Thursday, April 5, 2018

Melawan Budaya Patriarki


“Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun lalu saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah seorang diri sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.”[1][1]
Menulis tentang patriarki dan kebangkitan perempuan sudah pasti akan memakan catatan berlembar-lembar karena keduanya mempunyai untaian sejarah yang panjang. Patriarki muncul bersamaan dengan revolusi gender 35.000 tahun yang lalu[2][2]. Sedangkan kebangkitan perempuan muncul bersamaan dengan berkembangnya Kapitalisme Industrial. Barbara Ehrenreich menambahkan bahwa sistem sosial yang digantikan Kapitalisme Industrial pada dasarnya adalah sistem sosial patriarkis[3][3]. Artinya, patriarki tidaklah dihapuskan Kapitalisme, melainkan patriarki muncul dalam bentuk yang lebih modern. Kesimpulan tersebut muncul karena Kapitalisme sebagai sistem pada akhirnya menciptakan suatu penindasan gender baru yang sering kita sebut sebagai seksisme atau bias gender.

Dalam berbagai budaya di Indonesia, kita mendapati bahwa perempuan selalu menempati urutan nomor dua. Seperti budaya Jawa, Batak, ataupun kebanyakan suku di Indonesia Timur. Penempatan perempuan sebagai manusia nomor dua adalah contoh bentuk budaya patriarki. Patriarki sendiri ialah perwujudan ideologi, dimana laki-laki sebagai pihak dominan berhak menentukan persetujuan sosial pada perempuan sebagai pihak subordinat[4][4]. Manurung menjelaskan bahwa laki-laki cenderung menyubordinasi perempuan karena adanya dominasi atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran, dan statusnya. Engels sendiri secara radikal menyebutkan bahwa budaya patriarki menyebabkan sistem keluarga modern menjadi cenderung berkelas, laki-laki sebagai kaum borjuis, perempuan dan anak sebagai kaum proletar[5][5]. Pengelompokan tersebut mengindikasikan bahwa budaya patriarki cenderung menindas dan menghisap tenaga perempuan. Inilah yang menjadi realitas di Indonesia dari masa lalu hingga kini.
Budaya tersebut mengakar kuat sehingga perempuan seperti Kartini harus kalah dalam pertarungan dan Gerwani yang memperjuangkan hak perempuan harus mati secara sadis ditangan para algojo. Seperti yang kita ketahui, penindasan gender adalah bagian dari adanya ketidaksetaraan dalam sistem Kapitalisme. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga yang tidak seimbang mengakibatkan superioritas laki-laki. Misalnya, jika perempuan hanya menjadi pekerja dapur dan laki-laki menjadi pekerja industri, ringannya kerja perempuan sebenarnya hanyalah ilusi dari patriarki karena dengan tekanan subordinasi, maka perempuan sebenarnya mendapatkan nilai kerja yang lebih banyak dengan keuntungan yang sedikit. Perempuan tidak hanya menjadi pekerja dapur, tetapi ia menjadi budak kasur, dan juga menjadi penghuni penjara – yang biasa kita sebut rumah – sedangkan laki-laki mendapatkan keuntungan dengan hanya menjadi pekerja industri misalnya, ia mendapat pelayanan lebih dari perempuannya. Perempuan sendiri akhirnya hanya pasrah terhadap nasib sebagai pekerja dapur dan budak kasur yang tiap harinya mendapat untung tidak seimbang dengan pekerjaan laki-laki. Begitulah kiranya yang digambarkan Engels mengenai dominasi patriarki yang masih dapat kita saksikan sampai hari ini[6][6]. Walaupun Engels dan Morgan dalam hal ini sepakat bahwa pada mulanya manusia bersifat matrilineal.

Bagaimana melawan budaya patriarki?
Kaum feminis menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah jawaban singkat, yaitu perempuan harus melawan budaya patriarki dengan mengorganisir diri dan memberikan pendidikan! Jawaban tersebut diperoleh dari keinginan Kartini yang dituangkan dalam suratnya kepada Stella – seorang feminis liberalis. Selain itu, melawan budaya patriarki berarti melawan sistem Kapitalisme juga yang menyebabkan pembagian kerja tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, kesetaraan gender adalah suatu keniscayaan jika diperjuangkan secara bersama, karena itu sudah sepantasnya
PEREMPUAN BANGKIT UNTUK MELAWAN!



[1][1] Penggalan surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 25 Mei 1899.
[2][2] Lewis Henry Morgan dalam Ancient Society.
[3][3] Barbara Ehnrenreich, op.cit.
[4][4] Joan Isma Ayu Astri Fachrani dalam Manifestasi Wanita dalam Budaya Patriarki.
[5][5] Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto.
[6][6] Engels dalam The Origin of Family, Private Property, and The State.

0 comments:

Post a Comment

 
;