Realnya,
pas saya masuk KAMPUS, hal yang paling bikin saya seneng karena saya bisa lepas
dari rezim keluarga bapak saya, ya bisa di bilang gitu. Saat masih SMA, apa
yang dibilang kebebasan untuk berpikir dan bertindak itu tidak ada, semua orang
Jawa menurut pada sistem yang lama dan konservatif (menurut saya) dan akhirnya
nelen mentah-mentah aturan yang sebenarnya tidak mereka ngerti. Kalo kata
bahasa politiknya, orang tua Jawa itu adalah cerminan dari feodal anak-anaknya.
Ya sebenernya tujuannya baik, biar anak mereka sukses dengan didikan keras.
Tapi hal negatifnya, hal itu menjadi sebuah sistem balas dendam yang akan terus
berlanjut sampe keturunannya. Keras pendidikan di balas dengan keras pendidikan
juga, tapi kepada keturunannya. Kurang lebihnya kayak gitu.
Impian
saya bisa lepas dari cengkraman budaya konservatif ya karena sistem turun
temurun itu, saya tidak mau nantinya anak saya nerima pendidikan keras yang
konservatif seperti gitu, di atur tanpa ada kebebasan berpendapat sama sekali.
Semua anak harus menuruti perkataan orang tuanya. Apa yang terjadi dengan
Ibrahim, para sahabat nabi yang ortunya jahannam, Marx, Buddha, dan lain-lain
tidak pernah menuruti apa kata ortunya yang konservatif, tapi mereka bahkan
bisa menciptakan pengaruh yang besar bagi dunia.
Seharusnya
ortu itu seperti Lukman, Philip II atau Abu Bakar yang bisa membimbing anaknya
tanpa pendidikan keras dan bisa memberikan kebebasan berpendapat sehingga bisa
menjadi orang yang sukses. Setidaknya itu segelintir alasan kenapa saya milih Sunda
sebagai tempat saya buat berkembang.
Bandung
itu pilihan saya untuk berkembang ketahap selanjutnya, saya bisa berekspresi
sebebas-bebasnya tanpa ada kemunafikan, gengsi dan sebagainya. Persetan dengan
konservatif atau segala bentuk pemikiran yang tidak bisa berkembang kayak
pemikiran orang-orang yang berlindung di balik kebesaran jubah keagamaan.
Kenapa Hegel, Feuerbach, Hume, Voltaire, dan Marx tidak pernah puas dengan
agama? itu karena mereka merasa agama membuat masyarakat tidak bisa berkembang
dan konservatif. Tapi yang benar-benar di garis bawahi di sini ada satu, agama
yang tidak mengenal konservatif harusnya itu Islam. Karena Syari’at yang di
kembangkan 1400 tahun yang lalu terus berkembang sesuai aturan zamannya.
KAMPUS
di dirikan oleh segelintir orang yang tidak puas akan Universitas ciptaan
Hindia Belanda pada saat itu, mereka sadar harusnya ada Universitas karya anak
bangsa yang bisa menampung semua aspirasi bangsa pada saat itu. Orang-orang
seperti Semaun, Iwa Koesoemantri, Sjahrir, Mochtar Kusumaatmaja, dan sebagainya
tercatat pernah meramaikan KAMPUS sebagai Universitas tempatnya Revolusi
bangsa.
Perjalanan
saya masuk KAMPUS di bantu sama sahabat-sahabat saya yang setia, namanya Yan,
Lutvi, Nova, dan Alfi. Mereka berusaha biar saya bisa dapet bidikmisi,
setidaknya Lutvi dan Yan juga mendapatkan bidikmisi dalam waktu yang bersamaan
dengan saya. Saya tidak mau nyusahin orang tua saya yang udah susah payah jadi
petani dan menghidupi saya dan 4 adek saya yang bandel-bandel. (yang saya benci
itu sistem keluarga saya, bukan orang tua saya –red).
