Saya nerapin prinsip yang sebenernya bakal bertentangan dengan beberapa hal di KAMPUS, saya niru apa kata Tan Malaka, disini tidak ada kepala ataupun bawahan, semua orang setara sama rasa sama rata. Jika satu orang makan, maka seharusnya semua yang ada di situ harus ikut makan, bukan Cuma ngeliatin orang itu makan sendiri. Hal ini juga saya brusaha terapin dalam lingkungan Himpunan, disini tidak ada yang namanya senior ataupun junior, semua sama2 masuk dalam proses kemahasiswaan dan mengikuti proses yang sama, hanya waktu yang membedakan. Hal itu harusnya tidak bisa jadi patokan untuk menindas junior atau pemikirannya. 
Beberapa hal dalam pemikiran Marx memang bertentangan dengan realitas social di KAMPUS, contohnya kesenjangan antara orang yang mempunyai mobil atau orang yang berjalan kaki. Atau dengan kata lain, penerapan yang seperti itu bisa menimbulkan konflik individu yang tidak sesuai dengan kaidah pertentangan antar kelas.
Tapi itu tidak nutup kemungkinan buat saya untuk mencoba bergabung dengan beberapa kegiatan dan organisasi yang ada, ya saya mutusin buat masuk FAM (Front Aksi Mahasiswa) KAMPUS, awalnya saya kira ini wadah buat para kaum revolusioner KAMPUS yang bisa terorganisir, penuh kajian, dan sesuai dengan kondisi social politik indonesia pada setiap periodenya. Organisasi ini bisa jadi wadah buat saya bercurah pendapat, atau setidaknya bercurah aksi revolusioner yang nantinya akan berubah berkembang sesuai dengan periode rezim yang ada.
FAM KAMPUS, organisasi yang sifatnya kiri dan penuh dengan intrik2 Komunisme. Kenapa saya bisa berkata kayak gitu, hal yang saya alamin hingga saat ini adalah adanya penerapan prinsip Komunisme di setiap kegiatannya. Lagu Internasionale juga merupakan lagu wajib yang di nyanyikan dalam setiap aksi demonstrasinya. Dan beberapa anggota FAM KAMPUS ada yang fanatik Lenin, Gie, dan Marx.
Sebenernya untuk Komunisme sendiri yang di susupi pemikiran Lenin saya tidak kurang sependapat karena ide revolusioner yang di tuangkan Lenin masih berupa ide seorang Borjuis yang tidak terorganisir. Walaupun Revolusi Bolshevik berhasil menumbangkan kekuasaan Tsar pada masa itu, tapi yang tidak pernah di perhatikan oleh Lenin adalah Marx tidak pernah mengajarkan seseorang untuk menjadi seorang Diktator Borjuis seperti dia (saya katakan dia adalah seorang Diktator Borjuis karena dia lahir dari kalangan Borjuis, bukan Proletar sejati seperti Marx). Apa yang di ajarkan Marx adalah sebuah revolusi kaum buruh atau tani (dengan tambahan pemikiran Mao Tse Tung tentang tani) sehingga Negara di kontrol oleh suatu dewan rakyat (pemikiran Tan Malaka) yang memihak pada buruh dan tani sehingga menciptakan Negara buruh yang menghapus kelas kapitalis karena semua hak individu yang tidak bisa di kontrol perseorangan akan menjadi milik Negara dan seharusnya di bagi rata terhadap setiap buruh dan tani yang ada. Dengan demikian tercipta sebuah tatanan masyarakat yang sempurna, sama rasa sama rata, tidak mengenal kelas proletar atau borjuis lagi, tapi masyarakat tersebut akhirnya tanpa kelas karena masing-masing hak tersebut telah di atur Negara sedemikian rupa.
Akhirnya beberapa bulan saya menjadi anggota FAM KAMPUS, timbul ketidakpuasan pribadi dalam diri saya karena ada beberapa demonstrasi yang tidak sesuai dengan kajian pemikiran saya, seperti demonstrasi menolak kenaikan BBM yang telah ditetapkan oleh rezim yang baru. Sebuah kajian diperlukan apakah BBM itu naik atas permintaan para kapitalis atau ada maksud lain untuk proses mensejahterahkan rakyat? Tapi mungkin menurut saya, kajian lebih mendalam saya terapkan kepada rezimnya, rezim yang baru berdiri beberapa minggu tersebut telah menimbulkan sebuah polemik baru bagi Indonesia.
