“Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras
gadis-gadis keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun lalu saya ditahan di
rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah seorang diri
sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu
lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama
sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan
kami, sebenarnya tiada setahu kami.”[1][1]
Menulis tentang patriarki dan kebangkitan perempuan
sudah pasti akan memakan catatan berlembar-lembar karena keduanya mempunyai
untaian sejarah yang panjang. Patriarki muncul bersamaan dengan revolusi gender
35.000 tahun yang lalu[2][2].
Sedangkan kebangkitan perempuan muncul bersamaan dengan berkembangnya
Kapitalisme Industrial. Barbara Ehrenreich menambahkan bahwa sistem sosial yang
digantikan Kapitalisme Industrial pada dasarnya adalah sistem sosial patriarkis[3][3].
Artinya, patriarki tidaklah dihapuskan Kapitalisme, melainkan patriarki muncul
dalam bentuk yang lebih modern. Kesimpulan tersebut muncul karena Kapitalisme
sebagai sistem pada akhirnya menciptakan suatu penindasan gender baru yang
sering kita sebut sebagai seksisme atau bias gender.
Dalam berbagai budaya di Indonesia, kita mendapati
bahwa perempuan selalu menempati urutan nomor dua. Seperti budaya Jawa, Batak,
ataupun kebanyakan suku di Indonesia Timur. Penempatan perempuan sebagai
manusia nomor dua adalah contoh bentuk budaya patriarki. Patriarki sendiri
ialah perwujudan ideologi, dimana laki-laki sebagai pihak dominan berhak
menentukan persetujuan sosial pada perempuan sebagai pihak subordinat[4][4].
Manurung menjelaskan bahwa laki-laki cenderung menyubordinasi perempuan karena
adanya dominasi atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran, dan
statusnya. Engels sendiri secara radikal menyebutkan bahwa budaya patriarki
menyebabkan sistem keluarga modern menjadi cenderung berkelas, laki-laki
sebagai kaum borjuis, perempuan dan anak sebagai kaum proletar[5][5].
Pengelompokan tersebut mengindikasikan bahwa budaya patriarki cenderung
menindas dan menghisap tenaga perempuan. Inilah yang menjadi realitas di
Indonesia dari masa lalu hingga kini.
Budaya tersebut mengakar kuat sehingga perempuan
seperti Kartini harus kalah dalam pertarungan dan Gerwani yang memperjuangkan
hak perempuan harus mati secara sadis ditangan para algojo. Seperti yang kita
ketahui, penindasan gender adalah bagian dari adanya ketidaksetaraan dalam
sistem Kapitalisme. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam
keluarga yang tidak seimbang mengakibatkan superioritas laki-laki. Misalnya,
jika perempuan hanya menjadi pekerja dapur dan laki-laki menjadi pekerja
industri, ringannya kerja perempuan sebenarnya hanyalah ilusi dari patriarki
karena dengan tekanan subordinasi, maka perempuan sebenarnya mendapatkan nilai
kerja yang lebih banyak dengan keuntungan yang sedikit. Perempuan tidak hanya
menjadi pekerja dapur, tetapi ia menjadi budak kasur, dan juga menjadi penghuni
penjara – yang biasa kita sebut rumah – sedangkan laki-laki mendapatkan
keuntungan dengan hanya menjadi pekerja industri misalnya, ia mendapat
pelayanan lebih dari perempuannya. Perempuan sendiri akhirnya hanya pasrah
terhadap nasib sebagai pekerja dapur dan budak kasur yang tiap harinya mendapat
untung tidak seimbang dengan pekerjaan laki-laki. Begitulah kiranya yang
digambarkan Engels mengenai dominasi patriarki yang masih dapat kita saksikan
sampai hari ini[6][6].
Walaupun Engels dan Morgan dalam hal ini sepakat bahwa pada mulanya manusia
bersifat matrilineal.
Bagaimana melawan
budaya patriarki?
Kaum feminis menjawab pertanyaan tersebut dengan
sebuah jawaban singkat, yaitu perempuan harus melawan budaya patriarki dengan
mengorganisir diri dan memberikan pendidikan! Jawaban tersebut diperoleh dari
keinginan Kartini yang dituangkan dalam suratnya kepada Stella – seorang
feminis liberalis. Selain itu, melawan budaya patriarki berarti melawan sistem
Kapitalisme juga yang menyebabkan pembagian kerja tidak seimbang antara
laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, kesetaraan gender adalah suatu
keniscayaan jika diperjuangkan secara bersama, karena itu sudah sepantasnya
PEREMPUAN BANGKIT
UNTUK MELAWAN!
0 comments:
Post a Comment