Saya
dan orang tua berlatar belakang kaum proletar dari pertanian yang sederhana.
Saya rasa keluarga saya udah nerapin sistem Sosialis yang paling sempurna,
punya tanah yang cukup untuk di olah oleh individu, bukan tanah 5 hektar ala
Kapitalis. Tanah yang cukup di olah itu Cuma di tanem padi, coklat, dan kopi
yang hasilnya cukup buat menghidupi keluarga saya. Walaupun kadang padi hasil
tuai harus dijual semua buat kebutuhan sekolah saya dan adek2 saya. Kekurangan
makanan itu udah hal biasa di kehidupan kaum proletar kayak saya. Kekurangan
prinsip Sosialis yang di alami Lenin terletak pada pengalaman, Lenin tidak
pernah ngalamin hal yang saya rasain. Setidaknya itu yang saya salahin dari
sistem Komunisme Uni Soviet yang di bangun beliau.
Karena
berlatar belakang proletar itulah yang menjadikan alasan buat saya berpikiran
untuk menciptakan sistem Sosialisme ala saya yang tidak terkait dengan Lenin
atau Stalin. Di KAMPUS lah pemikiran saya bisa berkembang sedemikian rupa. Tapi
ada hal yang patut saya salahin dari keluarga saya, yaitu ketergantungan
keluarga saya sama agama yang terlalu berlebihan tanpa memerhatikan realitas
kehidupan. Saya ngerti, agama adalah persoalan individu yang tidak bisa di
paksain dalam sistem Sosialis, jika di paksain, akan menghasilkan suatu candu
yang bisa menghancurkan masyarakat, setidaknya itu yang terjadi di Spanyol pada
zaman Isabella I atau yang terjadi di Arab Saudi pada permulaan era Saudi.
Agama di jadikan alasan political untuk menyebarluaskan paham.
Kembali
lagi ke konteks pembahasan, setelah saya masuk KAMPUS. Saya nerapin prinsip
yang sebenernya bakal bertentangan dengan beberapa hal di KAMPUS, saya niru apa
kata Tan Malaka, disini tidak ada kepala ataupun bawahan, semua orang setara
sama rasa sama rata. Jika satu orang makan, maka seharusnya semua yang ada di
situ harus ikut makan, bukan Cuma ngeliatin orang itu makan sendiri. Hal ini
juga saya brusaha terapin dalam lingkungan Himpunan, disini tidak ada yang
namanya senior ataupun junior, semua sama2 masuk dalam proses kemahasiswaan dan
mengikuti proses yang sama, hanya waktu yang membedakan. Hal itu harusnya tidak
bisa jadi patokan untuk menindas junior atau pemikirannya.
Beberapa
hal dalam pemikiran Marx memang bertentangan dengan realitas social di KAMPUS,
contohnya kesenjangan antara orang yang mempunyai mobil atau orang yang
berjalan kaki. Atau dengan kata lain, penerapan yang seperti itu bisa
menimbulkan konflik individu yang tidak sesuai dengan kaidah pertentangan antar
kelas.
Tapi
itu tidak nutup kemungkinan buat saya untuk mencoba bergabung dengan beberapa
kegiatan dan organisasi yang ada, ya saya mutusin buat masuk FAM (Front Aksi
Mahasiswa) KAMPUS, awalnya saya kira ini wadah buat para kaum revolusioner KAMPUS
yang bisa terorganisir, penuh kajian, dan sesuai dengan kondisi social politik
indonesia pada setiap periodenya. Organisasi ini bisa jadi wadah buat saya
bercurah pendapat, atau setidaknya bercurah aksi revolusioner yang nantinya
akan berubah berkembang sesuai dengan periode rezim yang ada.
FAM
KAMPUS, organisasi yang sifatnya kiri dan penuh dengan intrik2 Komunisme.