Saya katakan demikian karena pertarungan antara Jokowi dan Prabowo tidak lebih dari pertarungan ideologi dari masing-masing pihak juga pertarungan masa lalu yang sebenarnya merupakan dendam antar partai dan dendam individu pasca reformasi.
Saya sangat setuju, perlunya sebuah revolusi untuk menumbangkan pemerintahan yang konfliknya seputar kalangan atas saja, tanpa memerhatikan rakyat di bawahnya, terutama konflik DPR tandingan yang sekarang saya tertawakan. Kenapa kita tidak revolusi untuk membubarkan DPR atau MPR saja? Daripada hanya sekedar demonstrasi tolak kenaikan harga BBM yang sebenarnya harga sebuah demonstrasi itu kecil di mata para akademisi, walaupun para masyarakat awam menilai ini sebuah penghargaan yang besar yang di berikan mahasiswa kepada rakyat.
Saya lebih setuju jika kita sama2 melakukan aksi revolusi membubarkan MPR yang sifatnya kekanak-kanakan dan menggantinya dengan Dewan Rakyat yang sebenarnya berasal dari kaum buruh dan tani yang intelek, setidaknya sarjana tani dan buruh. Dewan Rakyat yang demikian lebih mengerti keadaan rakyat karena berasal langsung dari kalangan rakyat, daripada MPR sekarang yang hanya berisi para kapitalis busuk yang mengejar harta dan meninggalkan pekerjaan demi harta. Benarlah kata Marx, bahwa pertarungan manusia yang sebenarnya berdasarkan sistem ekonomi atau Historical Materialism, sejarah manusia itu tidak pernah bisa lepas dari pertentangan antar kelas dengan alasan sistem ekonomi, walaupun beberapa catatan sejarah tidak luput dari alasan politik dan agama, tapi setidaknya dasarnya pasti kembali lagi ke sistem ekonomi. (dalam hal ini saya tidak setuju dengan pernyataan Abdul Qadir Djaelani, seorang anggota DPR Komisi I zaman transisi)
Inilah alasan kenapa saya akhirnya tidak puas dengan organisasi FAM KAMPUS yang bergerak untuk hal-hal yang kecil dan bahkan sering bentrok pemikiran dengan organisasi-organisasi revolusioner yang lainnya yang sebenarnya bertujuan yang sama.
Beberapa minggu atau bulan saya berkuliah di KAMPUS, saya bertemu dengan Fadel, seorang mahasiswa sejarah angkatan 2012 yang seideologi dengan saya, tetapi ada beberapa perbedaan berpendapat antara saya dengan dia, terlebih lagi karena dia lebih berpemikiran ala Aidit atau Semaun, walaupun ada sedikit pemikirannya yang lebih condong ke Tan Malaka. Sedangkan saya berusaha berpemikiran seperti Marx, Engels, Tan Malaka, ataupun Trotsky dan Lenin (walaupun ada beberapa hal yang membuat saya tidak setuju dengan pemikiran Lenin).
Saya juga berkenalan dengan beberapa Marxis muda seperti Alisha, Samuel, Ucu (walaupun dia tidak pernah menyatakan bahwa dia Marxis, tetapi apa yang dilakukannya benar2 mencerminkan seorang yang sosialis), dan Kasman. Terlebih lagi, saya juga berkenalan dengan Akmal, seorang yang menyatakan dirinya freelance humanism, seorang manusia merdeka yang tidak terikat dengan ideologi apapun, seorang yang mengagumi Soe Hok Gie.
Perkenalan saya dengan beberapa orang tersebut menambah khazanah pemikiran saya karena saya sering berdiskusi dengan mereka. Terlepas dari manusia FAM KAMPUS yang belum menerapkan pemikirannya secara sempurna (hanya pada saat mereka berkumpul, saya katakan Komunisme bisa di praktekan), orang yang saya kenal di atas merupakan beberapa orang yang berusaha menerapkan pemikiran Marx secara sempurna.
Perkenalan selanjutnya adalah dengan orang-orang yang agamis seperti Syifa, Dinda, Nabhan, Usef, dan beberapa lainnya dari jurusan sejarah dan sastra Arab. Orang-orang tersebut juga membuka pemikiran saya tentang agama, terutama Islam.
Pemikiran saya tentang agama tumbuh ketika saya menjadi dekat dengan orang-orang yang agamis seperti Syifa dan Dinda. Menurut saya, Agama bukan merupakan bagian dari social principle atau sesuatu yang patut di kekang dalam kehidupan social masyarakat. Marx sendiri menyatakan bahwa urusan agama merupakan urusan pribadi yang tidak bisa di ganggu gugat, tetapi Lenin lebih kejam lagi menafsirkan agama. Menurut Lenin, Marx terlalu lembut menanggapi soal keagamaan, Agama itu harusnya di ibaratkan seperti Vodka yang membuat manusia terperosok ke dalam jurang ketidaksadaran dan akhirnya terperintah akibat dogma-dogma yang diciptakan agama tersebut.
Kembali lagi ke pemikiran saya, saya sependapat dengan Tan Malaka ataupun Iwa Koesoemantri yang berusaha mendekatkan pemikiran Marx dengan ajaran Muhammad. Kedua orang tersebut merupakan sosok Marxis tulen yang agamis. HOS Cokroaminoto juga demikian, dalam bukunya Sosialisme dan Islam, Cokroaminoto membuka pemikiran ketika betapa Islam telah mencatat Sosialisme 1 milenium lebih awal dari pemikiran Cromwell, Hegel, Bacon, Feuerbach, dan Marx tentunya.
Agama bukan merupakan sesuatu yang tabu dalam sistem Sosialisme. Malahan sebuah agama diperlukan untuk membangun pribadi manusia yang kuat akan moral dan etika, walaupun filsafat telah mengatur itu, tetapi agama lebih sempurna berbicara tentang itu. Tetapi agama tidak bisa dijadikan alasan bagi seseorang untuk mendogma seseorang sehingga seseorang tersebut menjadi bodoh mengikuti aturan keagamaan tanpa mengerti maksud dari aturan tersebut. Dengan kata lain, agama adalah sebuah ideologi yang hanya boleh jadi persepsi pribadi masing-masing karena agama mencakup urusan manusia dengan Tuhannya. Sedangkan sistem Sosialisme tidak mengenal aturan tentang hubungan tersebut.
Walaupun pemikiran saya melunak terhadap agama, terutama Islam (tentunya karena saya sendiri beragama Islam), tetapi bukan berarti saya melunak terhadap beberapa ulama konservatif. Beberapa ulama dan pesantren menyatakan bahwa sistem di luar Islam adalah kafir dan ilmu-ilmu yang bukan berdasarkan Al Qur’an adalah ajaran setan. Ulama lain mengatakan bahwa sistem yang dianut oleh sebuah Negara seharusnya Islamisme, bukan Demokrasi, Liberalisme, apalagi Komunisme. Tetapi kalo kita mengkaji Islam itu lebih dalam, Muhammad, seorang pemimpin, pemuka agama, dan seorang yang pertama kali menyebarkan Islam adalah seorang yang menerapkan prinsip Sosialisme dan Demokrasi lebih awal dari semua pemikir Sosialisme yang ada.
Saya menyatakan demikian karena dalam Al Qur’an sendiri termaktub ajaran Sosialisme yang kurang lebih telah di bahas Cokroaminoto dan Haji Misbach lebih mendalam. Tidak ada paksaan dalam Islam, tetapi dalam prakteknya, para ulama berusaha memaksakan doktrin-doktrin agama itu kepada masyarakat sehingga masyarakat mengikuti ajaran agama tanpa tahu maksud dan relevansi dari doktrin tersebut.
Saya percaya bahwa Islam merupakan agama yang paling sempurna dan tidak perlu di pertentangkan, tetapi yang terjadi adalah para ulama menciptakan pertentangan antara sesamanya sehingga membingungkan masyarakat. Karena itulah saya membangun pemikiran bahwa agama adalah sebuah persepsi pribadi yang tak bisa di bantah oleh pihak manapun (persepsi inilah yang bertentangan dengan pemikiran Lenin). Maka itu, harusnya tidak dibenarkan adanya intervensi dari para ulama, pendeta, atau bhiksu untuk menekankan kepada masyarakat untuk memeluk agama mereka, harusnya mereka member kebebasan kepada masyarakat untuk memeluk agama manapun yang mereka mau, tugas para pemuka agama hanyalah memberikan pandangannya tentang agama yang di anut agar mata masyarakat terbuka dan bisa memilih sesuai hati mereka.