Kenapa saya bisa berkata kayak gitu, hal yang saya alamin hingga saat ini
adalah adanya penerapan prinsip Komunisme di setiap kegiatannya. Lagu
Internasionale juga merupakan lagu wajib yang di nyanyikan dalam setiap aksi
demonstrasinya. Dan beberapa anggota FAM KAMPUS ada yang fanatik Lenin, Gie,
dan Marx.
Sebenernya
untuk Komunisme sendiri yang di susupi pemikiran Lenin saya tidak kurang
sependapat karena ide revolusioner yang di tuangkan Lenin masih berupa ide
seorang Borjuis yang tidak terorganisir. Walaupun Revolusi Bolshevik berhasil
menumbangkan kekuasaan Tsar pada masa itu, tapi yang tidak pernah di perhatikan
oleh Lenin adalah Marx tidak pernah mengajarkan seseorang untuk menjadi seorang
Diktator Borjuis seperti dia (saya katakan dia adalah seorang Diktator Borjuis
karena dia lahir dari kalangan Borjuis, bukan Proletar sejati seperti Marx).
Apa yang di ajarkan Marx adalah sebuah revolusi kaum buruh atau tani (dengan
tambahan pemikiran Mao Tse Tung tentang tani) sehingga Negara di kontrol oleh
suatu dewan rakyat (pemikiran Tan Malaka) yang memihak pada buruh dan tani
sehingga menciptakan Negara buruh yang menghapus kelas kapitalis karena semua
hak individu yang tidak bisa di kontrol perseorangan akan menjadi milik Negara
dan seharusnya di bagi rata terhadap setiap buruh dan tani yang ada. Dengan
demikian tercipta sebuah tatanan masyarakat yang sempurna, sama rasa sama rata,
tidak mengenal kelas proletar atau borjuis lagi, tapi masyarakat tersebut
akhirnya tanpa kelas karena masing-masing hak tersebut telah di atur Negara
sedemikian rupa.
Akhirnya
beberapa bulan saya menjadi anggota FAM KAMPUS, timbul ketidakpuasan pribadi
dalam diri saya karena ada beberapa demonstrasi yang tidak sesuai dengan kajian
pemikiran saya, seperti demonstrasi menolak kenaikan BBM yang telah ditetapkan
oleh rezim yang baru. Sebuah kajian diperlukan apakah BBM itu naik atas
permintaan para kapitalis atau ada maksud lain untuk proses mensejahterahkan
rakyat? Tapi mungkin menurut saya, kajian lebih mendalam saya terapkan kepada
rezimnya, rezim yang baru berdiri beberapa minggu tersebut telah menimbulkan
sebuah polemik baru bagi Indonesia.
Saya
katakan demikian karena pertarungan antara Jokowi dan Prabowo tidak lebih dari
pertarungan ideologi dari masing-masing pihak juga pertarungan masa lalu yang
sebenarnya merupakan dendam antar partai dan dendam individu pasca reformasi.
Saya
sangat setuju, perlunya sebuah revolusi untuk menumbangkan pemerintahan yang
konfliknya seputar kalangan atas saja, tanpa memerhatikan rakyat di bawahnya,
terutama konflik DPR tandingan yang sekarang saya tertawakan. Kenapa kita tidak
revolusi untuk membubarkan DPR atau MPR saja? Daripada hanya sekedar demonstrasi
tolak kenaikan harga BBM yang sebenarnya harga sebuah demonstrasi itu kecil di
mata para akademisi, walaupun para masyarakat awam menilai ini sebuah
penghargaan yang besar yang di berikan mahasiswa kepada rakyat.
Saya
lebih setuju jika kita sama2 melakukan aksi revolusi membubarkan MPR yang
sifatnya kekanak-kanakan dan menggantinya dengan Dewan Rakyat yang sebenarnya
berasal dari kaum buruh dan tani yang intelek, setidaknya sarjana tani dan
buruh. Dewan Rakyat yang demikian lebih mengerti keadaan rakyat karena berasal
langsung dari kalangan rakyat, daripada MPR sekarang yang hanya berisi para
kapitalis busuk yang mengejar harta dan meninggalkan pekerjaan demi harta.