Beberapa bulan terakhir, memang yang menjadi perdebatan antar penganut Marxis di KAMPUS adalah soal agama dan relativisme budaya. Beberapa di antara mereka adalah Atheis dan beberapa lainnya mentidaku sebagai muslim atau freelance monotheism seperti Karen Amstrong atau Voltaire. Tetapi saya pribadi menganggap bahwa diri saya adalah seorang muslim untuk pribadi saya, tapi di hadapan masyarakat, saya adalah seorang sosialis yang lepas dari doktrin agama. (perkataan ini meniru dari perkataan Tan Malaka dalam pidatonya di hadapan para wakil komintern pada 12 November 1922)
Persoalan agama sebenarnya bukan persoalan bagi seorang Marxis atau penganut Komunis, tetapi lebih kepada persoalan pribadi dan Tuhannya, entah itu Tuhan ciptaannya atau Tuhan ciptaan agamanya. Walaupun Marx menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, tetapi Marx tidak berpikiran untuk mengekang kebebasan beragama seperti yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin. Dan bagi saya, tidak ada paksaan dalam setiap individu untuk memeluk agama manapun. Makanya saya tidak pernah setuju adanya agama resmi dalam setiap Negara, sehingga menciptakan persoalan masyarakat yang di paksa memeluk salah satu dari agama yang telah di tetapkan Negara.
Tuhan, bagi saya adalah sebuah persoalan dan pemikiran pribadi yang tidak bisa di campur tangani oleh masyarakat. Tuhan bagi saya adalah sebuah zat di luar pemikiran dan pemahaman saya sehingga maha sempurnanya Tuhan tak bisa dibantahkan oleh teori apapun, termasuk teori Marx dan Lenin itu sendiri. Walaupun Nietzche menganggap Tuhan telah mati sehingga perlunya manusia menjadi Tuhan, tetapi Tuhan itu tidak pernah mati, Tuhan memberi kebebasan pada setiap manusia untuk berpikir dan bertindak, walaupun pemikirannya itu mencemooh Dirinya.
Di hadapan Tuhan, saya mentidaku Muslim, menjalankan setiap perintahnya merupakan kewajiban bagi saya. Saya tidak pernah menjalankan perintah para ulama yang konservatif, yang saya jalankan adalah perintah dari Muhammad yang sesuai dengan ajaran kitab suci saya pribadi yaitu Al Qur’an. Saya berusaha menginterpretasikan Al Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman karena saya percaya, Islam adalah agama non konservatif yang terus berkembang sesuai perkembangan zaman.
Di hadapan masyarakat, saya adalah seorang Marxis yang berusaha menjalankan ajaran Karl Marx dan Friederic Engels selama itu tidak bertentangan dengan agama yang saya anut pribadi. Walaupun saya hanya seorang mahasiswa sejarah KAMPUS, tapi itu tidak menghalangi saya untuk menerapkan prinsip Sosialisme yang melibatkan masyarakat banyak untuk menciptakan kesadaran masyarakat yang utopi, masyarakat tanpa kelas, tanpa pertentangan.
Setidaknya, ulama tidak bisa menyatakan bahwa saya sesat dalam hal ini, karena yang berhak menyatakan saya sesat atau tidaknya adalah Tuhan saya sendiri, Allah SWT. Walaupun pemahaman saya tentang agama masih dangkal, tetapi setidaknya saya berusaha menerapkan keagamaan itu dalam konteks pribadi saya sendiri.
Terlepas dari pertentangan antara agama dengan Marxisme, saya berusaha mendekatkan pemahaman saya dalam Marxisme dengan agama. Hal ini juga yang di coba oleh Tan Malaka dalam setiap bukunya dan pidatonya, dia sendiri mendukung agar Komintern tidak mengecam Pan Islamisme. Harusnya Komintern dan Pan Islamisme bisa bekerja sama dalam menumbangkan kekuasaan para Kapitalis di dunia. Tetapi konflik ideologi yang se dasar malah terjadi, hal ini benar-benar di tertawakan oleh kaum Kapitalis hingga sekarang.

0 comments:

Post a Comment

 
;