Benarlah kata Marx, bahwa pertarungan manusia yang sebenarnya berdasarkan
sistem ekonomi atau Historical Materialism, sejarah manusia itu tidak
pernah bisa lepas dari pertentangan antar kelas dengan alasan sistem ekonomi,
walaupun beberapa catatan sejarah tidak luput dari alasan politik dan agama,
tapi setidaknya dasarnya pasti kembali lagi ke sistem ekonomi. (dalam hal ini
saya tidak setuju dengan pernyataan Abdul Qadir Djaelani, seorang anggota DPR
Komisi I zaman transisi)
Inilah
alasan kenapa saya akhirnya tidak puas dengan organisasi FAM KAMPUS yang
bergerak untuk hal-hal yang kecil dan bahkan sering bentrok pemikiran dengan
organisasi-organisasi revolusioner yang lainnya yang sebenarnya bertujuan yang
sama.
Beberapa
minggu atau bulan saya berkuliah di KAMPUS, saya bertemu dengan Fadel, seorang
mahasiswa sejarah angkatan 2012 yang seideologi dengan saya, tetapi ada
beberapa perbedaan berpendapat antara saya dengan dia, terlebih lagi karena dia
lebih berpemikiran ala Aidit atau Semaun, walaupun ada sedikit pemikirannya
yang lebih condong ke Tan Malaka. Sedangkan saya berusaha berpemikiran seperti
Marx, Engels, Tan Malaka, ataupun Trotsky dan Lenin (walaupun ada beberapa hal
yang membuat saya tidak setuju dengan pemikiran Lenin).
Saya
juga berkenalan dengan beberapa Marxis muda seperti Alisha, Samuel, Ucu
(walaupun dia tidak pernah menyatakan bahwa dia Marxis, tetapi apa yang
dilakukannya benar2 mencerminkan seorang yang sosialis), dan Kasman. Terlebih
lagi, saya juga berkenalan dengan Akmal, seorang yang menyatakan
dirinya freelance humanism, seorang manusia merdeka yang tidak terikat dengan
ideologi apapun, seorang yang mengagumi Soe Hok Gie.
Perkenalan
saya dengan beberapa orang tersebut menambah khazanah pemikiran saya karena
saya sering berdiskusi dengan mereka. Terlepas dari manusia FAM KAMPUS yang
belum menerapkan pemikirannya secara sempurna (hanya pada saat mereka
berkumpul, saya katakan Komunisme bisa di praktekan), orang yang saya kenal di
atas merupakan beberapa orang yang berusaha menerapkan pemikiran Marx secara
sempurna.
Perkenalan
selanjutnya adalah dengan orang-orang yang agamis seperti Syifa, Dinda, Nabhan,
Usef, dan beberapa lainnya dari jurusan sejarah dan sastra Arab. Orang-orang
tersebut juga membuka pemikiran saya tentang agama, terutama Islam.
Pemikiran
saya tentang agama tumbuh ketika saya menjadi dekat dengan orang-orang yang
agamis seperti Syifa dan Dinda. Menurut saya, Agama bukan merupakan bagian
dari social principle atau sesuatu yang patut di kekang dalam
kehidupan social masyarakat. Marx sendiri menyatakan bahwa urusan agama
merupakan urusan pribadi yang tidak bisa di ganggu gugat, tetapi Lenin lebih
kejam lagi menafsirkan agama. Menurut Lenin, Marx terlalu lembut menanggapi
soal keagamaan, Agama itu harusnya di ibaratkan seperti Vodka yang membuat
manusia terperosok ke dalam jurang ketidaksadaran dan akhirnya terperintah
akibat dogma-dogma yang diciptakan agama tersebut.
Kembali
lagi ke pemikiran saya, saya sependapat dengan Tan Malaka ataupun Iwa
Koesoemantri yang berusaha mendekatkan pemikiran Marx dengan ajaran Muhammad.
Kedua orang tersebut merupakan sosok Marxis tulen yang agamis. HOS Cokroaminoto
juga demikian, dalam bukunya Sosialisme dan Islam, Cokroaminoto membuka
pemikiran ketika betapa Islam telah mencatat Sosialisme 1 milenium lebih awal
dari pemikiran Cromwell, Hegel, Bacon, Feuerbach, dan Marx tentunya.
Agama
bukan merupakan sesuatu yang tabu dalam sistem Sosialisme. Malahan sebuah agama
diperlukan untuk membangun pribadi manusia yang kuat akan moral dan etika,
walaupun filsafat telah mengatur itu, tetapi agama lebih sempurna berbicara
tentang itu. Tetapi agama tidak bisa dijadikan alasan bagi seseorang untuk
mendogma seseorang sehingga seseorang tersebut menjadi bodoh mengikuti aturan
keagamaan tanpa mengerti maksud dari aturan tersebut. Dengan kata lain, agama
adalah sebuah ideologi yang hanya boleh jadi persepsi pribadi masing-masing
karena agama mencakup urusan manusia dengan Tuhannya. Sedangkan sistem
Sosialisme tidak mengenal aturan tentang hubungan tersebut.
Walaupun
pemikiran saya melunak terhadap agama, terutama Islam (tentunya karena saya sendiri
beragama Islam), tetapi bukan berarti saya melunak terhadap beberapa ulama
konservatif. Beberapa ulama dan pesantren menyatakan bahwa sistem di luar Islam
adalah kafir dan ilmu-ilmu yang bukan berdasarkan Al Qur’an adalah ajaran
setan. Ulama lain mengatakan bahwa sistem yang dianut oleh sebuah Negara
seharusnya Islamisme, bukan Demokrasi, Liberalisme, apalagi Komunisme. Tetapi
kalo kita mengkaji Islam itu lebih dalam, Muhammad, seorang pemimpin, pemuka
agama, dan seorang yang pertama kali menyebarkan Islam adalah seorang yang
menerapkan prinsip Sosialisme dan Demokrasi lebih awal dari semua pemikir
Sosialisme yang ada.
Saya
menyatakan demikian karena dalam Al Qur’an sendiri termaktub ajaran Sosialisme
yang kurang lebih telah di bahas Cokroaminoto dan Haji Misbach lebih mendalam.
Tidak ada paksaan dalam Islam, tetapi dalam prakteknya, para ulama berusaha
memaksakan doktrin-doktrin agama itu kepada masyarakat sehingga masyarakat
mengikuti ajaran agama tanpa tahu maksud dan relevansi dari doktrin tersebut.
Saya
percaya bahwa Islam merupakan agama yang paling sempurna dan tidak perlu di
pertentangkan, tetapi yang terjadi adalah para ulama menciptakan pertentangan
antara sesamanya sehingga membingungkan masyarakat. Karena itulah saya membangun
pemikiran bahwa agama adalah sebuah persepsi pribadi yang tak bisa di bantah
oleh pihak manapun (persepsi inilah yang bertentangan dengan pemikiran Lenin).
Maka itu, harusnya tidak dibenarkan adanya intervensi dari para ulama, pendeta,
atau bhiksu untuk menekankan kepada masyarakat untuk memeluk agama mereka,
harusnya mereka member kebebasan kepada masyarakat untuk memeluk agama manapun
yang mereka mau, tugas para pemuka agama hanyalah memberikan pandangannya
tentang agama yang di anut agar mata masyarakat terbuka dan bisa memilih sesuai
hati mereka.
Beberapa
bulan terakhir, memang yang menjadi perdebatan antar penganut Marxis di KAMPUS
adalah soal agama dan relativisme budaya. Beberapa di antara mereka adalah
Atheis dan beberapa lainnya mentidaku sebagai muslim atau freelance
monotheism seperti Karen Amstrong atau Voltaire. Tetapi saya pribadi
menganggap bahwa diri saya adalah seorang muslim untuk pribadi saya, tapi di
hadapan masyarakat, saya adalah seorang sosialis yang lepas dari doktrin agama.
(perkataan ini meniru dari perkataan Tan Malaka dalam pidatonya di hadapan para
wakil komintern pada 12 November 1922)
Persoalan
agama sebenarnya bukan persoalan bagi seorang Marxis atau penganut Komunis,
tetapi lebih kepada persoalan pribadi dan Tuhannya, entah itu Tuhan ciptaannya
atau Tuhan ciptaan agamanya. Walaupun Marx menyatakan bahwa agama adalah candu
masyarakat, tetapi Marx tidak berpikiran untuk mengekang kebebasan beragama
seperti yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin. Dan bagi saya, tidak ada paksaan
dalam setiap individu untuk memeluk agama manapun. Makanya saya tidak pernah
setuju adanya agama resmi dalam setiap Negara, sehingga menciptakan persoalan
masyarakat yang di paksa memeluk salah satu dari agama yang telah di tetapkan
Negara.
Tuhan,
bagi saya adalah sebuah persoalan dan pemikiran pribadi yang tidak bisa di
campur tangani oleh masyarakat. Tuhan bagi saya adalah sebuah zat di luar
pemikiran dan pemahaman saya sehingga maha sempurnanya Tuhan tak bisa
dibantahkan oleh teori apapun, termasuk teori Marx dan Lenin itu sendiri.
Walaupun Nietzche menganggap Tuhan telah mati sehingga perlunya manusia menjadi
Tuhan, tetapi Tuhan itu tidak pernah mati, Tuhan memberi kebebasan pada setiap
manusia untuk berpikir dan bertindak, walaupun pemikirannya itu mencemooh
Dirinya.
Di
hadapan Tuhan, saya mentidaku Muslim, menjalankan setiap perintahnya merupakan
kewajiban bagi saya. Saya tidak pernah menjalankan perintah para ulama yang
konservatif, yang saya jalankan adalah perintah dari Muhammad yang sesuai dengan
ajaran kitab suci saya pribadi yaitu Al Qur’an. Saya berusaha
menginterpretasikan Al Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman karena saya
percaya, Islam adalah agama non konservatif yang terus berkembang sesuai
perkembangan zaman.
Di
hadapan masyarakat, saya adalah seorang Marxis yang berusaha menjalankan ajaran
Karl Marx dan Friederic Engels selama itu tidak bertentangan dengan agama yang
saya anut pribadi. Walaupun saya hanya seorang mahasiswa sejarah KAMPUS, tapi
itu tidak menghalangi saya untuk menerapkan prinsip Sosialisme yang melibatkan
masyarakat banyak untuk menciptakan kesadaran masyarakat yang utopi, masyarakat
tanpa kelas, tanpa pertentangan.
Setidaknya,
ulama tidak bisa menyatakan bahwa saya sesat dalam hal ini, karena yang berhak
menyatakan saya sesat atau tidaknya adalah Tuhan saya sendiri, Allah SWT.
Walaupun pemahaman saya tentang agama masih dangkal, tetapi setidaknya saya
berusaha menerapkan keagamaan itu dalam konteks pribadi saya sendiri.
Terlepas
dari pertentangan antara agama dengan Marxisme, saya berusaha mendekatkan
pemahaman saya dalam Marxisme dengan agama. Hal ini juga yang di coba oleh Tan
Malaka dalam setiap bukunya dan pidatonya, dia sendiri mendukung agar Komintern
tidak mengecam Pan Islamisme. Harusnya Komintern dan Pan Islamisme bisa bekerja
sama dalam menumbangkan kekuasaan para Kapitalis di dunia. Tetapi konflik
ideologi yang se dasar malah terjadi, hal ini benar-benar di tertawakan oleh
kaum Kapitalis hingga sekarang.
0 comments:
Post a Comment